Sunday, December 25, 2005

Be Critical with Your O B G Y N

(I have changed the previous title--"Don't be fooled by you OBGYN") Sebelumnya—bagi yang belum paham—OBGYN dibaca o bi ji wai en, seperti membaca abjad dalam bahasa Inggris, adalah kepanjangan dari obstetri ginekologi (kebidanan dan kandungan). Singkatan ini menunjuk pada dokter spesialis obsgin (SpOG), dokter spesialis kebidanan dan kandungan. (Cara penyebutan o bi ji wai en yang mengarah pada SpOG pertama kali kudengar dari episode pertama film seri pemenang Emmy Award 2005, LOST)

So, have we been fooled by them, then? Sekali lagi, supaya tidak dianggap sebagai anti teman sejawat dari obsgin, saya mulai dengan sebuah ilustrasi.

Awalnya bermula dari pertanyaan seorang yang sudah kuanggap sebagai Tante sendiri. Hamil 10 minggu, dilakukan pemeriksaan serologi TORCH, didapatkan positif pada imunoglobulin G (IgG) Rubella dan Toksoplasma dengan nilai tertentu (tidak kuingat). Ia mendatangi dua dokter obsgin pada waktu yang berlainan. Dokter pertama menyarankan minum antibiotika golongan aminoglikosida setelah lewat trimester pertama (14 minggu), dengan indikasi yang menurutku sama sekali tidak jelas. Dokter kedua yang dikunjungi empat minggu sesudahnya menyarankan hal yang sama, ditambah—obat yang sudah kita prediksi—isoprinosine.

Singkatnya, menanggapi hal ini, kulampirkan potongan e-mail-ku untuknya.

TORCH kepanjangan dari Toxoplasma Other infection Rubella Cytomegalovirus and Herpesvirus. Ialah beberapa mikroorganisme yang bila menginfeksi manusia dapat menimbulkan penyakit. Prinsip uji TORCH adalah reaksi ANTIGEN-ANTIBODI. Jadi bila hasil uji positif terhadap salah satu mikroorganisme tadi, artinya PERNAH terjadi infeksi. Misalnya kalau Rubella positif, artinya ANTIGEN Rubella pernah masuk ke tubuh, dan tubuh kita berespon dengan membentuk ANTIBODI terhadap Rubella ini. Maka Rubella-nya positif. Prinsipnya sama dengan IMUNISASI menggunakan kuman yang dilemahkan, polio misalnya. Kuman polio yang dilemahkan masuk ke tubuh kita, maka tubuh akan membentuk antibodi, sehingga bila tubuh terinfeksi polio di masa datang, kita sudah punya antibodi untuk melawannya.

Nah.. dari hasil uji ini, yang dibedakan adalah jenis ANTIBODINYA, apakah IgG atau IgM. IgG menunjukkan pernah terjadi infeksi lama, dan tubuh kita membuat antibodinya. Sedangkan IgM menunjukkan infeksi baru. IgG yang positif dari hasil darah ibu tidak perlu dikhawatirkan. Sedangkan IgM yang positif, dilihat kadarnya seberapa tinggi. Ini pun bisa jadi sesuatu yang tidak membahayakan pula.

Masalahnya, sering terjadi MISINTERPRETASI yang besar mengenai hasil tes ini. Banyak masyarakat, khususnya ibu hamil yang berpandangan, jika uji TORCH mereka ada yang POSITIF, maka janin yang mereka kandung terancam cacat bawaan. Padahal kalau kita paham prinsip antigen-antibodi, tentunya ini adalah pemikiran yang salah ya. Kecuali si Ibu, misalnya benar-benar kena Rubella saat hamil trimester pertama (ada kelainan kulit seperti cacar air). Nah.. kesalahpahaman dan ketakutan ini bisa menjurus pada peresepan obat-obatan macam IMUNOMODULATOR (untuk meningkatkan imunitas/daya tahan tubuh) atau ANTIVIRUS (padahal virusnya udah nggak ada). Salah satu imunomodulator tersering adalah ISOPRINOSIN yang harganya lumayan muahal. Padahal obat jenis ini tidak terbukti khasiatnya dari penelitian. Negara maju sudah tidak menggunakan obat ini. Saya saja sampai susah mencari sumbernya di Google dengan mengetikkan keyword ini.

Saya lampirkan beberapa tulisan yang cukup menjelaskan. Kalau ada yang ingin didiskusikan, please feel free to contact me.

