Monday, March 24, 2014

Apakah Batuk Pilek Perlu Diobati?

"Dok, anak saya batuk grok-grok dan napasnya susah. Saya minta anak saya "diuap"."
"Dok, minta obat untuk batuk dan obat untuk pilek ya. Anak saya sudah seminggu sakit, tapi belum minum obat."
"Dok, saya minta puyer racikan ya. Sudah berobat ke Puskesmas dan diberi obat sirup, tapi belum sembuh."

Pernyataan-pernyataan yang kurang lebih bernada di atas beberapa kali disampaikan kepadaku, langsung oleh orangtua. Dalam hati aku merasa geli, karena mereka sudah menentukan sendiri terapi untuk anak-anaknya. Dokter diminta dapat memenuhi keinginan mereka.

Lalu apa diagnosisnya? Selesma atau common cold. Apa lagi? Pertanyaan berikutnya adalah:
- Perlukah terapi inhalasi atau uap untuk mengatasi selesma? Apalagi jika si anak masih berusia di bawah 1 tahun. Batuknya grok-grok, banyak dahak, dan sukar dikeluarkan. Tidurnya pun terganggu, terutama di malam hari.
- Perlukah pemberian obat batuk pilek untuk mengurangi atau meredakan gejala-gejala seperti sudah disebutkan?

Sebuah artikel yang cukup informatif dari American Academy of Family Physician (AAFP) menjelaskannya di: www.aafp.org/afp/2012/0715/p153.html

Data di Amerika menyatakan obat-obatan pereda gejala batuk-pilek berada di dalam daftar 20 obat tersering yg menyebabkan kematian pd anak balita. Pada tahun 2008, Badan Pengawas Obat dan Makanan di AS (FDA) menyatakan obat-obatan jenis ini yg dijual bebas (OTC) dihindari penggunaannya pada anak berusia di bawah 2 tahun. Para produsen farmasi mengikutinya. Hasilnya adalah: angka kunjungan ke IGD akibat efek samping obat-obatan jenis ini berkurang. Para produsen lalu melabel ulang OTC untuk obat batuk pilek anak tidak boleh digunakan untuk anak berusia di bawah 2 tahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Belum ada upaya ke sini sepertinya.

Tetapi terlepas dari potensi efek samping obat batuk pilek utk anak, sebenarnya adakah manfaat obat obatan ini dalam membantu penyembuhan common cold?


1. Antihistamin, ditujukan untuk meredakan bersin-bersin dan ingus meler. Antihistamin lazimnya diberikan untuk menghambat reseptor histamin yang berperan dalam reaksi alergi (gejala alergi memang bisa berupa bersin dan hidung meler, tetapi common cold disebabkan oleh infeksi virus, bukan reaksi alergi). Contohnya adalah: klorfeniramin (CTM), difenhidramin, dan hidroksizin. Satu penelitian yang dimuat di jurnal bergengsi Pediatrics tahun 2004 menyimpulkan difenhidramin tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo (pembanding, digunakan dalam penelitian dan tidak memiliki khasiat apapun) dalam mengurangi batuk di malam hari dan gangguan tidur (akibat common cold) pada anak.
Dua review (ikhtisar berbagai penelitian) dari Cochrane juga menyimpulkan antihistamin tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo dalam mengatasi batuk.
Perlu diketahui, Cochrane Database adalah meta-analisis yang menempati tingkat kesahihan tertinggi di dalam penelitian kedokteran.
Lebih lanjut, kita mengetahui CTM mempunyai efek samping mengantuk, yang dapat merancukan kondisi anak: apakah anak mengantuk karena obat atau karena adanya penyakit yang membuat penurunan kesadaran? Antihistamin juga berefek samping mengurangi produksi lendir (sehingga menjadi lebih kental?) dan membuat mulut kering, yang tentunya menjadikan anak makin tidak nyaman.
Kesimpulannya: antihistamin tidak efektif dalam meredakan gejala common cold.

