Showing posts with label vaksin. Show all posts
Showing posts with label vaksin. Show all posts

Saturday, August 24, 2024

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018)

"Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi kepada tujuh anak kami sejak lahir.

Ya, ini merupakan pelajaran untuk kita semua, khususnya para orangtua."

Seorang bapak beranak tujuh memaparkan kisahnya. Anak keempatnya yang berusia 12 tahun baru saja meninggal dunia karena penyakit difteri, seperti dilansir media Tribunjateng pada tanggal 24 Juli 2018. Difteri diketahui sedang mewabah di beberapa kelurahan di Kota Semarang, dan upaya imunisasi outbreak response immunization (ORI) sudah dilakukan Dinas Kesehatan setempat pada pertengahan bulan Juli lalu. Difteri adalah salah satu penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi, yaitu dengan vaksin kombinasi DPT (difteri, pertussis, dan tetanus).

Rendahnya cakupan imunisasi di suatu wilayah, atau adanya anak-anak dengan status imunisasi tidak lengkap, bahkan tidak diimunisasi sama sekali, menjadi penyebab wabah penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ini. Penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, alasannya antara lain karena vaksin diragukan kehalalannya, sudah menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan menjadi salah satu faktor pertimbangan Komisi Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi. Meskipun sudah dua tahun berselang sejak fatwa ini dikeluarkan dan disosialisasikan ke masyarakat, keraguan mereka terhadap imunisasi sepertinya masih ada.


Pada bulan Agustus mendatang, vaksin MR akan diperkenalkan masuk ke dalam program imunisasi rutin balita dan anak sekolah di berbagai pulau di luar Pulau Jawa. Ketika kampanye imunisasi MR putaran pertama berlangsung di seantero Pulau Jawa tahun lalu, banyak reaksi masyarakat yang muncul, baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya, lagi-lagi alasannya karena status kehalalan vaksin yang masih dipertanyakan. Maka menjelang kampanye imunisasi MR putaran kedua tahun ini, saya mencoba menjawab pertanyaan: “apakah vaksin yang tidak berlabel halal, artinya vaksin tersebut haram?”

“Kategori” vaksin di Indonesia berdasarkan adanya sertifikat halal

Dalam hal ini, saya membagi vaksin yang beredar di Indonesia ke dalam empat kategori:

Vaksin tak berlabel halal, dan tidak ada keterangan tambahan apapun. Yaitu pada sebagian besar vaksin, antara lain semua produk vaksin Bio Farma, dan vaksin-vaksin impor seperti vaksin pneumokokus, vaksin hepatitis A, vaksin tifoid, dan vaksin MR yang sudah digunakan sejak tahun lalu, dan akan dimulai kampanye (masuk ke dalam program imunisasi nasional) di luar Pulau Jawa. Vaksin MR yang menjadi fokus pembahasan kali ini, mengingat jutaan anak berusia 6 bulan sampai kurang dari 15 tahun masuk dalam sasaran program dalam waktu dekat.

Vaksin tak berlabel halal, dan ada keterangan tambahan pada kemasannya: “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”. Yaitu pada vaksin-vaksin impor seperti vaksin kombinasi (kombo) yang mengandung vaksin polio suntik (IPV), vaksin rotavirus, dan vaksin cacar air (varisela) yang menggunakan stabilizer sukrosa (bukan gelatin babi).

Vaksin tak berlabel halal, dan ada keterangan tambahan pada kemasannya: “mengandung babi”. Yaitu pada vaksin impor varisela yang menggunakan stabilizer gelatin babi.

Vaksin yang sudah memperoleh sertifikasi halal MUI, yaitu vaksin meningokokus produk Novartis (Menveo).

Saya akan memberikan penjelasan dengan penekanan di poin pertama, dan berlanjut ke poin kedua dan ketiga. Tulisan ini harus dibaca utuh sampai akhir, karena pembaca akan mendapatkan kejelasan bahwa vaksin-vaksin di poin kedua dan ketiga ternyata tidak haram, dijabarkan dari sisi fikih (hukum) Islam. Kesimpulan di akhir tulisan mencoba merangkum dan mempermudah penjelasan panjang ini.

Menjelaskan vaksin yang belum bersertifikat halal MUI, tetapi tidak ada keterangan tambahan (“Kategori” Pertama).

Untuk memahami apakah suatu vaksin itu halal atau tidak, tentunya harus mengetahui apa saja kandungan vaksin. Tulisan ini tidak akan menjelaskan kandungan detil seluruh vaksin, dan saya sudah menuliskannya lengkap di dalam buku “Pro Kontra Imunisasi”, tetapi saya mencoba memaparkan secara singkat isi vaksin MR. Vaksin ini terdiri dari bahan aktif berupa virus campak (strain Edmonston-Zagreb) dan virus rubella (strain Wistar RA 27/3) yang dilemahkan, dan bahan-bahan tambahan lainnya yang disebut eksipien.

Informasi produk vaksin MR-Vac yang diproduksi Serum Institute of India (SII) menyebutkan vaksin ini berisi eksipien antara lain: gelatin, sorbitol, histidin, alanin, tricine, arginin, dan lactalbumin hydrolysate. Dalam jurnal International Journal of Current Research yang dipublikasi pada bulan Februari tahun 2016, semua eksipien dalam vaksin MR ini berperan sebagai stabilizer, yaitu bahan yang digunakan untuk menjaga stabilitas vaksin selama dalam penyimpanan sampai saatnya digunakan.

Perlu diketahui bahwa sebelum digunakan, vaksin harus disimpan dalam suhu dingin tertentu, yaitu 2 – 8 derajat celsius untuk vaksin kering seperti MR. Stabilisasi penting dalam penyimpanan berbasis suhu cold chain seperti ini. Bahan aktif yang diambil manfaatnya untuk menciptakan kekebalan tubuh terhadap penyakit campak dan rubella adalah virus hidup yang dilemahkan, dan tentunya sama sekali bukan barang haram atau najis. Kemungkinan adanya bahan yang dikhawatirkan haram ini biasanya ada pada eksipien (penjelasannya pada bagian vaksin kategori ketiga di bawah). 

Sebagian besar vaksin yang beredar saat ini di Indonesia, dan belum diberi label halal karena belum disertifikasi oleh lembaga pemeriksa halal (LPH), dan tidak masuk ke kategori kedua dan ketiga di bawah, memiliki bahan-bahan aktif yang tentunya tidak sama, dan eksipien yang berbeda-beda juga. Produk-produk vaksin yang beredar di Indonesia sudah memiliki ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, dan vaksin-vaksin yang masuk kategori pertama ini tidak diberi keterangan tambahan “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi” atau “mengandung babi” oleh BPOM RI.

Kalaulah memang dalam proses pembuatan izin edar (pengecekan dokumen-dokumen dan peninjauan proses produksi di lapangan) didapatkan kandungan babi, maka BPOM seharusnya memasukkan sebagian besar vaksin ini ke dalam kategori kedua atau ketiga. Maka masyarakat dapat menyimpulkan bahwa mayoritas vaksin tidak mengandung bahan haram. Bagaimana dengan vaksin MR yang tidak masuk dalam kategori kedua dan ketiga, dalam pelabelan di kemasannya? Apakah vaksin kategori pertama ini haram, karena belum ada sertifikat halal dari MUI? Silakan masyarakat menyimpulkan sendiri. 

Bagaimana proses sertifikasi halal vaksin berjalan sejauh ini? Selain vaksin yang disebutkan dalam kategori keempat (tidak dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini), maka Bio Farma selaku BUMN yang memproduksi sebagian besar vaksin untuk kebutuhan lokal dalam negeri, sudah menjalankan tahapan menuju perolehan sertifikat halal MUI melalui LPH. Upaya untuk meregistrasikan produk vaksin mendapatkan sertifikat halal ternyata tidak singkat, harus satu per satu. Vaksin BCG adalah vaksin yang saat ini sedang diajukan untuk memperoleh sertifikat halal. Pihak LPH, dalam hal ini LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) MUI juga harus meninjau langsung proses produksi vaksin, yang tidak selalu berjalan setiap hari.

Tata cara memperoleh sertifikat halal sudah dijelaskan dalam bab V Undang-Undang Republik Indonesia nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, atau UUJPH. Pelaku usaha memang yang pertama kali harus mengajukan permohonan sertifikat halal. Dengan kata lain, apabila produsen vaksin tidak mengajukan permohonan, maka sertifikat halal tidak akan pernah terbit. Undang-undang JPH sudah disahkan pada 17 Oktober 2014 oleh Presiden RI sebelumnya, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Perangkatnya berupa Badan Penyelenggara JPH (BPJPH) sendiri baru dibentuk tahun 2017 lalu, dan sampai sekarang Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan UU ini belum disahkan oleh Kementerian Agama, selaku penyelenggara, meskipun dikatakan bahwa rancangannya sudah final. Lembaga pemeriksa halal yang seharusnya bisa terdiri dari berbagai macam lembaga mandiri pun baru satu yang diakui, yaitu LPPOM MUI. 

