We Can End Poverty by 2025… and CHANGE THE WORLD FOREVER
Hehehe, kaya judul lagunya Eric Clapton ya? Itulah yang tertulis dalam sampul belakang buku yang akan kuresensi berikut. Masuk ke dalam angkot, cari tempat duduk di pojok belakang, langsung buka bukunya, dan mataku menyusuri rangkaian ratusan kata di tiap halaman. Inilah buku yang ingin kubaca selama ini, setelah membaca resensi singkatnya dalam sajian utama Majalah TIME beberapa bulan silam. Salah satu kesempatanku membaca buku adalah saat berada di dalam angkot. Jika di rumah, waktuku habis untuk online di depan komputer, atau di luar rumah saat menyetir mobil tentu tidak mungkin. Kadang bisa juga ketika tidak ada pasien pas dinas shift malam. Siapa sangka menemukan buku ini di atas meja teman sejawatku, dr. Jumpa. Tidak kusia-siakan untuk segera meminjamnya.
Buku ini mencerahkan! Itu komentar singkatku. Mulai dari sampul depannya yang cukup sederhana, namun mengena: penonjolan pada kata-kata judul “THE END OF POVERTY, HOW WE CAN MAKE IT HAPPEN IN OUR LIFETIME, JEFFREY SACHS, FOREWORD BY BONO” yang dicetak dalam warna hitam dan merah saja, pembaca langsung mendapatkan salah satu daya tarik buku ini adalah pengantar yang ditulis oleh vokalis legendaris U2.
Paragraf pertama dalam “Introduction” pun cukup jelas: “This book is about ending poverty in our time. It is not a forecast. I am not predicting what will happen, only explaining what can happen… Our generation can choose to end that extreme poverty by the year 2025.” Cukup mengena, bukan?
Buku ini disusun berdasarkan pengalaman sang penulis, Jeffrey D. Sachs, konsultan Bank Dunia (World Bank) dan konsultan khusus bagi Sekjen PBB Kofi Annan, serta seorang profesor ekonomi, yang telah memberikan ‘pengobatan’ bagi banyak ‘pasiennya’ di seluruh dunia. Lihatlah judul-judul babnya. Pengalaman apa yang ia dapatkan dari Bolivia, Polandia, Russia, Cina, India, dan kemiskinan sistemik di benua Afrika.
Jujur saja, aku belum selesai membaca buku ini. Tapi ada beberapa bagian yang menurutku sangat menarik, dan menjelaskan ke dalam ‘golongan’ manakah si penulis? Sama saja dengan pakar ekonomi asing—terutama AS—yang selalu memiliki kepentingan terselubung di semua negara berkembang? Atau seorang yang memang benar-benar idealis, tulus sepenuh hati ingin menolong orang lain.
Bab pertama bertajuk “A Global Family Portrait” (lagi-lagi jadi ingat lagunya Pink). Diawali dengan kisah kemelaratan luar biasa di Malawi, Afrika. Jeffrey D. Sachs memotret satu desa yang hampir musnah akibat AIDS. Ia menemui seorang nenek yang menampung belasan yatim-piatu. Orangtua mereka telah mati akibat penyakit AIDS. Belum lagi penyakit lainnya: malaria. Seorang wanita menggendong cucunya yang dijangkiti penyakit gigitan nyamuk ini, berjalan kaki 10 kilometer menuju RS setempat. Setibanya di sini, tidak ada obat anti malaria yang tersedia. Dengan cucunya mengalami demam tinggi, mereka berdua berjalan kembali pulang. Berikutnya Sachs menuturkan gamblang epidemi AIDS di sini, serta solusi mudah yang bisa dilakukan. Berlanjut ke Bangladesh, dengan kisah sedih kemiskinannya.
Cerita menggembirakan segera dapat kita baca melalui kisah India: “Center of an Export Services Revolution”. Melalui ilustrasi seorang pegawai wanita muda berusia 25 tahun yang bekerja di perusahaan IT, dengan penghasilan 250 – 500 dolar sebulan (sama dengan pendapatan dokter baru lulus di Jakarta, FYI). Dalam bab terpisah: “India’s Market Reforms: The Triumph of Hope over Fear”, pembaca mengetahui jelas rahasia kebangkitan ekonomi negara Bollywood ini mulai tahun 1994. Padahal di tahun 1978, penulis masih mendapati India sebagai satu negara miskin “berat”. Perdana menteri India, Dr. Manmohan Singh, ahli ekonomi yang pernah mendapat pendidikan di Cambridge dan Oxford, dengan kebijakan ekonominya, serta India Institue of Technology (IIT) memegang peran penting ini (kalau ITB/UI masih ga, ya? Hehehe). Begitu dengan kisah Cina dengan keberhasilannya.