TORCH tests
Certain infections called TORCH ( which stands for TOxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus and Herpes) , may be a cause for a single miscarriage, but are NOT a cause for repeated miscarriages. While a number of specialists will do these tests, and even start treatment based on the results, these tests are not worthwhile for most patients. A positive TORCH test simply means the patient has positive antibody levels against that particular infection. Thus, a positive Toxo IgG test means that the patient has anti-toxoplasmosis antibodies which protect her against a repeat toxoplasmosis infection. This means a positive test is actually a good sign and suggests that the patient is protected against that infection because she has been exposed to that infection in the past. Unfortunately, many doctors do not know how to interpret these results and scare the patient into thinking that the positive test result means she has an active infection which can cause her to miscarry again. In fact, some doctors will even attempt to "treat" the "infection" ! This wastes time and causes needless distress. If your doctor asks you do a TORCH test after a miscarriage, you should refuse and find a better doctor!

Kelanjutan isi e-mail disampaikan di bagian tulisan paling bawah.


Mengapa mengangkat kasus ini? Karena dalam sebuah milis, aku jadi tahu bahwa tidak sedikit ibu hamil yang mengalami salah paham akan uji TORCH ini, dan banyak pula yang mengkonsumsi isoprinosine dalam kehamilannya. Bahkan Prof. Iwan menyebut isoprinosine sebagai obat bohong. Tidak ada kegunaannya sama sekali. Termasuk anjuran yang diberikan bagi ‘Tante’-ku ini. Lalu dengan antibiotika golongan aminoglikosidanya? Apa indikasinya? Memangnya ada infeksi bakteri dalam tubuhnya? Mungkin nilai hitung leukosit-nya tinggi. Tapi ini tidak bisa jadi patokan sama sekali jika klinis baik. Hitung leukosit dan laju endap darah meningkat pada kehamilan normal. Ini dibuktikan sendiri pada rekan kerjaku yang melahirkan bayinya sama sekali tanpa masalah.

Dalam sebuah panduan yang cukup baik, dijelaskan bahwa bagi seorang wanita yang belum pernah hamil sebelumnya, cukup mengadakan kunjungan sebanyak sepuluh kali ke dokter obsginnya, dan wanita yang pernah melahirkan dengan cukup tujuh kunjungan, semuanya pada kasus biasa (bukan kasus khusus), lengkap dengan rincian pemeriksaan apa saja yang akan dilakukan dokter.

Tentu saja ini akan sangat cost effective, dan edukatif bagi si konsumen kesehatan. Pasien tidak sekedar merasa menjadi objek dokternya saja, tetapi juga menjadi subjek kesehatan, mitra kesehatan sang dokter, karena merasa cukup jelas dengan perlakuan dokter terhadap dirinya. Tidak asal nrimo saja.

But.. ehem, not all doctors, especially here in Indonesia where most of the health services are one-way-pattern (doctor-to-patient-only), like this ‘style’. Bisa mengurangi penghasilan. Huehehe.

Ini ga nyambung, hanya teringat dengan pengalaman waktu stase obsgin di IGD RSCM lantai 3 pas tingkat IV dan VI. Anggap aja ending story.

Wanita itu terbaring pasrah di meja pemeriksaan. Baru saja ia tiba di IGD Kebidanan dengan keluhan ‘air-air’-nya keluar beberapa jam sebelumnya, berwarna hijau tua. Ketubannya pecah. The water broke. Hamil anak pertama, posisi lintang, denyut jantung bayi mulai melambat. Gawat janin! Indikasi sectio caesaria cito. Harus segera dioperasi untuk mengeluarkan bayinya.

Persiapkan masuk kamar operasi yang steril. Lepas semua pakaiannya! Ya, lepaskan pakaiannya, ganti dengan pakaian kamar operasi. Harus dilakukan segera, sambil memasang selang infus, kateter, oksigen. Tapi harus dilepas di sini?! Di tengah kerumunan tiga orang residen obsgin, dua orang ko ass tingkat VI, dua orang ko ass tingkat IV, dan satu bidan. Separohnya pun laki-laki. Namanya orang mau melahirkan, tentu hanya bisa pasrah saja diperlakukan apapun. Yang penting nyawa si ibu dan bayinya selamat. Walaupun perasaan risih diperlakukan seperti itu pastinya ada. Tidak etis, batinku dalam hati. Selalu ada cara lain yang lebih baik. Misalnya menyerahkannya pada seorang perawat perempuan untuk mengurus hal seperti ini; menyediakannya ruang khusus untuk berganti pakaian. Aku pun bersumpah, jangan sampai istri, adik, kerabat dekat, atau akhwat-akhwat muslimah yang terhormat itu harus melahirkan di tempat seperti ini…

Tapi jangan digeneralisir juga ya… Hanya ingin mengeluarkan sedikit isi kepala yang terpendam.

