Tuesday, November 13, 2007
NYERI
Masalah nyeri cukup menggangguku belakangan ini. Pasien-pasien anak yang menderita keganasan (kanker) sistem darah (hemopoetik), sebut saja leukemia, dengan gambaran hasil laboratorium darah yang hiperleukositosis (kadar sel darah putih yang tinggi, di atas 50000/mikroliter), harus mendapatkan pemantauan darah tepi lengkap dan analisis gas darah, sekurang-kurangnya sekali dalam tiap 24 jam. Sekurang-kurangnya. Artinya pemeriksaan bisa dilakukan lebih dari sekali sehari jika memang diperlukan. Hiperleukositosis pada pasien leukemia bisa menimbulkan kegawatan yang timbul mendadak sewaktu-waktu.
Pengambilan darah tepi lengkap dan analisis gas darah pun dilakukan di dua tempat yang berbeda. Darah tepi lengkap menggunakan sampel darah vena yang relatif lebih mudah diambil, daripada analisis gas darah yang dialmbil dari sampel darah... arteri. Bukan ini saja, mengambil darah pada anak-anak juga tentunya lebih sukar daripada orang dewasa. Belum pada mereka yang gemuk sehingga lebih menyulitkan melihat pembuluh vena, dan mereka yang pembuluh darahnya kolaps akibat syok.
Ambil contoh: anak batita berumur 2 tahun dengan leukemia limfositik akut, harus diperiksa darahnya tiap 12 jam, dengan satu kali pengambilan mendapatkan sekaligus darah arteri dan vena. Jika gagal, darah harus diambil di 2 tempat yang berbeda. Dalam 24 jam ia bisa mendapatkan empat kali tusukan jarum. Tiap bekas tusukan juga biasanya menimbulkan bengkak dan lebam yang bertahan berhari-hari kemudian. Jika disentuh, nyeri rasanya. Artinya tidak bisa mengambil darah di tempat yang sama pada kesempatan berikutnya. Semua lokasi tubuh mulai dari pergelangan tangan, lengan bawah, lipatan lengan, punggung kaki, selangkangan, bahkan kepala, berpotensi menjadi tempat tusukan. Dan perlu ditegaskan, semua ini demi kebaikan si pasien tentunya.
Tapi apa arti semua ini bagi seorang anak kecil? Sakit. Sakit yang luar biasa.
Mendengar derap langkah kaki dokter atau suster dari kejauhan, si anak mulai gelisah. Melihat wajah dokter atau perawat yang tampak menjulang tinggi di hadapannya, anak pun langsung menangis, merengek, rewel, memohon-mohon agar tidak ditusuk."Jangan Dok.. jangan disuntik. Nggak mau disuntik lagi. Sakit.. sakit!"Meski dokter sama sekali tidak bermaksud mengambil darahnya. Ia hanya ingin memeriksa rutin tekanan darah, frekuensi nadi dan napas, serta suhu badan. Tapi trauma mendalam yang telah terpancang dalam benak sang anak membuatnya ketakutan setengah mati.
Wajar. Sangat wajar tentu saja. Ini tidak hanya berlaku bagi anak dengan keluhan seperti ini. Tapi semua anak yang harus dipasangi infus ketika menjalani perawatan di RS, anak yang infusnya lepas dan harus dipasang lagi, dan semua berkenaan dengan suntik-menyuntik anak.
Seorang teman dokter yang anak balitanya pernah menjalani operasi di sebuah RS rujukan utama di Jakarta mengeluhkan perlakuan yang dialami anaknya ketika harus dibius. Si anak yang secara otomatis ketakutan meronta saat akan mendapatkan anestesi, harus dipegangi beberapa orang sekaligus, dibentak dan diancam supaya tidak bergerak, sehingga dapat dilakukan pembiusan. Wajar bukan jika si anak ketakutan? Teman saya ini pun sempat membandingkan dengan keadaan di RS Singapura, ketika membawa anaknya untuk pembedahan yang kedua kalinya (hasil operasi pertama kurang memuaskan). Ia benar-benar mendapatkan perlakuan yang berbeda di sini. Anak dibawa ke sebuah ruang yang sama sekali tidak akan membuatnya berpikir sedang berada di RS, dan pembiusan dengan mudah dilakukan tanpa perlawanan. Tidak heran banyak orang lebih senang berobat ke luar negeri.
Saya pun bertanya-tanya, bagaimana seharusnya seorang dokter menangani rasa takut dan trauma yang timbul pada seorang anak yang sering berhadapan dengan prosedur medik. Kadang dokter yang berada di bawah tekanan pekerjaan, khususnya di RS pendidikan dengan pemantauan ketat dari dokter senior dan dokter konsultan yang tidak mau tahu, semua hasil pemeriksaan penunjang harus ada ketika dibutuhkan, padahal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium atau radiologi ini tidak mudah. Anak-anak seringkali memberontak, berteriak, dan melakukan tindakan yang membuat dokter atau perawat emosional juga, karena tidak kooperatif. Ya, tentu saja karena mereka tidak tahu. They're just kids!
