Friday, August 19, 2005

Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?

As a medical doctor, you wouldn't know what kind of people you would meet the day you had practice.

Perempuan berusia 38 tahun itu masuk ruang praktik dengan ekspresi wajah biasa.
"Ada keluhan apa, Bu?" tanyaku.
"Badan saya lemas terus hari-hari belakangan ini. Tidak ada gairah," paparnya, berhenti sejenak, "jantung juga sering berdebar-debar."
"O ya?" timpalku.
"Ya..." suaranya mulai bergetar. Wajahnya setengah menunduk. "Saya korban kebakaran waktu itu. Anak saya terbakar. Hangus jadi abu."
Ia mulai terisak pelan. Menangis perlahan. Tapi tidak lama. Sekitar semenit. Aku hanya terus menatapnya. Tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Jangan sampai perasaannya semakin terluka dengan pertanyaan mengenai kejadian.
Wanita di hadapanku ini mulai tenang.
"Kebakaran yang kapan, Bu?" dalam hati aku merasa malu tidak tahu dengan bencana yang terjadi masih di sekitar Jakarta.
"Tanggal 16 kemarin. Dua puluh rumah habis terbakar." Isaknya sudah terkendali. Suaranya terdengar tegar.
Sambil diselingi pertanyaan mengenai keluhannya, ia memaparkan kisah sedihnya. Kejadian yang terjadi sehari menjelang peringatan 60 kemerdekaan
itu terjadi di Kebayoran Lama. Satu-satunya korban meninggal adalah balita berusia tiga tahun. Anak ketiga dari perempuan yang juga member LKC cabang Cipulir ini. Sehari-harinya ia bekerja sebagai kuli cuci. Saat kejadian, ia sedang mengerjakan kegiatan ini, sedangkan satu-satunya anaknya yang masih tinggal bersamanya tidur dalam buaian di lantai dua.
"Ia habis menangis, minta uang untuk nonton topeng monyet," kenangnya, "sekarang saya makan juga tidak nafsu. Masih teringat dengan dia. Biasanya kita makan berdua. Saya makan nasi sisa dari piringnya."
Ibu dengan tiga anak ini memang tinggal hanya dengan anak bungsunya. Anak pertamanya dibawa suaminya yang sudah tidak tinggal serumah. Anak keduanya berada di sebuah pesantren di Jawa Tengah.
"Sebentar lagi Ibu juga akan ketemu dengan anak yang tinggal di pesantren kan?" aku mencari topik pembicaraan yang kiranya dapat menenangkan hatinya.
"Iya, bulan depan ia akan pulang.
"
Kuajukan satu pertanyaan yang aku yakin mengetahui jawabannya, "Waktu kejadian, yang pertama kali datang memberikan bantuan siapa?"
"Dari PKS. Istrinya Pak--sebut saja--Fahmi yang terus menemani saya. Ia yang menyuapi saya. Bilang 'Ibu, jangan nangis terus'."
PKS memang hampir selalu menjadi yang pertama datang di setiap bencana apapun di ibukota.
"Iya, Ibu harus makan. Badan ibu lemas karena tidak mau makan. Ibu juga tidak boleh menyiksa diri sendiri, kan?" lanjutku.
Aku menyimpulkan ia mengalami stres pasca trauma. Jujur, aku menilai ibu ini sangat tabah. Tidak banyak ekspresi kesedihan yang keluar saat berbincang denganku. Atau mungkin air matanya sudah habis dalam tiga hari ini.
"Sekarang Ibu sudah ikhlas, kan?" aku mengakhiri pembicaraan.
"Iya, saya ikhlas, ridho. Anak kan yang punya Alloh. Kembalinya ke Alloh."
"Saya senang sekali dengar jawaban dari Ibu. Yang penting Ibu sudah ikhlas. Insya Alloh akan dapat ganti yang lebih baik." Aku terharu mendengar jawaban tulus dan tabah Ibu ini. Subhanalloh.
"Terima kasih, Dok."

"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" (ar-Rahmaan)

Rabu kemarin, hari libur memperingati Kemerdekaan RI, aku bertemu dengan pria itu. Laki-laki menjelang 40 tahun, yang datang ke LKC karena keluhan nyeri perut hebatnya. Ia dalam perjalanan menuju kampungnya di Sumatra Barat. Kesana kemari ia mencari dana untuk ongkos pulang dirinya, istri, dan ketiga anak kecilnya. Entah bagaimana, di tengah perjalanan, ia mengeluh penyakitnya kambuh, dan orang yang ditemuinya di jalan menunjukkan LKC.

