Monday, June 01, 2015

Dokter Mengobati Pasien, Tidak Mengobati Hasil Laboratorium

Katanya Demam Berdarah Dengue alias DBD sedang mewabah ya? Bagaimana dengan "tipes" alias demam tifoid? Karena kabarnya ada beberapa yang dirawat akibat DBD dan demam tifoid bersamaan. Mungkinkah?
Ini pertanyaan favorit saya buat para Koas yang sedang menjalankan rotasi di bagian Anak. Apa pasalnya? Beberapa orang bercerita dirinya didiagnosis DBD dan tifoid bersamaan gara-gara: tes Widal!
Banyak orang familiar dengan pemeriksaan laboratorium satu ini. Katanya kalau Widal-nya positif, berarti sakitnya tipes. Ketahuilah bahwa diagnosis demam tifoid dipastikan dengan beberapa hal:
1. Gejala. Ya, namanya saja demam tifoid, jadi yang sedang sakit pasti bergejala demam. Nah, demamnya seperti apa? Ada yang bilang seperti "step ladder", jadi makin lama hari sakitnya, maka ambang suhunya makin tinggi. Tapi ternyata tidak harus seperti ini. Yang menjadi kata kunci demam tifoid adalah: demamnya mininal 7 hari! Beda kan dengan DBD yang sudah bisa dicurigai sejak demam 2 hari bahkan.
2. Penyakit tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Kita sudah paham bahwa yang namanya infeksi bakteri butuh antibiotik (DBD disebabkan oleh infeksi virus Dengue yang tentunya tidak butuh antibiotik). Bakteri Salmonella ini masuk ke tubuh lewat makanan/minuman yang terkontaminasi Salmonella. Dan umumnya makanan pinggir jalan yang higienenya buruk yang berisiko menyebabkan tipes. Siapa yang biasa jajan makanan seperti ini? Anda dan saya tentunya. Hehe. Maksud saya, mungkinkah anak berumur 2 tahun atau lebih muda yang belum pernah jajan makanan seperti ini terkena demam tifoid? Inilah sebabnya tifoid umumnya menginfeksi anak besar udia SD ke atas. Evaluasi ulang bila seorang anak balita sampai didiagnosis tifoid.
3. Lalu bagaimana bisa memastikan diagnosis tifoid berdasarkan pemeriksaan darah? Dengan pemeriksaan Widal? Hmmm...
Jadi pemeriksaan laboratorium yang bertujuan menentukan kuman penyebab penyakit ada 2 cara: secara langsung menemukan kumannya dan yang secara tidak langsung.
Cara pertama adalah dengan pemeriksaan kultur (biakan) baik dari darah, air seni (urin), dan tinja (feses), maupun cairan tubuh lainnya. Jadi kuman dibiakkan dalam suatu media, dan ditunggu hingga beberapa hari untuk mendapatkan hasil apa sebenarnya bakteri penyebab penyakitnya. Inilah yang dilakukan pada kecurigaan demam tifoid, yaitu dengan pemeriksaan kultur darah/tinja/urin untuk mendapatkan si kuman Salmonella typhi. Sayangnya tidak semua RS punya fasilitas ini. Dan harganya juga tidak murah (tapi ditanggung BPJS Kesehatan lho...).
Cara kedua adalah dengan mendeteksi "jejak" keberadaan si kuman, yaitu dengan mengetahui adanya antibodi yang dihasilkan si antigen (kuman). Inilah Prinsip pemeriksaan seperti Widal, Tubex, TORCH, dan IgG-IgM Anti Dengue. Jadi ada risiko yang terdeteksi sebenarnya adalah "jejak" si kuman masa lampau, yang pernah masuk ke tubuh berbulan-bulan lalu. Bukan yang menyebabkan sakit saat ini.
Paham tidak sejauh ini? Mudah-mudahan tidak bingung.
Jadi bisa saja Widal-nya "positif", tapi sebenarnya tidak sakit tipes! Karena Widal ini menandakan berbulan-bulan lalu ia pernah kemasukan kuman tifoid, dan saat itu ia tidak sampai sakit. Sedangkan saat ini sakitnya bukan tifoid dari gejala-gejala yang ada.
Pelajarannya adalah: selalu berhati-hati dalam menginterpretasi pemeriksaan laboratorium yang menilai keberadaan kuman secara tidak langsung, termasuk Tubex (IgM Anti Salmonella) yang katanya lebih sensitif dan spesifik dari Widal. Pemeriksaan semacam TORCH pun juga.
Saya kadang mengajak kawan-kawan berdialog seperti ini: " dari kita semua yang ada di sini dalam kondisi sehat wal afiat, bila "iseng-iseng" dicek Widal-nya, bisa saja mayoritas "positif", padahal tidak satu pun yang demam tifoid. Mengapa? Karena kita semua pernah makan jajanan pinggir jalan yang terkontaminasi Salmonella, tetapi alhamdulillah tidak sakit, karena adanya antibodi yang melawan kuman. Dan "jejak" inilah yang terbaca sebagai Widal positif.
Sebagai kesimpulan, lessons learned-nya adalah:
1. Kembalikan kepada diagnosis berdasarkan tanda dan gejala yang dialami. Kalau demamnya baru 3 atau 5 hari, ya kemungkinan kecil, bahkan jangan pikirkan dulu, demam tifoid. Berpikir demam tifoid ya kalau demamnya sudah lebih dari 7 hari.
Bahkan kalau demam sudah 3 hari tapi jelas ada batuk pilek ya tidak usah juga berpikir DBD dan cek darah, karena diagnosisnya adalah selesma.
2. Setiap pemeriksaan laboratorium pastilah memiliki keterbatasan. Maka selalu kembalikan kepada diagnosis. Dokter tidak mengobati hasil laboratorium, tetapi dokter mengobati pasien.
Semoga bermanfaat

