Wednesday, May 17, 2006

The Beginning of A Journey (Jambi part One)



Setelah hampir sebulan tidak menulis di sini, akhirnya ada kesempatan juga. Ceritanya kami sedang mampir sebentar ke Jakarta, setelah mengikuti pelatihan satu minggu di Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) prop. Jambi, untuk dokter dan dokter gigi PTT angkatan 41 dan 35, yang memilih propinsi Jambi untuk lokasi PTT-nya. FYI, PTT atau pegawai tidak tetap adalah program pemerintah (dalam hal ini dilaksanak oleh Depkes) untuk semua dokter dan dokter gigi Indonesia yang ingin mendapatkan surat ijin praktik (SIP), sejak tahun 1991. Sebelumnya namanya Inpres atau WKS (wajib kerja sarjana). Bisa dikatakan inilah masa bakti wajib bagi dokter/dokter gigi. Dan pelaksanaannya bisa ditunda, misalnya ketika seorang dokter/gigi ingin mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) langsung setelah jadi dokter. FYI lagi, lebih dari 30 persen teman seangkatanku di FKUI sudah menjadi peserta PPDS. Aku masih harus banyak menabung untuk bisa melanjutkan spesialisasi Ada yang mau jadi sponsor biaya untukku? Hehehe

Singkatnya, sepuluh hari setelah melaksanakan pernikahan, aku dan istri segera meluncur ke Kota Jambi untuk menjalankan tugas sebagai dokter/dokter gigi PTT Pusat. Selama seminggu, 32 orang dokter/dokter gigi mengikuti pelatihan pra PTT yang diadakan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Jambi, untuk kemudian disebar ke sepuluh kabupaten/kota di propinsi Jambi, mulai dari Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Bungo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Sarolangun, Batanghari, Kerinci, Merangin, dan Tebo. Silakan lihat peta untuk detil lengkapnya. Aku sendiri dan istri memilih dan ditempatkan di Kabupaten Muaro Jambi bersama tujuh orang dokter lainnya, dari berbagai almamater seperti UNISSULA Semarang, UNAIR Surabaya, UNAND Padang, UNSRI Palembang, UMY Yogyakarta, USAKTI Jakarta, dan YARSI Jakarta. Sebelum melaksanakan tugas di Puskesmas yang harus ditempuh menggunakan kendaraan offroad 4 WD (kebayang kan gimana akses menuju lokasi Puskesmas-nya? Hehehe), kami pulang sebentar ke Jakarta mengambil beberapa barang yang tertinggal.

Okeh, sekian untuk saat ini. Siap-siap untuk menjalankan tugas di Puskesmas yang relatif sepi pengunjung (karena memang terletak di daerah terpencil di Kabupaten Muaro Jambi), selama enam bulan ini tidak ada dokter/dokter giginya (penduduk sekitar berobat ke mantri/perawat yang menjabat sebagai kepala Puskesmas, dan kebetulan istrinya pun seorang bidan), mempersiapkan segala program preventif dan promotif (Puskesmas dibentuk bukan untuk kuratif/pengobatan semata, tetapi lebih pada aspek pencegahan penyakit dan penyuluhan hidup sehat), berpetualang menjelajah daerah-daerah yang terletak agak ke pedalaman dengan dikelilingi hutan kelapa sawit, memancing di pinggiran sungai Batanghari, mengemudi ambulans Puskesmas Keliling (Pusling) melewati jalan rusak dengan lobang mencapai 30 cm, dan tenang hidup berumah tangga alias cuci-masak-membersihkan rumah sendiri sebagai pasangan suami istri yang baru belajar. Hehehe.

Belum kebayang kapan bisa online lagi dan kirim tulisan ke MP. Mohon doanya

dr Arifianto
drg Ratna Sari

Thursday, April 13, 2006

Perlukah Suplementasi AA/DHA dalam Susu Formula? (Iklan Produk Kesehatan yang Menyesatkan part 2)



Mohon maaf kalau tulisan ini jadinya seperti artikel semi ilmiah. Hanya berusaha menyumbangkan sedikit informasi yang saya punya sebelum meninggalkan Jakarta menuju lokasi tanpa koneksi internet sama sekali (listrik dan telepon saja belum tahu ada/tidaknya).

