Friday, June 15, 2007

Kalau Anak Diare, Boleh Tidak Dikasih Antibiotika dan Antidiare?

Pertama, kita harus tahu dulu apa definisi diare. Diare atau gastroenteritis akut adalah buang air besar lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan konsistensi tinja lebih lembek atau berair. Tapi ada juga lho orang yang punya kebiasaan sehari BAB sampai 4x, tapi tidak lembek/cair. Ini juga tidak termasuk diare.

Kedua, secara umum diare dibagi dua: diare akut dan diare kronik. Diare akut berlangsung di bawah 14 hari, sedangkan diare kronik lebih dari 14 hari. Ada juga istilah diare persisten, yang hampir mirip dengan diare kronik.

Ketiga, anak diare biasanya disertai mual-muntah. Ini adalah hal yang umum terjadi, dan tidak butuh penanganan khusus. Artinya tidak butuh obat mual-muntah. Saya jelaskan di bawah.

OK, yang kita bahas di sini adalah diare akut tanpa penyulit. Artinya bukan disentri (diare disertai darah), diare kronik/persisten, atau diare dengan dehidrasi berat (di sini saya tidak menjelaskan macam-macam kategori dehidrasi, bisa ditemui di banyak sumber di internet).

SATU HAL PENTING: diare sebenarnya adalah mekanisme pertahanan tubuh juga. Kok bisa? Ya, diare membuang semua virus dan bakteri yang mengganggu sistem pencernaan kita. Begitu juga dengan muntah. Makanya kalau penyakitnya belum keluar semua, kemudian diare di-STOP, atau muntah di-STOP, bisa-bisa si kuman muter-muter aja di saluran cerna, berkembang biak lebih banyak, dan bisa mengakibatkan penyakit bertambah berat. PRINSIPNYA: cegah dehidrasi.

Kalau anak diare, khususnya bayi dan balita, biasanya orangtua panik. Apalagi kalau disertai mual-muntah. Langsung deh pada hari itu, hari pertama-kedua diare, si anak dibawa ke dokter. Jreeenngg... apakah yang dokter berikan?

ORALIT! Yak, inilah obat utama dan andalan untuk semua diare. Jadi jangan lupa, kalau anak diare: minum ORALIT. Inipun tidak perlu pergi ke dokter, karena oralit bisa dibeli secara bebas. Prinsipnya adalah anak harus banyak minum dan makan, jika oralit belum/tidak tersedia. Minum apa saja boleh... termasuk susu. Lho, kok susu? Ya iya dong, kan diarenya bukan karena susu (intoleransi laktosa). Jadi nggak perlu susunya diganti susu LLM (low lactose milk).

Trus bagaimana dengan antibiotika? Pada anak, diare sebagian besar disebabkan oleh Rotavirus, yang akan sembuh dengan sendirinya, antara 2 sampai 7 hari. Jadi ya... didiamkan saja anaknya. Kok tega banget sih anak mencret-muntah didiamkan aja, nggak dikasih obat? Nggak dikasih antibiotika? Ya iya dong, dikasih antibiotika malah bisa memperparah diare. Berhubung tidak ada bakteri jahat yang harus dibunuh (kan akibat virus, bukan bakteri), jadinya si antibiotika membunuh bakteri baik. Makanya ada yang namanya antibiotic-associated-diarrhea.

Antibiotika hanya diberikan pada disentri, kolera dengan dehidrasi BERAT, dan penyakit lain seperti pneumonia.

Trus... kalau antidiare dan antimuntah? Hmmm.... saya tidak akan menyebut merek dagangnya. Tapi menyebut isinya saja (coba Ibu-ibu, Bapak-bapak, dilihat obat mencret-muntah anaknya isinya apa).

Ada yang istilahnya adsorben, macamnya: kaolin-pektin, attapulgite, smectite, karbon, dan kolestiramin. Obat-obat ini digunakan karena mampu mengikat dan menonaktifkan racun (toksin) bakteri atau bahan kimia lainnya yang menyebabkan diare, dan kemampuannya untuk "melindungi" mukosa usus halus. Penelitian tidak menunjukkan kegunaan obat jenis ini.

