Wednesday, January 12, 2005

Catatan Perjalanan Aceh: 29 Desember 2004-10 Januari 2005

Rabu, 29 Desember 2004

Kira-kira pukul 9 pagi. Pulang dari mengantar ibu ke bandara, kegiatan rutinku hampir setiap pagi adalah mengecek e-mail yang masuk. Telepon rumah tiba-tiba berbunyi. Seorang perawat LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhu’afa Republika)—tempat aku bekerja—yang menelepon.
“Dokter Apin, kata Dokter Joe, antum berminat pergi ke Aceh. Bisa pergi?”
“Kapan?”
“Sore ini.”
Setelah menerima informasi “gagal” pergi ke Nangroe Aceh Darussakam dengan sebuah lembaga non pemerintah (NGO), muncul tawaran ini. Tanpa butuh berpikir lama, aku terima saja.
“Kita pergi dengan apa?”
“Dengan ambulans, lewat jalan darat.”

Sore itu, tepat sebelum maghrib, LKC melepas kepergian kami. Sebuah tim gabungan yang terdiri atas tim LKC dan tim ACT (Aksi Cepat Tanggap) DD REPUBLIKA. LKC dan ACT memang lembaga yang berada di bawah bendera DD REPUBLIKA. Tim LKC terdiri atas empat orang: 1 dokter—aku sendiri, seorang perawat, satu orang driver, dan seorang relawan, yang aku kenal kemudian sebagai kader DPC Kebayoran Baru. Sedangkan tim ACT terdiri atas 5 orang. Mereka menggunakan satu buah kijang hijau yang bercatkan nama lembaga ini. Sebuah spanduk lebar dipasang di atas kap mobil “Bantuan Kemanusiaan Gempa dan Tsunami Aceh-Sumut”.

Aku mulai saja dengan hal menarik pertama yang kudapatkan. Akh relawan kami ternyata meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua, dan diperkirakan anak keduanya akan lahir tanggal 7 Januari lalu. Pasangan suami-istri mujahid ini rela saling mengikhlaskan kepergian sang suami untuk sebuah misi kemanusiaan. Ikhwan satu ini memang sudah mempersiapkan dirinya untuk tidak melihat kelahiran si bayi, karena merencakan kepergiannya di Aceh memakan waktu beberapa pekan. Subhanalloh.

Malam harinya kami menyeberang dari Merak hingga Belawan, Lampung. Melewati waktu subuh di sekitar Bandar Lampung, kami segera meneruskan perjalanan setelah beristirahat sejenak.

Kamis, 30 Desember 2004

Saat kami beristirahat di sebuah rumah makan di Lampung, kami bertemu dengan rombongan 30 mobil polisi pengangkut yang dibawa beriringan langsung dari Kelapa Dua, Jakarta. Kami meminta izin kepada beberapa personil polisi untuk bisa melakukan perjalanan konvoi dengan mereka, dengan alasan keamanan (melewati jalan-jalan lintas Sumatra) dan memang kami belum merencanakan rute perjalanan dengan baik. Kami pun menjadi rombongan ekor mereka. Dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam, kami mengikuti rombongan panjang mobil polisi ini. Beberapa kali kami memang sengaja memisahkan diri dengan mereka, untuk makan dan istirahat, namun segera bisa menyusulnya begitu mendengar suara sirine panjang di kejauhan. Sampai akhirnya sore hari kami terpisah di daerah Sumatra Selatan. Jalur yang kami tempuh adalah Lintas Timur.

