Gadis berusia 6 tahun itu terbaring lemah di hadapanku. Berat badannya tidak mencapai 10 kilogram. Tulang-tulang iganya terlihat jelas. Sosoknya adalah tulang terbungkus kulit. Mengingatkan orang-orang yang melihatnya pada gambar foto bocah-bocah di Somalia dan Etiopia beberapa tahun silam. Gizi buruk. Ia sakit HIV. Tertular dari ibunya yang sudah lebih dulu meninggal dunia. Ayahnya entah berada di mana. Ia kini dirawat oleh kakak dari almarhumah ibunya. Bolak-balik kontrol ke RS untuk.mendapatkan obat antivirus HIV dan obat anti tuberkulosis (TB). Penyakit tersering yang menyertai HIV.
"Anaknya dirawat lagi ya Bu. Beratnya makin turun. Kondisinya pun butuh pemantauan sementara di RS," kusampaikan pada seorang wanita yang menemani bocah ini. Kutatap lagi wajah si anak yang tak pernah tersenyum.
"Saya bilang dulu sama Uwa'-nya ya Dok. Saya nggak bisa tanggung jawab kalau ada apa-apa sama anak ini," jawab perempuan berusia 40-an tahun di hadapanku ini.
"Ibu siapanya?" tanyaku heran.
"Saudaranya," jawabnya singkat, sambil tersenyum.
Aku sudah biasa melihat ekspresi wajah seperti ini. Ada yang disembunyikan.
"Tetangganya ya?" tebakku.
"Nggak dekat juga sih, Dok. Beda kelurahan." Ia mengakuinya.
"Ibu kok mau ngurusin anak ini?" tanyaku lagi. "Kan nggak ada hubungan saudara apapun."
"Kasihan aja, Dok. Lillaahi ta'ala." Jawabnya.
"Ibu kerja apa?" tanyaku lagi, penasaran. Sambil menuliskan resep dan instruksi rawat. "Anaknya berapa?"
"Saya jualan nasi uduk. Anak saya dua, yang satu SMA, dan lainnya SD. Saya udah nggak punya suami. Udah beberapa tahun." Ia kembali tersenyum.
"Kalau anak ini dirawat, siapa yang nungguin?" tanyaku.
"Saya. Uwa'-nya repot, nggak bisa nungguin. Jadi saya yang menemani anak ini." Jelasnya.
"Ibu nggak bisa kerja dong." Tanggapku.
"Nggak apa-apa," jawabnya singkat sambil tersenyum.