Lanjutan potongan isi e-mail:

Kurniati, 15 Dec 2004 07:54:11 WIB

Dokter Yth, Sekarang saya sedang hamil 4 bulan. Pada bulan ke2 kehamilan saya melakukan tes TORCH dgn hasil sbb: CMV IgG +850 CMV IgM -0.1 RUbella IgG +350 Rubella IgM -0.35 Toxo IgG & IgM - Bagaimana dgn hasil tes saya tersebut ? Apakah hasil IgG CMV dan Rubella terlalu tinggi ? Apakah yang harus saya lakukan ? Apakah perlu meminum Isoprinosine dan Valtrex ? Apakah obat tersebut tidak berbahaya bagi janin ? Maaf bila pertanyaannya banyak. Mohon saran dan penjelasannya.Terima kasih. Kurniati

Ibu Kurniati Yth, Terima kasih atas konsultasinya, dari data yang diberikan oleh ibu saya berpendapat bahwa saat ini sedang tidak terjadi infeksi pada tubuh ibu, IgG(+) dan IgM (-), ini menandakan bahwa ibu sebelum pernah terkena infeksi TORCH ini, sekarang tubuh ibu sudah memiliki antibodinya, jadi tidak usah khawatir. Mungkin yang belum ada antibodinya adalah toxoplasma, ini juga tidak menjadi masalah karena IgM (-) berarti ibu tidak sedang terkena infeksi Toksoplasma. Mengenai obat Isoprinosin dan Valtrex sebetulnya tidak perlu sekali harus diminum tapi silakan saja diteruskan, karena obat tersebut tidak akan mengganggu kehamilannya selama dosis yang diminum sesuai instruksi dokter. Demikian, terima kasih. (dr xxxxx SpOG, RSxx xxxxxxx, Jkt)

KOMENTAR: mengenai tanggapan dokternya ISOPRINOSINE dan VALTREX ga usah dipegang

The Test

How is it used?

Blood may be tested from either the mother or the newborn infant to determine if the illness observed in the newborn is caused by infection with one of the pathogens included in the panel. A blood test can determine if the person has had a recent infection, a past infection, or has never been exposed to the virus. Patients with recent infection with one of the TORCH agents will have IgM antibody to the specific agent, and those with a past infection will have an IgG antibody, which is life-long. If neither immunoglobulin is detectable, there has been no infection with these microorganisms.

When is it ordered?

The test is ordered if a pregnant woman is suspected of having any of the TORCH infections. Rubella infection during the first 16 weeks of pregnancy presents major risks for the unborn baby. If a pregnant woman has a rash and other symptoms of rubella, laboratory tests are required to make the diagnosis. A physician cannot tell if a person has rubella by their clinical appearance since other infections may look the same. Women infected with toxoplasma or CMV may have flu-like symptoms that are not easily differentiated from other illnesses. Antibody testing will help the physician diagnose an infection that may be harmful to the unborn baby.

The test may be ordered on the newborn if the infant shows any signs suggestive of these infections, such as exceptionally small size relative to the gestational age, deafness, mental retardation, seizures, heart defects, cataracts, enlarged liver or spleen, low platelet level, or jaundice.

What does the test result mean?

Results are usually given as positive or negative, indicating the presence or absence of IgG and IgM antibodies for each of the infectious agents. Presence of IgM antibodies in the newborn indicates high likelihood of infection with that organism. IgM antibodies produced in the mother cannot cross the placenta so presence of this type of antibody strongly suggests an active infection in the infant. Presence of IgG and absence of IgM antibody in the infant may reflect passive transfer of maternal antibody to the baby and does not indicate active infection in the baby.

Likewise, the presence of IgM antibody in the pregnant woman suggests a new infection with the virus or parasite. Further testing must be done to confirm these results since IgM antibody may be present for other reasons. IgG antibody in the pregnant woman may be a sign of past infection with one of these infectious agents. By testing a second blood sample drawn two weeks later, the level of antibody can be compared. If the second blood draw shows an increase in IgG antibody, it may indicate a recent infection with the infectious agent.