Jum’at 31 Desember 2004

Tidak banyak hal istimewa yang bisa diceritakan dalam perjalanan darat menuju NAD selama 3 hari 3 malam ini. Yang jelas pada tanggal ini kami melewati Jambi, Riau, hingga Sumatra Utara di malam harinya. Alhamdulillah perjalanan kami aman-aman saja. Tidak sampai menemui begal di tengah-tengah perjalanan, walaupun kami tetap meneruskan perjalanan sekalipun malam hari. Untungnya dari dua mobil yang kami bawa ini, kami mempunyai 4 orang driver yang saling bergantian mengemudi, sehingga perjalanan tidak banyak terhenti. Buatku pribadi, ini adalah perjalanan pertama kalinya melintasi Pulau Sumatra dari ujung ke ujung via jalan darat. Aku bisa merasakan panjangnya jalan di pinggir hutan Sumsel dan Jambi, jalanan naik-turun sepanjang Riau, kilang dan pipa-pipa minyak besar milik Caltex di sepanjang Riau, dan banjir yang cukup menegangkan di daerah Sei Rokan. Pengalaman menyenangkan lain untukku adalah bisa mencicipi masakan khas daerah bersangkutan setiap kali kami berhenti untuk makan. Malamnya kami melewatkan pergantian tahun baru masehi menuju kota Medan.

Sabtu, 1 Januari 2005

Pagi hari kami tiba di Medan. Kota yang utamanya menjadi transit bagi para relawan sebelum memasuki Aceh. Kami beristirahat sebentar di sebuah rumah yang katanya sekretariat HMI, sambil membersihkan diri dan membeli beberapa kebutuhan logistik untuk dibawa ke Aceh. Karena informasi yang kami terima menyebutkan sulitnya mendapatkan bahan bakar dan makanan di sana.

Selepas waktu dzuhur, kami melaju menuju Aceh. Melewati perbatasan Sumut-NAD, kami mulai memasuki Aceh Timur. Subhanalloh, sepanjang perjalanan di kiri-kanan jalan, mudah sekali ditemui masjid besar di pinggir jalan yang tampaknya sudah lama berdiri. Jika dirata-rata, mungkin setiap 5 kilometer. Inilah daerah seribu masjid, demikian yang terlintas dalam benakku. Aceh adalah daerah yang luar biasa subur, dengan sawah menghijau terhampar di kiri-kanan, dan di kejauhan dikelilingi oleh barisan pegunungan. Namun rakyatnya miskin-miskin, rawan konflik, dan penuh dengan militer. Adalah pemandangan yang amat biasa melihat panser-panser melintasi jalanan dengan senapan mesin yang diacungkan lurus ke depan. Setiap beberapa kilometer mudah ditemui posko-posko angkatan darat di pinggir jalan, dengan beberapa orang berseragam hijau-hijau berkelompok berjalan-jalan dengan senapan laras panjang terisi. Untungnya kami tidak mendapatkan inspeksi-inspeksi yang mengharuskan berhenti sejenak di pinggir jalan. Ada sedikit perasaan tidak nyaman pula melewati jalanan sepanjang Aceh Timur ini. Sering kita dengar dari media massa, tidak mustahil GAM muncul tiba-tiba.

Syari’at Islam memang tampak dijalankan dari penampakan luar Aceh. Para wanitanya mengenakan kerudung atau jilbab. Tidak satu pun wanita mengenakan pakaian pendek. Di beberapa papan billboard pinggir jalan dijelaskan bahwa mereka yang tidak berbusana Islam akan dikenai hukuman ta’dzir. Jadi tampaknya masyarakat Aceh menjalankan syari’at dengan setengah hati, karena paksaan. Sebelum bencana, razia pakaian ini diketatkan, sehingga wanita takut terkena. Namun setelah bencana menjadi lebih longgar. Sehingga masih ada wanita yang tidak mengenakan kerudung. Nuansa Islami lainnya adalah tulisan-tulisan Arab gundul berbahasa Indonesia yang menyertai setiap nama tempat-tempat umum.

Malamnya, sekitar ba’da maghrib, kami tiba di kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, tempat posko ACT DD REPUBLIKA berada. Kami menempati beberapa kamar dalam sebuah wisma di tengah kota. Mulai beristirahat, besok pagi misi akan dimulai.