Satu pemikiran menarik penulis dalam bab ini adalah: “Progress is hard enough to achieve in the world without being perceived as a danger. One of the ironies of the recent success of India and China is the fear that engulfed the United States that success in these two countries comes at the expense of the United States. These fears are fundamentally wrong and, even worse, dangerous. They are wrong because the world is not a zero-sum-struggle in which one country’s gain is another’s loss, but is rather a positive-sum opportunity in which improving technologies and skills can raise living standards around the world.”
Kalimat ini membuatku yakin penulis termasuk golongan Amerika yang ‘hanif’. Berbeda dengan ketakutan Amerika selama ini yang menganggap India dan Cina adalah ancaman besar mereka.
Tidak cukup di sini. Dalam bab empat: “Clinical Economics”, Mr. Sachs menyebutkan IMF sama dengan penilaian kita selama ini: Dalam seperempat abad terakhir, negara miskin mendatangkan “dokter uang dunia”, IMF, untuk meminta bantuan. “The main IMF prescription has been budgetary belt tightening for patients much too poor to own belts. IMF-led austerity has frequently led to riots, coups, and the collapse of public service”!. Hahaha, kena kau, IMF. Penulis tampa takut-takut menerangkan gamblang banyak kesalahan IMF dan AS dalam buku ini. Sesuatu yang kita semua setujui.
Bagiku sebagai seorang dokter, bab ini juga menerangkan sesuatu yang sangat menarik. Jeffrey Sachs telah mengembangkan model ekonomi pembangunan baru: clinical economics, melihat kesamaan antara praktik ekonomi pembangunan (development economics) dengan praktik kedokteran (clinical medicine). Ia belajar banyak dari istrinya seorang dokter spesialis anak. Ini pulalah, yang memberi ciri khas bagi bukunya. Untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi—khususnya kemiskinan—suatu negara, harus melihat semua aspek yang mungkin terlibat. Layaknya seorang dokter dalam menangani pasien-pasiennya.
Inilah “some lessons of clinical medicine”:
· The human body is a complex system. Paduan antara sistem saraf, sirkulasi, pernapasan, pencernaan, endokrin, imun, reproduksi, de el el. Seringkali penasehat ekonomi melupakan semua faktor yang mungkin berperan dalam kemiskinan dan masalah ekonomi negaranya. Bagaimanakah sistem transportasinya, model pemerintahannya, jaringan komunikasinya, penegakan hukunya, pertahanan nasionalnya, sistem perpajakannya, dsb.
· Complexity requires a differential diagnosis. Seorang anak dengan demam tinggi, penyebabnya bisa dari infeksi, trauma, autoimun, kanker, keracunan, dll. Namun selalu ada prioritas kemungkinannya, tidak semuanya dianggap sama. Begitu juga dengan negara. IMF memfokuskan pada isu-isu yang sempit seperti korupsi, membatasi usaha swasta, defisit anggaran, dan kepemilikan sumber-sumber negara. Dan menyamakan semua negara, dengan melakukan saran untuk memotong pajak, meliberalisasi perdagangan, dan memprivatisasi milik negara (salah satu hal menyedihkan untukku di Indonesia adalah privatisasi RS pemerintah. Hiks, kemana orang miskin bisa berobat?) IMF tidak melihat bidang agronomi, iklim, penyakit, isu gender, dan lainnya.
· All medicine is family medicine (sesuatu yang dokter Indonesia juga sering melupakannya). Tidak cukup mengobati penyakit seorang anak, dengan melupakan kemiskinan yang diderita orangtuanya, cukupkah asupan makanan bergizinya, apakah orangtuanya bermasalah secara sosial, dll. Bagaimana mungkin negara seperti Ghana akan lepas dari lilitan kemiskinan jika masih menghadapi sanksi perdagangan internasional (begitu juga dengan Irak. Sachs juga mengkritisi pemerintahan Bush yang memerangi “terorisme”, tapi melupakan perang terhadap kemiskinan yang bisa menjadi benih-benih terorisme).
· Monitoring and evaluation are essential to successful treatment. IMF atau World Bank seringkali mendikte suatu negara untuk mengikuti programnya, tanpa mengevaluasi kemudian apakah programnya tersebut cocok untuk negara bersangkutan.
· Medicine is a profession, and as a profession requires strong norms, ethics, and codes of conduct.