Is there anything else I should know?

Use of the TORCH panel to diagnose these infections is becoming less common since more specific and sensitive tests to detect infection are available. Relying on the presence of antibodies may delay the diagnosis since it takes days to weeks for the antibodies to be produced. Detection of the antigen or growing the microorganism in culture can be done earlier in the infectious process and are more specific.

Saturday, December 24, 2005

Salah Makan

Laki-laki bertubuh gempal dan berkumis hitam itu menyapaku saat masuk ke ruang praktik. Pria yang biasa kulihat dan saling bertegur sapa ketika melintas masuk ke tempat kerja ini minta dibuatkan surat rujukan untuk istrinya yang berobat ke RS kemarin. Rujukan ini berguna untuk mendapatkan penggantian uang dari perusahaan.

"Istrinya sakit apa, Pak?" tanyaku
"Keracunan makanan, Dok," jawabnya.
"Memangnya makan apa?" tanyaku lagi.
"Kemarin dia salah makan. Dia minum baygon."

Ada-ada saja. Keracunan baygon. Intoksikasi organofosfat. Upaya bunuh diri tentunya. Suicidal intention. Masalah rumah tangga, mungkin? Aku tak ingin mengeksplorasi lebih jauh. Ini urusan pribadinya. Lagipula ada karyawan lain yang juga berobat di ruangan ini. Aku tak ingin cerita ini menyebar ke seantero kantor.

Jadi teringat masa-masa ko ass dulu. Ironis sekali melihat orang yang berupaya bunuh diri dengan minum racun insektisida golongan organofosfat ini. Mungkin hampir setiap minggu selalu ada kasus ini di Instalasi Gawat Darurat RS manapun. Biasanya ceritanya hampir sama. Si pelaku membulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya dengan meminum obat nyamuk cair. Saat masuk beberapa tenggak ke dalam dalam kerongkongannya, ia merasakan panas dan rasa terbakar luar biasa, sehingga mengerang kesakitan, dan tidak menghabiskan isi minumannya. Segeralah ia dibawa kerabatnya ke IGD RS. Dipasanglah selang menuju lambung lewat lubang hidung untuk membilas isi lambungnya, memastikan racun dibersihkan. Dalam pemasangan nasogastric tube ini, tentu rasanya sangat tidak nyaman. Belum lagi berpuluh-puluh ampul sulfas atropin yang dimasukkan lewat selang infus. Berapa pula rupiah yang harus habis?

Sudah susah-susah pengen mati, eh malah nggak kesampaian. Jadi sakit pula. Masuk rumah sakit pula. Keluar uang pula. Malah tambah susah, kan?

Memangnya mati itu gampang? Akhirnya bisa disimpulkan kematian itu mahal harganya, bukan? Kenapa nggak pilih cara mati yang lebih cepat saja, misalnya memasukkan moncong pistol ke dalam mulut atau mengarahkannya tepat ke otak, dan.. DOR!

Tapi harga pistol kan mahal. Mendapatkannya juga susah dari segi hukum.

Makanya.. jangan bunuh diri

--biasa, ini sesi ga nyambung:
kasus aneh yg didapat dlm 2 minggu ini:
- Buerger Disease: kelainan vaskuler yg dirujuk ke Bedah Vaskuler. Untung pasiennya ngasih tahu gw diagnosisnya apa? kalo enggak.. waa mana gw tau. ujung2nya musti browsing di Google
- bayi makrosomia dari ibu DM tipe 1 yang humerus dekstranya 'terpaksa' harus mengalami fraktur akibat distosia bahu dan ditilong pas persalinan. udah gitu sempet didiagnosis Erb Palsy pula. bodohnya...

Tuesday, December 06, 2005

the antibiotics thing

Good Doctor, Bad Doctor.

Bagaimanakah dokter yang baik menurut Anda? Ia menebar senyum sejak Anda membuka pintu ruang praktiknya, serentak berdiri sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman, meluangkan waktu yang cukup untuk mendengarkan segala keluhan, seraya melakukan pemeriksaan fisik yang teliti, dan berujung pada menulis di atas kertas resep, dan menyerahkannya pada Anda. Keluhannya sih mungkin ringan, hanya batuk-pilek dengan sedikit demam sudah tiga hari tak kunjung mereda. Dokter yang ramah dan baik hati ini menuliskan dua macam antibiotika dalam resepnya: amoksisilin 500 mg dan kotrimoxazol 480 mg dalam sediaan paten. “Ingat ya, harus dihabiskan antibiotikanya,” pesannya sebelum si pasien meninggalkan ruangan.