Ahad, 2 Januari 2005

Kami mulai perjalanan menggunakan mobil ACT menuju kota Sigli, Kabupaten Pidie. Waktu yang ditempuh sekitar 3 jam perjalanan. Rute perjalanannya adalah: Lhokseumawe, Kab. Aceh Utara—Kab. Bireuen—Sigli, Kab.Pidie. Memasuki daerah Bireuen, tampak tenda-tenda pos pengungsi tersebar di kiri-kanan jalan. Mereka kebanyakan menggunakan masjid dan sekolah, atau lapangan besar sebagai tempat pengungsian. Tidak sedikit tentara yang menjaga pos-pos pengungsi tersebut. Di beberapa ruas jalan tampak retakan yang menandakan bekas gempa tektonik. Namun jalanan masih mudah untuk dilalui. Memasuki Kabupaten Pidie, tampak pinggir laut berada beberapa kilometer di sebelah kanan. Kerusakan bekas Tsunami terlihat begitu nyata. Rumah-rumah yang rata dengan tanah, sawah-sawah dan tambak yang rusak, bahkan kapal nelayan yang terlempar melintasi jalan raya hingga ke seberangnya! Namun kebesaran Alloh masih tampak di sini. Tidak satu pun jembatan-jembatan yang menghubungkan jalan utama rusak. Terlintas di benakku, Alloh memerintahkan kepada para malaikat untuk menjaga jalan-jalan penghubung utama ini, agar kelak memudahkan mengirim bantuan.

Pemandangan lain adalah iring-iringan truk dan mobil PKS yang bergantian melintasi membawa bantuan di sepanjang jalan. PKS memang raja jalanan!

Setibanya di Posko ACT di Sigli, tepat di seberang Posko Darurat Bantuan Aceh DPD PKS Kota Sigli, tim LKC menggabungkan diri dengan tim kesehatan DPD yang juga gabungan dengan ikhwah BSMI Sumatra Utara, untuk segera mengadakan bakti sosial kesehatan di pos-pos pengungsi. Kawan-kawan dari BSMI Sumut ini sudah tiba sejak sehari pasca bencana. Menariknya, tidak satu pun dari mereka adalah dokter. Pemimpin pasukannya bahkan seorang mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang mengaku sebagai dokter. Pasukannya adalah 5 orang akhwat dari berbagai fakultas di USU. Tapi pasukan ini sudah melewati perjalanan cukup berat mengadakan baksos di tempat pengungsian sebelumnya. Salah satu yang paling rawan adalah mereka pernah mengadakan perjalanan menuju pos pengungsi untuk mengadakan baksos di sebuah daerah pegunungan yang rawan GAM, yakni di derah Batee. Akhwatnya harus jatuh bangun mendaki gunung yang cukup licin. Subhanalloh. Mereka tim yang cukup berani. Pos pengungsian yang ada memang berada dekat Posko Marinir. Tetapi seharusnya lebih rawan kontak senjata dengan demikian.

Tim dari DPD Kota Sigli sendiri dipimpin oleh sang istri Ketua DPD, seorang mahasiswa kedokteran Unsyiah Banda Aceh. Mereka pasangan baru menikah. Rumah pasangan suami-istri ini sendiri sebenarnya rusak terkena bencana, namun mereka tidak larut dalam kesedihan itu, dan segera bergerak mengkoordinir bantuan untuk daerah mereka. Tim gabungan ini bergerak menggunakan ambulans LKC dan mobil kijang ACT menuju pos-pos pengungsian di Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie. Navigator kami adalah sang ketua DPC Kec. Meureudu, seorang Bapak berusia 45 tahun yang tidak kenal lelah mengantarkan para relawan setiap harinya.

Kami memulai mendirikan posko untuk pemeriksaan kesehatan di sebuah sekolah di Kecamatan Ulim, sekitar pukul 11.00 WIB. Jumlah pasien yang dilayani sekitar 50-60 orang, mulai dari balita hingga dewasa. Untungnya kami membawa ambulans LKC dari Ciputat. Sehingga kami bisa membawa pasien untuk dirujuk ke RSUD Sigli yang alhamdulillah tetap berfungsi penuh. Mayoritas penghuni ini berasal dari daerah tepat di pinggir pantai, dan sebagian berprofesi sebagai nelayan. Latar belakang ekonomi dan pendidikan mereka memang kurang. Sedikit sekali yang bisa berbahasa Indonesia. Untungnya kami membawa kader-kader PKS yang bisa menjadi penerjemah. Berbekalkan pendidikan yang minim, mereka juga tidak mengetahui kesehatan dengan baik. Kami merujuk seorang anak berusia sekitar 6 tahun yang terkena tetanus. Kerana ketidaktahuan si Ibu, anaknya yang sudah mengalami kejang hingga leher dan tidak dapat menggerakan mulutnya ini, dibiarkan saja. Untungnya kami bisa membawanya ke RS. Pasien lain yang kami rujuk adalah kakak anak laki-laki ini yang menderita gejala serupa namun tidak khas, dan anak lain yang mengalami kesulitan buang air kecil karena penyakit batu di saluran kemihnya.

