Wednesday, September 24, 2014

Stop Merokok Demi Anak

Ingin tahu apa lagi kejahatan rokok? Simak tulisan berikut yang memuat wawancara dengan saya di http://health.detik.com/read/2014/03/24/105635/2534413/763/terpapar-residu-asap-rokok-ayahnya-bayi-ini-meninggal-kena-pneumonia

Terpapar Residu Asap Rokok Ayahnya, Bayi Ini Meninggal Kena Pneumonia
M Reza Sulaiman - detikHealth
Senin, 24/03/2014 11:07 WIB
Jakarta, Jangankan menghirup asap rokok, menghirup residu atau endapan racun dari asap rokok juga berbahaya bagi anak. Seorang mantan perokok aktif mengaku telah mengalaminya sendiri, sang anak meninggal meski ia selalu merokok di luar rumah.
Pengakuan tersebut disampaikan seorang pria di sebuah forum online. Pria yang menggunakan akun 05072013 tersebut mengisahkan, anaknya meninggal akibat pneumonia atau radang paru-paru akut di usia yang masih sangat muda, yakni 1 tahun. Sama seperti kisah tentang Keanu, pengakuan pria ini juga tersebar luas di jejaring sosial.
"Gua mantan perokok gan (perokok aktif selama 18 thn). Anak gua cewek hanya bisa genap usianya 1 tahun 10 hari, wafat di vonis radang paru-paru akut (pneumonia) krn ayahnya ngerokok. bukan ngerokok di sebelah anaknya (gua klo ngerokok pasti keluar rumah), tetapi menghirup racun-racun nikotin dari baju ayahnya saat kondisi menggendongnya setelah barusan merokok :sedih," demikian kutipan pengakuan sang ayah, yang kepada detikHealth tidak bersedia mengungkapkan identitas aslinya.
Kisah-kisah semacam ini dinilai tidak terlalu mengejutkan bagi dokter yang juga penulis buku kesehatan anak, dr Arifianto, SpA. Menurut dokter yang akrab disapa dr Apin ini, orang tua yang merokok tetap membuat anak berisiko terkena penyakit paru-paru meski sudah membatasi untuk tidak merokok di dalam rumah.
"Asap rokok itu efeknya sampai 10 meter. Jadi walaupun di luar rumah tetap ada risiko asap masuk ke dalam," kata dr Apin saat dihubungi detikHealth, seperti ditulis Senin (24/3/2014).
Risiko tersebut merupakan efek dari residu racun rokok, yang menempel di baju maupun benda, gorden, seprai, dan sebagainya. Seseorang yang terpapar racun rokok dengan cara demikian disebut sebagai third hand smoker. Bahayanya sama seperti second hand smoker, yang oleh orang awam sering disebut perokok pasif.
"Tetap saja (berisiko) biar merokok di kantor atau di perjalanan tetapi baru masuk rumah langsung peluk, gendong, atau cium anak tanpa mandi, bersih-bersih dan sikat gigi dahulu," ungkap dokter lulusan Universitas Indonesia tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi perokok pada tahun 2007, 2010, dan 2013 berturut-turut meningkat dari 34,2%; 34,7% dan akhirnya 36,3%. Tak hanya itu, dari 92 juta orang perokok pasif, 43 juta di antaranya anak-anak dan yang paling menyedihkan dan memprihatinkan adalah 11,4 juta dari anak-anak ini masih berusia balita.

Sebuah kisah tentang campak

Setelah beberapa bulan tidak menjumpai kasus campak, kemarin saya mendapatinya lagi. Seorang anak berusia 15 bulan yang memeluk ibunya erat. Ia tampak lemah, dengan ruam merah di sekujur tubuhnya. Anak ini memang belum diimunisasi campak saat berusia 9 bulan, bukan karena menolak, tapi ibunya beralasan si ayah mengalami stroke sehingga ia sibuk mengurus ayah dan kurang memperhatikan imunisasi anaknya.
Namun bagaimanapun juga, tidak sepatutnya virus campak menjangkiti anak ini. Apabila cakupan imunisasi campak sudah tinggi, herd immunity yg terbentuk seharusnya melindungi anak-anak yang belum diimunisasi.
Banyak orangtua juga menganggap campak sebagai penyakit ringan. Mereka mengira semua anak akan terkena campak dengan sendirinya. Ketika seorang anak mengalami demam yang berakhir dengan ruam di seluruh badan, orangtua menyimpulkan ini adalah campak. Penyakit ringan. Toh anaknya justru makin aktif setelah ruam muncul dan demam reda. Mereka salah. Ini bukan campak. Kemungkinan ini roseola (eksantema subitum) yang merupakan penyakit ringan dan tanpa komplikasi. Virusnya berbeda dengan campak. Sebagian orang menyebutnya dengan "tampek". Atau mungkin anak-anak ini mengalani rubella, yang jarang menimbulkan komplikasi pada anak.
Ketahuilah bahwa campak penyakit berat. Campak sering menimbulkan komplikasi pneumonia dan ensefalitis, yang berakhir dengan kematian. Kadang-kadang sebagian penderitanya juga mengalami ketulian dan kebutaan (akibat keratitis) sebagai "oleh-olehnya". Dan pada kondisi yang sangat jarang, campak menimbulkan subacute sclerosing panencephalitis atau SSPE. Simaklah kisah di sini:http://www.vaccinestoday.eu/vaccines/how-measles-can-change-a-life/Orangtua ini mengisahkan anaknya yang mengalami SSPE, lebih dari 10 tahun setelah sang anak terkena campak di usia yang sangat muda: 6 bulan, ketika belum masuk usia untuk diimunisasi campak. Selama bertahun-tahun anak ini hidup sehat dan normal, tiba-tiba di suatu saat ia mengalami kejang berulang dan kini hidup dalam kondisi vegetatif: seperti tumbuhan.
Orangtua harus mempelajari gejala-gejala campak. Bagaimanapun juga, program imunisasi campak yang dilakukan sejak tahun 1982 telah berhasil menurunkan kasus campak, sehingga campak sudah jarang ditemui. Riskesdas 2013 menunjukkan cakupan imunisasi campak sebesar 82,1%. Angka yang harus dinaikkan hingga melebihi 90%. Data WHO di bulan November 2013 mencatat lebih dari 6.300 kasus campak sepanjang 2013. Angka yang masih sangat tinggi di Indonesia.
Maka jangan makin bebani penderitaan masyarakat dengan menolak imunisasi dan mengampanyekan penolakannya. Jangan mengajak-ajak orang lain untuk tidak mengimunisasi anaknya. Jangan menjadi beban, jadilah pemecah masalah. Tidak mengimunisasi anak bukan saja merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan orang-orang di sekitarnya.

diambil dari wall Facebook saya beberapa bulan silam

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...