Saturday, March 10, 2018

Apakah anak yang sedang mengalami diare tidak boleh minum susu?

Apakah anak yang sedang mengalami diare tidak boleh minum susu?

Ini prinsipnya:

- Mayoritas diare pada anak disebabkan oleh infeksi virus (misalnya rotavirus). Sebagian kecil lainnya adalah infeksi bakteri, infeksi parasit, intoleransi laktosa, dan keracunan makanan.

- Diare adalah upaya tubuh untuk membuang semua penyebab tersebut. Maka biarkan tubuh mengeluarkannya lewat diare atau muntah, tapi jangan sampai terjadi dehidrasi.
Maka penanganan utama diare adalah: cairan! Ya, berikan cairan sebanyak-banyaknya alias berikan anak minum sesering mungkin. 

- Anak yang diare seringkali merasa mual juga dan nafsu minum serta makannya turun. Maka berikan minuman atau makanan yang ia sukai. Anak yang masih mendapatkan ASI tentu diteruskan ASI-nya. Tapi anak yang sudah tidak minum ASI dan maunya susu, bagaimana? Atau maunya teh manis? Bahkan es krim?

Kembali pada prinsip apa penyebab diare dan terapi cairan untuk mencegah dehidrasi. Bila diare disebabkan oleh infeksi virus, tentu tidak ada pantangan makan atau minum. Yang penting anak mau minum, meskipun sedikit-sedikit, tapi sering.

- Sebagian kecil penyebab diare adalah intoleransi laktosa. Yaitu kekurangan enzim laktase yang mampu memecah laktosa pada susu menjadi glukosa dan galaktosa, sehingga laktosa tidak dicerna di usus halus, dan menuju ke usus besar, menyebabkan produksi gas berlebih, kembung, mual, kram perut, dan diare.

Pada diare yang disebabkan oleh intoleransi laktosa, susu dan produknya tentu dihindari. Diare akibat infeksi virus bisa saja menyebabkan intoleransi laktosa, tapi tidak sering. Ketika anak diare justru maunya minum susu yang biasa dia minum (kalau susunya diganti jenis lain, free lactose atau low lactose yang berbeda rasa, malah anaknya menolak), maka pemberian susu tersebut dapat diteruskan. Tidak perlu diencerkan atau diganti merek lain. Karena prinsipnya mencegah dehidrasi. Tetapi jika keluhan anak justru makin bertambah, misalnya muncul sakit perut, kembung, dan makin sering BAB-nya, maka susu dapat dihentikan dan dicari minuman lain.

- Apa minuman yang bisa diberikan? Yang terbaik tentunya larutan gula-garam seperti oralit. Tapi jika anak menolak, boleh berikan kuah sup, sari buah, dan minuman selain soda dan kafein, untuk menjaga kecukupan cairan.
Kenali tanda dehidrasi seperti anak tidak pipis lebih dari 6 jam. Ketahui kapan harus ke dokter.

- Bagaimana dengan alergi susu? Bukankah susu dihindari saat diare karena alasan ini?
Seperti sudah dijelaskan, alasannya lebih ke arah intoleransi laktosa, bukan alergi susu sapi. Mekanismenya pun berbeda. Tanda dan gejalanya juga. Perlu ada topik khusus yang membahas alergi susu sapi. Tapi umumnya anak yang sebelumnya tidak memiliki alergi susu sapi, maka susu dan produknya tetap dapat diberikan saat diare.




The Story of Short: Kisah tentang Anak Pendek (not exactly a short story)

Saya mau tanya dulu, kalau pergi ke Posyandu, Puskesmas, bidan, atau dokter untuk kunjungan rutin imunisasi, yang diperiksa dari bayinya apa saja? Berat badan pastinya. Tinggi badan rutin diperiksa juga? Lalu ketika anak datang ke dokter karena sakit, untuk konsultasi, selain berat badan, apakah tinggi badan rutin diukur juga? Pentingkah memantau tinggi badan anak?

Coba perhatikan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) edisi tahun 2016 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hal-hal yang harus dipantau dari anak balita sudah cukup lengkap: berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, bahkan indeks massa tubuh pun harus dicatat dan diplot ke kurva dalam tiap kunjungan ke fasilitas kesehatan. Semua parameter ini menandakan status gizi seorang anak yang masih melalui fase tumbuh dan kembang. Tidak cukup hanya memantau berat badan anak untuk menentukan gizinya baik atau tidak. Tinggi badan pun menentukan kecukupan nutrisi anak. Bagaimana perasaan orangtua ketika anaknya gemuk, tapi lebih pendek dibandingkan semua teman sebayanya? Atau bayangkan juga ketika mereka masuk usia remaja bahkan dewasa kelak. Perawakan pendek alias stunting bahkan menjadi indikator yang rutin dipantau dalam survei kesehatan nasional suatu negara, dan dibandingkan dengan negara-negara lain. Beda ya pastinya, ketika rata-rata tinggi badan penduduk suatu negara lebih baik daripada negara lain. Nah, apa sih perawakan pendek alias short stature itu?