Sebenarnya kami tidak puas dengan pelayanan kesehatan macam ini, karena sifatnya hit and run. Selesai mengadakan baksos sementara, kami meninggalkan tempat ini untuk mencari titik lain yang belum tersentuh pelayanan kesehatan. Idealnya dalam satu pos pengungsian terdapat satu posko kesehatan yang standby setiap harinya. Tugasnya tidak hanya mengobati pasien dengan penyakit khas seperti infeksi saluran napas atas (ISPA), diare, atau penyakit kulit saja, tetapi juga memberikan penyuluhan higiene dan sanitasi lingkungan yang baik, agar tidak terjadi wabah penyakit setelah beberapa lama berada di pengungsian. Kami juga tidak membawa persediaan susu bayi dan balita yang sesuai umur. Padahal mereka sangat membutuhkannya.

Titik kedua yang kami tuju adalah sebuah Sekolah Dasar yang dijadikan tempat pengungsian. Kegiatan kami tidak berbeda dengan pos sebelumnya. Sebagai titik terakhir hari itu kami mendatangi satu pos di Kecamatan Jangkabuya, masih di Pidie. Alhamdulillah, dua orang perawat dari Puskesmas setempat telah mendirikan posko kesehatan dan tinggal hingga sore hari. Kami sangat bersyukur, akhirnya ada kader kesehatan setempat yang telah bergerak. Kami tidak mengadakan pengobatan. Hanya mengunjungi seorang pengungsi yang berada di sebuah rumah penduduk, dan menjanjikan untuk dapat dirujuk keesokan harinya. Sudah hampir maghrib. Aku hanya teringat ketika menjumpai seorang bapak tua saat pengobatan di SD Kec. Ulim, ia menyampaikan dengan nada haru bahwa mungkin saat itu adalah saat pertama sekaligus terakhir kami bertemu.

Malam hari sekitar pukul 22.00, dengan sebuah perjalanan yang tidak direncanakan sebelumnya, kami bergerak menuju kota Banda Aceh. Ditemani tiga orang kader Kepanduan DPW Sumut yang telah direkrut ACT, kami melaju dalam mobil kijang di tengah kegelapan malam. Lewat tengah malam kami tiba di Lambaro, sekitar 3 km menuju Banda Aceh. Inilah tempat hampir semua relawan dari berbagai daerah berkumpul. Posko-posko berserakan di ruko-ruko yang ada. Mulai dari DPD PKS setempat yang menampung ratusan kader dari berbagai daerah termasuk dari Jakarta yang diberangkatkan dengan Hercules sore harinya, tenda-tenda BSMI yang berada di lapangan samping DPD tempat sekitar seratusan pengungsi berada, posko BAZNAS, PKPU, ACT, dan banyak lagi. Tidak lama berdiam diri, kami meneruskan perjalanan ke RS KESDAM Banda Aceh, satu-satunya RS di kota Banda yang berfungsi saat itu, untuk menemui pimpinan LKC yang sudah berada di sini sejak beberapa hari sebelumnya. Ia adalah seorang spesialis anak yang berangkat bersama rombongan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Depkes. Kembali ke Lambaro, kami melepas lelah di tenda posko PKS di lapangan.

Senin, 3 Januari 2005


Bangun saat subuh, kami melaksanakan sholat berjama’ah di masjid tepat di lapangan. Ba’da subuh, Ust. Zufar Bawazier memberikan kultum. Saat matahari telah bersinar cukup terang, kami mulai menyusuri kota Banda Aceh.