Maraknya iklan susu formula di mana-mana: TV, majalah, koran mendorongku menelusuri lebih lanjut, perlukah suplementasi AA/DHA dalam susu formula. Tujuan tulisan ini adalah menekankan tidak ada yang mampu menggantikan ASI dalam enam bulan pertama kehidupan bayi.

Susu formula dibuat dengan berusaha meniru semirip mungkin kandungan yang ada dalam ASI, untuk memenuhi segala kebutuhan nutrisi bayi: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Sebagian besar formula ini diambil dari susu sapi, yang dinilai kandungannya hampir menyerupai air susu manusia, dan mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi. Sebagian kecil adalah susu kedelai.

Ada satu kandungan dalam ASI yang tidak terdapat dalam susu formula kebanyakan, yaitu AA/DHA. Berbagai penelitian menunjukkan bayi yang mendapatkan ASI sampai usia satu tahun memiliki perkembangan otak lebih baik dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI. Kandungan yang menentukan ini adalah asam arakidonat (arachidonic acid/AA) dan asam dokosaheksaenoat (docosahexaenoic acid/DHA), suatu asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang (long chain polyunsaturated fatty acids/PUFA), yang merupakan batu bata utama pembangun jaringan saraf di retina (saraf mata) dan otak. Mengetahui hal ini, para peneliti biokimia berlomba-lomba memasukkan AA dan DHA dalam kandungan susu formula, dan melihat dampaknya apakah menyerupai keuntungan bayi yang mendapatkan ASI.

Sebuah tulisan dalam jurnal Nutrition Noteworthy tahun 2002 yang berjudul: “Finding the Magic Formula: Should Polyunsaturated Fatty Acids be Used to Supplement Infant Formula” yang ditulis Mailan Cao menjelaskan tiga hal utama yang menjadi indikator utama outcome (keluaran) suplementasi AA/DHA ini, mengingat tidak semua hal yang terbukti di laboratorium (in vitro) atau hewan percobaan, lantas sama efeknya ketika diterapkan pada manusia.

  1. Suplementasi AA/DHA dan kadarnya dalam asam lemak plasma (darah)

Setelah dibuktikan aman untuk dikonsumsi tubuh manusia, peneliti ingin membutikan apakah suplementasi AA/DHA dapat diserap tubuh sama halnya kandungan dalam ASI, melihat bukti kadar AA/DHA dalam tubuh bayi yang mendapatkan susu formula tanpa suplementasi AA/DHA lebih rendah dibandingkan dengan yang mendapatkan ASI.

Ternyata terbukti, suplementasi AA/DHA meningkatkan kadarnya dalam plasma darah, membran sel darah merah (eritrosit), dan jaringan korteks otak, dalam jumlah menyerupai yang mendapatkan ASI. ARTINYA: suplementasi AA/DHA mampu diserap tubuh dengan baik. NAMUN ini sama sekali tidak menunjukkan dampaknya dalam perkembangan saraf otak dan ketajaman penglihatan.

  1. Suplementasi AA/DHA dan Pengaruhnya dalam (Fungsi) Ketajaman Penglihatan

Sebuah penelitian ‘meta-analisis’ menunjukkan adanya peningkatan fungsi penglihatan pada bayi yang mendapatkan susu formula dengan suplementasi AA/DHA dibandingkan yang mendapatkan susu formula biasa, dengan melihat indikator perilaku dan elektrofisiologi mata pada bayi berumur 2 dan 4 bulan. Beberapa penelitian terdahulu tidak menunjukkan adanya perbedaan.

  1. Suplementasi AA/DHA dan Perkembangan Kecerdasan/Perilaku

Inilah KUNCI dari impian semua peneliti mengenai suplementasi AA/DHA: mampukah menyamai dampaknya dalam meningkatkan kecerdasan bayi, layaknya bayi yang mendapatkan ASI? Ternyata dari berbagai penelitian: belum terbukti. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupannya, dan diteruskan sampai usia 1 tahun, memiliki kecerdasan lebih daripada yang mendapatkan susu formula dengan AA/DHA sekalipun.

