Friday, January 18, 2008

Mengapa Tidak Mau Memberikan Imunisasi?

Seorang sejawat mengirimkan e-mail di bawah ini: “kalau bisa Anda buat tulisan tentang pentingnya imunisasi/vaksinasi karena sekarang mulai banyak keluarga muslim yang tidak mau anaknya divaksinasi dan lebih memilih "bahan-bahan" alternatif sperti beberapa merek yang sudah banyak bereder melalui sistem MLM di kalangan tertentu, walaupun saya tahu persis produk-produk tersebut belum ada penelitian Randomized Controlled Trials-nya. Ini potensi destruktifnya kan besar sekali untuk potensi generasi di masa yang akan datang.. Mereka bahkan sdh ada yg meminta utk diadakan semacam penyuluhan untuk menginformasikan tentang bahaya/tidak perlunya vaksinansi, di antara argumennya ialah bahwa vaksin itu buatan Yahudi/strategi Amerika utk meracuni anak-anak muslim...”

Baiklah kawan, saya coba memberikan pendapat saya. Sebuah buku yang (ternyata) ditulis oleh seorang dokter (si penulis tidak menyebutkan dengan tegas bahwa ia dokter, setelah menelusuri profilnya di internet baru saya tahu) memberikan keterangan seperti ini: “Vaksinasi bisa menghancurkan sistem kekebalan tubuh kita. Para ahli klinis yang meneliti penyakit sebelum dan sesudah vaksinasi menyimpulkan bahwa vaksin dapat melemahkan sistem imun. Akibat buruk suntikan vaksin bisa terus berlanjut. Dalam kasus-kasus tertentu yang buruk, suntikan vaksin itu malah bisa membunuh orang yang diberi suntikan. Beberapa ahli juga mengatakan kalau vaksin justru melemahkan upaya tubuh untuk bereaksi secara normal terhadap penyakit. Bahkan, ia berpotensi juga memunculkan penyakit autoimun. Terdapat beberapa penyakit autoimun, di antaranya: sindrom Guillain Barre, trombositopenia, dan artritis.” Padahal beberapa halaman sebelumnya penulis menyebutkan, “sistem imun adalah upaya silaturahmi yang bertugas untuk mengembangkan suatu pola interaksi yang sehat. Hal ini dapat diamati pada proses vaksinasi, yaitu pada saat sebagian eleman mikroba patogen (penyebab penyakit) yang telah dilemahkan atau bagian yang tidak berbahaya diperkenalkan ke dalam tubuh sebagai faktor “pengingat” bagi sistem imun”. Pernyataannya kontradiktif, di bagian akhir buku penulis mengajak pembaca untuk tidak memberikan imunisasi, tetapi di halaman pembuka, ia menjelaskan imunisasi memberikan pola interaksi yang sehat dalam tubuh. Anyway, saya setuju dengan 90% isi bukunya, hanya statement tentang imunisasi dan beberapa hal kecil lain saja yang saya tidak sepakat. Juga hal-hal yang disebut di atas seperti Guillain Barre syndrome, trombositopenia, dan artritis, disebut sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau post vaccination adverse event, yang relatif jarang terjadi, jarang sekali yang fatal, dan dijelaskan oleh dokter sebelum tindakan imunisasi dilakukan, sehingga mendapat persetujuan tindakan dari orangtua.

Bukan hal baru bagi dokter dan pasien, bahwa sebagian dokter tidak mau memberikan imunisasi bagi pasien-pasiennya. Ada yang tidak mau memberikan vaksin jenis tertentu saja, ada yang menunda memberikan vaksin tertentu sampai umur lewat dari usia yang direkomendasikan, dan ada yang tidak mau memberikan semua jenis vaksin. Padahal jelas sekali, di seluruh dunia vaksinasi/imunisasi telah terbukti mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi tertentu. Sebut saja cacar (variola, bukan cacar air atau varisela) yang telah musnah dari permukaan bumi sejak tahun 1970-an, padahal sebelumnya penyakit ini telah merenggut jutaan nyawa. Sebut lagi penyakit infeksi lain seperti cacar (measles) yang memiliki komplikasi meningitis (radang selaput otak) dan pneumonia (radang jaringan paru) yang mematikan. Juga ada difteri, pertusis, tetanus, polio, dan lain-lain—name it deh, semua vaksin yang ada—yang membuat kita hampir tidak pernah menemui kasus ini di keseharian. Padahal beberapa dekade silam ketakutan besar menimpa orangtua yang khawatir anaknya terkena penyakit-penyakit ini. Lalu mengapa dokter tidak memberikan?