Hal ini saya alami juga ketika harus memberikan vaksinasi pada bayi dan anak-anak. Kadang anak-anak yang tertinggal beberapa imunisasinya, harus melakukan catch up, dan dalam satu kali kunjungan bisa mendapatkan sampai empat tusukan sekaligus! Imunisasi simultan lebih baik dibandingkan dengan anak harus datang tiap bulan untuk disuntik.
I'm still learning how to handle with the pain and needle related-psychological trauma in children.
Monday, October 22, 2007
LASKAR PELANGI dan SANG PEMIMPI
Some of the best books I've ever read. Banyak sekali bagian dari buku pertama yang ingin kuceritakan, yang mengandung banyak pelajaran hidup. Pendidikan: inilah kata kunci penulis yang menumpahkan kisah hidupnya di buku-buku ini. Memotivasiku untuk tidak menyesali pilihan telah mengambil pendidikan spesialisasi ini.
www.friendster.com/profiles/arifianto
Situs resmi Andrea Hirata: www.sastrabelitong.multiply.com
Monday, September 10, 2007
Dapatkah Kita Melintasi Ruang dan Waktu (Time Travel)?
'HEROES' season one has just ended (TransTV broadcasted the series in Indonesia). One of the character, Hiro Nakamura, has the ability to transport himself and the person he touches to different place and time. In other word, he can travel through space and time? Is this possible according to science?
In my childhood reading-and-watching experiences, I-like Hiro in the 'HEROES' series-was raised by Superman comics and movies, Star Trek TV series and movies, Star Wars (actually I watched the saga seriously in my college years), and other American-fantasy goodies. Then I had a big crush in physics, starting from my junior high study. At that time, I've dreamt that someday I would enroll to MIT and master physics. when I was in senior high school, I studied hard to pass the final exam and enter ITB. Though in real life now, I'm a medical doctor. I bought Stephen Hawking's "A Brief History of Time" in my first grade in senior high, and finished reading it in my third grade. I read quantum mechanics, relativity theory, and sort of things. Two years ago, my dear auntie brought me Brian Greene's "The Fabric of the Cosmos" from Boston, after I read TIME Magazine that announced it as a recommended book for physics lover, then I asked my aunt to buy it for me.
Dalam salah satu bab, Brian Greene, ilmuwan teori adidawai (superstring theory), yang dikatakan sebagai satu kandidat terkuat teori yang akan menjadi "Theory of Everything" menyimpulkan bahwa teleportasi (teleport: istilah ini dikenalkan oleh Star Trek, ada yang sudah membaca "Fisika Star Trek"-nya Lawrence Krauss?) melintasi ruang dan waktu adalah hal yang mustahil (dikaitkan dengan fisika yang masih diakui sampai saat ini, hello Newton, hai Einstein). Pengarang buku legendaris 'The Elegant Universe' (gw belum punya bukunya, ada ga ya di QB World, Aksara, Kinokuniya atau Times?) ini menjelaskan bahwa upaya men-teleportasi satu partikel sudah dapat dilakukan. Inipun bukan dalam konteks menghilangkan satu partikel, kemudian secara tiba-tiba memunculkannya di tempat lain (kaget deh ogut kalo tiba-tiba lihat si Hiro Nakamura pop up suddenly from nowhere), seperti impian Michael Crichton dalamTIMELINE. Tetapi di suatu tempat lain, sudah ada partikel yang disiapkan. Begitu disiapkan suatu partikel untuk diteleportasikan, partikel di tempat lain akan mengubah susunan proton-elektron-nya menjadi mirip, serupa dengan partikel yang 'diteleportasikan'. Jadi membuat fotokopi partikel, bukan memindahkan dan memunculkannya secara tiba-tiba di tempat lain. Biarlah DeLorean dalam "Back to The Future"-nya Steven Spielberg menjadi angan-angan saja (huhh, I really missed its trilogy).
Lalu, mungkinkah seseorang kembali ke masa lalu, menemui pasangan pria-wanita yang kelak akan menikah dan menjadi orangtuanya, dan mencegah supaya mereka tidak menjadi menikah? Jawabannya adalah ketika seseorang melintasi waktu menuju masa lalu, ia akan masuk ke semesta lain (konsep parallel universe). Yaitu fotokopi/salinan persis sama dari alam semesta ini, menemui orang-orang yang sama. Ia bisa saja mencegah pernikahan orangtuanya, atau bahkan membunuh ayahnya sendiri sebelum dirinya dilahirkan. Namun jika ia kembali ke waktu asalnya (masa kini), ia tetap akan menemui keadaan yang tidak berubah. Karena dimensi masa lalu dan masa kini adalah semesta yang berbeda. Makanya film masa kecil di RCTI semacam Voyager, Quantum Leap, dll tidak pernah menunjukkan sejarah yang bisa diutak-atik.