Beberapa kendala juga menghadang model penelitian ini. Antara lain jenis uji yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan adalah: Bayley Mental Development Index (MDI) dan the Psychomotor Developmental Index (PDI). Berbagai penelitian menunjukkan hasil berbeda-beda, ada yang menggambarkan hasil signifikan pemberian suplementasi AA/DHA, dan sebagian lain tidak ada bedanya. Belum lagi pengaruh sosioekonomi responden yang mempengaruhi uji statistik. Kadar AA, DHA, dan asam lemak lain semacam ALA dan LA juga bervariasi antar penelitian. Sampai perbedaan genetik dan lingkungan di berbagai belahan dunia tempat penelitian dilakukan (Amerika Utara, Australia, dan Eropa). Juga terkadang jumlah sampel terlalu sedikit, umur bayi yang terlalu dini untuk dilakukan pengujian, dan jangka waktu penelitian yang seharusnya cukup panjang, sehingga dapat dilihat dampaknya hingga usia remaja dan dewasa.

Pada akhirnya penelitian mengenai dampak suplementasi AA/DHA masih terus dikembangkan, dan belum berakhir.

Bagaimana dengan pemasarannya di negara kita? Berbagai iklan dan informasi yang tidak jarang datang dari dokter spesialis anak sendiri seolah-olah mengklaim perannya signifikan dalam meningkatkan kecerdasan bayi.

Di AS, Food and Drug Administration (FDA) atau serupa Badan POM-nya Indonesia, memberikan ijin kepada dua perusahaan: Abbott Laboratories dan Mead Johnson Nutritionals untuk mengedarkan susu formula dengan suplementasi AA/DHA kepada khalayak sejak awal 2002. Harganya 15-20% persen lebih mahal dibandingkan dengan susu formula tanpa suplementasi, dan ini pun memberikan keuntungan kepada dua perusahaan tersebut untuk membiayai penelitian mengenai AA/DHA.

American Council on Science and Health memiliki pandangan ”the current data has not consistently shown that supplementation of formulas with DHA and AA has a lasting beneficial effect on infant development” juga hal lain seperti keamanan menambahkan asam lemak dalam susu formula belum teruji.

Pada akhirnya keputusan berpulang pada tangan si konsumen. Apakah akan memberikan susu formula dengan suplementasi AA/DHA atau tidak. Yang penting adalah memberikan ASI Eksklusif selagi mampu. Sejak masa kehamilan, persiapkan diri sebaik mungkin dengan pengetahuan menyusui bayi secara optimal. Menjelang persalinan, jika Anda berencana melahirkan di Rumah Bersalin atau Rumah Sakit, bukan di rumah, mintalah kamar rawat gabung. Anda bisa bersama bayi Anda sejak lahir hingga saatnya pulang, tanpa dipisahkan sedikit pun dari sisi sang ibu. Satu hal yang sangat sulit dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Begitu bayi lahir, segera dekatkan ke payudara ibu, untuk early latch-on—menyusui dini—dengan teknik yang telah Anda ketahui baik. Sehingga dipastikan kemampuan Ibu untuk menyusui bayinya penuh sangat baik. Maka tidak ada alasan lagi: “ASI saya tidak keluar”, dan harus memberikan susu formula pada bayi.

Dukungan dari keluarga juga sangat penting. Tidak sedikit alasan ibu memberikan susu formula pada bayinya yang mendapatkan ASI dengan baik adalah: khawatir ASI tidak cukup. Pembahasan ASI sangat panjang, tidak dalam bahasan ini.

Kecerdasan bayi tidak hanya monopoli ASI dengan AA/DHA-nya saja. Tapi juga stimulasi eksternal, dari lingkungan, melalui rangsangan yang diberikan Papa-Mamanya, dengan percakapan verbal, pengenalan media visual, dan perhatian penuh orangtua terhadap perkembangan kecerdasan anak. Apalah artinya anak dengan asupan AA/DHA baik, tapi tidak pernah dirangsang kemampuan verbal dan visual oleh orangtuanya. Bisa jadi akan lebih buruk dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mendapatkan ASI atau susu formula, tetapi ibunya mampu memberikan perhatian penuh terhadap stimulasi kecerdasan buah hatinya.

cisauk, 7 hari menjelang hari-H

Ratna Sari dan Arifianto: Sebuah Undangan Pernikahan


Penyatuan dua hamba Allah dalam bahtera pernikahan

drg. Ratna Sari (Ratna)

putri kedua Kel. Kolonel Cpl (Purn) H. Didi Sadikin, SIP

dr. Arifianto (Apin)

putra pertama Kel. Ir. H. Riyanto Marosin

Akad nikah

Jum'at, 21 April 2006 pukul 8.00 WIB

Masjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII)

Resepsi pernikahan

Jum'at, 21 April 2006 pukul 19.00 - 21.00 WIB

Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah (TMII)

Mohon Doa Keberkahannya, agar dimudahkan dan dilancarkan hingga hari-H nanti, dan sesudahnya. Aamiin.

