Dokter pelit bicara? Terlalu sibuk dan menerima pasien terlalu banyak?
Seorang dokter mengajak kita menggunakan teropong yang lebih jernih dengan perspektif yang lebih luas. Mari mulai dengan sekolah dokter saja dulu. Seorang profesional pada usia 31 tahun mungkin sudah jadi lawyer sukses, manager di posisi kunci, atau konsultan di international firm yang jam bicaranya dibayar sudah dalam hitungan ratusan dolar. Diperlukan waktu 6 hinnga 7 tahun untuk menamatkan sekolah dokter. Ditambah dengan wajib kerja sosial untuk dokter umum sebelum buka praktik sendiri.
Kalau dia mau melanjutkan ke spesialis, perlu biaya tingi dan mungkin akan selesai dalam waktu 4 sampai 6 tahun. Rata-rata waktu yang dibuang untuk ‘membeli’ ilmu spesialis adalah 12 tahun.
Berapa tarif bicara ketika ia lulus? Bergantung tempatnya praktik. Dokter umum paling-paling menetapkan Rp20.000 hingga Rp25.000, bahkan hanya Rp5.000 di klinik-klinik kecil di pinggiran kota atau kota kecil. Untuk spesialis, sekitar Rp40.000 hingga termahal Rp250.000 per pasien untuk suatu konsultasi yang memakan waktu bervariasi dari 5 menit hingga 1 jam bicara. Konon, ini adalah tarif termurah di Asia. Belum lagi bila Anda memilih jadi dokter spesialis tertentu yang membutuhkan waktu pemeriksaan relatif lama, mendalam, dan menghadapi penyakit berisiko tinggi seperti spesialis penyakit dalam, jantung, atau saraf. Tarifnya akan sama saja dengan spesialis lain yang bersifat lebih ‘enteng’ dalam hal risiko namun ‘basah’ dalam hal jumlah pasien yang membutuhkan seperti dokter spesialis kulit kosmetik. Dokter penyakit dalam, yang sekolahnya lebih lama, ilmunya lebih kompleks, serta memerlukan waktu lebih lama untuk memeriksa, akan sama saja dihargai dengan dokter spesialis kulit kosmetik atau dokter gigi spesialis yang mendapat honor dua sekaligus: konsultasi dan tindakan.
Pendek cerita, bila seorang dokter spesialis hendak menampung honor konsultasi yang memadai, dia harus banyak menerima konsultasi. Tidak mungkin ia praktik 24 jam sehari. “Menerima 6 sampai 7 pasien saja sudah lelah bukan main,” ujar seorang dokter spesialis penyakit dalam. Dapat dimaklumi bila ada oknum dokter yang seolah-olah dikejar setoran dan kemudian kehilangan kontak intim dengan pasiennya.
Namun, minimnya waktu untuk berkomunikasi bukan satu-satunya masalah. Mahalnya harga obat pun ditudingkan kepada dokter (konon 245% dari harga obat adalah untuk komisi dokter) dan harga obat di Indonesia dihitung tertinggi di Asia Tenggara. Namun, berapa pun mahalnya, konsumen tetap menebusnya. Sementara di sisi lain, proses panjang untuk mendapatkan profesi dokter jarang dimaklumi dan tarif mereka rentan kritikan.
Padahal, yang juga perlu dikritisi adalah regulasi yang membuat harga obat melangit. Jarang ada pihak yang menyadari mengapa sampai terjadi situasi yang keruh ini. “Regulasi pemerintah membiarkan perusahaan farmasi bebas memproduksi berbagai jenis obat membuat setiap perusahaan bersaing ketat untuk setiap brand. Usaha mereka tidak akan jalan tanpa usaha-usaha komisi kepada siapa lagi kalau bukan kepada dokter yang meresepkan obat,” tambah dokter di atas.
Sebab, beda dengan obat bebas (OTC), larangan beriklan bagi obat-obat yang diresepkan membuat para pemasar mengincar dokter sebagai media untuk memperkenalkan brand mereka. Untuk satu jenis antibiotik saja, jumlah brand yang beredar sampai belasan. Beda dengan regulasi di negara seperti Australia dan Belanda, misalnya, yang hanya memberikan izin kepada satu perusahaan (satu brand) untuk memproduksi satu jenis obat sehingga persaingan tidak sehat dengan memberi komisi kepada dokter tidak perlu terjadi.
Padahal, masalah klasik yang masih berlaku di masyarakat adalah tetap memiliki harapan tinggi terhadap profesi ini. Dokter diharapkan bisa menjadi guru, mitra, sekaligus pelindung konsumen dari penyakit dan berbagai risiko medis. Dokter adalah manusia biasa, bukan dewa, yang juga punya keterbatasan sebagaimana manusia lain. Mereka tidak kebal terhadap godaan-godaan untuk memenuhi harapan lingkungannya. “Apakah masyarakat bisa menerima bila dokter naik bus? Bisa-bisa mereka dikira tidak pintar sehingga tidak laku.”