Saat memeriksanya, tak henti-hentinya ia memanggilku, sekedar ingin memegang tanganku. Ia tampaknya ketakutan sekali dirinya akan pergi meninggalkan alam ini. Matanya gelap, keluhnya. Sambil mencium tanganku, mulutnya terus mengucapkan doa untukku, agar Tuhan membalas kebaikanku. Aku hanya menatapnya, sambil memintanya agar terus beristighfar. Menenangkannya, bahwa hanya Alloh-lah yang mampu mengangkat segala penyakit. Memintalah pada-Nya.

Setelah satu suntikan Tramadol masuk, pria yang mengaku ingin diberi kesempatan pulang kampung untuk mencium kaki ibunya dan meminta diberi waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya ini, menjadi lebih tenang.

"Sudah tidak sakit kan, Pak? Sudah tidak gelap kan, matanya?
"Sudah, Dok."

Bapak yang memegang surat keterangan miskin dari RS setempat di Sumbar ini kemudian melanjutkan perjalanannya. Mencari ongkos pulang, tidak tahu darimana lagi bisa mendapatkannya. Kami hanya bisa memberikan bantuan untuk mengurangi sakitnya saja. Padahal sebenarnya hanya member yang bisa mendapatkan pelayanan di LKC.

Kisah sedih kaum dhu'afa yang kutemui tidak sebatas di sini saja. Seorang ibu muda membawa anaknya kemarin ke Gerai Sehat Cipulir, cabang dari LKC. Penyakitnya ringan, hanya batuk pilek.

"Namanya Bella," tatap si ibu ke gadis kecilnya yang cantik, "ada kisah dari namanya."
"Waktu itu sudah ada orang yang mau (mengambilnya). Karena waktu itu saya tidak punya uang. Untung ada yang mau membiayainya. Jadinya sampai saat ini Bella masih bersama sama. Jadi banyak yang nge-bela-in dia. Makanya dikasih nama Bella."

Jadi ingat cerita Sayekti dan Hanafi, ibu yang terpaksa anaknya ditahan RS, karena tidak sanggup membiayai persalinannya. Hanya saja ibunda Bella ini hampir 'menjual' anaknya, karena tidak punya biaya untuk membesarkannya. Untung saja hal ini tidak terjadi. Betapa dhu'afa-nya mereka.

"Memangnya suami ibu kerja apa?" tanyaku penasaran
"Dia tidak bertanggung jawab. Sering pergi meninggalkan rumah. Kerjanya jadi calo."

Masih ada lagi ibu yang membawa anak gadisnya datang dengan batuk yang tak kunjung sembuh. Kebiasaanku menemui anak usia sekolah yang datang berobat, kutebak saat ini ia kelas berapa.

"Berarti sekarang kelas 2 SMP ya?" tebakku.
"Nggak Dok, sudah tidak sekolah. Tidak ada biaya," jelas ibunya.
"Tapi SD lulus kan?" selidikku.
"Sempat sampai kelas 6 SD, tapi untuk ujian tidak ada biaya, jadinya berhenti."
Ya Alloh, di pinggiran Jakarta saja masih ada anak yang tidak bisa menyelesaikan SD-nya karena masalah biaya. Kemanakah aliran dana kompensasi BBM?
"Anak ibu ada berapa?"
"Lima."
"Tapi adik-adiknya masih sekolah semua kan?"
"Ya, itupun ditanggung orang lain. Alhamdulillah," cerita ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini. Suaminya bekerja sebagai sopir angkot. Sehari kadang hanya bisa membawa Rp 15 ribu. Ia pun khawatir penghasilannya akan semakin merosot, dengan rencana pemerintah menaikkan BBM menjadi Rp 4000 per liternya.

Jum'at itu aku merenung di shaf kedua masjid sebuah bilangan Cipulir. Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?

Saat jaga malamnya, cerita memilukan masih terus mengalir. Pasangan suami-istri yang bekerja sebagai penjual buah pinang membawa anak gadisnya yang sudah sangat pucat. Dari tampilan klinisnya, kemungkinan kadar hemoglobinnya mungkin sudah di bawah lima. Ia sangat kekurangan oksigen. Gadis berumur 24 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini datang dalam keadaan demikian lemahnya. Untung saja seorang kerabatnya bekerja sebagai perawat di LKC, sehingga bisa membawanya ke sini.

Untung saja orang-orang ini menemukan LKC. Tempat mereka yang dhu'afa dan miskin papa bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, tanpa biaya, sejak awal sampai akhir. Berapa banyak nyawa yang bisa tertolong jika layanan kesehatan macam ini tersebar di ribuan tempat di negara ini?

Inilah negara kita. Negara yang aneh (mengutip istilah yang sering diucapkan Tora, Aming, dkk di Extravaganza). Di mana kesehatan seharusnya menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya. Di mana anggaran kesehatan demikian rendahnya, dibandingkan anggaran untuk ekonomi dan politik. Tapi justru layanan kesehatan yang langsung menyentuh dan bantuannya terasakan oleh masyarakat nyata diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) swasta, macam LKC, Dompet Dhu'afa, PKPU, BSMI, MER-C, DSPU, DSUQ, dan lain-lain.