Terima kasih

Silakan melihat peta lokasi dan mengisi buku tamu di http://ratna-apin.uni.cc dan melihat yang lainnya di Multiply

Saturday, April 01, 2006

Iklan Produk Kesehatan yang Menyesatkan (1)

Aduuhh... maafkan daku yang sering sekali menggunakan kata "membodohi", "menyesatkan", etc. dalam judul berkenaan dengan medicine-related-topics. Habisnya sukar mencari pilihan kata lain. Seorang teman sejawat sampai memberi masukan bahwa orang yang "memvonis" orang lain "bodoh", maka dia sendiri "bodoh". Well, motivasi lain adalah supaya eye-catching saja. Jujur! Hehehe

Pernah seorang pasien datang kepadaku dan menyatakan bahwa ia sudah sangat mengurangi konsumsi gulanya. Apa pasalnya? Ia khawatir akan mengalami hal serupa iklan sebuah pemanis buatan bebas gula (maaf, sengaja tidak menyebutkan merek dan menulis link website-nya) yang marak mengisi jeda acara televisi akhir-akhir ini: kehilangan penglihatan alias kebutaan, sampai kehilangan nyawa orang yang kita cintai, gara-gara mengkonsumsi gula!

Oh my God! Sedemikian hebatkah efek iklan tersebut, sampai orang yang menyaksikannya pun ketakutan dalam mengkonsumsi gula?!

Inilah yang membuatku cukup kesal. Karena informasi yang disampaikan si pembuat iklan itu tidak utuh. Atau memang sengaja dibuat tidak utuh?

Iklan tersebut ditujukan khususnya bagi penderita Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis saja. Bukan untuk semua orang sehat yang boleh saja mengkonsumsi gula sesukanya. Perlu Anda ketahui, orang yang mengalami DM perlu mendapat pembatasan gula, dalam hal ini sukrosa, yang dapat meningkatkan kadar gula darah. Diabetes mellitus adalah penyakit rusaknya sel-sel beta pankreas yang menghasilkan insulin, berakibat pada kadar gula darah tubuh tidak terkontrol. Secara umum, kerusakan sel pankreas ini dibagi dua: (1) bawaan sejak lahir atau DM tipe 1, sehingga kadar insulin tubuh senantiasa di bawah nilai normal, maka si penderita membutuhkan suntikan insulin seumur hidup; (2) diperoleh saat dewasa atau DM tipe 2, akibat kerusakan "relatif" sel beta pankreas pada orang dengan faktor risiko.
Insulin berfungsi mengatur kadar gula darah. Jumlahnya yang kurang menyebabkan kadar gula darah melambung tinggi. Yang dikhawatirkan dari DM adalah komplikasinya di seluruh bagian tubuh, mulai dari mata (kerusakan retina, kebutaan), jantung (aterosklerosis, penyempitan pembuluh darah jantung), ginjal (gagal ginjal kronik sehingga harus ditransplantasi), saraf (neuropati, kesemutan, nyeri hebat, rasa baal), infeksi (luka sukar sembuh, sampai jaringan mati yang harus diamputasi), dan masih banyak lagi.

Maka untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan dari DM, seorang penderita harus mampu menjaga kadar gula darahnya dalam ambang normal, dengan cara minum obat atau mendapatkan suntikan insulin, menjaga pola makan sesuai diet yang dianjurkan ahli gizi, dan aktivitas seimbang, termasuk olahraga yang sangat penting, serta gaya hidup sehat lainnya.

Naahh... bagaimana dengan orang yang tidak menderita DM, atau tidak mempunyai faktor risiko DM: bolehkah mengkonsumsi gula sebebasnya? Apakah konsumsi gula berlebih berisiko menimbulkan penyakit DM? Apakah orang tanpa faktor risiko harus mengganti gulanya dengan pemanis rendah kalori atau bebas gula (sukrosa), seperti saran iklan tersebut?