Diketik ulang dari artikel dalam rubrik “Healthy Trend” Majalah HEALTHY LIFE edisi 5/III, Mei 2004, dengan ijin tertulis dari pihak redaksi majalah Healthy Life via e-mail.
Saturday, November 20, 2004
Monday, November 01, 2004
2010: The Odyssey Continues
Bagi yang pernah membuka blog-ku sebelumnya di http://spaceodyssey.blogspot.com (blog ini sudah tidak pernah di-update lagi sejak berbulan-bulan lalu), mungkin bisa menebak arah pembahasan judul di atas. Ini adalah kelanjutan atau sekuel dari film arahan Stanley Kubrick, “2001: A Space Odyssey”. Sebuah film klasik produksi MGM tahun 195.. Film yang sangat menakjubkan dalam pandanganku, karena aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, Amerika sudah mampu membuat film dengan teknologi seperti ini pada tahun lima puluhan. Sedikit menceritakan, film yang diangkat dari novel karya Arthur C. Clarke ini berkisah tentang perjalanan pesawat luar angkasa “Discovery” menuju planet Jupiter. Pengarang cerita ini membayangkan (waktu itu) pada tahun 2001, manusia sudah mampu menerbangkan pesawat berawak manusia ke planet Jupiter. Sedangkan kita tahu sendiri, saat ini untuk mendarat di Mars saja, NASA hanya mampu menurunkan robot dalam pesawat tanpa awak. Sedangkan pesawat tanpa awak “Voyager” yang diluncurkan 40-an tahun lalu, kalau tidak salah, sudah melewati Jupiter. Inilah impian manusia sejak puluhan tahun lalu.
Film “2001: A Space Odyssey” sudah mampu memperlihatkan efek spesial visualisasi tokoh utama cerita yang melakukan jogging dalam 360 derajat ruang gravitasi. Aku membayangkan tekniknya mungkin dibuat dengan ruang berputar seperti “roda sangkar tikus” (rat race). Hanya saja kameranya dibuat berputar mengikuti si tokoh. Bisa membayangkan, kan? Imajinasi-imajinasi fiksi ilmiah dalam film ini antara lain perjalanan ruang angkasa yang sudah dibuat komersial pada masa itu, stasiun ruang angkasa yang menjadi pemberhentian sementara para penumpang yang sedang mengadakan perjalanan antar planet, komunikasi antar planet melalui telepon dan layar monitor yang memvisualisasikan orang-orang yang bercakap-cakap, dan last but not least: artificial intelligence.
Tokoh utama dalam cerita fiksi ini memang bukan sekedar sang awak yang salah satunya bernama David Bowman, diperankan oleh Keir Dullea, yang akhirnya diceritakan menghilang dalam perjalanan dengan kata-kata terakhirnya: “My God, it’s full of stars”. Tapi juga superkomputer dengan kecerdasan buatan yang mengendalikan seluruh sistem dan perjalanan “Discovery”, bernama: HAL-9000. O iya, sebelum lupa, karena perjalanan dari bumi menuju Jupiter yang memakan waktu dua tahunan, dan keterbatasan cadangan energi dan oksigen dalam pesawat, maka seluruh awaknya dibuat mengalami hibernasi, dan akan dibangunkan oleh HAL-9000 saat sudah mendekati Jupiter. Tokoh utama adalah dua orang yang dibangunkan terlebih dahulu. Sedangkan tiga awak lainnya mengalami pemutusan sistem kehidupan oleh HAL-9000 saat mereka dalam hibernasi. Satu hal menarik lagi dalam cerita ini: Arthur C. Clarke membayangkan suatu saat ini akan ditemukan teknologi untuk membuat makhluk hidup seperti manusia mengalami hibernasi buatan. Yakni dengan menekan serendah-rendahnya seluruh metabolisme, namun seluruh sistem vital tubuh masih dalam kendali.
HAL-9000 menjadi tokoh cerita yang sangat penting, karena artificial intelligence-nya digambarkan memiliki perasaan juga. Akhirnya HAL jugalah yang membunuh hampir seluruh awak manusia.
Film ini masuk dalam posisi teratas top ten film science fiction yang digemari oleh para ilmuwan, dalam sebuah polling di Inggris tahun ini. Posisi kedua adalah film Blade Runner yang dibintangi Harrison Ford (aku belum pernah menontonnya).