Bagaimana dengan Indonesia? Penulis tidak menyinggung sama sekali negara ini. (Meskipun sudah kucari dalam indeks. Mungkin Mr. Sachs belum pernah menangani Indonesia sebagai salah satu “pasien”-nya, atau tidak ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari negara ini!) Padahal dalam edisi TIME yang membahas khusus buku ini, beberapa foto diambil dari Indonesia. Seingatku gambar dua anak jalanan yang tertidur pulas di lantai stasiun Senen, dan seorang pemulung di atas gunung sampah.
Dalam rubrik Ragam Majalah SAKSI edisi 9 Maret 2006, wartawan jurnalisme investigatif Rizky Ridyasmara—veteran SABILI—menulis dengan gamblang, hal-hal yang menurutku penyebab bangkrutnya Indonesia, dan curamnya jurang pemisah dan kesenjangan antara si Kaya dan si Miskin. Bagian dari rentetan perampokan kekayaan negara oleh konspirasi jahat pejabat dan pengusaha negeri ini. Berawal sejak Soeharto berkuasa, dimulailah proses pembangkrutan negara kaya raya ini, hingga menjadi salah satu negara miskin dunia saat ini.
Pada November 1967, beberapa bulan setelah Soeharto berkuasa, presiden mengutus tim ekonomi kepresidenan—populer disebut Mafia Berkeley—ke Jenewa untuk menemui sejumlah konglomerat Yahudi seperti Rockefeller, dan menggadaikan kekayaan alam Indonesia kepada jaringan korporasi Yahudi dunia. Di sinilah untuk pertama kalinya, emas, perak, timah, nikel, minyak dan gas bumi, semen, dan sebagainya jatuh ke tangan asing. Tahun 1970, oil boom dan industrialisasi besar-besaran mengejar pertumbuhan ekonomi dan melupakan pemerataan, digerakkan oleh utang luar negeri, menumbuhkan satu kelompok masyarakat Indonesia yang sangat kaya, dan memelaratkan rakyat banyak. Berpusat di Cendana, kelompok yang terdiri dari kolusi birokrat dan teknokrat korup, dengan pengusaha Cina yang dimanjakan rezim berkuasa, memunculkan istilah Kelompok “Ali-Baba”. Petinggi TNI/Polri digunakan sebagai penjaga stabilitas dan keamanan rezim, untuk menindas setiap suara kritis dari rakyat. Pada tahun 1980-an, tercatat 300 grup bisnis konglomerat, dengan 224 grup dimiliki pengusaha non pribumi, dan sisanya 76 grup oleh pribumi. Di mana-mana terlihat pembangunan, dengan landasan tidak kokoh karena berasal dari utang!
Kejadian ini berlanjut terus sampai terjadi krisis ekonomi tahun 1997, yang disinyalir kuat akibat ulah konglomerat Yahudi George Soros, yang tiba-tiba memborong mata uang dolar AS dari seluruh pasar uang Asia. Di tahun 1998, Soeharto yang tidak mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis, menyerahkan penyelesaiannya pada IMF. Lembaga sokongan Yahudi ini menemukan bahwa pemerintah punya utang luar negeri sebesar 60 miliar dolar, sedangkan di luar negeri, para konglomerat berutang lebih besar: 75 miliar dolar!
Seorang teman menceritakan data GAIKINDO tahun lalu menyebutkan penjualan mobil di Indonesia adalah yang tertinggi di Indonesia. Apa artinya? Masih banyak orang kaya di negeri ini. Namun lebih banyak lagi golongan ekonomi sengsaranya. Teringat pula siaran di TV pagi ini, Pilkada di Papua kemarin terhambat di Timika, karena banyak warga setempat yang mencari tumpahan emas di sekitar Freeport. Negara mana selain Indonesia yang penduduk lokalnya bergelimpangan di bawah garis kemiskinan, di tengah-tengah lautan emas milik mereka, yang dibawa pergi ribuan kilometer ke negara asing, akibat ulah segelintir pejabat masa Soeharto!
Buku ini sangat perlu untuk dibaca oleh seluruh ahli ekonomi negara kita tercinta. Meskipun aplikasinya pastinya akan sangat sukar, you know, tahu lah negeri seperti apa kita ini. But let’s not being always pessimistic. Tak sabar menunggu keluarnya edisi terjemahan buku ini (atau sudah ada yang tahu?). Meskipun bahasa Inggrisnya cukup mudah, tapi tetap saja bagiku, menyelesaikan membaca buku ini butuh waku yang sangat lama. Hehehe.
Sachs marries storytelling with acute analysis to explain why, over the past 200 years, wealth and poverty have diverged and evolved across the planet, and why the poorest nations have been so markedly unable to escape the trap of poverty.
The End of Poverty is a Roadmap to a More Prosperous and SECURE WORLD…
No comments:
Post a Comment