Itulah saat pertama kalinya aku melihat keadaan kota Banda yang rusak berat. Seminggu setelah bencana, Masjid Baiturrahman sudah bersih dari jenazah. Sehingga kami tidak mencium bau mayat. Memang Alloh menjaga masjid ini. Tidak tampak satu kerusakan pun pada masjid. Hanya menara yang berjarak kira-kira 20 meter di depannya yang retak seakan hendak runtuh karena gempa tektonik, dan tempat wudhu tidak bisa digunakan. Masjid ini sudah agak sepi. Mereka yang menempati bagian dalam masjid adalah kawan-kawan FPI. Mereka juga mengadakan apel pagi di depan masjid. Beberapa tenda terletak di samping kanan masjid, namun tidak ada satu pengungsi pun, hanya relawan. Tepat di samping kiri masjid terdapat kompleks Pasar Atjeh yang belum dibersihkan. Puing-puing masih memenuhi jalan sepanjang pasar ini.

Aku tidak mencatat jalan-jalan yang kami lalui. Yang jelas kami meneruskan perjalanan ke arah timur masjid, melewati kompleks ruko di kiri jalan. Satu deretan ruko yang terdiri atas tiga rumah bahkan tampak amblas ke tanah. Sehingga yang telihat hanya mulai lantai dua dan tiganya saja. Mudah-mudahan tidak ada yang terkurung di dalam lantai satu yang masuk ke tanah itu. Kami melewati Plaza Pante Perak, satu-satunya mal terbesar di kota Banda, yang runtuh terkena gempa tektonik. Kami juga melintasi jalanan di depan RSU Zainal Abidin yang saat itu masih belum berfungsi, PLN Kota Banda, sampai daerah Asrama BRIMOB yang terletak di pinggir pantai. Memang kami tidak menemukan mayar berserakan di pinggir jalan, dan jalan-jalan yang kami lalui relatif mudah karena sudah dibersihkan. Sekitar dua jam kami berputar-putar, akhirnya kami memutuskan kembali ke Sigli.

Melewati jalan berliku-liku tajam di Pegunungan Seulawah, memasuki batas dengan Pidie, kami dicegat oleh TNI AD bersenjata. Ereka mengadakan razia dan meminta setiap orang yang berada dalam mobil untuk keluar, dan mereka mencoba menggeledah seisi tubuh untuk mencari adakah barang-barang berbahaya. Rupanya baru terjadi kontak senjata antara GAM dengan TNI di daerah tersebut. Lolos melewati pemeriksaan, kami meluncur menuju posko yang berseberangan dengan DPD. Hari ini kami kembali melakukan pengobatan di Kec. Meureudu, tempat asal Ketua DPC sang navigator kami. Seperti sehari sebelumnya, hanya hit and run di sebuah lokasi panti asuhan yatim-piatu. Hal menggembirakan yang kami temui adalah banyak pos pengungsi yang tidak jadi kami lakukan pengobatan di dalamnya, karena telah terisi oleh Posko Kesehatan lain, khususnya dari Puskesmas setempat. Sepertinya mulai hari Senin ini, Dinas Kesehatan telah mengerahkan perangkat-perangkat Puskesmasnya untuk aktif bergerak di pos-pos pengungsian. Alhamdulillah. Malamnya kami kembali ke Posko Utama ACT di kota Lhokseumawe.

Perjalananku sejauh ini cukup menarik, karena ditemani orang-orang yang “unik”. Ada seorang fotografer khas “peliputan konflik dan bencana” juara pertama lomba foto Suara Surabaya. Ia telah menemani perjalanan ACT saat konflik di Ambon, gempa Nabire, dan tempat-tempat lain. Sehingga Akhi satu ini bisa bercerita pengalamannya di tengah-tengah hujan peluru kota Ambon, gempa berulang di Nabire, informasi dari rekan-rekan wartawan, dan bagaimana cara membedakan senapan terisi peluru karet atau tajam. Lainnya adalah beberapa orang pemuda kepanduan terlatih dari DPW Sumut. Kemudian markas kami yang cukup canggih, dilengkapi dua perangkat komputer lengkap, peta daerah yang cukup mendetil, penguasaan navigasi lapangan, perangkat komunikasi, dan transportasi “cepat-tanggap” yang menunjang.