Ada beberapa alasan dalam analisis pribadi saya. Pertama, sebuah isu massal menyebutkan bahwa vaksinasi adalah konspirasi Yahudi melemahkan daya tahan anak-anak berbagai umat. Toh sudah diberi vaksinasi campak, cacar air, BCG, masih bisa juga terkena campak, cacar air, dan tuberkulosis! Ya, tidak ada satupun vaksin memiliki efek protektif mencapai 100%. Semua dokter yang lulus dari fakultas kedokteran negeri ini juga tahu. Sebagai contoh, vaksinasi BCG memiliki efektivitas perlindungan terhadap TBC sebanyak 0 sampai 80%. Artinya, anak yang sudah diimunisasi BCG sangat mungkin terinfeksi TBC dan menjadi sakit di negara endemik TBC ini. Tetapi, BCG terbukti sangat efektif mencegah komplikasi TBC seperti TB milier dan meningitis TB. Vaksin-vaksin lain seperti DPT, Hepatitis B, campak, dsb memiliki angka efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan BCG. Bayangkan saja kalau tidak ada vaksinasi campak. Padahal Depkes mencatat 30 ribu anak Indonesia meninggal per tahunnya akibat komplikasi campak (pneumonia, meningitis). Sampai-sampai diadakan PIN Campak bulan Februari tahun lalu di Jakarta. Vaksinasi campak jauh mengurangi angka kesakitan dan kematian ini.

Banyak orangtua juga membuktikan anak-anak mereka tidak ada satupun yang sakit-sakitan, dan selalu sehat, padahal tidak ada yang diimunisasi barang seorang pun. Hal ini tentunya sangat mungkin. Dalam konsep epidemiologi klinik, satu anak yang tidak diimunisasi polio misalnya, tapi ia adalah carrier (pembawa) virus polio, dapat menginfeksi seluruh anak lain yang berada di lingkungannya yang tidak mendapatkan imunisasi polio. Ini adalah hipotesis terjadinya heboh polio di Sukabumi tahun 2003 silam. Makanya seluruh anak dalam satu komunitas harus divaksinasi, tanpa kecuali.

Alasan kedua, di dalam vaksin juga disinyalir terdapat zat-zat haram, seperti babi, janin manusia yang diaborsi, dll. Selengkapnya bisa melihat ke www.halal-guide.com

Saya coba menyalin kandungan vaksin yang saya ambil dari kemasannya langsung. Ini daftarnya, sesuai merek dagang (beda pabrik bisa beda pengawet):

Infanrix-Hib (GSK), yaitu vaksin DaPT-Hib dalam satu sediaan (kombo), atau Tetract-Hib (DPT-Hib): isinya toksoid difteri, toksoid tetanus, dan tiga antigen pertusis yang dimurnikan dalam garam aluminium. Juga mengandung polisakarida kapsuler polyribosylribitol-fosfat (PRP) dari Hib. Toksin D dan T diperoleh dari kultur bakteri yang didetoksifikasi dan dimurnikan. Komponen seluler/aseluler P juga diperoleh dari bakteri B. pertusis. Kemudian semuanya diformulasikan dalam garam fisiologis, dan diawetkan dengan 2-fenoksietanol (alkohol).

Act-Hib (Aventis), isinya Hib saja: mengandung polisakarida Hib yang terkonjugasi dengan protein tetanus, dan pengawet Trometamol dan Sukrosa, dilarutkan dengan Natrium klorida.

Varilrix (GSK), yaitu vaksin varisela/cacar air: virus varisela-zoster strain OKA hidup yang dilemahkan, dikultur dalam sel diploid manusia MRC5.

Engerix-B (GSK), yaitu vaksin hepatitis B: antigen permukaan virus yang dimurnikan diolah dengan teknik DNA rekombinan, dimasukkan dalam aluminium hidroksida. Antigen dihasilkan melalui kultur sel kapang/yeast (Saccharomyces cerevisiae). Tidak ada satupun sel manusia hidup yang digunakan dalam pembuatannya.

MMR-II (MSD), yaitu vaksin kombo MMR: virus campak hidup yang dilemahkan dikultur dalam sel embrio ayam; virus mumps hidup juga dikultur dalam embrio ayam; virus rubella hidup dikultur dalam sel diploid manusia. Tidak mengandung pengawet.