Bagaimana dengan sertifikasi halal vaksin MR yang merupakan produk impor? Produsennya tidak berada di negeri ini, dan UUJPH menyebutkan produsen yang seharusnya mengajukan registrasi sertifikat halal. Di dalam bab VI pasal 47 UUJPH, produk halal luar negeri tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halalnya, sepanjang sertifikat ini diterbitkan oleh LPH luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan. Ketentuannya diatur dalam PP yang sampai saat ini belum terbit. Artinya memang menunggu keluarnya sertifikat halal vaksin MR bukanlah hal yang mudah. Harus ada terobosan lain di luar sistem yang berlaku saat ini, untuk melahirkan vaksin MR yang berlabel halal MUI.

Vaksin “kategori” kedua

Bagaimana dengan vaksin kategori kedua yang mencantumkan keterangan tambahan dalam kemasan “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”? Apakah vaksin ini haram? Ketentuan pencantuman kalimat ini memang diatur dalam Peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.00.05.1.23.3516 tentang produk obat yang bersumber atau mengandung bahan tertentu atau alkohol, tepatnya di Bab II, Pasal 3, ayat (8). Benarkah sebagian kecil vaksin yang sudah disebutkan contohnya di atas memang mengandung bahan bersumber babi, yaitu porcine? Dalam penjelasan vaksin kategori sebelumnya, disinggung bahwa adanya bahan yang dinilai haram terdapat dalam eksipien (akan dijelaskan lebih lanjut di pembahasan vaksin kategori ketiga).

Keberadaan bahan yang diduga haram, yaitu porcine, juga masuk dalam penilaian BPOM RI, sejak dalam proses produksi awal vaksin. Bahan bersumber babi, tepatnya enzim tripsin babi (porcine-derived trypsin) memang digunakan pada beberapa vaksin virus, saat tahap awal proses produksi. Tujuannya untuk memisahkan virus yang sudah diperbanyak sebagai bahan dasar produk vaksin, dari media pembiakannya. Perlu diketahui, secara garis besar ada dua jenis vaksin: virus dan bakteri. Media pembiakan dan proses produksi awalnya pun berbeda. Ditambah lagi, tidak semua vaksin virus menggunakan tripsin babi ini. Ada yang sudah menggunakan teknologi DNA rekombinan, atau menggunakan tripsin bersumber selain babi. Dalam proses produksi selanjutnya, tripsin yang bersifat katalisator ini “dibersihkan”, supaya tidak mengganggu alur berikutnya, dan sampai menghasilkan vaksin yang efektif. Maka di produk akhir, sudah tidak didapatkan lagi tripsin babi. Dengan kata lain, tidak ada kandungan babi dalam produk akhir vaksin yang diberikan ke dalam tubuh manusia. 

Apakah ini tetap berarti vaksin kategori kedua haram? Dalam ilmu fikih, dikenal konsep istihlak (استحلاك), yaitu bercampurnya benda haram/najis dengan benda lainnya yang suci dan halal, yang jumlahnya lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya. Vaksin-vaksin yang masuk dalam kategori kedua ini mengalami proses serupa, yaitu di produk akhir sudah tidak didapatkan lagi tripsin babi. Maka dengan menggunakan konsep istihlak, vaksin-vaksin ini tidak dinyatakan haram. 

Mengapa tidak menggunakan tripsin selain babi (porcine), misalnya tripsin sapi (bovine) atau buatan/rekombinan? Bukankah sudah jelas status halalnya selain dari babi? Salah satu syarat dasar vaksin adalah: efektif, yaitu mempu mencegah penyakit yang dituju. Apabila tidak efektif, maka percuma saja vaksin diproduksi, dan tentunya tidak akan lolos uji klinis (vaksin melalui tiga tahap uji klinis, sampai dinyatakan layak diproduksi massal. Inilah bukti kemanan vaksin).

Untuk menciptakan vaksin yang efikasi dan efektivitasnya tinggi, seluruh komponen berperan, termasuk dalam alur produksi awal. Apabila salah satu bahan yang digunakan tidak menghasilkan vaksin yang baik, maka tentunya tidak dipakai. Maka sampai sini, prinsip al-dlarurat (الضّرورة) yang ditegaskan dalam Fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tetap berlaku. Yaitu ketika belum ada alternatif vaksin lain yang tidak menggunakan tripsin babi, maka penggunaannya diperbolehkan. Tentunya upaya mengembangkan vaksin berbahan seratus persen halal tidak berhenti di sini. Apalagi konsep darurat dalam fikih Islam dibatasi waktu. Tidak berlaku darurat untuk selamanya. Para ilmuwan muslim punya tanggung jawab terhadap pengembangan bioteknologi ini. 

Konsep darurat dalam Islam

Dalam kaidah fikih المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ (kesulitan membawa kemudahan), terdapat beberapa “cabang”, seperti الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات (keadaan terpaksa/darurat membolehkan sesuatu yang terlarang), yang bermakna sesuatu yang asalnya terlarang dalam pandangan syari’ah (hukum) Islam, menjadi diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Tetapi sifat keterpaksaan alias darurat ini tentunya tidak berlangsung sepanjang waktu, sesuai kaidah fikih lainnya: الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا (sebuah keterpaksaan itu diukur sesuai kadarnya masing-masing) dan ما جاز لعذر بطل بزواله (apa yang diperbolehkan karena sebuah sebab, maka tidak diperbolehkan lagi kalau sebabnya sudah hilang).

Vaksin “kategori” ketiga

Jenis vaksin ini adalah yang banyak diperdebatkan, karena jelas dalam kemasannya tertulis “mengandung babi”, sesuai ketentuan dari BPOM RI yang sudah dijelaskan sebelumnya. Apa sebabnya? Vaksin ini menggunakan gelatin babi (porcine-derived gelatine) yang terdapat di produk akhir, dan digunakan sebagai stabilizer. Gelatin adalah bahan yang diperoleh dari jaringan kolagen binatang, misalnya dari bagian tulang keras, tulang rawan, tendon, atau kulit. Di dalam vaksin, gelatin telah mengalami proses hidrolisis (reaksi pemecahan dengan molekul air), dan sebenarnya DNA babi sudah tidak terdeteksi sama sekali. Ini bukti bahwa gelatin di dalam vaksin sudah mengalami transformasi, dan berbeda zatnya dengan babi pada awalnya. Di dalam ilmu fikih, konsep ini dinamakan istihalah (استحالة).

Apakah zat yang mengalami istihalah tetap dinyatakan haram? Apakah konsep istihalah berlaku untuk babi? Dalam pertemuan “The Islamic Organization of Medical Sciences” di Kuwait tahun 1995, lebih dari 100 ulama dari berbagai negara yang hadir menyepakati bahwa gelatin babi hukumnya halal. Argumentasinya adalah konsep istihalah. Ulama internasional yang menghadirinya antara lain Syaikh Dr. Mohammad Sayed Tantawi (mufti Al-Azhar) dan Dr. Yusuf Qaradhawi (Qatar). Tetapi memang ada perbedaan pendapat dalam hal istihalah berlaku untuk zat haram seperti babi. Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Organisasi Konferensi Islam), Al-Majma’ Al-Fiqhy Al-Islamy (Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy), dan fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia berpendapat bahwa gelatin babi belum mengalami proses istihalah, sehingga hukumnya tetap najis (haram). Dalam hal ini artinya memang ada perbedaan pendapat, dan masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. 

Fatwa MUI tentang imunisasi memang tidak menyebutkan konsep istihlak dan istihalah dalam rinciannya. Hanya konsep al-dlarurat dan al-hajat yang disebutkan. Maka apabila kembali ke konsep darurat, ketika belum ada alternatif lain, vaksin yang mengandung gelatin babi bisa masuk ke dalamnya. 

Bagaimana dengan negara-negara lainnya yang menggunakan vaksin-vaksin serupa di negara ini? Apakah vaksin-vaksin yang belum diakui status halalnya di Indonesia, dianggap tidak halal di negara-negara lain? Sebagai contoh, ada tiga vaksin produk impor yang juga beredar di Indonesia, ketiganya sudah mendapatkan sertifikat halal di luar negeri, tetapi belum mendapatkan sertifikat halal di Indonesia (kembali kepada aturan UUJPH yang sudah dijelaskan). Pertama, vaksin rotavirus bermerek Rotarix (vaksin kategori kedua) yang mendapatkan sertifikat halal dari Halal Food Council of Europe. Kedua, vaksin rotavirus bermerek RotaTeq (vaksin kategori kedua) yang mendapatkan sertifikat halal dari The Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA). Ketiga, vaksin pneumokokus bermerek Prevenar (vaksin kategori pertama), yang mendapatkan sertifikat halal dari IFANCA juga. Maka, ketika ketiga vaksin ini dinyatakan halal di negara-negara lain, apakah di Indonesia tidak akan dinyatakan halal juga? 

Vaksin MR sendiri yang merupakan produk impor sudah digunakan di lebih dari 141 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Malaysia dan Yaman. Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya juga menggunakan vaksin-vaksin impor yang sebagiannya sama dengan yang beredar di Indonesia. Perbedaan penentuan status halal vaksin memang dipengaruhi oleh cara pandang mazhab fikih yang digunakan di masing-masing negara.