Lagi-lagi tentang RUM

Berhubung sejak pagi kepala saya dipenuhi dengan kata "RUM" alias rational use of medicine, saya jadi ingin menyampaikan suatu hal (mohon maaf bila ada yang tidak berkenan).
Let's say....there's a hospital that many people labeled it as a "RUM"-hospital. Well that might be. But now....hmmm
Saya lagi-lagi hanya ingin bilang: teruslah belajar, sebagai orangtua, bagi anak-anak kita khususnya. Orangtua adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap kesehatan anak-anaknya. Mungkin banyak orangtua yang ingin mendapatkan dokter yang "RUM" buat anaknya. Kalaupun harus dirawat, orangtua ingin anaknya dirawat di RS yang "katanya" dikenal RUM. Tapi faktanya: tidak. Kondisi di lapangan tidak selalu seperti apa yang diharapkan. Fakta yang ada tidak selalu ideal. Maka salah satu solusi yang tersisa adalah: jadilah orangtua yang "RUM" dulu bagi anak-anaknya.
Pelajari apa kondisi yang mengharuskan segera ke dokter, kapan tidak. Pelajari bagaimana sesak napas dan dehidrasi itu.
Pahami bahwa demam itu tidak mematikan, tapi dehidrasi lah yang mematikan. Tidak punya parasetamol di rumah? Tidak perlu panik. Lebih penting punya oralit di rumah.
Bacalah artikel-artikel penyakit tersering pada anak. Tentunya dari situs-situs kesehatan yang reliable. Bukalah www.milissehat.web.id, www.kidshealth.org, dan www.mayoclinic.com.
Jika orangtua harus berkonsultasi dengan dokter, jadi tahu bahwa hak yang harus diperoleh adalah: mendapatkan diagnosis dalam bahasa medis, mendapatkan penjelasan terapi, dan diberitahu kapan kondisi yang mengharuskan kembali ke dokter.
Terima kasih buat guru-guru yang sudah mengajari kami para dokter apa "RUM" itu. Maka kami pun punya tanggung jawab menyebarkan ilmu ini kepada para orangtua.