Havrix 720 (GSK), yaitu vaksin hepatitis A mati yang diawetkan dengan formalin, dimasukkan dalam aluminium hidroksida, dan dipropagasi dalam sel diploid manusia.

Typhim Vi, yaitu vaksin tifoid, dari polisakarida S. Typhi, diawetkan dengan fenol dan larutan buffer yang mengandung NaCl, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan air.

Saya masih belum bisa mendapatkan daftar isi kemasan produk Biofarma seperti BCG, Hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Mudah-mudahan segera bisa dilengkapi.

Kira-kira komponen mana dari zat-zat di atas yang berpotensi membahayakan tubuh dan mengandung bahan haram? Saya belum menemukan bukti sahih. Semua obat yang diproses secara kimia di pabrik seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama halnya dengan kepedulian terhadap imunisasi ini. Memang negara kita sangat bermasalah dalam status kehalalan obat-obatan dan kosmetika. Andaikan saja bisa mencontoh Malaysia, yang berusaha memproduksi sendiri vaksin halal. Maka saat ini, saya merujuk pada keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sini (terlalu panjang jika disalin ulang): http://www.halalguide.info/content/view/120/397/ atau http://www.halalguide.info/content/view/120/55/

Analoginya bisa dipakai untuk seluruh jenis vaksin lain (BTW, vaksin IPV yang disebut dalam fatwa ini tidak digunakan secara luas di Indonesia, yang digunakan adalah OPV). Lebih lengkap lagi tentang imunisasi juga bisa dilihat di blog Bu Lita di http://lita.inirumahku.com

Surat pembaca saya tentang kontroversi halal imunisasi ini pernah dimuat Majalah Hidayatullah edisi November 2007. Sayangnya tidak ada soft copy-nya di web, dan belum saya salin ulang.

Pro dan kontra terhadap imunisasi atau vaksinasi tidak akan pernah berakhir. Saya bersyukur ada komunitas seperti milis SEHAT (http://groups.yahoo.com/group/sehat) yang selalu mendiskusikan dan memberikan informasi terkini tentang imunisasi dan kesehatan secara umum yang sahih (tidak semua informasi kesehatan di internet terbukti sahih secara evidence based medicine). Silakan juga buka www.sehatgroup.web.id

Sekian dulu. Wallahu a’lam.

(apin, masih bisa banyak nulis sebelum mulai rotasi bangsal non infeksi. Junior oohh… junior)

Thursday, January 17, 2008

Kalau Anak Sakit, Berobat ke Dokter Anak atau ke Dokter (Umum)?

Pertanyaan ini saya baca di sebuah buku yang diterbitkan oleh sebuah tabloid anak ternama ibukota. Menarik sekali. Salah satu bagian buku itu menulis: “Apakah anak harus dibawa ke dokter spesialis anak (dr, SpA) ataukah cukup ke dokter umum (dr,) saja?” Jawaban di buku: “bila di sekitar rumah ada dokter spesialis anak (DSA) atau kita membayar dokter yang lebih memahami penyakit anak, sebaiknya anak dibawa ke dokter spesialis anak saja. Sebab, DSA lebih memahami masalah penyakit pada anak, karena mereka sudah dibekali ilmu lebih banyak dibandingkan dokter umum biasa. Diharapkan, dengan pemahaman yang lebih tinggi, anak bisa tertangani lebih baik”. Dst dst.

Bagaimana menurut Anda jawaban di atas? Ini pendapat saya pribadi. Dokter menjalani pendidikan selama 6 tahun mulai dari ilmu kedokteran dasar sampai penerapannya pada manusia, dan tata laksana penyakit-penyakitnya. Termasuk ilmu kesehatan anak. Jawaban di atas agak klise (ngambang) menurut saya. Karena bisa saja orang memahami bahwa dokter (umum) kurang tepat dalam menangani masalah kesehatan anak. Bawa saja langsung ke spesialis. Lalu apa yang sudah dipelajari dokter umum enam tahun lamanya?