2. Antitusif, ditujukan untuk menekan refleks batuk, sehingga anak berkurang batuknya. Contohnya adalah dekstrometorfan (DMP). Satu penelitian, masih dari jurnal yang sama, menyimpulkan DMP tidak lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi gejala batuk di malam hari yang mengganggu tidur pada anak.
Batuk pada dasarnya adalah upaya tubuh untuk membuang lendir dari saluran napas. Lendir berisi antara lain virus yang justru memang berusaha dibuang ke luar tubuh. Artinya, batuk bertujuan baik, karena merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Logikanya, upaya untuk menekan batuk justru berpotensi membahayakan tubuh, karena menghalangi dahak untuk dibuang keluar. Meskipun demikian, toh penelitian menunjukkan DMP tidak berkhasiat dalam mengurangi gejala common cold. Obat ini juga mempunyai efek samping mengantuk dan limbung.

3. Dekongestan, ditujukan untuk melegakan hidung tersumbat. Contohnya adalah: pseudoefedrin, fenilpropanolamin (PPA), dan fenilefrin. Sayangnya dekongestan mempunyai efek samping penyempitan pembuluh darah (vasokonstriksi) yang bisa mengakibatkan peningkatan tekanan darah, dan dampak lain seperti sakit kepala, jantung berdebar-debar, dan gangguan irama jantung. Jurnal Pediatrics in Review di tahun 2011 menyatakan tidak ada bukti yang menyokong efektivitas dekongestan dalam meredakan gejala common cold. Bahkan pernah dilaporkan adanya kematian akibat penggunaan obat jenis ini.

4. Ekspektoran, ditujukan untuk mengencerkan dahak, misalnya: guaifenesin. Pada orang dewasa, penelitian yang ada menunjukkan kegagalannya dalam mengurangi gejala batuk. Penelitian yang menunjukkan efektivitasnya pada anak belum ada.

Lalu apa obat-obatan yang bisa digunakan untuk meredakan gejala batuk-pilek pada anak?


Apa obat yang bisa diberikan untuk mengatasi gejala batuk-pilek pada anak?
Berbagai penelitian telah dilakukan dengan rangkuman sebagai berikut:

- Jurnal AAFP yang pernah saya sebutkan di tulisan pertama membagi beberapa obat yang dikategorikan "mungkin efektif" dalam mengatasi common cold pada anak. Apa artinya? Semua jenis terapi ini tidak secara tegas dinyatakan "pasti" efektif. Apa saja macamnya?

- Produk yang dikategorikan suplemen dan alternatif, misalnya:
-- balsam "vapor rub": dapat mengurangi batuk malam hari, tetapi baunya mungkin tidak disukai anak dan ada risiko alergi kulit pada anak-anak tertentu;
-- zinc sulfate: dapat mengurangi lamanya sakit bila diminum dalam 24 jam pertama sakit, tetapi penelitian lain tidak menunjukkan manfaatnya, sehingga sampai sekarang tidak direkomendasikan;
-- madu: beberapa penelitian menunjukkan khasiatnya dalam meredakan batuk, meskipun Cochrane menunjukkan belum cukup bukti untuk mendukung/menolak penggunaannya dalam common cold. Madu hanya boleh digunakan pada anak berusia dia atas 1 tahun, karena risiko botulisnismus pada bayi;
-- Echinacea: Cochrane menyatakan belum cukup data untuk menyatakan efektivitasnya.

- Irigasi nasal atau semprot hidung dengan NaCl. Penggunaannya dapat mengurangi keluhan hidung tersumbat karena ingus kental dan mencairkan ingus. Pada praktiknya anak-anak tidak suka disemprot hidungnya dan orangtua sulit melakukannya.

- Obat asetilsistein disimpulkan dapat mengurangi batuk setelah enam sampai tujuh hari penggunaan pada anak di atas 2 tahun, tetapi mempunyai efek samping tersering muntah.

- Obat kortikosteroid hirup: mungkin membantu pada batuk yang disertai mengi, tetapi pada dosis tinggi.

Sumber lain menyebutkan obat hirup seperti ipratoprium bromida untuk mengurangi produksi ingus, tetapi terbatas pada anak di atas 5 tahun dan berefek samping mimisan, hidung kering, dan sakit kepala.