Kesimpulan

Vaksin MR memang belum mendapatkan sertifikat halal MUI sampai saat ini, dengan alasan-alasan yang sudah dijelaskan di atas. Tetapi apabila menilik kandungan vaksin yang diungkapkan dalam informasi produknya, harus ada pembuktian bahwa vaksin ini memang mengandung bahan haram atau najis, jika ingin dikatakan haram. Sebelum ada pembuktian keharamannya, maka tidak tepat vaksin MR dinyatakan haram. Prinsip ini sesuai dengan kaidah fikih yang berlaku dalam urusan keduniaan/muamalah, yaitu :الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ (hukum asal segala sesuatu adalah boleh/mubah). Setiap hal yang berhubungan dengan urusan duniawi hukum asalnya adalah halal dan boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang menyatakannya haram.

Fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi sudah memberikan rekomendasi bahwa: pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal bagi seluruh masyarakat, melalui implementasi sertifikasi halal seluruh vaksin. Langkahnya dimulai dari produsen mengajukan sertifikasi halal produk vaksinnya, sesuai alur tata cara memperoleh sertifikat halal, sesuai penjelasan UUJPH nomor 33 tahun 2014. Dalam hal ini, produsen vaksin lokal yang juga merupakan BUMN: Bio Farma sudah memulai langkahnya, dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, sesuai penjelasan sebelumnya. 

Fatwa MUI tentang imunisasi tidak hanya memberikan rekomendasi terkait sertifikasi halal vaksin, tetapi juga memberikan rekomendasi nomor 1 (pertama), mendahului enam rekomendasi sesudahnya, bahwa: pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, salah satunya melalui pendekatan preventif. Imunisasi adalah upaya preventif. Dan di dua poin rekomendasi terakhir, tertulis pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi, serta orangtua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi. Tujuh rekomendasi Fatwa MUI ini harus dipahami dan dilaksanakan secara utuh, dan saling melengkapi. 

Program imunisasi yang sudah berjalan rutin di Indonesia sejak tahun 1977 sudah terbukti mengurangi angka penyakit berbahaya dan kematian. Vaksin adalah upaya pencegahan penyakit yang sangat efektif, dan dianggap salah satu terobosan besar di abad kedua puluh. Penyakit cacar “bopeng” (variola/smallpox) punah di tahun 1977 akibat keberhasilan program imunisasi, dan Indonesia sudah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014. Upaya perolehan sertifikat halal yang membutuhkan waktu jangan sampai membuat masyarakat ragu akan manfaat vaksin, bahkan sampai menunda pemberiannya, yang dapat berdampak buruk meningkatnya penyakit menular berbahaya, kematian, dan kecacatan.

Kaidah al-dlarurat dan al-hajat yang disebutkan dalam ketentuan umum fatwa MUI nomor 4 tahun 2016, ditambah kaidah istihalah dan istihlak yang sudah dijelaskan di atas, hendaknya membuat masyarakat makin yakin bahwa meskipun sampai saat ini belum ada sertifikat halal untuk sebagian besar vaksin, tetapi vaksin itu sendiri adalah produk yang boleh diberikan, dan dibenarkan dalam fatwa MUI tentang imunisasi. Ketentuan hukum dalam fatwa ini menuliskan bahwa: imunisasi pada dasarnya mubah, sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya penyakit tertentu. Bahkan di poin kelima (dari total enam poin), fatwa menyebutkan: dalam hal jika seseorang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, maka imunisasi hukumnya wajib. Vaksin MR yang akan dimulai kampanyenya pada bulan Agustus 2018 ini di luar Pulau Jawa, adalah vaksin yang terbukti efektif mengurangi kematian dan penyakit berat akibat kompilkasi campak, dan mampu mengurangi kecacatan permanen akibat rubella.

Vaksin MR yang saat ini digunakan adalah produk impor dari perusahaan vaksin Serum Institute of India. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengimpornya lewat BUMN Bio Farma, dan mendistribusikannya lewat Bio Farma juga. Mengingat alur tata cara memperoleh sertifikat halal sesuai UUJPH tahun 2014 yang membutuhkan waktu tidak singkat dalam prosesnya, dan pemberian vaksin MR yang sudah berjalan setahun di Pulau Jawa dan akan meluas sampai ke seluruh Indonesia di tahun ini, maka saya menyarankan Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama yang menaungi BPJPH, dan MUI melakukan koordinasi khusus untuk melahirkan langkah tertentu agar masyarakat semakin yakin untuk mendapatkan imunisasi MR, meskipun sertifikat halal belum diperoleh.  

Sertifikat halal tidak mengubah kaidah-kaidah dalam beragama, dan tidak tepat dikatakan sebagai “harga mati” menentukan status halal atau tidaknya vaksin. Meskipun demikian, adanya sertifikat halal vaksin adalah hal yang sangat penting, sesuai rekomendasi dalam Fatwa MUI tentang Imunisasi dan amanah UUJPH. Keberadaan label halal MUI dapat memberikan ketenangan bagi seluruh masyarakat Muslim di Indonesia dalam mendapatkan imunisasi.  

Penutup

Memberikan imunisasi kepada seluruh kelompok masyarakat yang rentan adalah upaya yang sesuai dengan kaidah fikih لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan). Kaidah ini diambil dari hadits Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri Radhyallahu anhu dengan beberapa perawi (orang yang meriwayatkan hadits), dan dalam riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi terdapat tambahan matan (isi teks), َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه (“Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya, dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.”).

Kaidah fikih ini mempunyai beberapa cabang, antara lain: الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ (sesuatu yang membahayakan (mudarat) itu harus dicegah semampunya), lalu kaidah الضَّرَرُ يُزَالُ (sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan), kaidah  إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَّرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا (apabila berbenturan dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan mudarat yang paling besar, meskipun harus mengerjakan mudarat yang lebih kecil), dan kaidah دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ  (mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan).

Program imunisasi adalah salah satu ikhtiar manusia dalam menjaga kesehatan dan mencegah penyakit berat, kecacatan, serta kematian, yang sesuai dengan kaidah-kaidah ini. Selain itu, salah satu maqashid syari’ah (tujuan-tujuan dibuatnya syariat Islam) adalah hifzun nafs, yaitu menjaga jiwa. Maka tidaklah lain syariat mulia ini diturunkan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan dan bahaya. Wallahu a’lam.

Terima kasih khususnya kepada dr. Muhammad Saifudin Hakim, MSc, yang telah menulis buku “Imunisasi: Lumpuhkan Generasi?” Penulis mendapatkan beberapa bahan tulisan terkait fikih dalam imunisasi dari buku ini.

 

*) Penulis buku “Pro Kontra Imunisasi” dan “Berteman dengan Demam”

Sunday, January 24, 2021

Vaksin Bikin Autis?

Hoax lama bersemi kembali.

Pesan berantai “Vaksin Penyebab Autis” ini berulang kali muncul. Membaca sekilas pesannya, ternyata sama persis dengan “broadcast” bertahun-tahun lalu yang sudah saya tanggapi. Ternyata pesan dengan narasi hoaks ini terus berputar-putar di masyarakat, dan selalu ada yang baru pertama kali membacanya. Diawali dengan kalimat “Buat para Pasangan MUDA. Oom dan Tante yg punya keponakan... atau bahkan calon ibu ... perlu nih dibaca ttg autisme..“ Bla bla bla dst. Benarkah pesan yang terkandung di dalamnya? Singkat saja tanggapan saya: tidak benar. Vaksin tidak menyebabkan autisme. Tidak ada hubungan antara vaksin MR/MMR dengan autisme. Silakan geser semua gambar di feed ini agar lebih jelas. Karena terlalu banyak kalimat tanggapan saya, maka semua sudah terangkum di buku saya yang insya Allah akan tersedia pekan depan “Yakin Dengan Vaksin dan Imunisasi?”. 
@tirtoid juga sudah merangkum tanggapan saya dalam bentuk infografis menarik.
Mari cerdaskan diri dari banyaknya hoax tekait #vaksin dan #imunisasi.









Pemesanan buku "Yakin dengan Vaksin dan Imunisasi?" ke Admin buku di Whatsapp 081315453731.

Thursday, February 15, 2018

Apa saja kandungan vaksin difteri (vaksin Td)?

Tulisan ini khusus membahas kandungan vaksin Td seperti dalam gambar, yaitu yg isinya kombinasi antara vaksin tetanus dan vaksin difteri dalam satu sediaan. Adapun vaksin difteri tersedia dalam beberapa sediaan, seperti vaksin kombo DPT, DPT+Hib+HepB, DPaT, DPaT+Hib+polio, dll.

Saya jelaskan komposisi vaksin Td produksi salah satu BUMN kita: Bio Farma. 

Secara umum, vaksin terdiri atas dua kandungan: bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan aktif vaksin Td adalah: vaksin tetanus dan vaksin difteri. Tujuan bahan aktif tentunya menciptakan kekebalan terhadap penyakit tetanus dan difteri. Jadi orang yang mendapatkan imunisasi Td diharapkan tidak akan pernah mengalami sakit tetanus dan difteri sama sekali.
Bahan tambahan yang terkandung dalam vaksin Td sesuai informasi dalam kemasan adalah: aluminium fosfat dan timerosal. Apakah itu?

