Monday, June 01, 2015

Being Mortal

"Dokter kadang merasa telah melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Dokter melakukan pemeriksaan selengkap mungkin dan memberikan terapi yang terbaik. Tapi belum tentu pasiennya merasakan hal yang sama. Bisa jadi pasiennya justru merasakan sebaliknya. Ia malah merasakan tidak "happy" dengan tindakan dokternya.
Di sisi lain, dokter malah "tidak melakukan apa-apa" dan pasiennya malah merasa puas dengan apa yang sudah dokter "lakukan"."
Kira-kira itu pernyataan yang saya simpulkan dari pembicaraan dr. Akhilles, seorang konsultan senior di bidang perawatan paliatif dari Singapura. Apa maksudnya? Di dalam bidang perawatan paliatif, yang identik dengan merawat pasien-pasien stadium terminal (seringnya kanker) yang "tidak bisa diapa-apakan lagi", dokter sudah tidak lagi memberikan pengobatan kemoterapi atau radioterapi, atau pembedahan, atau tindakan lain yang sekiranya dikerjakan ataupun tidak, maka tidak akan mengembalikan kondisi pasien seperti sediakala. Justru tindakan pengambilan darah berulang, pemasangan infus di berbagai tempat, hingga kemo atau radioterapi yang seyogyanya bertujuan mengobati pasien agar membaik keadaannya, malah menyakiti pasien tersebut. Padahal dengan perkiraan usianya yang tidak lama lagi (secara statistik), pasien pastinya ingin menikmati saat-saat akhir hidupnya dengan tenang. Bisa berada di tengah-tengah keluarga di rumah, bukan di ruang rawat intensif (ICU) RS. Ini yang mungkin bisa disebut dengan "tidak melakukan apa-apa". Pasien merasa lebih bahagia diperlakukan seperti ini.
Saya lalu membuat analogi dengan kondisi sehari-hari, meskipun mungkin tidak tepat. Saya membayangkan kadang dokter melakukan pemeriksaan darah, memberikan beberapa macam obat, termasuk antibiotik, padahal anak yang sakit hanya mengalami selesma (common cold). Atau anak mengalami diare dan muntah, padahal tidak dehidrasi, tetapi karena ingin melakukan tindakan semaksimal mungkin, maka si anak dirawat, diinfus, dan mendapatkan berbagai obat. Tidak bisa dipungkiri orangtualah yang seringkali panik dan secara tidak langsung "meminta" anaknya dirawat (inilah pentingnya mengetahui gejala dehidrasi dan penanganannya di rumah). Bagaimana sebenarnya perasaan si anak yang bisa menerima saja? Apakah ia "happy" dengan semua tindakan itu?
Mohon maaf bila analoginya salah. Pada hakikatnya pelajaran untuk saya sendiri agar mengasah terus kemampuan klinis.

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...