Bagaimana dengan teori wormhole, yang katanya jika kita bisa mampu masuk ke dalam 'lubang cacing' di dalam blackhole, atau setidaknya mampu meniru membuat wormhole ini, kita bisa menembus ruang dan waktu? Professor Greene menjelaskannya secara gamblang di buku ini. Atau jika kita mampu bergerak 99,999999999% mendekati kecepatan cahaya, kita mampu memperlambat waktu? Ini benar secara teori Relativitas Umum-nya Einstein lho.. Hey, mendekati kecepatan cahaya saja hampir mustahil, apalagi melewati speed of light (bye, bye warp speed).Masih ada lagi tentang 'parallel universe' etc yang dijelaskan oleh Brian Greene dengan superstring-nya. Mau lihat film-film dokumenter yang diambil dari bukunya 'The Elegant Universe', dan dipandu sendiri oleh si pengarang? Semuanya bisa di-download gratis di internet.
Tunggu saja sampai Doraemon membawakan 'Pintu Kemana Saja' yang keluar dari Kantong Ajaib-nya. Atau masuk ke mesin waktu di laci meja belajarnya Nobita. Saya pasti tidak akan berani masuk ke dalamnya.
Yak, kembali ke kehidupan nyata. Belajar biostatistika supaya nanti bisa ngerjakan tesis.
Arifianto, MD (I still love physics)
Sunday, August 19, 2007
Iryu Team Medical Dragon (part two)
Demikianlah percakapan Akira Kato, wanita muda yang berambisi menjadi profesor bedah jantung.
Yak, begitulah saudara-saudaraku sejawat dokter. Siapapun yang ingin mengubah suatu sistem, harus menjadi bagian di dalamnya (baca: jadi staf atau konsulen.. hehehe).
Tak pelak, menonton Iryu Team Medical Dragon, memberikan gambaran banyak sekali kemiripan sistem kedokteran di Indonesia dengan Jepang. Khususnya dalam hal kultur feodalisme. Tapi jangan bahas dalam segi teknologi ya, pastinya Indonesia kalah jauh.
Susunan alur ceritanya oke. Khas ‘dorama’ Jepang. ‘Manga’ based pula. Ilustrasi musiknya top. Sound dan special effect-nya tertata rapi. Belum penjelasan ilmiahnya yang gambling dan rasional, serta mudah dipahami awam. Pasti banyak yang pengen jadi dokter bedah setelah nonton filem ini. Ingat ya: jadi dokter niatnya cuma satu: nolong orang. Bukan untuk materi (uang). Film ini belum ada di TV Indonesia. Bisa di-download gratis dengan torrent. Sebelas episode.
This TV series reminds me of my-surgeon-wanting-to-be (urologist, specially—but I can’t afford the living cost to fund during the residency education), or wish of being a cardiologist (not cardiac surgery, but I didn’t dare to face the qualification, and the fact now is… very few alumni of my almamater are accepted as the residents here). And it ends up being a pediatric resident. Why aren’t there any movies about pediatrics? Or maybe I’ll make one, if there’re producers offering me to make one, and targeting to reach the highest rating among the sinetrons. Hehehe.
Enough for the bull shit about sinetrons.
Iryu Team Medical Dragon
Ijyuuin-sensei, seorang residen di bagian Bedah Toraks sebuah RS fiktif dalam film serial TV “Iryu Team Medical Dragon” merenungi dirinya. Sebuah kondisi yang secara umum menggambarkan satu bagian kecil dari kehidupan dunia kedokteran di seluruh dunia. Indonesia pun termasuk salah satu bagiannya.
Film ini menceritakan dua karakter utama. Karakter pertama adalah seorang dokter bedah yang ”surgeon-born-to-be” namun sangat idealis dengan keadaan yang secara bertolak belakang dengan keinginannya (kurang-lebih digambarkan dalam paragraph awal tulisan ini), sehingga ia dikucilkan dari pergaulan profesinya, dan memutuskan untuk berhenti dari profesinya.Karakter kedua adalah seorang asisten profesor bedah toraks wanita yang sangat berambisius menjadi profesor, sehingga merekrut si karakter pertama untuk melakukan prosedur bedah ”BATISTA” yang sangat fenomenal dalam dunia bedah jantung, dan bila prosedur ini berhasil dilakukan di bawah bimbingannya, ia akan dipastikan menjadi profesor.
Film ini menonjolkan dunia kedokteran Jepang yang feodal. Kata-kata dan keinginan seorang profesor tidak bisa dibantah oleh juniornya, meskipun hal itu tidak tepat secara medis, atau berpotensi membahayakan nyawa pasien. Sehingga salah satu pesan film drama terbaik Jepang ini adalah: utamakan pasien.