Negara yang aneh.

Tuesday, August 02, 2005

Setiap Pasien adalah Sebuah Pelajaran

Tiba-tiba pintu ruang praktik menjeblak terbuka.

“Dok, tolong! Kenapa anak saya ini?” Wanita berusia menjelang tiga puluhan tahun itu berlari menggendong anaknya. Menghampiriku.

Anak perempuan kecil dalam gendongannya tampak kaku dengan mata setengah terbuka. Kadua kakinya bergerak-gerak teratur. Terdengar rintihan pelan.

“Ya Alloh, astaghfirulloh, kenapa kau, Nak..” tangis ibunya yang tengah hamil 32 minggu.

Jari telunjuk dan tengah perempuan ini terjepit erat di antara gigi-geligi anaknya yang baru berusia 15 bulan. Ia khawatir anaknya yang tengah kejang tanpa sadar menggigit lidahnya.

“Tenang Bu, tenang. Ia kejang karena demam. Tidak akan lama berhenti sendiri,” sahutku berusaha menenangkannya.

Otakku terus berputar. Tenang Pin, tenang, ujarku menenangkan diri sendiri. Aku tidak suka keadaan ini. Selama ini jika menghadapi pasien kejang, selalu tersedia obat kegawatdaruratan untuk menghentikan kejangnya. Tabung diazepam rektal satu buah. Tapi di klinik kecil tempatku bekerja ini, obat itu tidak tersedia. Poliklinik salah satu pool perusahaan taksi ini memang tidak dipersiapkan untuk keadaan gawat seperti ini. Tak ada cara lain. Aku yakin dengan diagnosisku, dan berdasarkan teori, kejangnya akan segera berhenti. Amati saja keadaan anak ini. Miringkan posisi tubuhnya agar jika muntah tidak masuk ke saluran napasnya. Hitung berapa lama kejangnya. Pastikan tidak terjadi keadaan kekurangan oksigen.

***

Sekitar 15 menit sebelumnya, sepasang suami-istri membawa anak perempuannya yang berumur 15 bulan, dengan keluhan demam tinggi sejak siang hari.

“Tadi diukur di rumah, suhunya 40 derajat selsius,” kisah si istri.

Aku senang mendengarnya. Kenapa? Karena ibu ini tampaknya memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga merasa perlu untuk menggunakan termometer dalam mengukur suhu tubuh. Hasilnya tentu objektif. Kita tahu persis apakah seseorang demam atau tidak. Tidak bisa mengandalkan perabaan tangan di dahi yang sangat subjektif.

Menghadapi klien seperti ini, membuatku senang dan perlu untuk mengedukasinya. Meluangkan waktu sedikit lebih lama untuk memberikan informasi, apa yang orangtua harus lakukan jika menghadapi anaknya demam. Bukan sekedar mendengarkan keluhan, dan menuliskan resep, selesai! Hmm, I’m not that type of doctor.

Kebetulan sekali di mejaku tersedia lembaran-lembaran mading edukasi untuk orangtua. Isinya mengenai ‘demam’, dan ‘kejang demam’. Apa yang harus orangtua pahami mengenai kedua kondisi ini, dan apa yang harus mereka lakukan jika menghadapinya pada anak mereka. Thanks to milis SEHAT yang telah menyediakan bahan mading ini.

Aku minta mereka untuk memfotokopinya, segera mengembalikannya padaku, dan mempelajarinya di rumah.

Si Kecil di hadapanku memang tampak lemas. Ia menggigil. Aku tegaskan pada orangtuanya, bahwa keadaan yang perlu diperhatikan saat ini jika sampai terjadi kejang. Aku tak pernah menyangka jika 15 menit kemudian ini akan terjadi. Tepat di hadapanku. Dan aku tak punya obat yang tepat untuk mengatasi keadaan ini.

Alhamdulillah, tak sampai lima menit, kejang mereda dengan sendirinya. Namun si Ibu justru bertambah keras tangisnya. Apa yang terjadi? Kedua jari tangan kanannya yang dimasukkan ke dalam mulut si kecil, tidak bisa dikeluarkan. Gigitan si anak selama hampir lima menit membuatnya kesakitan. Wanita ini menangis sejadi-jadinya, meluapkan rasa sakitnya tergigit.

“Aduh, Nak, tangan Ibu dilepaskan dong,” erangnya.

“Sini Bu, ganti saja dengan kapas perban ini,” sodorku. Sebenarnya tidak boleh memasukkan benda apapun ke dalam mulut anak yang kejang. Dikhawatirkan justru jalan napasnya akan tersumbat. Kejadian lidah tergigit sangat kecil.