Common colds diberikan antibiotika? Sampai dua macam pula. Merek-nya paten pula. Tapi dokternya baik sih.. Jarang lho dapat dokter ramah dan baik hari seperti itu. Apapun obatnya, akan kubeli. Hey, belum tentu si dokter bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk mengeruk komisi obat paten lho! (well, meskipun tetap ada kemungkinan sih) Bisa saja memang si dokter ramah ini kurang updated ilmunya. Jadi memberikan obat dengan ilmu sepuluh tahun lalu, padahal dunia kedokteran terus berkembang…

Lalu dengan dokter satu ini: sejak Anda masuk ke dalam ruangannya, wajahnya datar-datar saja. Ia tidak banyak bicara, hanya mendengarkan keluhan Anda, memeriksa seperlunya, bertanya seperlunya, dan menuliskan resep sambil memberitahukan cara penggunaannya. Yang jelas si dokter satu ini paham betul dengan penggunaan obat secara rasional. Termasuk antibiotika, ia tidak akan meresepkannya jika dinilai tidak perlu. Kadang-kadang si pasien sampai merengek minta diberikan antibiotika padahal hanya luka tergores saja di lututnya. Ia paham betul dengan ‘parahnya’ penggunaan antibiotika di Indonesia. Ia tidak ingin memperkeruh kondisi ini.

Kedua contoh di atas bukanlah contoh yang ideal, bukan? Kita mengharapkan dokter ramah dan baik hati terhadap pasiennya, namun juga rasional dalam memberikan obat, plus updated ilmunya. Itu dokter yang bagus. Pasiennya banyak, sampai mengantrinya pun berjam-jam. Obatnya cocok! Minimal ada satu antibiotika pada kunjungan pertama. Alhamdulillah sih seringnya langsung sembuh. Kalau ke dokter lain belum tentu obatnya cocok.

Beberapa hari lalu, sambil menyetir sendirian malam-malam pulang dari tempat kerja (one thing I really enjoyed, driving alone at night, but I think having ‘someone’ right beside me while driving must be much more enjoyable, there’s someone to talk with… but the time hasn’t come yet—sorry nih OOT) dan mendengarkan sebuah radio swasta ibukota, si penyiar dalam obrolannya di sela-sela lagu menceritakan, “Gue mau cerita nih tentang dokter gue. Gue memang terkenal bandel kalau disuruh minum obat. Disuruh minum antibiotika sampai habis, begitu badan gue merasa enakan, gue stop obatnya. Akibatnya saudara-saudara? Sekarang gue disuruh minum sampai tiga macam antibiotika kalau sakit, karena gue udah kebal sama antibiotika. Makanya gue harus minum tiga macam untuk membunuh semua virus sampai tuntas.”

Dengan nada bangga si penyiar menceritakan pengalamannya. Dokternya yang dibanggakannya ini memberikan kombinasi antibiotika menyadari resistensi obat yang ada (memangnya sudah dibuktikan dengan uji kultur darah?). Ia pun salah menyebutkan kata ‘virus’. Antibiotika untuk memubuh bakteri, Mas, bukan virus! Ini si penyiar memang tidak begitu mau tahu ilmunya, atau si dokter telah (maaf) ‘membodohi’ pasiennya, dengan entengnya mengkombinasi antibiotika, tanpa memberikan edukasi yang baik. Jadi instead of keep giving multiple antibiotics, yang lebih penting adalah mendiagnosis dengan tepat penyakitnya, dan memberikan edukasi agar mampu menjaga kesehatan agar tidak mudah sakit.

Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membeberkan teori antibiotika dan resistensinya, juga data-data kuantitatif antibiotics abuse di Indonesia. Singkatnya, Indonesia adalah negara dengan pola konsumsi antibiotika tidak rasional. Dokter mudah merasa khawatir dengan penyakit pasiennya, maka mudahnya, berikan saja antibiotika sebagai ‘obat dewa’, mampu ‘menyembuhkan semua penyakit’. Ditambah mahalnya ongkos pemeriksaan penunjang, maka dokter di Indonesia cenderung terjebak pada pola terapetik farmasi. Sekali datang, langsung obati, mudah-mudahan ‘cespleng’! Penekanan pada aspek kuratif (pengobatan), bukan preventif (pencegahan). Konsumen kesehatan menambah parahnya kondisi ini dengan mereka yang meminta antibiotika ke dokter, padahal dokter belum tentu ingin meresepkan. Khawatir ‘tidak laku’, maka dokter memenuhi permintaan pasien.

Ironic, isn’t it?

Inilah yang akhirnya menyebabkan SUPERBUGS: bakteri resisten terhadap golongan antibiotika spektrum luas. Kalau kumannya sudah begini, mau diobati dengan apa lagi? Saya ingat dengan kisah sedih kawan SMU saya, anaknya yang berumur 1 minggu dirawat di sebuah RS pemerintah dengan mendapat tiga macam antibiotika spektrum luas!! Saya khawatir kuman penyebabnya tidak berasal dari lingkungan alamiah si anak, melainkan didapat dari RS selama perawatan. Namanya infeksi nosokomial. Semacam oleh-oleh dari RS jika dirawat. Seseorang dirawat, keadaannya bukannya membaik, melainkan mendapat infeksi bakteri baru dari RS yang resisten dengan berbagai macam antibiotika.

Udahan dulu deh…

Ini lagi ga nyambung: laporan jaga semalam di LKC:

- satu pasien dengan penurunan kesadaran suspek CVD stroke hemoragik GCS 3, diobservasi aja, alhamdulillah paginya bisa respon suara, jadinya GCS 15! (kayanya gue yang salah nilai GCS pas masuk deh) Cuma ada parese nervus VII aja sih, ga ada hemiparesis.

- Dua pasien kebidanan: satu wanita 35 tahun dengan G2P1A0 lahir spontan jam 23-an, dan satu wanita 31 tahun dengan G9P7A1 (grande multipara boo) partus spontan abis sholat subuh. Sempat bikin panik karena ada hysterical reaction (‘Dokter Apin harap turun ke ruang Bidan CITO’) dibilangnya pingsan. Untuk ga ada apa-apa. Semua bayi AS-nya bagus dan BL normal.

- Bolak-bolak nelepon perawat rujukan di RSCM gara-gara ga dapat kamar untuk satu bayi BBLR preterm 32 minggu dengan hiperbilirubinemia, dan satu lagi member baru anak 2,5 tahun dengan KEP suspek meningitis khawatir ada dekomp juga. Cari ruangan di Harkit ga dapet, cari ke Fatmawati ga dapet juga. Ya beginilah kondisi RS kita, seringkali pasien ditolak, ga tau memang penih ruangannya di RS rujukan, atau memang nolak pasien GAKIN (mudah-mudahan yang terakhir ini engga. Kalau ketahuan Bu Menteri bisa jadi kasus lagi. Hehehe)

Siap-siap berangkat lagi tiga jam dari sekarang. Ngantuk euy

Monday, December 05, 2005

Boobies!!

Okay, from the beginning, I have to tell you that I’m not going to write pornography or related. It’s just a title… hopefully an ‘eye-catching’ one, that’s going to attract you all to read my post. In the end, you’ll find some additional new knowledge about breast cancer. For those who haven’t had the information, of course.

Judul ini persis sama dengan tulisan yang saya temukan siang tadi dari penelusuran terhadap beberapa blogspot kedokteran. Tepatnya di Grahamazon dot com, yang memandu Ronde Besar Medscape pekan lalu (semua dokter dan mahasiswa kedokteran tingkat klinik pastinya familiar dengan istilah Ronde Besar). Coba simak kalimat-kalimat berikut.

“It’s not everyday that you’re told by a woman to look at her chest. In fact, unless you’re learning how to do a female breast exam, it’s generally not kosher. And so it was, that last Monday I palpated my first breasts. (This post is totally gonna nail me by porn-blocking software.)”

Mengingat jarangnya saya menulis blog, karena seringkali tidak ada ide, membaca blog milik Mr. Graham Walker yang mengisahkan hari-harinya menjadi mahasiswa kedokteran di Stanford University ini (ia masih mahasiswa tahun ketiga), memberikan ide bagi saya untuk sedikit bercerita masa-masa kuliah di FKUI dulu.