Obat antimuntah seperti chlorpromazine, metoclopramide, dan domperidone malah dapat menimbulkan efek mengantuk, gangguan keseimbangan, dan berinteraksi secara kimiawi dengan oralit. Muntah akan berhenti dengan sendirinya jika diare hilang.

Obat antimotilitas, misalnya: loperamide, hyoscine, dll diberikan untuk mengurangi gerakan usus, sehingga tinja tidak cair, dan diare mereda. Padahal ini dapat menyebabkan ileus paralitik (usus berhenti bergerak/berkontraksi sama sekali), dan berakibat mengancam nyawa (kematian). Penyakit pun tidak bisa dikeluarkan jika usus tidak mau mengeluarkan.

Ada beberapa obat lain yang saya dapati dalam survei yang saya lakukan: ada nifuroxazide (antibiotika), ini juga tidak perlu, dan ada juga antijamur. Padahal diare yang timbul akibat jamur hanya pada anak dengan gangguan sistem daya tahan tubuh (HIV/AIDS, lupus, kanker, terapi steroid jangka panjang).

Sudah cukup paham Bapak dan Ibu? Anak mencret dan muntah: jangan panik dulu, pikirkan penyebabnya (kebanyakan makan sambel kali...), amati anaknya: ada dehidrasi/tidak. Masih mau minum kan? Nggak terlalu lemes kan? Mau makan walau sedikit tapi sering kan? Masih ada pipisnya kan? Masih mau netek kan? Berarti sekedar diare akut. Delapan puluh persen akan sembuh sendiri.


sumber: The Treatment of Diarrhoea, a manual for physicians and other senior health workers, WHO 2005.

Wednesday, June 13, 2007

Kalo Berobat ke Dokter Pulangnya Pasti Bawa Obat

Each visit to doctor ends with prescriptions.

Kita sakit, trus kita berobat ke dokter, pulangnya harus bawa obat, atau minimal dikasih resep. Iya nggak sih?

Ya iya dong. Masak udah jauh-jauh datang ke dokter, keluar ongkos, waktu kepake, keluar dari ruang dokter nggak dikasih obat?

Misalnya kita demam dari semalam, badan panas dingin, menggigil, nggak masuk kerja hari ini, udah minum parasetamol sih, ada stoknya di rumah, trus sorenya berobat ke dokter. Setelah diperiksa, dokternya bilang: ini demam baru hari kedua, tidak ada tanda-tanda penyakit spesifik lain, paling mungkin ini infeksi virus aja. Sudah ada obat penurun demam di rumah kan ya? Pake itu aja. Saya nggak ngasih obat lagi. Nggak perlu antibiotika dll. Minum air yang banyak, kompres pake air hangat supaya demamnya turun, kita observasi sampai lusa. OKeh?

Udah deh, gitu aja, dokternya nggak ngasih obat. Cuma kasih nasehat aja. Padahal ongkos konsultasinya aja Rp 50 rebu.

Padahal saudara-saudara, tidak semua kunjungan ke dokter harus berakhir dengan dikasih resep. Kalau cuma sakit demam baru tiga hari, batuk-pilek, mencret alias diare, ini mah kaga perlu obat. Istirahat aja dulu, minum yang banyak. Kalo diare nggak perlu minum obat macam-macam antidiare-antibiotika (diare baru 1-2 hari tanpa darah, dan warna tinja biasa aja). Minum aja oralit. Ini kan juga nggak perlu ke dokter.

Jadi jangan ngambek ya kalau dokternya nggak kasih resep obat, cuma kasih nasihat aja. Pemberian obat yang tidak sesuai indikasi justru meningkatkan risiko efek samping, dan interaksi obat kalau obatnya lebih dari dua macam.

Kan ente-ente pade punya akses internet, silakan browsing dulu di internet kira-kira ini masuk kategori sakit apa. Perlu ke dokter nggak, atau perlu obat nggak?

Nasihat dokter itu obat juga lho. Makanya konsultasinya aja dihargai mahal. Hehehe...

kalo yg mau kasih komen, berhubung shoutbox-nya lagi error, ke http://drarifianto.multiply.com aja isi shoutbox di situ
apin lagi nulis dikit, dikejar menyelesaikan penelitian sebelum mulai kuliah PPDS

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...