Nah, itu tadi “2001: A Space Odyssey”. Sedangkan “2010: The Odyssey Continues”, atau yang ada yang menuliskan juga “2010: The Year We Make Contact”, dibuat beberapa dekade sesudahnya, yakni pada tahun 1984. Film ini menceritakan perjalanan pesawat Rusia (di film ini masih disebut Uni Soviet, karena mereka belum membayangkan USSR akan pecah pada tahun 1991, dan tidak lagi menjadi negara adidaya menyamai USA) “Leonov” yang membawa tiga awak astronot: si pemimpin program perjalanan Discovery sembilan tahun sebelumnya, pencipta HAL-9000, dan seorang teknisi yang memahami seluk beluk Discovery yang digambarkan hilang dalam lintasan dekat Jupiter pada tahun 2001.
Misi pasukan ini adalah menemukan Discovery, mengaktifkan kembali HAL-9000 yang sempat dimatikan oleh astronot David Bowman pada perjalanan tahun 2001, dan mencari tahu sebab-sebab kejanggalan yang terjadi. O iya, satu faktor cerita yang masih menghubungkan dua sekuel ini adalah sebuah materi menyerupai batu hitam bernama monolith. Mengenai hal ini, aku tidak bercerita lebih dalam.
Pada akhirnya. Penonton bisa menyimpulkan sisi-sisi perasaan yang dimiliki artificial intelligence bisa sangat menyerupai manusia. Ketika akan dimatikan fungsi dan sistemnya, HAL dan SAL (satu komputer lagi yang dimiliki Dr. Chandra, pembuat HAL-9000, di ruang kantornya), bisa mengajukan pertanyaan, “Dr. Chandra, will I dream?”.
Inilah satu impian manusia yang masih terus dikembangkan hingga saat ini, yakni menciptakan kecerdasan buatan yang bisa menyamai pikiran manusia, lengkap dengan respon dan perasaannya. Dalam film buatan tahun 2001, lagi-lagi diinspirasikan oleh mendiang Stanley Kubrick sang sutradara Space Odyssey yang keburu meninggal, Steven Spielberg menyutradarai “AI: Artificial Intelligence”. Film yang menceritakan masa depan saat manusia mampu menciptakan robot-robot dengan kecerdasan buatan, bahkan memiliki bentuk fisik dan perasaan yang sangat mirip dengan manusia. Tokoh utamanya Haley Joel Osment yang terkenal pada awalnya melalui “The Sixth Sense”, adalah robot berwujud anak berumur 6-7 tahun, tinggal dalam sebuah keluarga pasangan yang telah kehilangan anak laki-laki satunya. Film ini akhirnya menyimpulkan “his love is real, but he is not”. Dan jika berbicara mengenai robot, aku juga teringat dengan film “The Animatrix”, yang menceritakan di masa depan bumi akan diisi oleh robot-robot berdampingan dengan manusia.
Tidak habis-habisnya memang membicarakan kecerdasan buatan. Dan jika Anda mengunjungi situs AI, di http://www.aimovie.com, pengunjung akan menikmati chatting dengan chatbot yang menggunakan artificial intelligence language yang sudah bisa dikembangkan saat ini, yaitu ALICE.
Film “2001: A Space Odyssey” sudah mampu memperlihatkan efek spesial visualisasi tokoh utama cerita yang melakukan jogging dalam 360 derajat ruang gravitasi. Aku membayangkan tekniknya mungkin dibuat dengan ruang berputar seperti “roda sangkar tikus” (rat race). Hanya saja kameranya dibuat berputar mengikuti si tokoh. Bisa membayangkan, kan? Imajinasi-imajinasi fiksi ilmiah dalam film ini antara lain perjalanan ruang angkasa yang sudah dibuat komersial pada masa itu, stasiun ruang angkasa yang menjadi pemberhentian sementara para penumpang yang sedang mengadakan perjalanan antar planet, komunikasi antar planet melalui telepon dan layar monitor yang memvisualisasikan orang-orang yang bercakap-cakap, dan last but not least: artificial intelligence.
Tokoh utama dalam cerita fiksi ini memang bukan sekedar sang awak yang salah satunya bernama David Bowman, diperankan oleh Keir Dullea, yang akhirnya diceritakan menghilang dalam perjalanan dengan kata-kata terakhirnya: “My God, it’s full of stars”. Tapi juga superkomputer dengan kecerdasan buatan yang mengendalikan seluruh sistem dan perjalanan “Discovery”, bernama: HAL-9000. O iya, sebelum lupa, karena perjalanan dari bumi menuju Jupiter yang memakan waktu dua tahunan, dan keterbatasan cadangan energi dan oksigen dalam pesawat, maka seluruh awaknya dibuat mengalami hibernasi, dan akan dibangunkan oleh HAL-9000 saat sudah mendekati Jupiter. Tokoh utama adalah dua orang yang dibangunkan terlebih dahulu. Sedangkan tiga awak lainnya mengalami pemutusan sistem kehidupan oleh HAL-9000 saat mereka dalam hibernasi. Satu hal menarik lagi dalam cerita ini: Arthur C. Clarke membayangkan suatu saat ini akan ditemukan teknologi untuk membuat makhluk hidup seperti manusia mengalami hibernasi buatan. Yakni dengan menekan serendah-rendahnya seluruh metabolisme, namun seluruh sistem vital tubuh masih dalam kendali.