Dokter spesialis dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh dokter (umum). Artinya, dokter memiliki kompetensi dasar untuk semua kasus, mulai dari kasus kesehatan anak, penyakit dalam, kebidanan-kandungan, bedah, dst. Namun ada kasus-kasus rujukan yang harus ditangani oleh dokter spesialis. Makanya setiap profesi memiliki standar kompetensinya masing-masing. Jika dokter umum melakukan hal-hal di luar standar kompetensinya, maka bisa terjerat pasal dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tahun 2004. Mayoritas kasus kesehatan anak di masyarakat adalah penyakit harian (common problems) seperti demam, batuk-pilek, mencret/diare, dan masih banyak lagi yang tentunya cukup ditangani dokter umum. Namun jika ada masalah kecurigaan penyakit jantung bawaan, gangguan perkembangan, keganasan, dan banyak kasus rujukan lain, tentu prosedurnya adalah dokter merujuk ke dokter spesialis. Tapi tak dapat dielakkan memang di Indonesia konsumen kesehatan bisa memilih untuk datang langsung ke dokter spesialis tanpa melalui dokter umum terlebih dahulu. Beda dengan di negara-negara maju. Dengan kata lain, mekanisme referral system (rujukan) memang belum berjalan di negara kita. Pun tak dapat dipungkiri apa yang tertanam dalam pemahaman masyarakat perkotaan umumnya adalah, datangi langsung dokter yang sesuai dengan spesialistiknya, tanpa harus ke dokter umum terlebih dahulu, jika mampu (bayarnya).

Sampai-sampai guru-guru yang mendidik calon dokter anak di sekolah saya bilang, ”Jangan sampai kamu nanti lulus cuma jadi spesialis batuk pilek mencret”. Itupun juga ngobatinnya masih nggak benar, timpal guru saya yang lain. Sakit ringan diresepkan antibiotika tidak sesuai indikasi. Dalam hati saya pun membalasnya, habis mau gimana lagi, yang datang ke dokter anak kebanyakan memang kasusnya batuk pilek mencret.

Lalu kalau anak sakit gigi, apakah langsung ke dokter gigi anak (drg, SpKGA) atau cukup ke dokter gigi umum (drg,) saja? Buku itu menjawab: “sebaiknya ke dokter gigi anak, karena mereka dibekali pengetahuan mengenai spesifikasi pertumbuhan dan perawatan gigi anak. Pendidikan spesialis dijalani selama 3-4 tahun bla bla bla”

Lagi-lagi, ini opini saya pribadi. Melihat istri saya yang dokter gigi umum, saya jadi tahu persis kemampuan seorang dokter gigi (umum) dalam menangani kasus-kasus gigi anak. Pengalaman menata laksana ratusan siswa SD dalam UKGS di beberapa sekolah di pelosok Sumatera saat PTT, dan menghadapi pasien-pasien anak di bawah lima tahun di praktik rumah, membuat saya memahami kompetensi mereka. Tetapi tentu saja, selalu ada kasus-kasus yang harus ditangani SpKGA. Dokter gigi harus merujuk kasus-kasus ini ke sejawat spesialis mereka.

Those are all my personal opinion. Saya sama sekali tidak mengajak pembaca untuk menjauhi dokter spesialis dalam kunjungan pertama. It’s all up to you. Yang saya ajak adalah agar para pasien (baca: konsumen kesehatan) menjaga dokter tetap bertindak rasional. Tidak jarang pasien minta diberikan obat padahal dokter merasa tidak perlu. Cukup sering konsumen kesehatan minta resep antibiotika padahal dokter sudah menjelaskan bukan indikasinya. Khawatir kehilangan pasien, dokter pun kadang “tunduk” pada keinginan kliennya ini.

Pelajari dasar-dasar ilmu kesehatan dengan baik. Ajak diskusi dokter anak dengan bekal ilmu ini. Alasan lain pentingnya mempelajari dasar-dasar ilmu kesehatan ini adalah orangtua menjadi tahu, kapan sih harus ke dokter. Pada akhirnya, konsumen kesehatan memahami bahwa batuk-pilek, mencret, demam tanpa gejala berat, dan masih banyak penyakit lain sebenarnya tidak perlu dibawa ke dokter sama sekali. Ke dokter umum sekalipun. Just wait and observe, gejalanya akan self limiting (hilang sendiri). Ini sudah terbukti pada banyak sekali orangtua yang memiliki kemauan kuat belajar ilmu kesehatan, dan mempraktikannya pada diri sendiri dan keluarganya. Mudah-mudahan layanan kesehatan negara kita menjadi lebih baik kelak. Amin.

(btw, yang nulis sedang menempuh pendidikan untuk jadi dokter spesialis anak, hehehe)

Perlukah Audit Medik?