Tentu saja tidak! Konsumsi gula berlebih pada orang tanpa faktor risiko tidak berisiko menimbulkan DM di kemudian hari. Pola makan tinggi gula disebutkan dalam situs produsen pengiklan ini sebagai salah satu faktor risiko DM. Padahal sepanjang pengatahuan yang kudapatkan sejak di bangku kuliah, sampai memeriksa ulang informasi terbaru di internet: konsumsi gula bukanlah faktor risiko DM!

Menurut Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia tahun 2002 yang dikeluarkan Perhimpunan Endrokinologi Indonesia (PERKENI), disebutkan faktor risiko DM adalah:
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih: > 110 % BB idaman, atau IMT > 23 kg/m2
3. Hipertensi (>= 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM pada garis keturunan
5. Riwayat abortus/keguguran berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4000 gram
6. Kolesterol HDL <= 35 mg/dl dan/atau trigliserida >= 250 mg/dl


Anda tidak mempunyai faktor risiko ini? Tidak perlu mengganti gula Anda!

Gula atau glukosa adalah salah satu zat esensial dalam kehidupan manusia. Wikipedia menjelaskan bahwa glukosa adalah salah satu karbohidrat terpenting yang menjadi sumber energi dan metabolisme sel. Pastinya di masa sekolah dulu, ketika upacara bendera pagi hari, pernah terasakan oleh Anda tiba-tiba berkeringat dingin dan kepala sangat pusing saat berdiri, dikarenakan lupa sarapan. Anda pun menuju ruang UKS, dan mendapatkan segelas teh manis. Apa rasanya? Luar biasa, semua rasa tidak nyaman itu lenyap dalam sekejap. Semua akibat gula yang dikandung dalam teh manis itu. Juga jika Anda tidak sempat makan cukup sebelum beraktivitas, konsumsi makanan atau minuman yang manis membuat cadangan energi tubuh cukup untuk membakar kalori seharian.

Inilah fungsi gula bagi kehidupan manusia: sebagai sumber energi. Otak yang kekurangan glukosa dalam beberapa jam akan mengalami kerusakan.

Beralih pada bagaimana cara pengiklanan di televisi: menurutku produsen pengiklan ini telah melanggar Kode Etik Periklanan Televisi (sayangnya belum menemukan referensinya di internet), dan Undang-undang Perlindungan Konsumen bab 4 pasal 17 ayat 1c:
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa. Bagaimana menurut Anda?

Kini, untuk apa harus takut mengkonsumsi gula biasa? Tidak perlu mengganti gula Anda, bukan? Anda tidak akan kehilangan penglihatan Anda saat bercengkerama dengan pasangan, dan Ibu Anda masih dapat meniup lilin ulang tahunnya setahun mendatang.

Masih ada beberapa topik bertajuk "Iklan Produk Kesehatan yang Menyesatkan" (makanya saya tulis "bagian" 1), yang saya rencanakan untuk membahasnya, seperti:
- iklan susu tinggi kalsium bagi manula yang mengalami osteoporosis (padahal kadar estrogen yang seharusnya memetabolisme kalsium sudah jauh berkurang secara alamiah seiring usia)
- iklan susu formula bagi bayi di bawah 6 bulan yang seharusnya masih mendapatkan ASI eksklusif, telah melanggar Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti ASI
- iklan susu formula kaya tambahan yang diklaim mampi meningkatkan kecerdasan yang mahal harganya, dan menimbulkan efek samping sukar buang air besar
- masih ada ide lagi?

* gambar diambil hanya untuk sekedar ilustrasi, dari sini

Wednesday, March 22, 2006

Bagaimana Dokter 'Membodohi' Pasien


Tulisan ini sebenarnya menceritakan tentang penyakit tuberkulosis paru (TB paru) atau TBC paru.

"Bu, anaknya kena flek paru ya. Ini saya obati. Minum obatnya harus sampai enam bulan, tidak boleh putus," kata seorang DSA (dokter spesialis anak).

"Kata dokter anaknya sakit apa?" tanyaku.
"Flek paru," jawab si ibu.
"Oo.. TBC," timpalku lagi, dengan nada santai.
"Haa, TBC? Masa' sih, Dok?" si ibu kaget. Mukanya agak memerah.
"Iya, flek paru itu ya TBC," jawabku, lagi-lagi dengan nada santai.

