Friday, March 23, 2007

Layanan Kesehatan Mahal dan Tidak Berkualitas

Berapa jumlah uang yang harus Anda keluarkan dalam satu kali kunjungan ke dokter spesialis di Jakarta dan sekitarnya? Mungkin tergantung spesialisasi dokternya. Kita ambil spesialisasi anak. Berdasarkan pengamatan saya memantau klaim resep di lebih dari satu perusahaan, tarif konsultasi dokter spesialis anak (DSA) antara Rp 70 ribu sampai Rp 100 ribu. Ada sebagian kecil yang mencapai Rp 300 ribu untuk konsultasi saja. Belum termasuk resepnya. Total sekali berobat, biaya yang harus dikeluarkan untuk anak kita yang hanya sakit batuk-pilek-demam mencapai Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu. Padahal mungkin obatnya hanya puyer dua macam, ditambah sirup dua macam juga (satunya antibiotika, satunya lagi vitamin-penambah nafsu makan dan semacamnya—yang sebenarnya dua-duanya tidak perlu diberikan sama sekali).

Bayangkan saja yang berobat adalah karyawan Anda yang berprofesi sebagai sopir taksi, dengan penghasilan per hari antara Rp 15 – 30 ribu rupiah, dikali 20 hari kerja, dengan plafon maksimal penggantian rawat jalan untuk anak sebesar Rp 750 ribu per tahun. Hasilnya? Dua sampai tiga kali berobat, Anda tidak akan mendapatkan penggantian untuk anak yang sakit. Jadi boleh sakit, maksimal tiga kali setahun. Tidak boleh masuk rawat inap!

Bagaimana pelayanan yang Anda dapatkan dengan mengeluarkan biaya sebanyak itu? Dokternya tidak menjelaskan anak Anda sakit apa (karena ketika saya tanya: “Pak, kemarin dokternya bilang anaknya sakit apa?”, dia hanya menggelengkan kepala), plus memberikan obat yang kalau ditelusuri resepnya berisi empat sampai delapan jenis obat, untuk anak Anda yang baru berumur dua tahun! Maukah Anda minum 10 macam obat tiga kali sehari?

Anak muntah? Anda pun bisa jadi muntah.

Atau begini. Anda punya dokter langganan dekat rumah yang biaya berobatnya murah-meriah. Sekali berobat batuk-pilek, dengan Rp 40 sampai Rp 70 ribu, dapat obat juga. Tambahan lagi: cocok! Dua tiga hari, anak Anda sembuh. Dokternya pun ramah dan sabar. Tapi ketika saya telusuri apa isi resepnya: obat penurun panas yang tidak boleh diberikan pada anak di bawah 12 tahun, antibiotika yang sangat dibatasi penggunaannya karena dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan tulang panjang, dan obat maag-muntah yang sama sekali tidak perlu.

Dokternya oke, tapi isi resepnya tidak oke.

Kemarin seorang sejawat yang sudah belasan tahun bergerak di dunia asuransi kesehatan mengeluh, bahwa rumah sakit cenderung menaikkan biaya pengobatan jika mengetahui konsumennya diasuransikan. Toh diganti asuransi. Ketar-ketirlah perusahaan asuransi, berpikir bagaimana supaya biaya penggantian pengobatan ditekan serendah mungkin.

Hari ini sejawat lain curhat. Rumah sakit tempatnya bekerja meminta seluruh dokter yang berpraktik melayani minimal 40 pasien. Padahal teman saya ini sengaja membatasi jumlah psien, agar setiap pasien mendapatkan konsultasi memuaskan. Bayangkan saja: dua jam untuk 40 pasien!

Beberapa waktu lalu saya menghadari simposium besar di jantung kota, dihadiri ratusan dokter dari berbagai penjuru, di sebuah hotel mewah. Pembicaranya tidak sedikit yang guru besar, profesor, dan konsultan sub super spesialis. Puluhan perusahaan farmasi menjajakan produknya pada dokter calon marketer (pemasar) handal.

Seorang guru besar berbicara: dalam penelitian ini, penggunaan probiotik terbukti mampu mengurangi lamanya diare, ditambah juga mampu merangsang sistem daya tahan tubuh! Kesimpulan: probiotik diberikan pada diare?