Selasa, 4 Januari 2005

Kali ini kami menyusuri daerah sekitar Lhokseumawe, yakni menuju Lok Sukan, Aceh Utara. Kebetulan tim kami telah diperkuat oleh dua orang dokter spesialis anak dari IDAI yang tiba dari RS KESDAM malam sebelumnya. Kami menuju pos pengungsi yang terkonsentrasi di Kec. Seunuddon. Lokasi ini berada tepat di depan Puskesmas dan beberapa kantor instansi pemerintahan lain, sehingga pendataan dan bantuan cukup baik. Dokter-dokter anak kami sempat membantu seorang balita yang menderita diare akut dengan dehidrasi sedang-berat. Alhamdulillah, akhirnya infus bisa terpasang. Setelah memberikan bantuan dari IDAI beberapa dus sarung, pembalut wanita, dan pakaian lain, kami menuju pantai Seunuddon.

Di sepanjang kiri-kanan jalan, banyak ditemui bendera merah-putih terpasang. Sepertinya ini adalah hasil ‘pemaksaan’ TNI kepada penduduk setempat untuk memasang bendera. Meneruskan perjalanan, Masya Alloh, daerah penduduk yang berada di sekitar pantai ini memang rusak dan sepi. Kami masih mencium bau busuk di beberapa tempat, namun tidak melihat adanya mayat. Jalan menuju daerah ini memang dijaga marinir, tetapi kami diijinkan lewat. Saat menyentuh pasir pantai, kawan navigator dari kepanduan menjelaskan bahwa ini bukanlah pasir pantai, tetapi pasir yang berasal dari laut dalam. Hal unik lain yang kami temukan adalah banyaknya kucing lucu berkeliaran di tempat ini. Tampaknya mereka kehilangan majikannya. Dan… jangan-jangan mereka makan mayat manusia selama ini?

Hingga menjelang maghrib, kami meninggalkan tempat ini. Namun sebelum pulang, seorang pria berkendaraan motor meminta kami menuju rumahnya, untuk menjemput seorang kerabatnya yang terkena musibah dan saat ini tidak sadarkan diri. Sampai di rumahnya, kami agak sulit mendiagnosis penyakit sesungguhnya yang diderita, antara tetanus tidak khas dengan stroke hemoragik. Yang jelas ditemukan adalah penurunan kesadaran dan ileus paralitik. Ini adalah kegawatan. Ambulans segera meluncur membawa pasien menuju RS Cut Meutia Lhokseumawe yang berfungsi penuh. Sayangnya sesampai di IGD, tidak satu pun dokter nampak, baik triase, apalagi spesialisnya. Akhirnya kami merujuk untuk pemeriksaan radiologi, dan setiba dokter triase, seorang wanita, kami pamit dari IGD RS. Kabar yang kami terima keesokan harinya, pasien laki-laki berusia sekitar 60 tahun ini meninggal dunia dini hari. Tidak jelas apa diagnosisnya.

Rabu, 5 Januari 2005

Tidak banyak yang kami lakukan hari ini. Pagi hari hanya mengunjungi lokasi pengungsi yang terpusat di pusat Kota Lhokseumawe, yakni Lapangan Hiraq. Tampak satu Posko Kesehatan melayani pasien mengantri yang umumnya terdiri dari wanita dan anak-anak. Dua dokter anak kami membantu melayani beberapa puluh pasien anak. Posko ini dibuka oleh Dinas Kesehatan setempat. Kondisi pengungsi juga sudah berangsur-angsur kembali ke daerahnya masing-masing, sehingga lapangan tidak sepadat hari-hari sebelumnya. Dua hari sesudahnya lapangan ini sudah bersih dari pengungsi. Kami hanya mendapatkan fakta dari seorang pengungsi yang mengeluh ketika kerabatnya dibawa ke RS Militer setempat, ia harus menebus obat dengan sejumlah uang. Padahal kebijakan saat itu di seluruh Aceh (seharusnya), semua pengungsi mendapatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis di RS. Ini yang kami jumpai di RS Sigli dan Cut Meutia. Seharusnya RS Militer memberlakukan hal serupa. Berarti masih ada oknum nakal yang berkeliaran.