Di bawah aku ambil persis dari situsnya IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia):

Banyak sekali anak-anak yang divonis sebagai ΄flek paru΄ dan harus menjalani ΄hukuman΄ minum obat jangka lama, paling tidak hingga 6 bulan. Jika ditanyakan kepada orangtuanya apa yang dimaksud flek paru? Biasanya orangtua pasien tidak tahu, Bila ditanya lebih lanjut apakah anaknya mendapat obat yang membuat air seninya berwarna merah? Jika jawabnya "Ya" kemungkinan besar yang dimaksudkan sebagal ΄flek paru΄ adalah tuberkulosis/TB paru atau saat ini disebut TB saja.
Mengapa dokter tidak menyatakan sebagai TB?
Sebagian kalangan di masyarakat beranggapan bahwa TB bukan penyakit yang ΄bergengsi΄, Beda misalnya dengan penyakit jantung yang dianggap lebih ΄terhormat΄, Sebagian pasien tidak berkenan jika dinyatakan sakit TB. Khawatir pasien tidak dapat menerima, dokter berusaha menyamarkan penyakitnya dengan istilah flek paru. Saat ini umumnya pasien sudah berpikiran terbuka dan dapat menerima jika dinyatakan sakit TB. Sebaiknya dokter berterus terang menyatakan sakit TB tanpa menyamarkan dengan istilah flek paru yang justru tidak mendidik pasien.

Itulah sekilas tulisan dr. Darmawan Budi S, SpA(K) yang berjudul "
΄Flek Paru΄ Istilah yang Rancu: Informasi Singkat Tentang Tuberkulosis (TB) Anak". Tulisan ini kemudian mendorongku untuk tidak 'membodohi' pasien dengan istilah 'flek paru'. Kalau memang TB ya katakan saja TB. Jaman telah berubah. Pasien cukup kritis untuk mengetahui diagnosis pasti penyakitnya. Bahkan tidak jarang, penjelasan yang tidak utuh menciptakan terapi tidak adekuat. Istilah 'flek' yang kurang menakutkan, membuat pasien tidak patuh meminum obatnya. Ah, toh cuma 'flek' ini. Padahal TB harus diobati minimal enam bulan, tanpa adanya putus obat yang berisiko menciptakan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB. Penderita TB yang sudah resisten (kebal) terhadap obat jauh lebih membahayakan, baik bagi dirinya sendiri (risiko perberatan dan komplikasi penyakit) maupun orang lain (jika menularkan).

Hal lain adalah: cukup sukar mendiagnosis TB pada Anak, dibandingkan dengan pada dewasa. Dengan ilmu kedokteran yang terus berkembang, dokter dan dokter spesialis anak yang tidak memperbaharui ilmunya, seringkali menggunakan perangkat yang tidak tepat dalam mendiagnosis TB pada Anak. Berlandaskan pada keluhan tidak spesifik (batuk lama, padahal seringkali batuk akibat alergi, bukan infeksi, berat badan sukar naik, dan demam hilang-timbul), ditambah gambaran Rontgen penuh 'flek' (sukar membedakan gambarannya dengan batuk-pilek biasa), langsung saja dokter mendiagnosis TB dan mengobatinya. Padahal obat TB Anak yang terdiri atas tiga kombinasi obat berbeda mempunyai efek samping, dan harus dimetabolisme di hati dan ginjal. Jika penggunaannya tidak tepat, bisa menimbulkan efek samping yang lebih buruk dibandingkan keuntungannya minum obat.

Setidaknya dokter di Indonesia bisa menggunakan panduan berikut yang mudah diakses di situs GERDUNAS TBC (Gerakan Terpadu Penanggulangan TBC Nasional) mengenai alur deteksi dini dan rujukan TB pada Anak.

Hal-hal yang mencurigakan TBC :

1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan penderita TBC yang BTA positif

2. Terdapat reaksi kemerahan lebih cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan BCG.

3. Berat badan turun tanpa sebab jelas atau tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).

4. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas.

5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu.

6. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik.

7. Skrofuloderma.

8. Konjungtivitis fliktenularis.

9. Tes tuberkulin yang positif (>10 mm).

10. Gambaran foto rontgen sugestif TBC.

Dengan setidaknya tiga dari gejala di atas, seorang anak boleh memulai terapi obatnya.