Surgical skill level doesn’t matter.. it’s just an “awaiting-death” patientTo not affect insurance rating, doctors still have to treat hopeless patients. Even if no treatment to avoid the increase of hospital’s death toll, the patient is transferred here to the patient’s family, dying in a well-equipped hospital, they will accept it more easily. In other words, this is a patient whose life does not matter. As long we follow standard procedure, the outcome of operation is unimportant.
Kalimat-kalimat di atas juga sedikit-banyak menggambarkan dunia kedokteran yang ternyata tidak banyak berbeda di semua negara di dunia. Yakni RS rujukan nasional identik dengan kasus-kasus “berat”, dan seringkali dokter langsung menyimpulkan “pasien ini sudah sukar untuk dikembalikan ke keadaan awalnya”. Dokter menjadi agak putus asa, dan kadang kurang optimal bertindak untuk keberhasilan tindakan mediknya. Apalagi di negara kita yang tidak mengenal asuransi kesehatan untuk semua. No money, no cure. Tidak ada uang, tidak ada kesembuhan.
Sebuah film drama yang menjadi otokrotik bagi seluruh dokter yang konsisten dalam menjalankan profesinya. Lengkap dengan bumbu humor khas Jepang, karakter-karakter menarik para dokternya, dan penjelasan ilmiah secara sistematis terhadap semua kasus bedah yang disajikan. Episode pertama menampilkan tindakan bedah terhadap tamponade jantung dengan cara menyedot darah yang memenuhi rongga perikardium, namun tidak mencari penyebab sumber perdarahannya. Sehingga jantung pasien pun berhenti berdenyut. Dokter dengan santainya menyatakan “operasi berhasil, namun nyawa pasien tidak berhasil kita selamatkan”. Karena sejak awal operator bedah, seperti kasus-kasus yang biasa ia hadapi, menganggap ini adalah kasus “awaiting-death”. Karakter utama film ini turun tangan mencari sumber perdarahan, menekannya sehingga perdarahan berhenti, dan melakukan kompresi jantung sampai aktivitas listrik muncul dan jantung kembali berdenyut spontan. Nyawa pasien pun terselamatkan.
Skenario yang sangat baik di episode perdana serial ini. Dilanjutkan dengan kasus pneumotoraks yang ditangani dengan menusukkan patahan bolpoint ke sela iga pasien menembus ruang pleura.
The movie that reminds my wish to be a surgeon. But now I’m already starting to prepare my pediatric residentship, and I should be a pediatrician someday.
Maybe I’ll write my stories during my “life as a pediatric-resident”, and a biography-based book will be published someday.
Cheers…
Friday, June 15, 2007
Kalau Anak Diare, Boleh Tidak Dikasih Antibiotika dan Antidiare?
Kedua, secara umum diare dibagi dua: diare akut dan diare kronik. Diare akut berlangsung di bawah 14 hari, sedangkan diare kronik lebih dari 14 hari. Ada juga istilah diare persisten, yang hampir mirip dengan diare kronik.
Ketiga, anak diare biasanya disertai mual-muntah. Ini adalah hal yang umum terjadi, dan tidak butuh penanganan khusus. Artinya tidak butuh obat mual-muntah. Saya jelaskan di bawah.
OK, yang kita bahas di sini adalah diare akut tanpa penyulit. Artinya bukan disentri (diare disertai darah), diare kronik/persisten, atau diare dengan dehidrasi berat (di sini saya tidak menjelaskan macam-macam kategori dehidrasi, bisa ditemui di banyak sumber di internet).
SATU HAL PENTING: diare sebenarnya adalah mekanisme pertahanan tubuh juga. Kok bisa? Ya, diare membuang semua virus dan bakteri yang mengganggu sistem pencernaan kita. Begitu juga dengan muntah. Makanya kalau penyakitnya belum keluar semua, kemudian diare di-STOP, atau muntah di-STOP, bisa-bisa si kuman muter-muter aja di saluran cerna, berkembang biak lebih banyak, dan bisa mengakibatkan penyakit bertambah berat. PRINSIPNYA: cegah dehidrasi.
Kalau anak diare, khususnya bayi dan balita, biasanya orangtua panik. Apalagi kalau disertai mual-muntah. Langsung deh pada hari itu, hari pertama-kedua diare, si anak dibawa ke dokter. Jreeenngg... apakah yang dokter berikan?
ORALIT! Yak, inilah obat utama dan andalan untuk semua diare. Jadi jangan lupa, kalau anak diare: minum ORALIT. Inipun tidak perlu pergi ke dokter, karena oralit bisa dibeli secara bebas. Prinsipnya adalah anak harus banyak minum dan makan, jika oralit belum/tidak tersedia. Minum apa saja boleh... termasuk susu. Lho, kok susu? Ya iya dong, kan diarenya bukan karena susu (intoleransi laktosa). Jadi nggak perlu susunya diganti susu LLM (low lactose milk).