Short stature adalah tinggi badan anak yang berada di bawah persentil 3 atau minus 2 Z-score di kurva pertumbuhan (growth chart). Apa pula artinya ini? Silakan browsing tentang growth chart atau cari sekilas di arsip timeline saya. Nah, ketika secara objektif anak dikategorikan pendek menurut kurva pertumbuhan, maka harus ditentukan, apakah termasuk perawakan pendek yang normal (wajar/fisiologis), atau abnormal? Termasuk fisiologis jika dikategorikan familial short stature (memang keturunannya pendek/genetik) atau constitutional delay (sekarang pendek, nanti ketika menjelang/saat sudah pubertas menjadi tinggi sama halnya dengan kawan-kawan sebayanya). Bagaimana membedakan kedua hal ini? Menggunakan bone age (foto ronsen telapak tangan untuk melihat usia tulang) salah satunya. Jika memang dokter menyimpulkan anak Bapak/Ibu masuk ke dalam perawakan pendek fisiologis ini, maka jangan berkecil hati.

Apakah tidak ada usaha yang bisa dilakukan untuk menaikkan tinggi badan anak kita? Berenang misalnya? Atau minum “susu tinggi kalsium” seperti kata iklan? 😁

Sampai saat ini, saya belum menemukan literatur yang cukup "sahih" menjelaskan hubungan antara renang dan tinggi badan, sehingga saya tidak dapat menjawabnya. Terlepas dari hal ini, berenang adalah olahraga yang sangat baik bagi anak kita. Tetapi jika sudah merutinkan anak berenang dan belum mendapatkan kenaikan tingginya menyamai kawan-kawannya, ya jangan berkecil hati bila pendeknya memang familial. Pastikan nutrisi anak yang seimbang sudah terpenuhi. Jangan sekedar mengandalkan minum susu saja. 

Minum susu tinggi kalsium bisa buat badan tambah tinggi? Kata iklan, anak yang lebih pendek, lalu dia minum susu tinggi kalsium, dan bertambahlah tingginya menyamai kawannya yang sebelumnya lebih tinggi. 

Hehe, memangnya tinggi badan hanya dipengaruhi oleh asupan kalsium semata? Tentu saja tidak. Faktor genetik (keturunan) sangat berpengaruh. Jika ayah-ibu anak ini memang memiliki perawakan pendek (short stature), tentunya sangat wajar jika anak mereka ternyata lebih pendek dari kawan-kawan sebayanya. Meskipun si anak sudah minum tinggi kalsium setiap hari.

Malahan, bisa jadi anak ini mengalami efek samping kebanyakan minum susu. Misalnya, makannya kurang karena sudah kenyang dengan susu. Lalu risiko anemia defisiensi besi karena asupan kalsium yang tinggi mengurangi penyerapan zat besi di saluran cerna. Dan risiko sembelit.

Jadi, kalau orangtuanya pendek, tapi sudah cukup nutrisi, tidak ada penyakit kronis pada anak, dan anak masuk dalam kategori stunting saat ini, apakah akan pendek seterusnya sampai dewasa nanti, dan tidak ada yang bisa dilakukan? Kalau pendeknya constitutional delay, oke deh masih bisa berharap tinggi belakangan alias late bloomer. Tapi kalau masuk kategori familial short stature?

Saat ini para ahli juga mengenal terminologi “secular trend in growth and puberty”. Salah satunya adalah usia menstruasi awal (menarche) anak perempuan yang makin muda dari dekade ke dekade berikutnya. Di abad ke-18 misalnya, laporan yang ada menunjukkan usia menarche anak sekitar 14 tahun. Saat ini, usia 10 tahunan sudah banyak anak perempuan yang mengalami menarche, dan salah satunya berhubungan dengan indeks massa tubuhnya (status gizi). Usia menarche anak juga lebih cepat kadang-kadang, dibandingkan usia menarche ibunya dulu. Tinggi badan pun sama. Tidak jarang kita lihat anak-anak yang tinggi badannya lebih tinggi dari kedua orangtuanya saat sudah masuk usia remaja, meskipun kadang kedua orangtuanya masuk dalam kategori pendek. Berbagai faktor seperti nutrisi dan pengaruh lingkungan, serta tentunya kadar hormon berpengaruh dalam teori “secular trend” ini. 