Pertama kali kami mempelajari teknik pemeriksaan payudara, yakni metode SADARI (perikSA payuDAra sendiRI) atau Breast Self Examination (BSE) ini adalah dalam sebuah mata kuliah Patologi Anatomi tingkat tiga (saya merasa kagum juga masih mengingatnya, berarti ini kebetulan saya masuk kuliah, karena masa-masa tingkat dua dan tiga adalah saat-saat saya sering cabut kuliah). Hanya melalui ilustrasi dari tayangan proyektor LCD saja. Saya juga ingat sang dosen memelesetkan menjadi ‘Periksa Payudara oleh Suami’. Tidak masalah, bukan?

“My friend Heather decides to go first, and before I have time to blink, *woah*, there’s two big breasts staring right back at me. Heather started out saying “Fantastic!” after the instructor raised her arms in response to Heather’s request, but the instructor reminded us that “breasts are not fantastic. They are healthy or normal.”

Kemudian di tingkat IV, saat berada di Bagian Bedah, untuk pertama kali kami melakukannya langsung terhadap pasien di IRNA A RSCM. Kelompok kecil kami terdiri dari empat orang pria ganteng (hueek, hueekk): aku, Aria, Ardath, dan Onny. Berhubung F-4 sedang menjadi idola saat itu, kami menjuluki diri kami F-Se (hueekk, pret, dut, cuih, hehehe… beneran lho, kelompok lain nggak ada yang satu kelompok cowok semua). Dr. Sastiono Spesialis Bedah Anak membimbing kami melakukannya pada seorang ibu yang bersedia menjadi volunteer. Eitss.. ga boleh mikir ngeres.

“I’m being overly cautious at this point, trying not to say qualifying words like “fantastic” or “excellent,” so I end up just saying “okay,” and “healthy,” about 50 times. She finds it amusing; I let out a nervous laugh, and try to continue, still in hypersensitivity mode.”

Yang terakhir saat berada di Bagian Bedah tingkat VI, kami benar-benar bisa ‘puas’ melatih kemahiran melakukan breast exam ini di Poliklinik Bedah RSU Tangerang. Inspeksi dan palpasi, inspeksi dan palpasi. Hampir setiap harinya selalu ada lebih dari satu orang pasien baru dengan keluhan benjolan di payudara. Sebagai ko-ass, sebelum diperiksa langsung oleh spesialis bedah, semua pasien baru harus melewati kami.

Sangat alamiah dan manusiawi, semua perempuan yang harus ‘merelakan’ dilihat auratnya yang vital ini oleh dokter laki-laki akan merasa risih dan tidak nyaman. Begitulah yang kualami saat memeriksa mereka (secara teori, bahkan pasien harus diperiksa dalam beberapa posisi berbaring dan duduk, betapa tidak nyamannya!). Belum lagi wajah ‘dokter muda’ yang masih culun-culun dan membuat orang berpikir “Are you really a doctor here?” Maka dari itu, saya menyarankan semua wanita yang merasa memiliki benjolan tidak wajar di payudaranya untuk tidak datang ke dokter laki-laki (detilnya bisa dibaca di akhir tulisan).

Semua benjolan pada payudara atau breast lumps, adalah suatu keadaan yang mengharuskan setiap wanita yang mengalaminya datang ke dokter, karena bisa merupakan suatu keadaan dini dari keganasan (kanker). Meskipun beberapa kemungkinan (diagnosis banding) yang ada antara lain: fibroadenoma mammae (FAM—pada wanita muda, bukan kanker), kista, mastitis (biasanya pada ibu menyusui), dan papiloma.

Dalam kenyataan sehari-hari, tidak semua wanita Indonesia menyadari hal ini. Dari pengalaman klinikku selama setahun terakhir, ada yang menyadari benjolan yang terus membesar dan dibiarkan saja, dengan alasan ekonomi khawatir harus dioperasi (dari pemeriksaan fisik dan usia sepertinya sih giant FAM, tapi tetap saja harus dioperasi, kebetulan juga si ibu ini dari sosioekonomi-pendidikan menengah ke bawah); ada juga yang menyadarinya sangat dini dan langsung minta diperiksa (memang FAM dan sudah dioperasi dengan biaya dua jutaan setahun lalu); ada yang sekedar galactocele pada ibu yang memberikan ASI; ada juga yang memang terbukti Ca (kanker) dan menjalani seri radioterapi di RSCM; dan ada juga yang menyadarinya dari pemeriksaan suami (lucu juga ya, yang bersangkutan tidak pernah merasakannya, malahan si suami. Inilah maksud pelesetan kepanjangan SADARI. Jangan berpikir vulgar lho!).

