Friday, October 23, 2009

Carut-marutnya sistem rujukan kita (2)

Kembali lagi... Hampir 9 jam berlalu meninggalkan IGD OBGYN dengan sepasang bayi gemelli 1000 dan 1150 gram yang masih terengah-engah menghirup oksigen dari continuous positive airway pressure dan NeoPuff single nasal prong seadanya--karena neonatal intensive care unit (NICU) penuh--dan beberapa bayi kurang bugar lainnya. Heran memang, semua persalinan kurang bulan dirujuk kemari. Padahal RSUD dan RS swasta dengan fasilitas neonatologi tersedia di banyak titik ibukota. Angka kelahiran bayi prematur menjadi tinggi di rumah sakit ini. Inilah yang akan kubahas sekarang.

Contoh lain datang dari laporan jaga pagi ini. Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang, yang dirujuk dari sebuah RSUD besar di Jakarta, dengan keterangan diare akut dehidrasi berat. Penilaian dokter jaga saat pasien tiba di IGD memang dehidrasi ringan sedang. Lalu, sekalipun pasien datang ke RS pertama dengan dehidrasi berat, apakah mereka tidak dapat menanganinya? Tidak ada fasilitas? Hmmm, RSUD ini adalah layanan kesehatan sekunder, bukan primer seperti Puskesmas. Seharusnya tenaga medis dan paramedis yang ada bisa menanganinya dulu. Nilai status dehidrasi, pasang infus, resusitasi cairan, dan lakukan pemantauan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang, tetapi ini standar prosedur standar di mana-mana. Atau mungkin ada alasan lain sehingga harus merujuk ke layanan tersier di tempatku bekerja? Tenaga kesehatan yang bertugas malam itu sedang kehilangan beberapa orang karena alpa? Keluarga pasien tidak mempercayai kompetensi penanganan kedaruratan di RS tersebut? Pasiennya tidak membawa uang sepeser pun plus belum punya jaminan kesehatan semacam SKTM/GAKIN/JAMKESMAS? Atau... rujuk saja ke eR-eS-Ce-eM, pasti ditangani. Ya, jika Anda beruntung tidak mendapati kami dua dokter jaga menghadapi belasan pasien dengan ancaman gagal napas tiga di antaranya. Anda datang, dan temui kami melakukan intubasi dan bagging dengan ekspresi tertuju penuh pada manusia sekarat di hadapannya.

Sistem rujukan menjadi tidak berjalan baik. Pasien yang seharusnya dapat ditangani di layanan kesehatan sekunder, harus dioper ke tingkat di atasnya yang overload. Itulah juga yang mungkin terjadi pada bayi-bayi seribuan gram (kurang-lebih) yang harus merasakan pompaan oksigen dari perasan tanganku. Jika saja antenatal care berjalan adekuat, ibu-ibu miskin tidak akan mengalami infeksi dalam kehamilan, tekanan darah tidak terkontrol, dan defisiensi asupan nutrisi yang melahirkan bayi-bayi bertingkat morbiditas tinggi, sekalipun berhasil dipertahankan berminggu-minggu di NICU. Semua orang berpikir, pasti ada tempat di RS ini. Semua pun melempar kemari. Dan... hadapilah kenyataan, kami tidak bisa optimal mempertahankan kelangsungan hidup bayi kecil Anda, karena semua tempat terisi.

Masih banyak PR di bidang layanan kesehatan bangsa ini. Harus selalu ada orang-orang yang berusaha memperbaikinya. Mereka yang memiliki kompetensi tentunya.

Thursday, October 22, 2009

Carut-marutnya sistem rujukan kita

Yah, Menkes baru telah dilantik. Tapi saya tidak ingin membahas masalah ini. I don't know her already. Laporan jaga pagi dua hari terakhir, dengan moderator sang bintang iklan imunisasi (Dr STP) Depkes-IDAI, menunjukkan keprihatinannya mengenai buruknya model rujukan kesehatan di negara ini.

Seorang anak laki-laki, enam tahun, mengalami demam sejak dua minggu silam, pertama kali datang ke sebuah klinik, menemui dokter praktik, dan disimpulkanlah diagnosisnya: "sakit tipes". Rawatlah barang sehari-dua, pasang infus, suntik antibiotika, demam mulai reda, si anak pun pulang ke rumah. Tak sampai 24 jam berselang, demam kembali melanda. Kini saatnya mencari pertolongan dokter spesialis, demikian terlintas dalam benak sang ibu. Dokter sepesialis melakukan eksplorasi lebih dalam. Ini bukan tipes, begitu jelas dokter melihat hitungan sel darah putih yang mendekati 50.000. Ini kanker sel darah putih. Harus dirawat. Segera rujuk ke eR-eS-Ce-eM. Simpulan dokter spesialis yang begitu blak-blakan membuat orangtua takut. Apa lagi keluhanmu, Nak? Pandanganku kabur. Telingaku sakit. Si anak dibawa ke dokter spesialis mata. Katanya ada kelainan saraf mata akibat sel kanker. Keesokannya di ibu membawa ke dokter THT. Telinga anak ini banyak kotorannya. Banyak sekali masalah anakku ini. Ibu semakin khawatir. Akhirnya ia membawa anaknya setelah dua minggu lebih demam. Diagnosis di IGD: leukemia akut dengan hiperleukositosis dan sindrom lisis tumor.

Ini hanya satu contoh doctor shopping--atas inisiatif orangtua tentunya--dengan (mungkin) kelalaian menangkap masalah sejak anak pertama kali datang ke dokter, ditambah (mungkin lagi) komunikasi yang kurang informatif, sehingga orangtua terlambat membawa anaknya ke pusat rujukan.

Masih banyak contoh lain seorang pasien berputar-putar membawa anaknya dari satu dokter ke dokter lain, tanpa informasi gamblang mengenai diagnosis penyakit anaknya, tanpa penekanan kapan harus dirujuk ke pusat yang lebih tinggi--jika memang perlu, dan akhirnya tiba di rumah sakit rujukan tempatku bekerja, dengan kondisi berat. Terlambat. Kami hanya mendapatkan tubuh yang telah diacak-acak sebelumnya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, meskipun bekerja dengan fasilitas terlengkap dan pakar ahli terbanyak di seantero negeri.

Bagaimana solusinya?

--bersambung, harus segera tiba di IGD untuk menangkap bayi-bayi yang keluar dari rahim ibu-ibu yang dirujuk dari berbagai sudut Jabodetabek

Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...