Sunday, August 19, 2007

Iryu Team Medical Dragon (part two)


“There are many patients under my care who have died. Patients who were be able to be saved if they weren’t at this university hospital. I don’t want patients to die unnecessarily anymore. I will change the university hospital”“That’s why you want to be a professor?”“You can’t change this rotten organization, unless you’re at the top of it. Just stating it’s dirty or rotten, won’t change anything”
Demikianlah percakapan Akira Kato, wanita muda yang berambisi menjadi profesor bedah jantung.
Yak, begitulah saudara-saudaraku sejawat dokter. Siapapun yang ingin mengubah suatu sistem, harus menjadi bagian di dalamnya (baca: jadi staf atau konsulen.. hehehe).
Tak pelak, menonton Iryu Team Medical Dragon, memberikan gambaran banyak sekali kemiripan sistem kedokteran di Indonesia dengan Jepang. Khususnya dalam hal kultur feodalisme. Tapi jangan bahas dalam segi teknologi ya, pastinya Indonesia kalah jauh.
Susunan alur ceritanya oke. Khas ‘dorama’ Jepang. ‘Manga’ based pula. Ilustrasi musiknya top. Sound dan special effect-nya tertata rapi. Belum penjelasan ilmiahnya yang gambling dan rasional, serta mudah dipahami awam. Pasti banyak yang pengen jadi dokter bedah setelah nonton filem ini. Ingat ya: jadi dokter niatnya cuma satu: nolong orang. Bukan untuk materi (uang). Film ini belum ada di TV Indonesia. Bisa di-download gratis dengan torrent. Sebelas episode.
This TV series reminds me of my-surgeon-wanting-to-be (urologist, specially—but I can’t afford the living cost to fund during the residency education), or wish of being a cardiologist (not cardiac surgery, but I didn’t dare to face the qualification, and the fact now is… very few alumni of my almamater are accepted as the residents here). And it ends up being a pediatric resident. Why aren’t there any movies about pediatrics? Or maybe I’ll make one, if there’re producers offering me to make one, and targeting to reach the highest rating among the sinetrons. Hehehe.
Enough for the bull shit about sinetrons.

Iryu Team Medical Dragon


Why do I work at this hospital for?Everything right up to medical procedures is decided by the professor… Rather than patients, we are more eager in pleasing the professor… Rather than surgical procedures, we prescribe medicines from friendly pharmaceutical companies or senior doctors’ preferences. Is this really what it means to be a doctor?Actually I want to take chances…
Ijyuuin-sensei, seorang residen di bagian Bedah Toraks sebuah RS fiktif dalam film serial TV “Iryu Team Medical Dragon” merenungi dirinya. Sebuah kondisi yang secara umum menggambarkan satu bagian kecil dari kehidupan dunia kedokteran di seluruh dunia. Indonesia pun termasuk salah satu bagiannya.
Film ini menceritakan dua karakter utama. Karakter pertama adalah seorang dokter bedah yang ”surgeon-born-to-be” namun sangat idealis dengan keadaan yang secara bertolak belakang dengan keinginannya (kurang-lebih digambarkan dalam paragraph awal tulisan ini), sehingga ia dikucilkan dari pergaulan profesinya, dan memutuskan untuk berhenti dari profesinya.Karakter kedua adalah seorang asisten profesor bedah toraks wanita yang sangat berambisius menjadi profesor, sehingga merekrut si karakter pertama untuk melakukan prosedur bedah ”BATISTA” yang sangat fenomenal dalam dunia bedah jantung, dan bila prosedur ini berhasil dilakukan di bawah bimbingannya, ia akan dipastikan menjadi profesor.
Film ini menonjolkan dunia kedokteran Jepang yang feodal. Kata-kata dan keinginan seorang profesor tidak bisa dibantah oleh juniornya, meskipun hal itu tidak tepat secara medis, atau berpotensi membahayakan nyawa pasien. Sehingga salah satu pesan film drama terbaik Jepang ini adalah: utamakan pasien.
Surgical skill level doesn’t matter.. it’s just an “awaiting-death” patientTo not affect insurance rating, doctors still have to treat hopeless patients. Even if no treatment to avoid the increase of hospital’s death toll, the patient is transferred here to the patient’s family, dying in a well-equipped hospital, they will accept it more easily. In other words, this is a patient whose life does not matter. As long we follow standard procedure, the outcome of operation is unimportant.
Kalimat-kalimat di atas juga sedikit-banyak menggambarkan dunia kedokteran yang ternyata tidak banyak berbeda di semua negara di dunia. Yakni RS rujukan nasional identik dengan kasus-kasus “berat”, dan seringkali dokter langsung menyimpulkan “pasien ini sudah sukar untuk dikembalikan ke keadaan awalnya”. Dokter menjadi agak putus asa, dan kadang kurang optimal bertindak untuk keberhasilan tindakan mediknya. Apalagi di negara kita yang tidak mengenal asuransi kesehatan untuk semua. No money, no cure. Tidak ada uang, tidak ada kesembuhan.
Sebuah film drama yang menjadi otokrotik bagi seluruh dokter yang konsisten dalam menjalankan profesinya. Lengkap dengan bumbu humor khas Jepang, karakter-karakter menarik para dokternya, dan penjelasan ilmiah secara sistematis terhadap semua kasus bedah yang disajikan. Episode pertama menampilkan tindakan bedah terhadap tamponade jantung dengan cara menyedot darah yang memenuhi rongga perikardium, namun tidak mencari penyebab sumber perdarahannya. Sehingga jantung pasien pun berhenti berdenyut. Dokter dengan santainya menyatakan “operasi berhasil, namun nyawa pasien tidak berhasil kita selamatkan”. Karena sejak awal operator bedah, seperti kasus-kasus yang biasa ia hadapi, menganggap ini adalah kasus “awaiting-death”. Karakter utama film ini turun tangan mencari sumber perdarahan, menekannya sehingga perdarahan berhenti, dan melakukan kompresi jantung sampai aktivitas listrik muncul dan jantung kembali berdenyut spontan. Nyawa pasien pun terselamatkan.
Skenario yang sangat baik di episode perdana serial ini. Dilanjutkan dengan kasus pneumotoraks yang ditangani dengan menusukkan patahan bolpoint ke sela iga pasien menembus ruang pleura.
The movie that reminds my wish to be a surgeon. But now I’m already starting to prepare my pediatric residentship, and I should be a pediatrician someday.
Maybe I’ll write my stories during my “life as a pediatric-resident”, and a biography-based book will be published someday.
Cheers…

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...