Sampai malam hari kami tidak melakukan banyak aktivitas berarti. Hanya makan siang, makan malam, dan beristirahat di kota Lhokseumawe.

Kamis, 6 Januari 2005

Kami kembali bergerak! Paginya kami menuju lokasi masih di sekitar Lhokseumawe, tepatnya di sebuah penjara tidak terpakai. Kami bertemu dengan tim fresh graduated doctors dari Universitas Trisakti Jakarta yang siap mengadakan pengobatan di tempat itu. Kami pun meneruskan perjalanan ke Kabupaten Bireuen, siap untuk mengadakan pengobatan untuk pertama kalinya di daerah ini. Sesampai di Posko ACT di Kec. Matanggleumpang Dua, kami meminta data-data pos pengungsi dari DPD PKS setempat, dan meminta salah seorang kader untuk menjadi navigator perjalanan menuju kecamatan terujung sebelum Pidie. Setibanya di sebuah posko yang cukup besar, kami turun dan mendapati Posko Kesehatan terbesar yang pernah kami temui untuk ukuran sebuah pos pengungsi. Di posko ini, sudah dibagi-bagi poli untuk dewasa dan anak-anak. Saat itu relawan kesehatan yang mengisi berasal (tampaknya) dari Taiwan. Seorang laki-laki dan wanita menghibur pasien yang sedang mengantri giliran dengan lagu-lagu berbahasa Mandarin. Mereka membawa penerjemah untuk mengadakan pengobatan tentunya. Beberapa hari kemudian, aku melihat relawan kesehatan dari Palang Merah Prancis. Posko ini mungkin menjadi favorit relawan asing.

Setelah fotografer kami mengambil beberapa foto, kami menuju pos pengungsi yang tidak terisi tim medis di sebuah lumbung padi tidak terpakai. Kami melayani sekitar 80 pasien sore itu. Dilakukan rujukan ke RS Sigli terhadap pasien anak laki-laki dengan abses terinfeksi di lengan dan tangannya, dan anak perempuan dengan kelenjar getah bening leher membentuk abses.

Malamnya kami kembali ke Posko.

Jum’at, 7 Januari 2005

Hari ini kami sangat santai. Kami merasa nanggung jika harus bepergian, karena ingin melaksanakan sholat Jum’at di masjid. Kami hanya menginventaris obat yang tersisa, dan membuat form resep baru yang sudah habis, juga mendata penyakit pasien dalam pengobatan-pengobatan sebelumnya.

Namun kami punya kisah menarik malam harinya. Relawan kami yang di awal ceritaku ini meninggalkan istrinya tengah hamil tua, melahirkan dengan selamat lewat tengah malam di Puskesmas Manggarai, Jakarta Selatan. Sang suami yang berada ribuan kilometer jauhnya membimbing sang istri. Untungnya pulsa SIMPATI TELKOMSEL digratiskan selama beberapa hari di kawasan Aceh ini, menelepon kemanapun. MENTARI SATELINDO hanya memberikan diskon hingga 75% sampai akhir Januari 2005.

Ternyata bukan relawan kami saja yang mendapatkan buah hati baru saat berada di sini. Seorang anggota Kepanduan yang menjadi relawan ACT juga dikaruniai seorang bayi wanita pada Selasa malam. Dan ia baru mengetahui bahwa istrinya telah melahirkan pada hari Jum’atnya, dengan telepon genggam yang dipinjamkan kawannya, karena Akh Kepanduan DPW Sumut ini tidak memiliki ponsel. Sama-sama anak kedua, sama-sama anak perempuan. Subhanalloh, alhamdulillah. Mereka adalah pasangan da’I-da’iyah yang saling merelakan kepergian sang suami untuk tujuan da’wah. Pelajaran sangat berharga bagiku.