Sebelumnya saya jelaskan dulu bahwa kandungan aktif vaksin Td bukanlah bakteri tetanus dan difteri secara utuh, tetapi toksin (racun)nya, yaitu “toksoid difteri yang dimurnikan” dan “toksoid tetanus yang dimurnikan”. Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, dan penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Tepatnya: yang membuat penyakit pada tubuh manusia bukanlah bakterinya langsung, tetapi toksin (racun) yang dihasilkannya. Untuk itu, ilmuwan sejak abad ke-19 sudah mengembangkan vaksin difteri dan tetanus menggunakan toksin yang dilemahkan (toksoid), dan di awal abad ke-20 terciptalah vaksin difteri dan tetanus yang terbukti efektif dan menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia.

Apakah aluminium fosfat itu? Dengar kata aluminium, apa yang terlintas di pikiran Anda? Ya, bahan pembuat panci kok dimasukkan ke dalam tubuh manusia? 😅 Bahan ini adalah ajuvan vaksin, yaitu zat yang dapat meningkatkan respons imun tanpa harus menyuntikkan vaksin dalam volume banyak ke tubuh. Bayangkan saja, kok dosis vaksin difteri bayi dan dewasa yang disuntikkan ke tubuh sama-sama 0,5 ml saja? Ini karena adanya ajuvan. Dan tidak semua vaksin mengandung aluminium sebagai ajuvan, hanya beberapa saja. Aluminium sebagai ajuvan sudah digunakan selama 80 tahun terakhir dan terbukti aman. Di sisi lain, aluminium ternyata ada di mana-mana, dan merupakan unsur ketiga terbanyak di bumi! Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan menelan 10 miligram aluminium. Susu formula mengandung sampai 30 miligram aluminium. Aluminium dalam vaksin yang disuntikkan sampai bayi berusia 6 bulan sebanyak 4 miligram, jauh lebih sedikit daripada yang terkandung dalam ASI! 

Jadi cukup jelas ya. Vaksin itu harus aman dan efektif (mencegah penyakit). Ajuvan menunjang efektivitas vaksin dalam membentuk respon imun, dan terbukti aman selama puluhan tahun.

Terakhir, kandungan timerosal yang dikenal sebagai merkuri atau raksa sebagai logam berat. Serem ya dengernya? Logam berat disuntikkan ke dalam tubuh! 😱
Timerosal dalam vaksin ini (tidak semua vaksin mengandung timerosal) berfungsi sebagai pengawet yang bermanfaat mencegah kontaminasi bakteri dan jamur. Satu botol/vial vaksin Td kan bisa diberikan untuk 10 orang (10 dosis), maka ketika jarum steril baru masuk menembus karet penutup botol vaksin, lebih dari sekali (ingat, jarumnya pasti selalu jarum baru sekali pakai yang dijamin steril), maka adanya risiko kontaminasi kuman sekecil apapun dari luar terkurangi dengan adanya timerosal dalam vaksin. Penggunaan timerosal sudah dilakukan selama puluhan tahun dan terbukti aman.

Tapi kan ini merkuri. Merkuri! Berbahaya lho... 🤔 Ada yang menghubungkannya dengan autis bahkan! 😓
Ternyata tidak, timerosal sudah dibuktikan tidak berhubungan dengan autism. Lalu ada lagi pembagian etil merkuri dan metil merkuri. Timerosal adalah etil merkuri yang berbeda dengan metil merkuri yang terdapat dalam ikan-ikan laut yang tercemar logam berat.
Selengkapnya tentang timerosal sudah saya bahas di fanpage @bukuprokontraimunisasi





Apakah vaksin efektif dalam mencegah penyakit? Bagaimana membuktikannya?



Tahu foto apa ini? Ini adalah hasil pemeriksaan darah seorang anak yang diperiksakan:
- apakah ia memiliki virus hepatitis B di dalam tubuhnya (terinfeksi)? Yaitu dengan pemeriksaan HBsAg.
- apakah ia memiliki kekebalan terhadap virus hepatitis B? Yaitu dengan pemeriksaan Anti HBs. 

Apa hasilnya? HBsAg-nya negatif, artinya ia tidak punya virus dalam tubuhnya. Dan Anti HBs-nya positif, artinya anak ini punya kekebalan untuk TIDAK terinfeksi virus hepatitis B sepanjang hidupnya! Dan tahukah Anda, apa yang membuat Anti HBs anak ini positif? Ya, vaksin hepatitis B sejak beberapa jam kelahirannya!

Mengapa saya periksakan dua hal ini ke pasien saya? Karena anak ini terlahir dari ibu yang positif terinfeksi virus hepatitis B. Maka tugas saya selalu dokter adalah: MENGUPAYAKAN bayinya tidak terinfeksi hepatitis B, yang berpotensi menjadi kanker hati dan sirosis di usia dewasanya. Saya memberikan DUA upaya perlindungan: imunisasi hepatitis B (vaksin) dan pemberian imunoglobulin hepatitis B (HBIg). 

Apa sebenarnya penyakit hepatitis B? Sepenting apa sampai harus diberikan dalam 12 jam setelah lahir? Belajar yuk 😊

Virus hepatitis B (VHB)—seperti namanya—spesifik menyerang organ hati. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus hepatitis B tidak mengalami gejala penyakit sampai bertahun-tahun setelah pertama kali virus masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Mayoritas orang terdiagnosis hepatitis B dalam bentuk sakit kuning (hepatitis), sirosis hati, atau kanker hati (karsinoma hepatoselular). Penyakit hepatitis B ditularkan melalui kontak dengan darah orang yang terinfeksi hepatitis B sebelumnya, misalnya melalui transfusi darah, penggunaan obat suntik (narkoba), pemakaian tato di kulit, bayi baru lahir yang tertular ibunya, dan hubungan seks. Kadang penularan bisa melalui cara yang tak terduga seperti penggunaan bersama pisau cukur, sikat gigi, atau handuk. Satu milliliter darah seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B bisa mengandung satu milyar virus. Virus ini juga dapat berada pada suatu benda (objek) selama 7 hari, meskipun tidak berada di dalam darah. Akibat risiko penularan yang kadang tidak terduga dan mayoritas penderitanya tidak menunjukkan gejala awal, maka vaksin hepatitis B penting diberikan di Indonesia.

Awalnya vaksin hepatitis B hanya diberikan pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi tertular virus hepatitis B, misalnya tenaga kesehatan di RS, pasien cuci darah (dialisis), dan pengguna narkoba suntik. Tetapi karena penularan juga terjadi pada kelompok masyarakat tidak berisiko, maka strategi yang digunakan di AS pada tahun 1980-an ini tidak berhasil. Insidens (angka kejadian) hepatitis B tidak berubah meskipun imunisasi sudah 10 tahun berjalan. Maka strategi diganti menjadi memberikan imunisasi hepatitis B pada bayi sejak baru lahir. Apabila program imunisasi ini berjalan baik dan cakupannya tinggi, maka diharapkan hepatitis B musnah dalam satu sampai dua generasi mendatang.

Bagaimanakah gejalanya?
Pada bayi dan anak-anak, infeksi hepatitis B tidak bergejala, tetapi pada 7 dari 10 remaja dan dewasa yang mengalaminya, terdapat gejala-gejala seperti: demam, nyeri sendi dan perut, mual, muntah, tidak nafsu makan, air seni berwarna gelap, dan kulit serta mata berwarna kuning.

Bagaimana vaksin hepatitis B dibuat?
Upaya menemukan HBsAg memiliki sejarah berliku. Perkembangan bioteknologi mengantarkan pada pembuatan vaksin hepatitis B yang digunakan saat ini, yaitu menggunakan teknologi DNA rekombinan. Rekayasa genetika ini diawali oleh penemuan enzim yang dapat "memotong" DNA yang dihasilkan oleh bakteri Eschericia coli, oleh Herbert Boyer. Di sisi lain, Stanley Cohen menemukan "plasmid", yaitu DNA berbentuk lingkaran (sirkular) yang membawa gen untuk resistensi antibiotik. Plasmid ternyata mudah dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lainya, trrmasuk untuk memimdahkan gen resistensi antibiotik. Cohen kemudian menggunakan enzim temuan Boyer untuk memotong plasmid yang berisi gen resisten antibiotik dan memasukkan gen yang berisi resistensi terhadap antibitoik lain, lalu menyambung kembali DNA plasmid sehingga utuh seperti sebelumnya. Plasmid kini berisi gen yang resisten terhadap dua jenis antibiotik. Cohen memasukkan plasmid tersebut ke dalam bakteri lainnya dan berhasil menciptakan bakteri baru yang resisten terhadap dua jenis antibiotik. Hasil eksperimen ini membuat Boyer dan Cohen menyimpulkan bahwa gen apapun, termasuk gen manusia, dapat dimasukkan ke dalam plasmid bakteri. Ketika bakteri memperbanyak dirinya, maka protein yang dibawanya, termasuk protein manusia, akan ikut diperbanyak juga. Bakteri dapat mejadi pabrik mini yang memproduksi berbagai jenis komponen tubuh manusia. Inilah cikal bakal rekayasa genetik yang ikut digunakan dalam pembuatan vaksin hepatitis B.