Si ibu menatapku dengan ragu. Ia memang kesakitan luar biasa. Tapi ia lebih khawatir lidah anaknya akan tergigit. Inilah kasih seorang ibu.

Dalam waktu kejangnya ini, ayahnya mengurus transportasi yang bisa membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Minimal untuk mendapatkan diazepam rektal lah. Observasi selama beberapa saat, sambil memasang selang oksigen pada si anak. Setelah kendaraan operasional pool siap, mereka menuju RS terdekat. Aku harus menyelesaikan beberapa pasien dulu, untuk kemudian menyusul mereka ke RS.

***

“Tadi waktu sudah di atas motor untuk dibawa pulang, saya melihatnya kejang. Padahal di luar itu gelap. Segera saja saya berlari membawanya kembali ke dalam,” kisah si Ibu padaku di ruang Gawat Darurat RS. Si Kecil sudah sadar. Ia menangis keras. Sudah masuk diazepam rektal satu tabung, untuk mengantisipasi terjadinya kejang ikutan. Walaupun kemungkinannya sangat kecil pada kejang demam.

“Diminta rawat inap, Dok,” lapor si Ayah padaku sambil membawa secarik kertas bertuliskan rincian uang muka yang harus dibayar. Besarnya Rp. 250 ribu.

Aku menggelengkan kepala tidak setuju. “Tidak perlu rawat inap,” jawabku singkat. Kejang demam memang tidak perlu dirawat. Hanya saja orangtua harus dibekali pengetahuan penanganannya, dan mereka sudah punya bahan tertulisnya. Mereka juga harus tetap tenang dan rasional menghadapi keadaan yang tampaknya menakutkan ini, padahal tergolong penyakit ringan yang tidak menyebabkan kerusakan otak.

Jangan sampai mereka juga ‘memperkaya’ RS ini, untuk kondisi yang sama sekali tidak perlu.

Jujur, harus kukatakan, inilah yang terjadi di dunia kedokteran. Banyak uang masuk ke RS, melalui rawat inap, untuk penyakit-penyakit yang tidak diindikasikan rawat. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan dan kepanikan pasien yang meminta rawat inap. Bisa jadi juga karena dokter atau RS-nya ‘nakal’. Ya, darimana RS swasta dapat untung kalau tidak ada pasiennya.

Kebetulan sebagai dokter perusahaan, aku biasa memantau klaim penggantian yang masuk dari karyawan sakit dan dirawat. Sebagian besar dari RS swasta kecil ini, karena lokasinya yang dekat dengan pool taksi kami. Sering sekali penyakit-penyakit tanpa indikasi rawat yang akhirnya dirawatinapkan. Toh, biayanya akan diganti oleh perusahaan. Mungkin begitu pikir mereka. Aku sampai hapal dokter mana saja yang biasa bermain ‘tidak cantik’ ini.

Ayah si anak hanyalah seorang pegawai bengkel. Tempat kerjanya pun bukan di pool kami. Hanya saja lokasi klinik pool yang terdekat dari rumahnya adalah di tempatku. Sehingga untuk meminta pinjaman uang, prosedurnya agak rumit. Untuk membayar uang muka saja ia tidak sanggup. Untungnya ia berhasil dimotivasi untuk tidak perlu rawat inap. Bekal pengetahuan dan ketenangan adalah yang terpenting. Jika panik, hubungi saja dokter pool.

***

Sambil menyetir mobil pulang ke rumah, aku merenung. Kasus ini sangat ‘menarik’. Ketika aku membawa bahan dengan topik kejang demam, ada seorang anak yang mengalami kejang demam tepat di hadapanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa melainkan mengamatinya hingga berakhir, dan menenangkan orangtuanya. Belum pernah aku menghapi keadaan ‘tidak berdaya’ ini. Apakah ini pelajaran yang Alloh berikan khusus untukku, dengan mendatangkan pasangan suami-istri dan anaknya yang sakit padaku? Dalam pikiran seorang dokter, every patient is a lesson. Astaghfirullah, masak sedangkal ini aku menjadikan mereka sekedar bahan pelajaran? Aku memang senang berpikir ilmiah. But being a doctor isn’t just a scientist. They are the people who understand other people’s suffer, pain, and give them help. Being emphatic, not symphatetic.

Kalau diperhatikan, selama hampir setahun ini, orang-orang yang aku hadapi adalah mereka dari golongan dhu’afa, berpenghasilan dan berpendidikan rendah. Ini tampaknya pelajaran kemanusiaan yang Alloh berikan padaku. Dengan menjadi dokter. Profesi yang sangat aku hindari saat selepas SMU.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...