Trus bagaimana dengan antibiotika? Pada anak, diare sebagian besar disebabkan oleh Rotavirus, yang akan sembuh dengan sendirinya, antara 2 sampai 7 hari. Jadi ya... didiamkan saja anaknya. Kok tega banget sih anak mencret-muntah didiamkan aja, nggak dikasih obat? Nggak dikasih antibiotika? Ya iya dong, dikasih antibiotika malah bisa memperparah diare. Berhubung tidak ada bakteri jahat yang harus dibunuh (kan akibat virus, bukan bakteri), jadinya si antibiotika membunuh bakteri baik. Makanya ada yang namanya antibiotic-associated-diarrhea.
Antibiotika hanya diberikan pada disentri, kolera dengan dehidrasi BERAT, dan penyakit lain seperti pneumonia.
Trus... kalau antidiare dan antimuntah? Hmmm.... saya tidak akan menyebut merek dagangnya. Tapi menyebut isinya saja (coba Ibu-ibu, Bapak-bapak, dilihat obat mencret-muntah anaknya isinya apa).
Ada yang istilahnya adsorben, macamnya: kaolin-pektin, attapulgite, smectite, karbon, dan kolestiramin. Obat-obat ini digunakan karena mampu mengikat dan menonaktifkan racun (toksin) bakteri atau bahan kimia lainnya yang menyebabkan diare, dan kemampuannya untuk "melindungi" mukosa usus halus. Penelitian tidak menunjukkan kegunaan obat jenis ini.
Obat antimuntah seperti chlorpromazine, metoclopramide, dan domperidone malah dapat menimbulkan efek mengantuk, gangguan keseimbangan, dan berinteraksi secara kimiawi dengan oralit. Muntah akan berhenti dengan sendirinya jika diare hilang.
Obat antimotilitas, misalnya: loperamide, hyoscine, dll diberikan untuk mengurangi gerakan usus, sehingga tinja tidak cair, dan diare mereda. Padahal ini dapat menyebabkan ileus paralitik (usus berhenti bergerak/berkontraksi sama sekali), dan berakibat mengancam nyawa (kematian). Penyakit pun tidak bisa dikeluarkan jika usus tidak mau mengeluarkan.
Ada beberapa obat lain yang saya dapati dalam survei yang saya lakukan: ada nifuroxazide (antibiotika), ini juga tidak perlu, dan ada juga antijamur. Padahal diare yang timbul akibat jamur hanya pada anak dengan gangguan sistem daya tahan tubuh (HIV/AIDS, lupus, kanker, terapi steroid jangka panjang).
Sudah cukup paham Bapak dan Ibu? Anak mencret dan muntah: jangan panik dulu, pikirkan penyebabnya (kebanyakan makan sambel kali...), amati anaknya: ada dehidrasi/tidak. Masih mau minum kan? Nggak terlalu lemes kan? Mau makan walau sedikit tapi sering kan? Masih ada pipisnya kan? Masih mau netek kan? Berarti sekedar diare akut. Delapan puluh persen akan sembuh sendiri.
sumber: The Treatment of Diarrhoea, a manual for physicians and other senior health workers, WHO 2005.
Wednesday, June 13, 2007
Kalo Berobat ke Dokter Pulangnya Pasti Bawa Obat
Kita sakit, trus kita berobat ke dokter, pulangnya harus bawa obat, atau minimal dikasih resep. Iya nggak sih?
Ya iya dong. Masak udah jauh-jauh datang ke dokter, keluar ongkos, waktu kepake, keluar dari ruang dokter nggak dikasih obat?
Misalnya kita demam dari semalam, badan panas dingin, menggigil, nggak masuk kerja hari ini, udah minum parasetamol sih, ada stoknya di rumah, trus sorenya berobat ke dokter. Setelah diperiksa, dokternya bilang: ini demam baru hari kedua, tidak ada tanda-tanda penyakit spesifik lain, paling mungkin ini infeksi virus aja. Sudah ada obat penurun demam di rumah kan ya? Pake itu aja. Saya nggak ngasih obat lagi. Nggak perlu antibiotika dll. Minum air yang banyak, kompres pake air hangat supaya demamnya turun, kita observasi sampai lusa. OKeh?
Udah deh, gitu aja, dokternya nggak ngasih obat. Cuma kasih nasehat aja. Padahal ongkos konsultasinya aja Rp 50 rebu.
Padahal saudara-saudara, tidak semua kunjungan ke dokter harus berakhir dengan dikasih resep. Kalau cuma sakit demam baru tiga hari, batuk-pilek, mencret alias diare, ini mah kaga perlu obat. Istirahat aja dulu, minum yang banyak. Kalo diare nggak perlu minum obat macam-macam antidiare-antibiotika (diare baru 1-2 hari tanpa darah, dan warna tinja biasa aja). Minum aja oralit. Ini kan juga nggak perlu ke dokter.