Mengapa bayi saya segera harus mendapatkan imunisasi hepatitis B setelah lahir, meskipun saya jelas tidak terinfeksi virus hepatitis B?

Data statistik di AS menunjukkan tiap tahun 18.000 anak terinfeksi hepatitis B sebelum usia 10 tahun. Makin muda usia seseorang terkena hepatitis B, maka makin besar risiko mengalami kanker hati atau sirosis hati di kemudian hari. Apakah sebagian besar anak ini terinfeksi dari ibunya saat proses persalinan? Ternyata separuhnya terinfeksi dari ibunya, tetapi selebihnya dapat terinfeksi dari orang lain atau anggota keluarga lain, dengan cara tidak terduga seperti yang sudah dijelaskan. Orang-orang yang menularkan ini pun mayoritas tidak menunjukkan gejala. Fakta ini menekankan pentingnya imunisasi hepatitis B dan waktunya adalah segera (dalam 12 jam) setelah bayi lahir.

Sekitar 95% infeksi VHB di Asia ditransmisikan secara vertikal dari ibu hamil ke bayi yang dilahirkannya, sedangkan 5% sisanya ditularkan pada masa kehamilan (sebelum proses persalinan). Proses penularan ini harus segera diputusdengan pemberian imunisasi hepatitis B pada usia kurang dari 12 jam sejakbayi dilahirkan (didahului dengan suntikan vitamin K untuk mencegah komplikasi perdarahan).Pemberian imunisasi dini ini juga dapat mencegah bayi dari terinfeksi oleh orang-orang yang tidak diketahui statusinfeksinya kelak setelah pulang ke rumah. Imunisasi hepatitis B kedua diberikan saat bayi berusia 1 bulan, dilanjutkan dengan imunisasi ketiga saat berusia 6 bulan. Sekitar 95 dari 100 orang yang mendapatkan imunisasi hepatitis B lengkap akan terhindar dari infeksi VHB. Apabila sebelum persalinan ibu sudah diketahui terinfeksi VHB, maka saat bayi lahir juga diberikan imunoglobulin G (HBIg).

Data WHO mencatat 240 juta penduduk di seluruh dunia hidup dengan hepatitis B kronik dan 600.000 orang meninggal akibat komplikasinya setiap tahun. Di Amerika Serikat, mayoritas penderita mendapatkan infeksi VHB saat masih anak-anak. Sekitar 90% anak-anak ini akan mengalami infeksi kronik, dan 1 dari 4 akan mengalami komplikasi termasuk kanker.

Pengobatan terhadap anak yang terinfeksi VHB juga masih kurang efektif, misalnya dengan interferon atau analog nukleotida. Di Indonesia, salah satu masalah terbesar adalah pemberian imunisasi hepatitis B pertama pada usia kurang dari 12 jam sering ditunda. Misalnya karenaalasan tidak siap atau HBsAg ibu negatif. Padahal ibu dengan HBsAg negatif belum tentu tidak mengidap hepatitis B. Bisa terjadi occult hepatitis B, yaitu orang dengan HBsAg negatif, dapat menunjukkan anti HBc positif pada pemeriksaan lanjut.Pada kondisi ini, sebenarnya orang tersebut telah mengidap penyakit hepatitis B. Inilah alasan pentingnya imunisasi hepatitis B pada usia kurang dari 12 jam pertama, tanpa melihat status HBsAg ibu.

Pada anak yang dilahirkandari ibu hamil dengan HBsAg positif dan mendapatkan imunoglobulin dalam waktu kurang dari 12 jam, dilanjutkan/dibarengi dengan imunisasi hepatitis B, maka tingkat keberhasilan pencegahan infeksi VHB dapat mencapai 95-97%. Satu hal yang harus diingat adalah kurang dari 5% penularan dapat terjadi dalam kandungan (sebelum persalinan), sehingga idealnya semua ibu hamil diperiksa status HBsAg-nya.

Seberapa menularkah hepatitis B?
Apabila 10 orang sehat (belum pernah diimunisasi hepatitis B dan tidak terinfeksi VHB) tinggal satu rumah dengan orang yang terinfeksi VHB, maka diperkirakan 4 dari 10 orang sehat ini akan terinfeksi.

Apakah vaksin hepatitis B efektif?

Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 15 tahun pasca imunisasi, namun secara teoritis bisa sampai seumur hidup, sehingga pada anak secara umum tidak dianjurkan untuk imunisasi booster setelah berusia lebih dari 6 bulan. 

Manfaat Imunisasi Hepatitis B
1. Mengurangi kematian akibat komplikasi VHB
2. Mencegah kanker hati dan sirosis (gagal) hati
3. Mencegah penularan terhadap orang lain

Selengkapnya di buku Pro Kontra Imunisasi yang saya tulis.

Tuesday, January 30, 2018

Mengenal Japanese encephalitis

Lagi rame penyakit Japanese encephalitis (JE) ya? Perlukah kita mendapatkan vaksinnya?

Prinsip pertama bagi seorang dokter, menurut saya, adalah JUJUR. Jadi menyampaikan informasi tentang suatu kondisi haruslah utuh. Misalnya saja tentang penyakit JE. Permintaan vaksin ini sepertinya sedang meningkat. Apakah masyarakat sudah utuh pemahamannya tentang penyakit ini? Penyedia layanan vaksinasi pun harus utuh memberikan informasi tentang penyakit ini. Jadi kesannya tidak sekedar “jualan” vaksin saja. Membaca jadwal imunisasi IDAI 2017 (seperti di gambar) termasuk keterangannya ya. Di situ tertera jelas bagi siapa vaksin JE diberikan.

Mengenal Japanese encephalitis

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dikabarkan meninggal dalam keadaan mengenaskan akibat virus bernama Japanese encephalitis (JE). Sebelum menghembuskan napas terakhir, anak ini mengalami perburukan kondisi yang cukup cepat, kejang, dan mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Pesan singkat yang berisi kisah tragis ini menyebar di kalangan para ibu beberapa waktu lalu. Sebagian menjadi panik dan meminta agar anaknya mendapatkan vaksin JE. Apakah sebenarnya penyakit ini? Berbahayakah? Perlukah anak-anak kita mendapatkan vaksinnya?

Virus Japanese encephalitis

Virus Japanese encephalitis (JE) adalah golongan flavivirus, sama halnya dengan virus Dengue, yellow fever, dan West Nile. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terutama golongan Culex. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus ini tidak mengalami gejala apapun. Hanya kurang dari satu persen orang yang memiliki virus JE dalam tubuhnya mengalami gejala-gejala, seperti demam, sakit kepala, dan muntah-muntah di awal sakit, lalu berlanjut menjadi penyakit mematikan yang disebut ensefalitis akut. Peradangan di jaringan otak ini bergejala perubahan status mental/perilaku, defisit neurologis (misalnya kelemahan/kelumpuhan anggota tubuh), sampai kejang dan kematian. Angka kematian akibat ensefalitis JE mencapai 30%. Cacat saraf permanen atau kelainan kejiwaan/psikiatri sebesar 30-50%. 

Masa inkubasi, yaitu periode sejak masuknya virus sampai munculnya gejala penyakit, adalah 5- 15 hari. Sebanyak 24 negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat masuk dalam daerah endemis JE, sehingga membuat lebih dari 3 milyar orang berisiko tertular penyakit ini. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan sebanyak 326 kasus JE pada tahun 2016. Kasus terbanyak dilaporkan di Propinsi Bali sebanyak 226 kasus (69,3 persen). Tingginya kasus JE di Bali dihubungkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di daerah tersebut, mengingat nyamuk Culex banyak terdapat di area persawahan dan irigasi.

Di daerah endemis, yaitu lokasi dengan kasus penularan/infeksi tinggi, orang dewasa yang terinfeksi virus JE kebanyakan tidak mengalami gejala (tidak menjadi sakit), dan justru memperoleh kekebalan/imunitas alamiah. Anak-anak adalah kelompok yang rentan sakit, sesuai data sebanyak 85% kasus yang dilaporkan tahun 2016 adalah kelompok usia di bawah 15 tahun. Penyakit ini tidak ada obatnya. Sama halnya dengan kebanyakan penyakit akibat infeksi virus, seperti Dengue (DBD), yang penanganannya bersifat suportif, seperti menjaga kecukupan cairan dan mencegah dehidrasi, serta mengawasi risiko terjadinya komplikasi berat seperti ensefalitis, dan menanganinya sesuai gejala-gejala yang muncul.