HAL-9000 menjadi tokoh cerita yang sangat penting, karena artificial intelligence-nya digambarkan memiliki perasaan juga. Akhirnya HAL jugalah yang membunuh hampir seluruh awak manusia.
Film ini masuk dalam posisi teratas top ten film science fiction yang digemari oleh para ilmuwan, dalam sebuah polling di Inggris tahun ini. Posisi kedua adalah film Blade Runner yang dibintangi Harrison Ford (aku belum pernah menontonnya).
Nah, itu tadi “2001: A Space Odyssey”. Sedangkan “2010: The Odyssey Continues”, atau yang ada yang menuliskan juga “2010: The Year We Make Contact”, dibuat beberapa dekade sesudahnya, yakni pada tahun 1984. Film ini menceritakan perjalanan pesawat Rusia (di film ini masih disebut Uni Soviet, karena mereka belum membayangkan USSR akan pecah pada tahun 1991, dan tidak lagi menjadi negara adidaya menyamai USA) “Leonov” yang membawa tiga awak astronot: si pemimpin program perjalanan Discovery sembilan tahun sebelumnya, pencipta HAL-9000, dan seorang teknisi yang memahami seluk beluk Discovery yang digambarkan hilang dalam lintasan dekat Jupiter pada tahun 2001.
Misi pasukan ini adalah menemukan Discovery, mengaktifkan kembali HAL-9000 yang sempat dimatikan oleh astronot David Bowman pada perjalanan tahun 2001, dan mencari tahu sebab-sebab kejanggalan yang terjadi. O iya, satu faktor cerita yang masih menghubungkan dua sekuel ini adalah sebuah materi menyerupai batu hitam bernama monolith. Mengenai hal ini, aku tidak bercerita lebih dalam.
Pada akhirnya. Penonton bisa menyimpulkan sisi-sisi perasaan yang dimiliki artificial intelligence bisa sangat menyerupai manusia. Ketika akan dimatikan fungsi dan sistemnya, HAL dan SAL (satu komputer lagi yang dimiliki Dr. Chandra, pembuat HAL-9000, di ruang kantornya), bisa mengajukan pertanyaan, “Dr. Chandra, will I dream?”.
Inilah satu impian manusia yang masih terus dikembangkan hingga saat ini, yakni menciptakan kecerdasan buatan yang bisa menyamai pikiran manusia, lengkap dengan respon dan perasaannya. Dalam film buatan tahun 2001, lagi-lagi diinspirasikan oleh mendiang Stanley Kubrick sang sutradara Space Odyssey yang keburu meninggal, Steven Spielberg menyutradarai “AI: Artificial Intelligence”. Film yang menceritakan masa depan saat manusia mampu menciptakan robot-robot dengan kecerdasan buatan, bahkan memiliki bentuk fisik dan perasaan yang sangat mirip dengan manusia. Tokoh utamanya Haley Joel Osment yang terkenal pada awalnya melalui “The Sixth Sense”, adalah robot berwujud anak berumur 6-7 tahun, tinggal dalam sebuah keluarga pasangan yang telah kehilangan anak laki-laki satunya. Film ini akhirnya menyimpulkan “his love is real, but he is not”. Dan jika berbicara mengenai robot, aku juga teringat dengan film “The Animatrix”, yang menceritakan di masa depan bumi akan diisi oleh robot-robot berdampingan dengan manusia.
Tidak habis-habisnya memang membicarakan kecerdasan buatan. Dan jika Anda mengunjungi situs AI, di http://www.aimovie.com, pengunjung akan menikmati chatting dengan chatbot yang menggunakan artificial intelligence language yang sudah bisa dikembangkan saat ini, yaitu ALICE.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...
-
Pernah menjumpai bercak kemerahan, cenderung berwarna oranye (merah-)?bata) di popok bayi Anda? Bahkan muncul berulang kali! 😱 Normalkah ha...
-
Ternyata tidak pada sebagian besar kasus. Infeksi jamur penyebab sariawan terjadi pada anak-anak dengan daya tahan tubuh menurun, seperti m...
-
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. ...