Beberapa hari yang lalu, seorang ayah dari bocah 18 bulan yang pernah saya temui di tempat praktik menelepon. Anak laki-lakinya ini tiba-tiba saja muntah berturut-turut sampai empat kali, hingga tidak tersisa makanan di dalam lambungnya, dan yang keluar hanya cairan kuning saja. Ia panik, dan segera menghubungi ponsel saya, menanyakan apa yang sedang terjadi pada anaknya, apa yang harus ia lakukan, dan bisakah ia menemui saya hari itu. Setelah mendengar keterangannya, saya minta ia mengobservasi muntah anaknya, dan sebisa mungkin memberikan larutan elektrolit tiap habis muntah. Saya katakan ini bukan suatu kegawatdaruratan, dan kemungkinan terbesar adalah infeksi virus seperti gastroenteritis virus, atau food poisoning. Tak lama berselang, sebuah SMS darinya muncul di ponsel saya, yang menyatakan bahwa anaknya masih terus-menerus muntah, tidak mau minum apapun, dan seperti setengah sadar. Karena harus segera pergi ke tempat tugas, saya balas saja, “Kalau Bapak khawatir anaknya mengalami dehidrasi berat, bawa saja ke RS”.

Sore hari pulang dari RS, si Bapak kembali meng-SMS: “Dok, anak saya dirawat di RS, dan sedang diperiksa darahnya di laboratorium”. Saya segera balas, dirawat dengan indikasi apa, belum kena infus kan?

Cerita berlanjut. Saat ini ia masih mengalami perawatan hari ke-3. Sudah tidak muntah-muntah lagi, tanpa demam, dan segar bugar ingin segera pulang. Masalahnya adalah, dokter yang merawat mendapatkan hasil uji Widal-nya (yang saya tidak tahu untuk apa diperiksa, tapi saya pikir RS ini punya kebijakan untuk memeriksakan lengkap lab darah tanpa alasan jelas) dengan titer positif yang cukup signifikan. Si bocah masih dirawat dengan selang infus menancap yang berulang-kali lepas, dan dua jenis antibiotika diberikan lewat infus dan minum biasa. Ini semua cerita dari sang ayah. Saya sama sekali belum melihat kondisi anak secara langsung. Diagnosis perawatannya adalah tifoid, yang anehnya menurut saya, tanpa demam sama sekali, dan keadaan klinis si anak tidak sesuai dengan diagnosis. Sebagai dokter, saya selalu menekankan pada diri sendiri untuk tidak mengobati hasil lab. Yang dihadapi oleh dokter adalah si manusia sakit, bukan hasil laboratoriumnya. Semua keadaan yang tidak sesuai antara klinis dan hasil pemeriksaan penunjang harus dihadapi dengan tanda tanya besar, dan segera dicaritahu jawaban definitifnya. Satu hal yang jelas, pemeriksaan Widal memiliki sensitifitas yang rendah di negara endemik tifoid ini. Kalau memenuhi kriteria klinis untuk demam tifoid, ya periksa saja kultur feses atau darahnya (gal culture). Ini adalah pemeriksaan baku emas untuk tifoid, dibandingkan Widal. Kecuali si dokter tidak mendapatkan ilmu seperti ini di bangku kuliah spesialiasinya. Keadaan janggal lainnya adalah indikasi memberikan cairan dan obat lewat selang infus, padahal si anak memiliki toleransi makan dan minum yang sangat baik. Saya benar-benar tidak habis pikir.

Jujur saja, satu pertanyaan lalu muncul di benak saya: apakah memang profesi dokter diciptakan untuk saling membenci dan berprasangka buruk satu sama lain, karena dalam menghadapi satu pasien saja bisa berlainan assessment dan tata laksananya? Kita semua lulus dari fakultas kedokteran yang menggunakan buku ajar dan referensi yang kurang lebih sama. Mudah-mudahan kondisi dokter di dunia nyata seperti ini bukan didorong oleh motivasi mendapatkan keuntungan dari memberikan obat tanpa alasan jelas, karena si dokter akan mendapatkan kompensasi materi dari peresepan obat ini. Atau memanfaatkan kepanikan orangtua yang seharusnya mau belajar mengenai dasar-dasar kesehatan, sehingga kasus tanpa indikasi rawat inap pun dirawat juga. Lihat saja laporan dari berbagai negara tingginya angka kematian akibat infeksi nosokomial di RS, karena pasien mendapatkan obat yang seharusnya tidak ia dapatkan, dan dipasang selang infus yang berpotensi iatrogenik memasukkan kuman langsung ke jalur peredaran darah.

Teman saya mengomentari isi pikiran ini dengan: “makanya harus dilakukan audit medik. Selama tidak ada audit medik, kejadian seperti ini akan terus berlangsung”. Ya, tentu saja kawanku, dan nanti para konsumen kesehatan akan menguak dugaan-dugaan malpraktik lewat cara ini.