Untunglah saat ini sudah tersedia vaksin JE untuk mencegah penyakit ini. Awalnya vaksin JE dikhususkan bagi para pelancong/wisatawan yang akan berkunjung ke daerah endemis JE. Vaksin disuntikkan sebanyak 2 kali dengan interval/selang waktu sebulan antar vaksin, dan selambat-lambatnya 10 hari sebelum memasuki daerah endemis. Pada bulan September 2017 mendatang, Kementerian Kesehatan akan mulai memberikan vaksin JE bagi anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun, di 9 kabupaten/kota di Bali, dengan sasaran 897.050 anak. Program yang dinamakan kampanye imunisasi JE ini akan dilanjutkan dengan memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal imunisasi rutin anak berusia 9 bulan (bersamaan dengan imunisasi campak/rubella), di daerah-daerah yang dinilai endemis JE. 

Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal terbarunya (tahun 2017) untuk diberikan pada usia 12 bulan, dan diulang 1 – 2 tahun berikutnya untuk memberikan perlindungan jangka panjang. Anak-anak yang akan berkunjung memasuki daerah endemis JE juga disarankan mendapatkan vaksin JE. 

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan lebih detil kriteria pelancong yang perlu mendapatkan vaksin JE, yaitu:
- bukan yang berkunjung untuk waktu singkat (kurang dari 1 bulan), tetapi untuk yang akan berada di daerah endemis JE selama lebih dari 1 bulan, atau 
- yang akan berkali-kali mengunjungi daerah endemis, meskipun dalam tiap kunjungannya tidak mencapai 1 bulan. 

Mereka yang akan memasuki daerah endemis untuk waktu singkat tetap disarankan mendapatkan vaksin JE sebelumnya apabila: 
- daerah tersebut sedang mengalami wabah JE, 
- pelancong tidak yakin lokasi mana saja di daerah tersebut yang akan dikunjunginya, dan 
- pelancong menghabiskan banyak waktunya di daerah persawahan atau pedesaan khususnya malam hari, atau berada di luar ruangan (berkemah, mendaki gunung, atau aktivitas outdoor lainnya), atau berada di daerah endemis selama periode penyebaran virus meskipun kunjungannya singkat.

Pencegahan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan lotion anti nyamuk (repelan) berisi DEET, IR3535, pikaridin, atau minyak ekaliptus lemon. Kenakan pakaian berlengan panjang, celana panjang, dan kaos kaki untuk menghindari gigitan nyamuk. Juga kurangi aktivitas di luar ruangan di sore/malam hari dan saat suhunya lebih dingin.

Upaya memastikan diagnosis JE diawali dengan kecurigaan terhadap gejala-gejala yang ada, khususnya ketika terjadi ensefalitis, ditambah dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan keberadaan virus JE di dalam tubuh.

(Gambar diambil dari http://outbreaknewstoday.com/wp-content/uploads/2017/09/21314593_1709763445701567_4389493826546397559_n.jpg)

Tulisan dr. Arifianto, Sp.A ini pernah dimuat di rubrik Tumbuh Kembang Majalah UMMI tahun lalu.





Tuesday, August 09, 2016

Campak itu berbahaya!

Campak, bukanlah penyakit ringan!

Dalam sepekan terakhir, saya merawat sekitar 5 anak dengan sakit campak. Semuanya dirawat di ruang isolasi, dengan demam, kesulitan makan (nafsu makan menurun), dan diare atau sesak napas (pneumonia). Semuanya dirawat sampai diare atau sesak membaik, dan nafsu makan membaik juga. Untunglah tidak satupun mengalami komplikasi berat seperti pneumonia yang membutuhkan ventilator, diare berat yang menyebabkan kehilangan elektrolit banyak sampai kejang, dan penurunan kesadaran seperti ensefalitis. Tetapi tetap saja campak atau morbili (measles/rubella) bukanlah penyakit yang menyenangkan. Anak mengalami demam, batuk, pilek, dan matanya merah selama 3-5 hari, lalu muncullah ruam yang makin banyak, secara bertahap dari atas (wajah) sampai bawah. Anak masih bisa mengalami demam sampai 3 hari setelah ruam timbul. Mayoritas anak tampak lesu, tidak mau makan, dan berisiko tinggi kekurangan cairan (dehidrasi).

Campak disebabkan oleh virus. Makanya tidak ada pengobatan khusus yang mampu mempercepat penyembuhan sakit ini. Daya tahan tubuhlah yang memulihkan dirinya, seiring waktu. Untuk itu, upaya terbaik adalah mencegahnya, dengan vaksin campak, yang sudah diberikan sejak puluhan tahun silam.
Ketika saya tanya, sekitar 4 dari 5 anak ini tidak diimunisasi campak saat berusia 9 bulan. Alasannya kebetulan bukan karena orangtuanya tidak mau memberikan imunisasi (anti-vaksin), tetapi anaknya selalu ada kendala seperti demam atau sakit lainnya, sehingga imunisasi tertunda, dan akhirnya terlewat. Campak memang salah satu vaksin yang sangat rentan terlewat, karena diberikan pada usia 9 bulan, setelah sebelumnya imunisasi terakhir adalah DPT di usia 4 atau 6 bulan.  Di sisi lain, sakit ringan seperti batuk-pilek dan diare sebenarnya bukan halangan imunisasi, tetapi masih banyak orangtua yang belum paham hal ini.
Satu orang anak sudah diimunisasi, tetapi tetap sakit, karena ia sudah masuk usia pengulangan, tetapi belum dikerjakan. Ingat, vaksin campak diulang pada usia 2 tahun, dan 5-6 tahun.

Bukankah semua anak akan mengalami campak? Anak saya sudah diimunisasi campak, tetapI tetap sakit juga. Mengapa tetap harus diimunisasi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sering sekali ditanyakan. Apa jawabannya? Campak adalah penyakit yang jarang dialami anak. Demam dengan ruam yang paling sering dialami adalah roseola, lalu diikuti rubella. Apa bedanya? Pernah saya bahas beberapa waktu lalu. Maka imunisasi campak dan MMR, sangatlah penting.

Beberapa waktu lalu, saya juga pernah posting bahwa campak adalah penyakit yang sangat ditakuti oleh orang-orang asing sejak puluhan tahun lalu. Ya, karena campak sudah memakan banyak korban nyawa. Ketika seseorang dinyatakan campak, maka ia harus diisolasi tidak berinteraksi dengan orang-orang lain sampai 4 hari sejak ruam muncul, agar tidak menular, dan virus diberi kesempatan terus berputar, sampai terjadi wabah.

Vaksin campak dan MMR terbukti berbahaya dan menyebabkan autisme?
Hehe, hoax ini sudah sering sekali dibahas. Kesimpulannya: ya tidak ada hubungan. Vaksin campak dan MMR sangat aman, efektif, dan tentunya tidak menyebabkan autisme :-)

Lagi-lagi campak

Lagi-lagi saya harus posting tentang penyakit campak, karena "badai" penyakit ini belum berakhir juga. Hampir separuh yang saya temui juga mengalami komplikasi pneumonia (radang paru-paru), mulai dari yang ringan sampai berat. Maka saya tidak bosannya menyampaikan kembali:

- Imunisasi campak tidak diberikan hanya sekali pada usia 9 bulan, tapi ada ulangannya pada usia 2 tahun. Jadi bagi para Ibu yang anak-anaknya belum mendapatkan imunisasi campak ulangan, maka segera kejar ketertinggalannya ini. Booster vaksin campak dapat dilakukan di usia berapapun.

- Yang sudah mendapatkan imunisasi MMR di usia 15 bulan, maka tidak perlu mendapatkan vaksin campak ulangan di usia 2 tahun (sesuai panduan imunisasi IDAI tahun 2014), tetapi ulangannya nanti di usia 5-6 tahun.

- Ulangan imunisasi campak ini penting, mengingat ada beberapa anak yang sudah mendapatkan imunisasi campak di usia 9 bulan, tetap sakit campak. Kemungkinan imunitas (kekebalan) yang dihasilkan pada usia 9 bulan sudah mulai menurun (waning), maka booster/ulangan dilakukan pada usia 2 tahun.

- Vaksin campak adalah vaksin yang efektif. Jadi kalau sudah diimunisasi di usia 9 bulan, risiko seorang anak mengalami sakit campak sangatlah kecil, sampai dilakukan ulangan lagi sesuai jadwal.

- Beberapa orangtua mengatakan: anak saya tetap sakit campak, meskipun sudah diimunisasi campak. Maka penjelasan saya: satu, banyak orangtua berpikir anaknya sakit campak, padahal yang dialaminya adalah roseola/rubella/infeksi virus selain campak. Jadi jangan sampai kena campak. Dua, vaksin campak efektif, tetapi tidak ada vaksin yang 100% efektif. Maka ada sebagian kecil anak yang tetap sakit, sedangkan sebagian besar yang sudah diimunisasi tidak sakit.

- Lalu ada lagi yang mengatakan: anak-anak teman saya tidak diimunisasi, tapi tidak sakit. Maka jawaban saya: alhamdulillah mereka tidak sakit. Dalam teori imunologi dan epidemiologi, mereka bisa jadi mendapatkan manfaat dari tingginya cakupan imunisasi di masyarakat, yaitu memperoleh herd immunity (imunitas lingkungan). Mereka memperoleh manfaat dari banyaknya anak di lingkungan mereka yang tidak sakit karena sudah diimunisasi. Tapi jangan ikut-ikutan tidak diimunisasi ya :-)

- Ada berita anak yang meninggal setelah diimunisasi. Benarkah?
Ternyata fakta tidak menunjukkan kematiannya akibat langsung vaksin (tidak/belum terbukti).

