Saturday, November 20, 2004

Rumitnya Jadi Dokter di Indonesia…

Dokter pelit bicara? Terlalu sibuk dan menerima pasien terlalu banyak?

Seorang dokter mengajak kita menggunakan teropong yang lebih jernih dengan perspektif yang lebih luas. Mari mulai dengan sekolah dokter saja dulu. Seorang profesional pada usia 31 tahun mungkin sudah jadi lawyer sukses, manager di posisi kunci, atau konsultan di international firm yang jam bicaranya dibayar sudah dalam hitungan ratusan dolar. Diperlukan waktu 6 hinnga 7 tahun untuk menamatkan sekolah dokter. Ditambah dengan wajib kerja sosial untuk dokter umum sebelum buka praktik sendiri.

Kalau dia mau melanjutkan ke spesialis, perlu biaya tingi dan mungkin akan selesai dalam waktu 4 sampai 6 tahun. Rata-rata waktu yang dibuang untuk ‘membeli’ ilmu spesialis adalah 12 tahun.

Berapa tarif bicara ketika ia lulus? Bergantung tempatnya praktik. Dokter umum paling-paling menetapkan Rp20.000 hingga Rp25.000, bahkan hanya Rp5.000 di klinik-klinik kecil di pinggiran kota atau kota kecil. Untuk spesialis, sekitar Rp40.000 hingga termahal Rp250.000 per pasien untuk suatu konsultasi yang memakan waktu bervariasi dari 5 menit hingga 1 jam bicara. Konon, ini adalah tarif termurah di Asia. Belum lagi bila Anda memilih jadi dokter spesialis tertentu yang membutuhkan waktu pemeriksaan relatif lama, mendalam, dan menghadapi penyakit berisiko tinggi seperti spesialis penyakit dalam, jantung, atau saraf. Tarifnya akan sama saja dengan spesialis lain yang bersifat lebih ‘enteng’ dalam hal risiko namun ‘basah’ dalam hal jumlah pasien yang membutuhkan seperti dokter spesialis kulit kosmetik. Dokter penyakit dalam, yang sekolahnya lebih lama, ilmunya lebih kompleks, serta memerlukan waktu lebih lama untuk memeriksa, akan sama saja dihargai dengan dokter spesialis kulit kosmetik atau dokter gigi spesialis yang mendapat honor dua sekaligus: konsultasi dan tindakan.

Pendek cerita, bila seorang dokter spesialis hendak menampung honor konsultasi yang memadai, dia harus banyak menerima konsultasi. Tidak mungkin ia praktik 24 jam sehari. “Menerima 6 sampai 7 pasien saja sudah lelah bukan main,” ujar seorang dokter spesialis penyakit dalam. Dapat dimaklumi bila ada oknum dokter yang seolah-olah dikejar setoran dan kemudian kehilangan kontak intim dengan pasiennya.

Namun, minimnya waktu untuk berkomunikasi bukan satu-satunya masalah. Mahalnya harga obat pun ditudingkan kepada dokter (konon 245% dari harga obat adalah untuk komisi dokter) dan harga obat di Indonesia dihitung tertinggi di Asia Tenggara. Namun, berapa pun mahalnya, konsumen tetap menebusnya. Sementara di sisi lain, proses panjang untuk mendapatkan profesi dokter jarang dimaklumi dan tarif mereka rentan kritikan.

Padahal, yang juga perlu dikritisi adalah regulasi yang membuat harga obat melangit. Jarang ada pihak yang menyadari mengapa sampai terjadi situasi yang keruh ini. “Regulasi pemerintah membiarkan perusahaan farmasi bebas memproduksi berbagai jenis obat membuat setiap perusahaan bersaing ketat untuk setiap brand. Usaha mereka tidak akan jalan tanpa usaha-usaha komisi kepada siapa lagi kalau bukan kepada dokter yang meresepkan obat,” tambah dokter di atas.

Sebab, beda dengan obat bebas (OTC), larangan beriklan bagi obat-obat yang diresepkan membuat para pemasar mengincar dokter sebagai media untuk memperkenalkan brand mereka. Untuk satu jenis antibiotik saja, jumlah brand yang beredar sampai belasan. Beda dengan regulasi di negara seperti Australia dan Belanda, misalnya, yang hanya memberikan izin kepada satu perusahaan (satu brand) untuk memproduksi satu jenis obat sehingga persaingan tidak sehat dengan memberi komisi kepada dokter tidak perlu terjadi.
Padahal, masalah klasik yang masih berlaku di masyarakat adalah tetap memiliki harapan tinggi terhadap profesi ini. Dokter diharapkan bisa menjadi guru, mitra, sekaligus pelindung konsumen dari penyakit dan berbagai risiko medis. Dokter adalah manusia biasa, bukan dewa, yang juga punya keterbatasan sebagaimana manusia lain. Mereka tidak kebal terhadap godaan-godaan untuk memenuhi harapan lingkungannya. “Apakah masyarakat bisa menerima bila dokter naik bus? Bisa-bisa mereka dikira tidak pintar sehingga tidak laku.”

Diketik ulang dari artikel dalam rubrik “Healthy Trend” Majalah HEALTHY LIFE edisi 5/III, Mei 2004, dengan ijin tertulis dari pihak redaksi majalah Healthy Life via e-mail.

3 comments:

Dewi Monica said...

Artikel yg bagus sekali. Terutama kalimat terakhir. "Apakah masyarakat bisa menerima bila dokter naik bus"

Kurasa jarang masyarakat bisa menerima hal itu. Kita alami sendiri.

Demi mengumpulkan uang untuk biaya sekolah spesialis, & akibat terkurasnya tabungan kita ketika bertugas di pedalaman (PTT) berikut segala 'potongan' dan 'rapelan' yg terjadi, ketika kita kembali ke Jakarta, kita hanya mampu tinggal di rusun & kemana2 dg menggunakan kendaraan umum. Berbagai macam kritikan & cemoohan yg telah kita terima akibat pilihan tempat tinggal & moda transportasi kita. "Kok dokter tinggal di rusun? Kok dokter naik bus?"

Hehehehe....

Biarlah... akhirnya uangnya terkumpul juga kan utk bayar biaya kuliah spesialis... terus... Alhamdulillah keterima juga kan di spesialis penyakit dalam.... hehehe....
Nah.. skrg fase berikutnya... mudah2an lulus!!

arifianto.blogspot.com said...

Halo Dewi, terima kasih atas komentarnya. PPDS IPD dimana? Kalo di UI, berarti kita satu rumah.

Arifianto, Dept. IKA FKUI - RSCM

Doctor Abel said...

Memang kita perlu mencerdaskan masyarakat dgn memperbanyak artikel spt ini. Lanjutkan posting dgn isi yg makin berbobot bg..

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...