Daripada pusing memikirkan perselisihan dan saling tikam antar dokter (dengan maksud yang baik atau tidak, entahlah), saya mengajak seluruh konsumen kesehatan yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan untuk lebih peduli dan mau menggali informasi kesehatan lebih dalam. Jadilah pasien yang aktif, selalu kritis terhadap tindakan dokter. Sangat mudah saat ini mendapatkan informasi mengenai apa itu infeksi, kapan antibiotika harus diberikan, apa saja indikasi rawat inap, dan kapan saya harus ke dokter.

Dalam sebuah sesi ceramah, seorang peserta pernah bertanya pada saya, setelah saya memberikan kuliah mengenai apa itu layanan kesehatan terbaik: “Apakah Anda hanya ingin menjadi pahlawan kesiangan?”. Membeberkan semua cerita ini, mengeluhkan kondisi teman-teman sejawat, memposisikan diri mampu menjadi role model bagi konsumen, namun hanya sebatas ini saja?

Perjalanan masih panjang. Guru saya bilang, “It takes two to tango”. Ada kemitraan yang baik antara dokter dan konsumen kesehatannya. Tentunya setelah konsumen mengetahui hak.. dan kewajibannya. Guru besar medikolegal juga berpesan agar para dokter spesialis tidak sekedar mengurusi hal-hal klinis saja, tapi ada yang terjun ke masyarakat membenahi masalah ini. Pastinya ada orang-orang seperti ini di berbagai pelosok negeri. Butuh napas panjang, perencanaan matang, semangat untuk tidak mudah berputus asa, dan tentu saja dukungan dari konsumen kesehatan.

Wednesday, January 16, 2008

Salahnya Puyer

Terinspirasi dari laporan jaga harian pagi ini…

Kasus syok anafilaktik yang diduga akibat alergi obat. Anak umur 5 tahun. Sebelumnya pasien hanya sakit ringan, batuk pilek saja. Pergi ke dokter, diberi resep puyer, dan ditebus obatnya. Ada lima macam obat yang tercantum, termasuk dua jenis antibiotika tablet yang digerus dan dicampur ke dalam puyer. Dua jam setelah minum puyer, anak mulai lemas, hilang kesadaran, dan dibawa ke RS. Diagnosisnya syok anafilaktik. Pertanyaannya: obat mana yang menimbulkan reaksi alergi berat?

Meneketehe. Inilah dilema memberikan puyer. Terlepas dari masalah di atas, puyer tidak memiliki dasar ilmiah. Lihatlah ke semua negara lain, termasuk negara tetangga atau negara yang lebih miskin di belahan Afrika, tidak ada satupun yang memberikan obat dalam bentuk puyer. Bayangkan saja, beberapa jenis obat, digerus dalam satu wadah/lumpang, kemudian dikerok dengan kertas, dan dibagi-bagi ke beberapa lembaran kertas puyer dengan mata telanjang. Yakin bahwa tiap kertas puyer memiliki dosis miligram yang sama? Diberikan ke anak kecil pula (tentu saja, namanya juga puyer), yang dosisnya harus benar-benar akurat. Penyimpangan dosis sebesar sekian miligram dapat menimbulkan efek samping dan keracunan obat. Belum lagi potensi interaksi kimiawi/farmasetik antar obat yang dicampur dalam satu sediaan. Bisa jadi mengurangi potensi obat, sehingga pemberian obat tidak memberikan efek (lalu untuk apa diberi obat), atau menyebabkan potensi efek samping dan toksisitasnya meningkat. Yang timbul adalah penyakit baru gara-gara minum puyer. Kemudian lumpang yang belum bersih benar digunakan lagi untuk mencampur obat-obatan baru dari pasien lain. Logikanya adalah sangat mungkin tercampur dengan serbuk sisa obat-obatan sebelumnya.

Penyakit apa sih memangnya yang harus diberi obat sedemikian banyak? Batuk-pilek akibat infeksi virus? Kan sembuh sendiri. Paling diberi parasetamol/asetaminofen kalau ada demam di atas 38,5 derajat selsius. Butuh antibiotika? Kan infeksi virus, bukan bakteri. Lalu obatnya apa? Wait and observe… until recovery.

Kalau anak memang butuh obat, ya jangan minta puyer. Minta saja sirup dengan sendok/pipet takarnya.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...