Jadi jangan ngambek ya kalau dokternya nggak kasih resep obat, cuma kasih nasihat aja. Pemberian obat yang tidak sesuai indikasi justru meningkatkan risiko efek samping, dan interaksi obat kalau obatnya lebih dari dua macam.
Kan ente-ente pade punya akses internet, silakan browsing dulu di internet kira-kira ini masuk kategori sakit apa. Perlu ke dokter nggak, atau perlu obat nggak?
Nasihat dokter itu obat juga lho. Makanya konsultasinya aja dihargai mahal. Hehehe...
kalo yg mau kasih komen, berhubung shoutbox-nya lagi error, ke http://drarifianto.multiply.com aja isi shoutbox di situ
apin lagi nulis dikit, dikejar menyelesaikan penelitian sebelum mulai kuliah PPDS
Friday, March 23, 2007
Layanan Kesehatan Mahal dan Tidak Berkualitas
Berapa jumlah uang yang harus Anda keluarkan dalam satu kali kunjungan ke dokter spesialis di Jakarta dan sekitarnya? Mungkin tergantung spesialisasi dokternya. Kita ambil spesialisasi anak. Berdasarkan pengamatan saya memantau klaim resep di lebih dari satu perusahaan, tarif konsultasi dokter spesialis anak (DSA) antara Rp 70 ribu sampai Rp 100 ribu. Ada sebagian kecil yang mencapai Rp 300 ribu untuk konsultasi saja. Belum termasuk resepnya. Total sekali berobat, biaya yang harus dikeluarkan untuk anak kita yang hanya sakit batuk-pilek-demam mencapai Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu. Padahal mungkin obatnya hanya puyer dua macam, ditambah sirup dua macam juga (satunya antibiotika, satunya lagi vitamin-penambah nafsu makan dan semacamnya—yang sebenarnya dua-duanya tidak perlu diberikan sama sekali).
Bayangkan saja yang berobat adalah karyawan Anda yang berprofesi sebagai sopir taksi, dengan penghasilan per hari antara Rp 15 – 30 ribu rupiah, dikali 20 hari kerja, dengan plafon maksimal penggantian rawat jalan untuk anak sebesar Rp 750 ribu per tahun. Hasilnya? Dua sampai tiga kali berobat, Anda tidak akan mendapatkan penggantian untuk anak yang sakit. Jadi boleh sakit, maksimal tiga kali setahun. Tidak boleh masuk rawat inap!
Bagaimana pelayanan yang Anda dapatkan dengan mengeluarkan biaya sebanyak itu? Dokternya tidak menjelaskan anak Anda sakit apa (karena ketika saya tanya: “Pak, kemarin dokternya bilang anaknya sakit apa?”, dia hanya menggelengkan kepala), plus memberikan obat yang kalau ditelusuri resepnya berisi empat sampai delapan jenis obat, untuk anak Anda yang baru berumur dua tahun! Maukah Anda minum 10 macam obat tiga kali sehari?
Anak muntah? Anda pun bisa jadi muntah.
Atau begini. Anda punya dokter langganan dekat rumah yang biaya berobatnya murah-meriah. Sekali berobat batuk-pilek, dengan Rp 40 sampai Rp 70 ribu, dapat obat juga. Tambahan lagi: cocok! Dua tiga hari, anak Anda sembuh. Dokternya pun ramah dan sabar. Tapi ketika saya telusuri apa isi resepnya: obat penurun panas yang tidak boleh diberikan pada anak di bawah 12 tahun, antibiotika yang sangat dibatasi penggunaannya karena dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan tulang panjang, dan obat maag-muntah yang sama sekali tidak perlu.
Dokternya oke, tapi isi resepnya tidak oke.
Kemarin seorang sejawat yang sudah belasan tahun bergerak di dunia asuransi kesehatan mengeluh, bahwa rumah sakit cenderung menaikkan biaya pengobatan jika mengetahui konsumennya diasuransikan. Toh diganti asuransi. Ketar-ketirlah perusahaan asuransi, berpikir bagaimana supaya biaya penggantian pengobatan ditekan serendah mungkin.
Hari ini sejawat lain curhat. Rumah sakit tempatnya bekerja meminta seluruh dokter yang berpraktik melayani minimal 40 pasien. Padahal teman saya ini sengaja membatasi jumlah psien, agar setiap pasien mendapatkan konsultasi memuaskan. Bayangkan saja: dua jam untuk 40 pasien!
Beberapa waktu lalu saya menghadari simposium besar di jantung kota, dihadiri ratusan dokter dari berbagai penjuru, di sebuah hotel mewah. Pembicaranya tidak sedikit yang guru besar, profesor, dan konsultan sub super spesialis. Puluhan perusahaan farmasi menjajakan produknya pada dokter calon marketer (pemasar) handal.