Ada beberapa cara penanganan common cold yang dianggap cukup berperan dalam meredakan gejala dan dapat digunakan, seperti:

- Pemberian obat pereda demam/nyeri seperti parasetamol dan ibuprofen. Obat-obatan ini diberikan untuk membuat anak demam dan rewel menjadi lebih nyaman, tetapi dengan dosis yang tidak melebihi seharusnya. Ibuprofen lebih berisiko mengiritasi lambung dan membuat muntah. Silakan baca mengenai "fever phobia" akan penggunaan obat penurun panas.

- Melembabkan udara, misalnya dengan cara meletakkan air panas di kamar mandi dan membuat ruangannya beruap menyerupai sauna, sehingga melakukan "terapi uap" alami. Meskipun demikian, cara ini juga berisiko menyebabkan cedera anak terkena air panas.

- Minum, minum, dan minum. Banyak minum adalah cara terbaik yang dapat dilakukan untuk membantu meredakan batuk pilek, karena membuat dahak menjadi lebih encer dan memudahkan anak menelannya (anak kan belum bisa buang dahak sendiri) dan mencegah kekurangan cairan akibat demam.

Pada akhirnya cara terbaik adalah melakukan upaya pencegahan, misalnya dengan memakai masker pada orang dewasa yang sedang batuk-pilek, dan sering-sering mencuci tangan setelah memegang anak sakit atau sesudah bersin/buang ingus, untuk menghindari penyebaran virus dari satu anak ke anak lain. Anyway, however, common cold adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu.


Mayoritas orangtua beralasan anaknya sulit tidur bahkan sesak karena batuknya grok-grok. Mereka menginginkan anaknya "diuap" untuk mengencerkan lendirnya sehingga sesaknya berkurang. Benarkah demikian.

Saya kesulitan mencari referensi yg menunjukkan manfaat terapi inhalasi pada common cold. Bahkan mencari penggunaan terapi inhalasi yg biasa dilakukan di sini saja sulit di jurnal dan kepustakaan berbahasa Inggris. Mengapa demikian? Karena terapi inhalasi dengan nebulizer memang tidak masuk dalam standar penatalaksanaan common cold. Inhalasi atau nebulisasi diberikan pada serangan asma, bukan batuk pilek akibat common cold. Kalapun ada untuk indikasi lain, yg saya dapatkan adalah pada bronkiolitis (dengan NaCl 3%--masih dlm penelitian, dan steroid pd kasus dg mengi--tapi bukan terapi standar) dan croup (inhalasi epinefrin/adrenalin, juga tidak rutin).

Kadang saya sampaikan ke orangtua: "Bu, kalaupun anaknya sekarang diuap dan terlihat enakan, sampai rumah juga kemungkinan batuk grok-grok lagi. Apakah kemudian anaknya harus dibawa untuk diinhalasi tiap kali grok-grok? Enggak juga kan?"

Lalu kenapa anak kadang terlihat lebih nyaman setelah diinhalasi? Pengamatan saya, kebanyakan anak yg diinhalasi menangis, sampai akhirnya muntah, dan menyertakan dahak di muntahannya. Mungkin mereka menjadi lebih nyaman karena dahaknya terbuang, dengan cara muntah! Jadi, buat saja anak menangis sampai muntah? Hehe.

Tenang saja, tubuh manusia dilengkapi dengan rambut-rambut halus yg mengalirkan dahak keluar tubuh, jadi tanpa dimuntahkan pun lendir akan keluar dari saluran napas.

So...sudah jelas ya, selama tidak ada sesak napas, common cold ya aman aman saja.


Anda bisa membaca lebih lanjut mengenai terapi common cold di tautan berikut:
http://www.aafp.org/afp/2012/0715/p153.pdf
http://www.cps.ca/documents/position/treating-cough-cold
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2776795/pdf/0551081.pdf
http://pedsinreview.aappublications.org/content/32/2/47.full.pdf+html

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...