Sabtu, 8 Januari 2005

Mengikuti rombongan ACT, kami singgah sebentar di Kota Sigli, dan meneruskan perjalanan hingga Banda Aceh. Tidak ada aksi sosial yang kami lakukan. Bagiku hanya mengunjungi Kota Banda untuk kedua kalinya. Tidak ada yang istimewa. Namun aku senang bisa bertemu kawan-kawan sejawatku dari FKUI angkatan ’98 yang pergi bersama PMI, di jalanan kota Lambaro. Malamnya menginap di Posko DD di Banda Aceh.

Ahad, 9 Januari 2005

Kembali ke Lhokseumawe. Siap-siap kembali ke Jakarta keesokan harinya dengan pesawat dari Medan. Maka aku dan seorang kawan kepanduan yang rumahnya di Medan menempuh perjalanan ke Medan menggunaan minibus L-300 carteran. Sampai malam hari di Medan, aku menginap di rumah. Keesokannya aku bisa melihat anak keduanya yang baru lahir Selasa lalu.

Senin, 10 Januari 2005

Mengambil tiket yang dititipkan pada salah seorang aleg DPRD Prov. Sumut. Pengalaman bisa mengunjungi kantor Fraksi PKS DPRD Sumut, dan bertemu para ikhwah pejuang. Menuju Bandara Polonia, terbang dengan Adam Air, sampai di Soekarno-Hatta pukul 14 lewat. Alhamdulillah.

Rancananya tim dokter LKC akan diteruskan oleh dr. Yahmin Setiawan.

Beberapa Pesan untuk Perjalanan ke Depan

Bisa dikatakan fase emergency telah terlalui. Kini kita memasuki fase recovery di NAD. Butuh waktu cukup lama untuk fase ini. Masalah koordinasi dan komunikasi antar elemen bantuan di Aceh belum terlaksana baik sampai saat ini. Satu hal yang menjadi perhatian kami adalah terpusatnya para relawan di kota Banda Aceh dan sekitarnya (Kab. Aceh Besar). Padahal para pengungsi justru menyebar keluar Kota Banda, khususnya di Pidie dan Bireuen. Sehingga diharapkan para lembaga baik pemerintah maupun NGO bisa melakukan pemerataan bantuan. Kami dari LKC-ACT DD REPUBLIKA bersyukur memiliki kendaraan sendiri, yang sangat memudahkan dalam menjelajahi ratusan kilometer setiap harinya, sebagai mobile medical unit. Kami pun mengisi kekosongan daerah-daerah yang tidak terjelajah oleh kawan-kawan di Banda Aceh, bekerja sama dengan ikhwah setempat.

PKS memegang peranan penting dalam hal ini. Jaringan PKS tersebar sangat rapi dan meratanya di seluruh daerah NAD, mulai dari Aceh Timur, Utara, sampai Aceh Besar. Dalam sebuah kolom khusus Harian Serambi Jum’at lalu, dijelaskan bahwa banyak lembaga yang mengirimkan bantuannya ke Aceh akhirnya menyalurkan bantuannya untuk sampai langsung ke tangan masyarakat lewat PKS. Jika melintasi jalan lintas Sumatra mulai dari Medan sampai Banda Aceh, akan terlihat jenis kendaraan terbanyak yang lewat adalah yang menggunakan bendera PKS. Adanya kader-kader yang asli daerah setempat juga memudahkan komunikasi denagn penduduk.

Kini tinggal disusun langkah jangka panjang ke depan. Khusus untuk masalah kesehatan yang menjadi profesi saya, mengusulkan untuk mengaktifkan kembali semua infrastruktur kesehatan yang ada, dan alhamdulillah pada kenyataan di lapangan berangsur-angsur mulai pulih. Upaya pencegahan wabah masih harus menjadi prioritas pada saat ini, sampai fase kritis terlalui.

Di masyarakat Aceh sendiri, lebih aman dikenali oleh GAM sebagai PKS, dibandingkan sebagai pro-RI. GAM tidak akan menyerang PKS, karena mereka tahu siapa PKS. Ini adalah keunggulan tersendiri.

Wallahu a’lam.
Penulis adalah Kader DPC Cempaka Putih, saat ini tinggal di Serpong, Tangerang. Memiliki blog pribadi di http://arifianto.blogspot.com dan administrator pada website http://www.asysyifaa.uni.cc

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...