Mengapa mendeteksi kanker payudara sedini mungkin menjadi amat penting? Data menunjukkan kematian akibat kanker payudara ini menduduki tempat kedua dalam kasus keganasan di Indonesia, persentasenya sebesar 11,22%. Survei terakhir di dunia menunjukkan tiap tiga menit ditemukan penderita kanker payudara, dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal akibat kanker payudara.

Bagaimana cara mendeteksi dini penyakit ini? Teknik SADARI atau BSE bisa menjadi sebuah jawabannya. Meskipun dalam sebuah publikasi, Journal of The National Cancer Institute terbitan awal Oktober 2002, dan penelitian dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle dalam penelitiannya yang melibatkan 266.064 pekerja pabrik di Shanghai dan membagi atas kelompok BSE dan kontrol, menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian kematian akibat kanker payudara antara dua kelompok ini. Namun di tengah pro-kontra pentingnya metode SADARI ini, tetap dianjurkan untuk melakukan SADARI, sebaiknya ditambah dengan pemeriksaan oleh dokter dan melalui pemeriksaan mamografi (rontgen terhadap payudara). Setidaknya untuk negara miskin macam kita yang pastinya sulit untuk melakukan mamografi rutin (belum lagi ditambah rasa risih melakukannya, misalnya saja operator mesin radiologinya laki-laki?).

Mulai usia berapa sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan payudara ini? American Cancer Society merekomendasikan mulai umur 20 tahun, setiap tiga tahun sekali, sampai usia 40 tahun, dan sesudahnya sekali dalam setahun. Meskipun sebelum umur 20 tahun masih bisa dijumpai benjolan pada payudara, namun potensi keganasannya amat minim. Sebuah situs yang menjelaskan lengkap masalah breast cancer ini adalah Mayo Clinic.

Beberapa ilustrasi mengenai teknik SADARI atau BSE dapat dilihat di sini, sini, situ, dan masih banyak lagi.

Ada beberapa tips dari saya mengenai pemeriksaan ini di layanan kesehatan terdekat.

Pertama, periksakanlah ke dokter wanita, sebisa mungkin! Syari’ah menjelaskan bahwa aurat wanita hanya boleh dilihat laki-laki dalam tingkat kedaruratan tinggi, yakni menyangkut nyawa, dan tidak ada dokter wanita. Kondisi darurat ini pun sifatnya sementara. So… jika Anda mencurigai adanya benjolan di payudara, dan ingin memeriksakannya ke dokter (tidak mesti ke dokter spesialis bedah, dokter (umum) pun bisa), berusahalah untuk mencari dokter wanita. Tentunya tidak nyaman juga kan kalau yang memeriksa dokter laki-laki. Ya… ini juga dari pengalaman saya memeriksa pasien wanita.

Kedua, pelajari terlebih dahulu teknik-teknik pemeriksaan payudara ini, seperti telah banyak saya lampirkan link-link di atas, mulai dari SADARI, sampai prosedur mamografi, USG payudara, biopsi, dan lainnya. Apalagi jika sampai mendapatkan vonis dari dokter bedah untuk dilakukan pembedahan, meskipun untuk kasus-kasus benjolan jinak, dokter bedah yang paling ahli sekalipun harusnya tetap melakukan pemeriksaan penunjang seperti mamografi ini. Harus dipahami dulu rasa tidak nyaman ketika payudara digencet oleh alat mamografi.

Sangat disarankan untuk membuka semua link yang ada, untuk mendapatkan informasi lebih utuh.

Ini ga nyambung: Apin-lagi-seneng-banget-hari-ini-dapat-kabar-seorang-kliennya-dengan-infertilitas-primer-selama-bertahun-tahun-plus-kista-ovarium-juga-tiba-tiba-beberapa-minggu-setelah-mengadopsi-anak-langsung-ketahuan-positif-hamil. Memang-ga-nyambung-sih-antara-‘mancing’-punya-anak-dengan-akhirnyabisahamiljuga. Tapi-ini-benar-benar-terjadi-pada-beberapa-orang. Keturunan-memang-rahasia-Alloh.

Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...