Seorang konsulen muda tidak kalah juga: pemberian probiotik terbukti mempercepat penyembuhan pada diare akibat pemberian antibiotika. Kesimpulan: berikan probiotik pada pasien Anda? Atau mending jangan berikan antibiotika jika tidak pada tempatnya, sehingga tidak akan diare?

Lainnya sub spesialis yang saya bingung menangkap kesimpulan dari ceramahnya: pada anak, probiotik juga terbukti mengurangi lamanya sakit diare.

Semuanya menggunakan data-data penelitian.

Yang saya pertanyakan: sahih-kah penelitiannya? Apakah penelitian itu berdasarkan evidence based? Atau hanya satu-dua penelitian tunggal dengan sampel populasi terbatas? Bagaimana dengan penelitian di Indonesia?

Ratusan dokter hampir dipastikan akan mengikuti apa yang menjadi kesimpulan para pembicara. Nyatakan dengan tegas: probiotik diberikan atau tidak pada diare? Karena WHO, AAP, AAFP, CDC tidak menyatakan perlunya pemberian bahan ini.

Itu hanya satu contoh. Saya tidak membahas spesifik masalah probiotik di sini. Belum lagi jenis golongan antihipertensi apa yang akan dokter resepkan.

Pada hari kedua, sambil berjalan menuju ruang seminar, seorang pegawai dari perusahaan farmasi menghampiri saya.

“Dok, sudah pernah pakai produk kami?”

“Belum.”

“Dokter praktik di RS mana?”

“Saya buka praktik di rumah.”

“Ooo, di rumah ya. Dispensing (menjual obat) tidak?”

“???”

Kapankah konsumen kesehatan Indonesia mendapatkan layanan kesehatan murah dan berkualitas?

Have a nice weekend.

Arifianto, Maret 2007

7 comments:

Dani Iswara said...

mungkin bisa kalo:
• ada dokter yg mau 'ngga untung terus' :)
• dokternya ngeblog jg..jd denger keluhan2 konsumen yg online.. :D

→ usul ya dok, kl bs komennya bole anonim (jd pemilik blog lain ato anonim sekalipun bs komen) tp kode verifikasi diaktifkan (biar gak kena spam)..

→ yg hasil onair di radio, dah dibikin mp3-nya ya.. :D

ikafaya said...

untuk apin, aku salut komitmennya dari dulu untuk mengkritisi dunia kesehatan. sebab, diperlukan orang-orang seperti ini untuk membuat dunia kedokteran balance.
btw, apa kegiatanmu sekarang pin, kabar kabari dong

Anang, yb said...

Parahnya lagi, sekarang digemborkan semangat mencari"2nd opinian" alias jangan percaya hanya dengan diagnosa satu dokter!
Alamak!
Musti berobat ke dua dokter dong ya..
Capeeek deeh..!

Anang, yb said...

Maaf salah ketik... maksud saya "2nd opinion"

dini said...

Ooh.. Ini rupayanya sumber "perkelahian"ku dg ibunda tercinta, yang seorang dokter dan dosen, rajin pula menghadiri seminar, vs diriku yang amatiran sok berusaha menerapkan guideline :P
Kalo sponsornya produsen obat, ya kesimpulannya jadi ajaib begini ya ?
Ehh... perkenalkan dulu, saya salah satu peserta PESAT 7, yang berterima kasih atas makalahnya yang menjawab hampir semua pertanyaan saya atas AB. Hidup dokter Apin ! :-)

Yusuf Alam Romadhon said...

OK bang dokter Apin
kita harus banyakin "jeruk makan jeruk" tuk perbaiki layanan kesehatan di negeri kita

Romzi adheikxa saputra said...

Bang kalo bole saya mau ikutan comment sbg anggota baru di blog....
Setelah terjun di lapangan bebas,ternyata susah mengganti sugesti dari masyarakat ini tentang layanan kesehatan...Ampe mulut berbusa ngasie pandangan buat mereka tapi tetep keukeuh dengan pendirian yang ke sok tau tua an mereka.Apa saya cuma bisa duduk manis&biarkan mereka dengan kondisi seperti itu??
Menurut abang salah ga ya kalau saya mengancam dengan membeberkan jeleknya dari kebenaran sugesti mereka agar mereka bisa memilah dulu dalam menyimpulkan

Wassalam Romzi di kalimantan

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...