Ini contoh analisisnya

Saya salinkan berita dari detikcom. Tanggapan saya: kronologi kejadian yang ada makin menguatkan dugaan bahwa bukan vaksin penyebab kematiannya. Karena demam yang kadang disebabkan pasca pemberian vaksin DPT kombo seharusnya tidak berlangsung lama, tapi maksimal 1-2 hari saja. Lebih dari itu (dan anak dalam berita ini demamnya berhari-hari) kemungkinan ada penyakit infeksi lain, misalnya saja DBD yang menjadi syok, lalu menyebabkan kematian.
Saya turut berduka cita juga.

Rabu 18 May 2016, 21:18 WIB
Puskesmas Pasar Rebo Bantah Ada Malapraktik di Kematian Bayi 5 Bulan
Nugroho Tri Laksono - detikNews
Puskesmas Pasar Rebo Bantah Ada Malapraktik di Kematian Bayi 5 Bulan
Foto: Thinkstock
Jakarta - Suasana duka menyelimuti kediaman Razqa Alkhalifi Pamuji, bayi mungil yang meninggal dunia secara tidak wajar. Razqa tewas usai melakukan imunisasi DPT di Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tak henti-hentinya pula Ajeng Sri Septiani (29) sang ibu menangisi kepergian anaknya yang masih berumur 5 bulan.

Sebelum meninggal dunia, anak bungsu pasangan Agung Pamuji (27) dan Ajeng Sri Septiani (29) melakukan imunisasi DPT ketiga di Puskesmas Pasar Rebo, pada hari Rabu lalu (11/5). Usai diimunisasi, demam Razqa tak kunjung turun hingga lima hari. Orang tuanya pun kembali merujuk ke puskesmas tersebut meski sempat dilarikan ke klinik Sri Sukamto.

Ayah korban Agung Pamuji mengatakan ada dugaan malapraktik saat melakukan imunisasi tersebut karena setelah menjalani imunisasi korban mengalami demam dan panasnya mencapai 38 derajat. Awalnya kondisi tersebut dinilai wajar oleh dirinya sebab demam tersebut terjadi karena efek samping dari melakukan imunisasi.

"Karena biasanya deman itu hanya berlangsung dua hari namun ini hampir seminggu," ujar Agung ayah korban kepada detikcom di kediamannya, Jalan Mawar Raya, RT 12/10 Kelurahan Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (18/5/2016).

Sementara itu Kepala Puskesmas Pasar Rebo, Maryati menepis kematian Rizqa dikarenakan adanya malapraktik. Pasalnya dalam hal ini pihaknya telah melakukan proses imunisasi sesuai dengan prosedur. Dengan kondisi tersebut pihaknya menganjurkan untuk melakukan tes darah pada keesok harinya, Senin (16/5).

"Tetapi pasien tidak datang pada hari itu, pasien datang di hari Rabu dalam keadaan kritis. Saat datang pasien dalam kondisi sesak nafas, pucat dan tak sadarkan diri. Oleh karena itu pihaknya langsung merujuk pasien ke Rumah Sakit Harapan Bunda namun nyawanya sudah tak dapat diselamatkan," kata Maryati, di Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Razqa mengehembuskan nafas terkahirnya pada pukul 07.30 WIB Rabu pagi. Usai berunding dengan sejumlah anggota kepolisian yang datang kerumah kediaman korban, akhirnya keluarga memutuskan untuk langsung memberangkatkan balita Razqa ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Kalisari, Jakarta Timur.

(imk/imk)

http://m.detik.com/news/berita/3213686/puskesmas-pasar-rebo-bantah-ada-malapraktik-di-kematian-bayi-5-bulan

Monday, August 08, 2016

Analisis terhadap vaksin palsu

Terkait pemberitaan vaksin palsu yang terus berkembang, dan menjadi bahan diskusi di masyarakat, ada beberapa hal PENTING yang harus saya sampaikan:

1. Pemberitaan yang ada dari semua media, baik televisi, surat kabar, media online, dan bahan berbagi di media sosial, kecenderungannya secara keseluruhan--menurut saya--membuat masyarakat jadi lebih resah, dibandingkan dengan menenangkan masyarakat. Wajar. Sangat wajar bahkan. Kasus ini harus diusut tuntas dan seluruh pelakunya dihukum berat, karena sudah membahayakan banyak nyawa. Agar tidak terulang lagi!

Yang saya sayangkan adalah: pihak berwenang,khususnya kepolisian, belum mengumumkan hasil final dari investigasi mereka, tapi media-media terus mengulang-ulangnya, dan menimbulkan berbagai asumsi dan prasangka di masyarakat.
Adakah korban dari vaksin palsu? Berapa banyak? Mana saja RS dan klinik yang menjadi pelanggan tetap produk berbahaya ini? Berapa perkiraan jumlah dosis vaksin yang sudah beredar? Ke seluruh Indonesia atau hanya beberapa tempat saja?

Apa jawabannya? Belum ada! Belum ada laporan resminya. Lalu bagaimana reaksi masyarakat? Jangan-jangan selama ini anak saya yang dapat vaksin palsu? Perlu diulang tidak imunisasinya? Jangan-jangan anak saya kemarin dirawat di RS karena vaksin palsu? Bahkan sampai: saya tidak mau mengimunisasi anak saya lagi!

Sejak berkecimpung di dunia edukasi kesehatan masyarakat satu dekade terakhir, dan menulis buku bertema vaksin, saya berinteraksi dengan banyak media. Media punya pengaruh dalam membawakan opini terkait isu-isu kesehatan, sedangkan kesehatan menyangkut urusan nyawa. Hidup dan matinya seseorang! Apabila opini yang dibawakannya salah, fatal akibatnya! Dan ini berlaku untuk urusan vaksin. Vaksin berbeda dengan obat pada umumnya. Vaksin diberikan pada orang sehat, bukan untuk orang sakit. Kenapa? Karena vaksin dimasukkan ke dalam tubuh justru untuk mencegah seseorang agar tidak sakit. Agar anak-anak tidak terkena penyakit fatal yang bisa berujung pada kematian, seperti campak, tetanus, difteri, pertusis, dll. Vaksin pun telah terbukti memusnahkan penyakit cacar (bukan cacar air ya) dari muka bumi di tahun 1977, dan disusul oleh polio saat ini.
Maka....berkurangnya jumlah orang yang mendapatkan vaksin, berdampak memunculkan kembali wabah penyakit berbahaya, dan bisa meningkatkan angka kematian!

Ini yang coba digambarkan dalam ilustrasi yang saya ambil dari jurnal Sari Pediatri tahun 2000, dari sebuah tulisan Prof. Dr. dr. Sri Rezeki H, Sp.AK. Sebenarnya yang diceritakan dalam gambar tersebut adalah dampak dari KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) yang umumnya ringan, tapi sering membuat orangtua khawatir. Demam, nyeri di bekas suntikan, dan bengkak sesaat jika teknik menyuntik kurang tepat. Tapi analoginya yang saya ambil, yaitu opini yang meresahkan masyarakat tentang vaksin, sama saja bisa mengurangi jumlah orangtua yang mau anaknya diimunisasi, dan berisiko meningkatkan penyakit. Penyakit akan sulit dimusnahkan!

Lha, tapi kalau vaksinnya palsu, gimana? Malah justru membahayakan anak yang diimunisasi, kan? Benar. Tapi kembali lagi pada banyaknya asumsi dan pertanyaan yang belum terjawab, dari penanganan kasus sejauh ini. Apakah mayoritas vaksin yang beredar palsu? Saya berani menjawabnya: insya Allah tidak. Mayoritas vaksin yang masuk ke tubuh anak-anak Anda, saya yakini asli. Saya sudah menjelaskan di status beberapa hari lalu, bahwa vaksin di Puskesmas dan Posyandu masuk melalui jalur resmi dari pemerintah. Lalu pemasok vaksin di sebagian besar tempat di negeri ini, seharusnya menggunakan distributor resmi. Baik vaksin impor, maupun produk PT Bio Farma.

Kejadian vaksin palsu ini tidak terelakkan mengandung banyak hikmah. Yaitu agar diusut tuntas semua pelakunya, dan tidak boleh terulang lagi di masa depan. Dan masyarakat akan lebih kritis terhadap dokter dan petugas kesehatan lain yang memberikan vaksin pada anak-anaknya. Silakan, itu hak Anda selaku konsumen kesehatan. Orangtua berhak tahu produk vaksin yang didapatkan, nomor batch/lot-nya, tanggal kadaluwarsa, dan VVM-nya.

Sekian untuk saat ini. Insya Allah akan saya lanjutkan dengan:
2. Bagaimana media melakukan framing berita yang menghubungkan kejadian anak meninggal (diduga karena vaksin, padahal sebenarnya bukan) dengan vaksin palsu saat ini
3. Bagaimana kelompok "antivaksin" berespon terhadap kejadian ini, dan bagaimana menghadapi mereka
4. Bagaimana mengenali kemasan vaksin dan apa yang harus Anda tanyakan kepada petugas kesehatan

Semoga Allah mudahkan.