Semoga saja kelak anak-anak yang saat ini pendek bisa mencapai tinggi yang sama dengan kawan-kawan sebayanya. Tetapi pastikan tidak ada penyakit yang memengaruhi tinggi badan anak, dan pantau teratur tingginya. Konsultasikan ke dokter anak jika ada keraguan.

(Gambar diambil dari: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3GQPdB7lstJ7mJ2xJjTXp9WTLpkCyiy2lfIHZC_Zyt12apEIkYcLKKKCNUQOK1x1RISSEHMw55OEvpa-hkrDfPVUbi_EcN3qn8MW_p4_1oe1cNWuIX6Yx8Pb7CCHbtxsW13yg/s1600/height.jpg)




Thursday, March 08, 2018

Bakteri adalah hadiah terbaik Ibu untuk bayinya

Apa “hadiah” pertama seorang ibu kepada bayi yang baru dilahirkannya?
Bakteri. Ya, bakteri. 

Pernahkah Anda merenung, mengapa bayi dilahirkan dengan cara yang Anda ketahui seperti saat ini? Ya, melalui vagina yang kita pahami penuh dengan kolonisasi berbagai bakteri, kadang ditambah dengan kotoran (baca: feses) dari usus besar Ibu. Mengapa bayi harus lahir dengan cara “tidak bersih” seperti ini? Sang Pencipta pasti punya maksud.

Di dalam rahim Ibu yang sangat terjaga, bayi berada dalam lingkungan yang hampir steril. Saya katakan hampir steril, karena ternyata tidak 100% bebas kuman. Masih ada sedikit bakteri berada di lingkungan yang berisi bayi yang berenang dalam cairan ketuban yang terbungkus erat selaput ketuban. Ketika saat persalinan tiba, selaput ketuban pecah dan bersamaan dengan mengalirnya cairan ketuban keluar, maka masuklah bakteri-bakteri baik dari jalan lahir yang sangat banyak jumlahnya. Bakteri yang sehari-harinya menghuni vagina Ibu menjadi penghuni tubuh bayi, melapisi seluruh permukaan kulit bayi mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan tertelan masuk sampai ke saluran cerna bayi. Bahkan materi feses atau tinja ibu pun tidak jarang ikut terlibat, masuk ke tubuh bayi. Puluhan trilyun bakteri menjadi penghuni tubuh seorang makhluk yang sebelumnya berada dalam kondisi hampir suci. Bakteri yang dominan berasal dari vagina dan usus besar Sang Ibu.

Kondisi ini berlanjut dengan bayi yang diletakkan segera di dada Ibu untuk inisiasi menyusu dini. Bakteri di kulit Ibu pun segera bergerak ke tubuh bayi baru lahir ini, memperkaya variasi jenis kuman baik di tubuh bayi. Bayi lalu mendapatkan air susu Ibu (ASI), yang kandungannya pun tidak lepas dari bakteri-bakteri baik seperti Bifidobacterium lactis dan Bacteroides. Bahkan ASI pengandung HMO (human milk oligosaccharides) yang merupakan makanan bakteri-bakteri baik ini, sehingga koloni kuman ini tetap dapat hidup dalam saluran cerna bayi.

Apa arti semua ini? Ya, bakteri-bakteri baik yang senantiasa diwariskan dari generasi ke generasi ini, dari nenek ke ibu, ibu ke anak-anaknya, dan terus ke cucu-cucunya, adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia yang menemani tubuh sepanjang hayatnya, dan tentunya punya berbagai manfaat untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup manusia. 

Lalu, bagaimana apabila bayi lahir secara operasi sesar dan bahkan tidak mendapatkan ASI (dengan berbagai alasan medis)? 
Ya, secara alamiah jenis dan jumlah kuman yang didapatkan bayi di awal kehidupannya berbeda dengan yang lahir normal melalui vagina dan berlanjut dengan menyusu ke ibu. Pada proses operasi sesar, paparan pertama kuman baik adalah ketika kulit perut Ibu disayat, dan masuklah kuman dari udara di ruang operasi dan kulit perut ibu. Jenis bakterinya bisa jadi tidak sama dengan bakteri pada persalinan normal. Bayi yang minum susu formula juga tidak mendapatkan sekitar 700 spesies mikroba yang ada dalam ASI.