Tinja Steril

Seorang Ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke seorang dokter, karena sudah 3 hari diare. Sebelum menemui dokter untuk konsultasi, si ibu berinisiatif memeriksakan tinja anak ke laboratorium. Saat berhadapan dengan dokter, ia menunjukkan hasil lab tersebut.
"Wah, ada bakteri di tinja anak Ibu. Saya berikan antibiotik ya..." kata dokter.
"Kenapa dikasih antibiotik, Dok?" tanya si Ibu.
"Karena ada infeksi bakteri. Kalau infeksi bakteri kan obatnya antibiotik." jawab dokter.
Merasa tidak puas, si Ibu mendatangi dokter anak yang lain keesokan harinya untuk second opinion. Ia menceritakan hasil pemeriksaan dengan dokter sebelumnya.
"Bu, kalau tinja steril, tidak ada bakterinya, barangkali sudah jadi suguhan di meja makan." tanggap dokter ini sambil tersenyum.
Saya yang menulis kisah ini pun ikut tersenyum.
(Thanks to my friend who gave me this "fictious" story wink emoticon )

Radang Tenggorokan

Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke dokter karena sudah demam 3 hari disertai batuk dan pilek. Suhunya mencapai 39 derajat selsius, sehingga ia khawatir. Saat dokter memeriksa, si anak menangis kuat dan meronta.
"Ada radang tenggorokan Bu. Tenggorokan anaknya merah. Saya kasih antibiotik ya," jelas dokter setelah selesai memeriksa si anak.
Karena tidak yakin dengan diagnosis dokter, si ibu mencari second opinion ke dokter lain.
"Bu, selama manusia hidup, ya tenggorokannya pasti merah," jelas dokter lain ini setelah memeriksa si anak.

Being Mortal

"Dokter kadang merasa telah melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Dokter melakukan pemeriksaan selengkap mungkin dan memberikan terapi yang terbaik. Tapi belum tentu pasiennya merasakan hal yang sama. Bisa jadi pasiennya justru merasakan sebaliknya. Ia malah merasakan tidak "happy" dengan tindakan dokternya.
Di sisi lain, dokter malah "tidak melakukan apa-apa" dan pasiennya malah merasa puas dengan apa yang sudah dokter "lakukan"."
Kira-kira itu pernyataan yang saya simpulkan dari pembicaraan dr. Akhilles, seorang konsultan senior di bidang perawatan paliatif dari Singapura. Apa maksudnya? Di dalam bidang perawatan paliatif, yang identik dengan merawat pasien-pasien stadium terminal (seringnya kanker) yang "tidak bisa diapa-apakan lagi", dokter sudah tidak lagi memberikan pengobatan kemoterapi atau radioterapi, atau pembedahan, atau tindakan lain yang sekiranya dikerjakan ataupun tidak, maka tidak akan mengembalikan kondisi pasien seperti sediakala. Justru tindakan pengambilan darah berulang, pemasangan infus di berbagai tempat, hingga kemo atau radioterapi yang seyogyanya bertujuan mengobati pasien agar membaik keadaannya, malah menyakiti pasien tersebut. Padahal dengan perkiraan usianya yang tidak lama lagi (secara statistik), pasien pastinya ingin menikmati saat-saat akhir hidupnya dengan tenang. Bisa berada di tengah-tengah keluarga di rumah, bukan di ruang rawat intensif (ICU) RS. Ini yang mungkin bisa disebut dengan "tidak melakukan apa-apa". Pasien merasa lebih bahagia diperlakukan seperti ini.
Saya lalu membuat analogi dengan kondisi sehari-hari, meskipun mungkin tidak tepat. Saya membayangkan kadang dokter melakukan pemeriksaan darah, memberikan beberapa macam obat, termasuk antibiotik, padahal anak yang sakit hanya mengalami selesma (common cold). Atau anak mengalami diare dan muntah, padahal tidak dehidrasi, tetapi karena ingin melakukan tindakan semaksimal mungkin, maka si anak dirawat, diinfus, dan mendapatkan berbagai obat. Tidak bisa dipungkiri orangtualah yang seringkali panik dan secara tidak langsung "meminta" anaknya dirawat (inilah pentingnya mengetahui gejala dehidrasi dan penanganannya di rumah). Bagaimana sebenarnya perasaan si anak yang bisa menerima saja? Apakah ia "happy" dengan semua tindakan itu?
Mohon maaf bila analoginya salah. Pada hakikatnya pelajaran untuk saya sendiri agar mengasah terus kemampuan klinis.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...