Tidak semua dokter dan dokter spesialis anak mengetahui dan mau menggunakan panduan ini. Masih banyak yang lebih mengandalkan pada pembacaan Rontgen satu posisi saja misalnya, tanpa melakukan tes tuberkulin (uji Mantoux). Padahal panduan ini disusun mengadaptasi WHO yang merancangnya khusus untuk dapat digunakan di negara berkembang, melalui berbagai penelitian dan pengujian lapangan.

Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah: obat TB GRATIS di semua Puskesmas. Ya, gratis boo, gretong, free. Tidak harus berobat ke dokter spesialis yang meresepkan obat paten dengan harga di atas seratus ribu rupiah sekali datang. Padahal penyakit ini terutama ditemukan pada sosioekonomi menengah ke bawah, yang sangat pikir-pikir kalau mau berobat. Ketiadaan biaya malah membuat sesorang tidak berobat, karena tidak mengetahui program pemerintah yang menggratiskan obat TB di seluruh Puskesmas di Indonesia, dan menimbulkan komplikasi berat seperti meningitis, TB tulang, TB milier, dan lainnya yang dapat mengancam nyawa.

Selengkapnya mengenai TB dapat dibaca di situs WHO dan TB Indonesia.

Menyambut hari TB sedunia 24 Maret ini.

Sunday, March 12, 2006

Mengakhiri Kemiskinan


We Can End Poverty by 2025… and CHANGE THE WORLD FOREVER

Hehehe, kaya judul lagunya Eric Clapton ya? Itulah yang tertulis dalam sampul belakang buku yang akan kuresensi berikut. Masuk ke dalam angkot, cari tempat duduk di pojok belakang, langsung buka bukunya, dan mataku menyusuri rangkaian ratusan kata di tiap halaman. Inilah buku yang ingin kubaca selama ini, setelah membaca resensi singkatnya dalam sajian utama Majalah TIME beberapa bulan silam. Salah satu kesempatanku membaca buku adalah saat berada di dalam angkot. Jika di rumah, waktuku habis untuk online di depan komputer, atau di luar rumah saat menyetir mobil tentu tidak mungkin. Kadang bisa juga ketika tidak ada pasien pas dinas shift malam. Siapa sangka menemukan buku ini di atas meja teman sejawatku, dr. Jumpa. Tidak kusia-siakan untuk segera meminjamnya.

Buku ini mencerahkan! Itu komentar singkatku. Mulai dari sampul depannya yang cukup sederhana, namun mengena: penonjolan pada kata-kata judul “THE END OF POVERTY, HOW WE CAN MAKE IT HAPPEN IN OUR LIFETIME, JEFFREY SACHS, FOREWORD BY BONO” yang dicetak dalam warna hitam dan merah saja, pembaca langsung mendapatkan salah satu daya tarik buku ini adalah pengantar yang ditulis oleh vokalis legendaris U2.

Paragraf pertama dalam “Introduction” pun cukup jelas: “This book is about ending poverty in our time. It is not a forecast. I am not predicting what will happen, only explaining what can happen… Our generation can choose to end that extreme poverty by the year 2025.” Cukup mengena, bukan?

Buku ini disusun berdasarkan pengalaman sang penulis, Jeffrey D. Sachs, konsultan Bank Dunia (World Bank) dan konsultan khusus bagi Sekjen PBB Kofi Annan, serta seorang profesor ekonomi, yang telah memberikan ‘pengobatan’ bagi banyak ‘pasiennya’ di seluruh dunia. Lihatlah judul-judul babnya. Pengalaman apa yang ia dapatkan dari Bolivia, Polandia, Russia, Cina, India, dan kemiskinan sistemik di benua Afrika.

Jujur saja, aku belum selesai membaca buku ini. Tapi ada beberapa bagian yang menurutku sangat menarik, dan menjelaskan ke dalam ‘golongan’ manakah si penulis? Sama saja dengan pakar ekonomi asing—terutama AS—yang selalu memiliki kepentingan terselubung di semua negara berkembang? Atau seorang yang memang benar-benar idealis, tulus sepenuh hati ingin menolong orang lain.