Arifianto
Dokter spesialis anak, edukator kesehatan di Yayasan Orangtua Peduli (YOP), penulis buku Pro Kontra Imunisasi, dan dokter praktik di Jakarta
---------------------------------------------------------------------

Kausalitas dan Koinsidensi: Bagaimana Framing Media terhadap Pemberitaan Vaksin Palsu

Baik, saya lanjutkan tulisan saya tadi pagi. Kemarin, seusai tayangan talkshow live di Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, saya mendapatkan beberapa informasi adanya media yang menghubungkan antara kejadian seorang anak meninggal setelah sebelumnya diimunisasi DPT di sebuah Puskesmas di Jakarta, dengan kasus vaksin palsu ini. Opini yang saya tangkap setidaknya ada dua: (1) anak tersebut meninggal karena vaksinnya palsu, atau (2) investigasi terhadap vaksin palsu muncul setelah kasus anak meninggal pasca imunisasi.

Ini tanggapan saya:

- Kasus yang terjadi hampir 2 bulan lalu, dan hanya diangkat oleh sebagian kecil media saja, setelah ditelusuri, ternyata tidak terjadi tepat beberapa saat setelah imunisasi. Jadi anak itu sebelumnya diimunisasi DPT, lalu demam, tapi berkepanjangan mencapai sekitar 7 hari. Orangtuanya membawa anaknya ke dokter di Puskesmas, lalu dokter membolehkannya pulang, tetapi minta segera kontrol jika masih demam. Sayangnya anak tersebut tidak kontrol, dan dikabarkan meninggal beberapa hari sesudahnya. Ada media yang memuat keterangan dari pihak orangtua saja (only covering one side), dan orangtua sepertinya yakin anaknya meninggal karena vaksin. Ini asumsi yang diperoleh masyarakat yang membaca berita tersebut. Tapi media yang melakukan "covering both sides" dan mewawancara pihak Puskesmas juga (saya juga mendapatkan broadcast dari kawan dokter, yang didapatkannya langsung dari pihak Puskesmas), menceritakan kronologi lengkap.seperti di atas. Dari urutan kejadiannya, saya jadi makin tidak yakin bahwa vaksin penyebab kematian anak tersebut. Mengapa? Karena KIPI vaksin DPT kombo tidak selama itu. Demam pasca imunisasi DPT tidak lama, paling lama 1-2 hari. Pada kasus anak ini, mencapai berhari-hari (sekitar 7 hari). Maka saya meyakini adanya infeksi penyebab meninggalnya anak ini. Misalnya saja Dengue Shock Syndrome (DBD yang menjadi syok), yang ditandai dengan demam selama itu. Memang pembuktian pastinya adalah dengan otopsi, yang tidak dilakukan. Dan disayangkan orangtua tidak membawa anaknya kontrol ke dokter, padahal sudah diminta, menurut keterangan yang ada.

Loh, anak sakit kok diimunisasi? Anak yang sedang demam, apalagi demamnya tinggi, tentu tidak diimunisasi. Ditunda dulu biasanya. Kemungkinan pada saat imunisasi, si anak belum demam. Jadi dokter bisa saja menilai kondisi anak sedang sehat, maka diimunisasi. Tapi di luar dugaan, ada KOINSIDENSI, alias kebetulan, atau ada hal lain yang terjadi pada saat bersamaan. Yaitu virus Dengue misalnya, sedang berada di dalam tubuh anak, dan dalam perjalanannya menyebabkan demam dan berujung pada kematian. Nah, hal-hal yang sifatnya koinsidensi seperti ini, kadang dianggap sebagai KAUSALITAS, yaitu ada hubungan sebab-akibat. Padahal faktanya tidak.
Kesimpulannya, tidak ada kausalitas antara vaksin dengan kematian, yang ada adalah kausalitas antara virus lain dengan kematian. Dan kausalitas memang harus dibuktikan. Harus diinvestigasi. Biasanya melewati prosedur otopsi, yang seringkali dihindari oleh masyarakat Indonesia.

Sayangnya, ketika kausalitas tidak terbukti, dan yang lebih mungkin adalah koinsidensi, media justru malah "menghakimi". Masyarakat pun menjadi panik. Sebagiannya malah menyebarkannya di media sosial. Di saat kasus vaksin palsu sedang berkembang, kasus lama ini menyeruak kembali, dan malah dicoba dihubung-hubungkan. Akhirnya bisa kembali pada kekhawatiran saya di tulisan pertama pagi ini: banyak orang jadi enggan mengimunisasi anak-anaknya, lalu terjadi wabah, dan--naudzubillah--angka kematian meningkat.

Mari lebih bijak menyikapi berita. Media pun jangan makin buat resah masyarakat.

Insya Allah bersambung dengan "menyikapi para antivaksin" dan "agar lebih tenang dan yakin diimunisasi".

Arifianto

Kelompok Antivaksin dan Vaksin Palsu


Beberapa hari lalu, seorang kawan menuliskan di dalam statusnya, bahwa kelompok antivaksin ikut "bertepuk tangan" dengan kasus vaksin palsu yang menjadi pemberitaan utama media saat ini. Kurang-lebih itu opini yang saya tangkap. Ketika saya mengaminkan pendapat ini dan ikut membagikannya, beberapa reaksi dari kawan-kawan saya yang "antivaksin" bermunculan. Mereka menyatakan tidak menyukai adanya kasus vaksin palsu ini, dan berharap kasus ini juga dituntaskan. Mereka tidak menginginkan adanya anak-anak yang menjadi korban dari vaksin palsu. Saya lalu menyadari bisa jadi melakukan kesalahan, yaitu: menggeneralisasi kelompok antivaksin. Tidak semuanya lantas merasa "tuh kan, mending nggak usah diimunisasi". Mereka juga berempati terhadap kegelisahan orangtua yang anak-anaknya rutin diimunisasi. Tetapi saya tidak memungkiri, ada juga kawan-kawan antivaksin yang terus mengumbar berita menyeramkan tentang vaksin palsu ini. Sayangnya berdasarkan asumsi. Yang jika dikaitkan dengan fakta, belum tentu benar. Makanya saya maklum teman-teman "provaksin" merasa geram dengan kelompok antivaksin, dan generalisasi pun tak terhindarkan.

Saya membagi kelompok antivaksin menjadi dua: yang memilih tidak mengimunisasi anak-anaknya, tetapi mereka tidak memengaruhi kawan-kawan lain agar mengikuti pilihan mereka; dan yang memilih tidak mau memberikan vaksin pada anak-anaknya, serta secara aktif terus menyebarkan pemahaman bahwa vaksin itu berbahaya, tidak aman, haram,syubhat, dan hal-hal negatif lainnya. Alhamdulillah saya tetap berusaha menjaga pertemanan dengan mereka, termasuk pada kelompok kedua, meskipun dalam diskusi-diskusi (saya kadang dikatakan berdebat, bukan berdiskusi) di media sosial, saya menangkap kegeraman mereka pada komentar-komentar saya. Saking panasnya diskusi, sampai ada yang melontarkan "tuduhan" bahwa kelompok provaksin (saya tentu dianggap mewakilinya) menganggap masalah perbedaan pendapat dalam hal vaksin ini adalah persoalan ushul, alias pokok (dalam bidang agama). Saya geli membacanya. Kok bisa berpikir seperti itu? Perbedaan pandangan ini adalah hal yang sifatnya "cabang" atau furu'. Maka sedih sekali saya, jika sesama umat Islam "berkelahi" di media sosial karena urusan berbeda pendapat tentang vaksin.

Woles aja lagi.... Saya tetap berusaha memberikan argumentasi ilmiah pentingnya vaksin, keamanan, dan kehalalannya. Berdiskusi seru di dunia maya boleh saja. Tapi saat bertemu di dunia nyata, ukhuwwah tetap terjaga. Saya pribadi tak pernah membedakan pasien-pasien saya, lalu lantas menolak mereka yang tidak mau diimunisasi. Saya tetap harus berlaku profesional dan adil sebagai dokter, dan sebagai muslim. Tapi satu hal memang yang saya selalu berusaha keras menyampaikannya: saya tidak tinggal diam melihat para antivaksin memengaruhi orang-orang lain agar mengikuti sikap mereka. Saya tidak menginginkan angka kematian bertambah. Sudah cukup buat saya sehari hari melihat anak terbaring lemah karena campak, dan mengalami cacat permanen karena meningitis tuberkulosis. Selama kelompok antivaksin berusaha memengaruhi orang orang lain agar tidak mau diimunisasi, maka insya Allah saya akan terus mengampanyekan pentingnya imunisasi, demi kemaslahatan umat manusia.

Dan di saat kasus vaksin palsu ini merebak, jika ada kelompok antivaksin yang memanfaatkannya untuk menakut-nakuti masyarakat, maka kelompok provaksin akan terus menjelaskan "keep calm, and get vaccinated!"

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...