Seorang guru besar berbicara: dalam penelitian ini, penggunaan probiotik terbukti mampu mengurangi lamanya diare, ditambah juga mampu merangsang sistem daya tahan tubuh! Kesimpulan: probiotik diberikan pada diare?
Seorang konsulen muda tidak kalah juga: pemberian probiotik terbukti mempercepat penyembuhan pada diare akibat pemberian antibiotika. Kesimpulan: berikan probiotik pada pasien Anda? Atau mending jangan berikan antibiotika jika tidak pada tempatnya, sehingga tidak akan diare?
Lainnya sub spesialis yang saya bingung menangkap kesimpulan dari ceramahnya: pada anak, probiotik juga terbukti mengurangi lamanya sakit diare.
Semuanya menggunakan data-data penelitian.
Yang saya pertanyakan: sahih-kah penelitiannya? Apakah penelitian itu berdasarkan evidence based? Atau hanya satu-dua penelitian tunggal dengan sampel populasi terbatas? Bagaimana dengan penelitian di Indonesia?
Ratusan dokter hampir dipastikan akan mengikuti apa yang menjadi kesimpulan para pembicara. Nyatakan dengan tegas: probiotik diberikan atau tidak pada diare? Karena WHO, AAP, AAFP, CDC tidak menyatakan perlunya pemberian bahan ini.
Itu hanya satu contoh. Saya tidak membahas spesifik masalah probiotik di sini. Belum lagi jenis golongan antihipertensi apa yang akan dokter resepkan.
Pada hari kedua, sambil berjalan menuju ruang seminar, seorang pegawai dari perusahaan farmasi menghampiri saya.
“Dok, sudah pernah pakai produk kami?”
“Belum.”
“Dokter praktik di RS mana?”
“Saya buka praktik di rumah.”
“Ooo, di rumah ya. Dispensing (menjual obat) tidak?”
“???”
Kapankah konsumen kesehatan Indonesia mendapatkan layanan kesehatan murah dan berkualitas?
Have a nice weekend.
Thursday, March 01, 2007
Dok, Imunisasinya Entar Aja ya!
"Anak saya baru 6 bulan. Sekarang kan harus imunisasi campak. Berarti nanti umur 9 bulan imunisasi campak lagi, tidak?"
"Oeeekk... oeeekk.."
"Aduh, jangan dorong-dorong dong. Nanti jatuh nih!"
"Pak, saya udah nunggu dari tadi.. kok nggak dipanggil sih?"
Demikianlah lintasan kalimat-kalimat yang berseliweran di Posyandu RT-ku, saat pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Campak (Crash Program), Polio, dan Pemberian Vitamin A bagi bayi dan balita. Sejak 20 Februari hingga 20 Maret nanti, Departemen Kesehatan mencanangkan program wajib imunisasi terhadap kedua penyakit di atas bagi seluruh anak usia 0 sampai 59 bulan di seantero Pulau Jawa. Tidak luput juga di daerah tempat tinggalku di bilangan Kramat Jati, Jakarta Timur. Bersama ibu-ibu kader Posyandu dan seorang bidan swasta, aku dan istri ikut terlibat dalam memberikan suntikan vaksin campak.
Terbayang ya bagaimana kondisi Posyandu kami hari Selasa lalu dari ilustrasi kalimat-kalimat di atas. Lebih dari 400 balita datang pada hari itu, selama lebih dari 4 jam pelaksanaan PIN. Posyandu yang mengambil tempat di rumah Bapak Ketua RT itu penuh sesak dengan ibu-ibu yang menggendong dan menggandeng anak-anak mereka.
Apa sih gunanya vaksinasi campak?
Penyakit campak atau measles dalam bahasa Inggris, disebabkan oleh virus Rubeola yang masuk ke dalam tubuh (bedakan dengan Rubella atau campak Jerman). Tandanya berupa bintik-bintik kemerahan seluruh tubuh yang menonjol, khasnya dimulai dari belakang telinga. Seringkali disalahartikan dengan tampek yang terminologinya mengarah pada Roseola, atau rash (kemerahan) 'biang keringat' (miliaria). Adanya gejala tambahan seperti demam, pembesaran kelenjar getah bening belakang telinga, bercak putih di bagian dalam pipi dan lidah, bila berkomplikasi dapat menimbulkan penyakit serius seperti pneumonia (radang jaringan paru), diare berat, sampai radang selaput otak, yang semuanya berpotensi menyebabkan kematian. Departemen Kesehatan dalam situsnya menjelaskan dalam setiap tahunnya tercatat 777 ribu kematian akibat campak di seluruh dunia, dengan 15%-nya 'disumbangkan' oleh Indonesia. Imunisasi tambahan (crash program) di luar imunisasi rutin (usia 9 bulan) dapat menurunkan angka kematian hingga 48%.