Lalu apakah bayi-bayi yang terlahir dengan operasi sesar dan tidak mendapatkan ASI akan lebih buruk kondisi kesehatannya karena tidak mendapatkan human microbiome penting di awal kehidupannya? Beberapa penelitian berskala besar dan penting memang menunjukkan adanya hubungan antara rendahnya jumlah bakteri baik penghuni tubuh alias human microbiome di awal kehidupan bayi dengan meningkatnya risiko asma, diabetes melitus tipe 1, penyakit seliak, dan obesitas. Meskipun keempat masalah kesehatan ini tidak semata-mata muncul akibat satu faktor penyebab saja. Dan tidak berarti juga bahwa tindakan operasi sesar lebih buruk daripada persalinan normal, atau susu formula “haram”. Karena pemberiannya tentu atas indikasi medis. Tindakan pembedahan kaisar terbukti menyelamatkan banyak nyawa atas indikasi medis yang tepat, dan susu formula boleh diberikan dengan indikasi medis tepat pula. Tetapi tidak dielakkan, bahwa persalinan normal yang berlanjut dengan kontak kulit segera ke Ibu dan berlanjut dengan pemberian ASI jauh memberikan manfaat dengan keberadaan human microbiome ini. Salah satu warisan manusia dari generasi ke generasi sejak keberadaan manusia di muka bumi ini.

Mengapa saya menaruh perhatian khusus terhadap hal ini? Tidak lepas dari maraknya penggunaan antibiotik yang tidak tepat beberapa dekade terakhir. Infeksi virus pun “dihantam” dengan antibiotik, sehingga potensial membunuh bakteri-bakteri penghuni tubuh kita yang bahkan berfungsi sebagai penjaga tubuh manusia, bisa menghadang bakteri-bakteri “jahat” penyebab penyakit alias patogen. Maka penggunaan antibiotik yang bijak dan sesuai indikasi penting dalam menjaga keberadaan dan peran human microbiome tubuh kita.

(Artikel bagus yang saya rekomendasikan di https://blogs.scientificamerican.com/guest-blog/shortchanging-a-babys-microbiome/)








Ketika anak sakit dan dokter tidak memberikan obat

Tidak memberikan obat saat anak sakit TIDAK SAMA dengan membiarkan saja...
.
"Jadi dibiarin aja Dok, kalau anak batuk-pilek?"
"Kata dokter, anak sakit batuk-pilek nggak perlu minum obat. Jadi dibiarin aja? Sembuh sendiri?"
"Anaknya demam dan nggak rewel. Katanya nggak perlu buru-buru dikasih obat penurun panas. Jadi dibiarin aja, trus panasnya turun sendiri?"
.
Kalimat-kalimat pertanyaan di atas sering sekali saya terima. "Jadi kalau anak sakit, dibiarkan saja?" Kadang tampak tak percaya, saat mengajukan pertanyaan ini. Hehe. Dokternya tega banget ya, masa anak sakit dibiarkan saja? Nggak dikasih obat? Mungkin ini yang ada di benak sebagian orangtua.
.
Kita kembalikan lagi pada: apa diagnosisnya? Baru kita beralih pada: apa terapinya? Jangan dibalik, diagnosis belum terjawab, langsung diberikan terapi. Nah, seperti sudah sering kita bahas, maka kita paham bahwa:
- Batuk pilek alias selesma/common cold nggak ada obatnya. (Obatnya sabar dan gendong kan? Hehe) Nggak perlu obat batuk maupun obat pilek.
- Demam nggak perlu buru-buru dikasih obat, kalau anaknya tidak rewel.
.
Lalu anaknya dibiarkan saja, sampai sembuh sendiri? Ya tidak juga! Kita tetap memastikan anak tidak dehidrasi dengan terus memberikan minum. Kita melakukan observasi untuk memantau ada tidaknya tanda-tanda kegawatan lain seperti sesak napas. Dan kita membekali diri dengan ilmu! Supaya kita tahu kapan harus ke dokter lagi, dan kapan bisa ditangani saja di rumah, dengan bekal ilmu. Tentunya tidak sama dengan membiarkan saja, bukan? Observasi, atau istilah kerennya "wait and see approach", adalah bagian dari terapi juga. Tidak melulu dengan "harus dikasih obat", kalau memang tidak perlu obat yang harus dikonsumsi.
.
Jadi, ketika ada yang bertanya: "apa obatnya common cold?"
"Ya common sense." 
.
Setuju? 😊
.
(Gambar diambil dari www.nps.org.au/__data/assets/image/0008/285794/Use-common-sense-MI-edit.png)




Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...