Lalu bagaimana kalau anak sedang sakit batuk-pilek, boleh diimunisasi campak, tidak?
Batuk-pilek bukanlah kontra indikasi imunisasi, baik campak, maupun imunisasi-imunisasi lain pada umumnya, sekalipun imunisasi DPT yang menimbulkan demam. Hal ini masih banyak disalahpahami oleh petugas kesehatan sekalpiun, termasuk dokter, bidan, dan dokter spesialis anak yang tidak berani memberikan vaksinasi/imunisasi jika seorang anak sedang batuk-pilek. Padahal keadaan seperti demam ringan, diare tanpa dehidrasi, dan riwayat kejang demam sekalipun bukan kontra indikasi imunisasi. Yang tidak boleh diimunisasi adalah demam lebih dari 40-41 derajat selsius, anak dengan kondisi daya tahan tubuh terganggu (HIV-AIDS, kanker/keganasan), dan alergi terhadap zat yang terdapat dalam vaksin (sangat jarang sekali).
Jadi... apa alasan untuk menunda imunisasi jika sekedar sakit ringan? Padahal kerugian akibat imunisasi terlambat dan tidak tepat waktu (kalau setiap bulan kena batuk-pilek, apalagi cuaca seperti ini, kapan diimunisasinya?) jauh lebih berat. Lihat saja dampak campak pada balita.
Lalu bagaimana jika jarak vaksinasi terlalu dekat? Misalnya sekarang usia 8 atau 10 bulan ikutan PIN Campak, padahal umur 9 bulan dapat juga di Posyandu (di Jakarta umumnya tiap tanggal 27 setiap bulannya). Measles vaccine adalah virus campak yang dilemahkan. Artinya mengandung virus hidup. Secara garis besar, ada dua jenis vaksin: mengandung kuman mati (misalnya DPT, Hepatitis B) dan mengandung kuman hidup (BCG, Campak, Polio, Varisela/cacar air). Keterangan lengkapnya tidak dijelaskan pada tulisan ini. Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat memberikan keterangan jarak antar pemberian vaksin 'hidup' sekurang-kurangnya 4 minggu. O ya, jangan lupa, prinsip dasar vaksinasi/imunisasi adalah memberikan antigen (kuman) untuk merangsang antibodi (daya tahan tubuh). Lengkapnya tidak dijelaskan di sini (mungkin bisa lewat ceramah tatap muka ya? Hehehe).
Kesimpulannya adalah: pemberian vaksin campak yang berdekatan minimal 4 minggu, dianggap sebagai booster (penguat) dosis kekebalan tubuh yang sudah ada sebelumnya. Namun untuk kondisi pemberian vaksin campak yang terkandung dalam 'paket' MMR (measles mumps rubella) umur 12-18 bulan, jarak untuk mendapatkan campak sesudahnya (via PIN Campak) minimal 6 bulan. Makanya dalam form isian campak yang kami isi kemarin, ada pernyataan: kapan terakhir mendapatkan imunisasi campak?
Mudah-mudahan tidak bingung dan dapat dipahami oleh petugas kesehatan lainnya.
Begitulah sekilas saja tentang campak. Berada di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu dan anak-anak yang tidak mengantri dengan tertib, kesulitan menjaga posisi jarum yang ditarik oleh lengan si anak ketika merasa kesakitan.... oaaa... menangislah mereka, sehingga tetesan polio dan vitamin A mudah masuk. Hehehe.
Nggak kapok deh melayani suntik campak. Enam bulan lalu di pedalaman kelapa sawit nun jauh di Muaro Jambi sana, dan kini di tengah-tengah kepungan busway ibukota.
Friday, February 23, 2007
Here... Back to Jakarta!
Sementara... Anda bisa mengikuti topik-topik kesehatan yang kami sampaikan secara bergantian dengan beberapa dokter lainnya, di Radio Utan Kayu 89,2 FM, tiap Sabtu jam 7.30 - 8.30, dalam rubrik "Keluarga SEHAT".
Dan... jangan lupa: SUKESKAN PIN CAMPAK, POLIO, dan pemberian VITAMIN A bagi bayi, balita, dan anak usia sekolah, selama 20 Februari - 20 Maret 2007 di seantero DKI, Jabar, Jateng, Jatim. Sampai ketemu di Posyandu kami tanggal 27 Feb 07: RT 3 RW 1. (kelurahan mana kecamatan mana hayoo??) :-)
The End of A Journey (Jambi part Two)
Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...
-
Pernah menjumpai bercak kemerahan, cenderung berwarna oranye (merah-)?bata) di popok bayi Anda? Bahkan muncul berulang kali! 😱 Normalkah ha...
-
Ternyata tidak pada sebagian besar kasus. Infeksi jamur penyebab sariawan terjadi pada anak-anak dengan daya tahan tubuh menurun, seperti m...
-
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. ...