Bab pertama bertajuk “A Global Family Portrait” (lagi-lagi jadi ingat lagunya Pink). Diawali dengan kisah kemelaratan luar biasa di Malawi, Afrika. Jeffrey D. Sachs memotret satu desa yang hampir musnah akibat AIDS. Ia menemui seorang nenek yang menampung belasan yatim-piatu. Orangtua mereka telah mati akibat penyakit AIDS. Belum lagi penyakit lainnya: malaria. Seorang wanita menggendong cucunya yang dijangkiti penyakit gigitan nyamuk ini, berjalan kaki 10 kilometer menuju RS setempat. Setibanya di sini, tidak ada obat anti malaria yang tersedia. Dengan cucunya mengalami demam tinggi, mereka berdua berjalan kembali pulang. Berikutnya Sachs menuturkan gamblang epidemi AIDS di sini, serta solusi mudah yang bisa dilakukan. Berlanjut ke Bangladesh, dengan kisah sedih kemiskinannya.

Cerita menggembirakan segera dapat kita baca melalui kisah India: “Center of an Export Services Revolution”. Melalui ilustrasi seorang pegawai wanita muda berusia 25 tahun yang bekerja di perusahaan IT, dengan penghasilan 250 – 500 dolar sebulan (sama dengan pendapatan dokter baru lulus di Jakarta, FYI). Dalam bab terpisah: “India’s Market Reforms: The Triumph of Hope over Fear”, pembaca mengetahui jelas rahasia kebangkitan ekonomi negara Bollywood ini mulai tahun 1994. Padahal di tahun 1978, penulis masih mendapati India sebagai satu negara miskin “berat”. Perdana menteri India, Dr. Manmohan Singh, ahli ekonomi yang pernah mendapat pendidikan di Cambridge dan Oxford, dengan kebijakan ekonominya, serta India Institue of Technology (IIT) memegang peran penting ini (kalau ITB/UI masih ga, ya? Hehehe). Begitu dengan kisah Cina dengan keberhasilannya.

Satu pemikiran menarik penulis dalam bab ini adalah: “Progress is hard enough to achieve in the world without being perceived as a danger. One of the ironies of the recent success of India and China is the fear that engulfed the United States that success in these two countries comes at the expense of the United States. These fears are fundamentally wrong and, even worse, dangerous. They are wrong because the world is not a zero-sum-struggle in which one country’s gain is another’s loss, but is rather a positive-sum opportunity in which improving technologies and skills can raise living standards around the world.”

Kalimat ini membuatku yakin penulis termasuk golongan Amerika yang ‘hanif’. Berbeda dengan ketakutan Amerika selama ini yang menganggap India dan Cina adalah ancaman besar mereka.

Tidak cukup di sini. Dalam bab empat: “Clinical Economics”, Mr. Sachs menyebutkan IMF sama dengan penilaian kita selama ini: Dalam seperempat abad terakhir, negara miskin mendatangkan “dokter uang dunia”, IMF, untuk meminta bantuan. “The main IMF prescription has been budgetary belt tightening for patients much too poor to own belts. IMF-led austerity has frequently led to riots, coups, and the collapse of public service”!. Hahaha, kena kau, IMF. Penulis tampa takut-takut menerangkan gamblang banyak kesalahan IMF dan AS dalam buku ini. Sesuatu yang kita semua setujui.

Bagiku sebagai seorang dokter, bab ini juga menerangkan sesuatu yang sangat menarik. Jeffrey Sachs telah mengembangkan model ekonomi pembangunan baru: clinical economics, melihat kesamaan antara praktik ekonomi pembangunan (development economics) dengan praktik kedokteran (clinical medicine). Ia belajar banyak dari istrinya seorang dokter spesialis anak. Ini pulalah, yang memberi ciri khas bagi bukunya. Untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi—khususnya kemiskinan—suatu negara, harus melihat semua aspek yang mungkin terlibat. Layaknya seorang dokter dalam menangani pasien-pasiennya.

Inilah “some lessons of clinical medicine”:

· The human body is a complex system. Paduan antara sistem saraf, sirkulasi, pernapasan, pencernaan, endokrin, imun, reproduksi, de el el. Seringkali penasehat ekonomi melupakan semua faktor yang mungkin berperan dalam kemiskinan dan masalah ekonomi negaranya. Bagaimanakah sistem transportasinya, model pemerintahannya, jaringan komunikasinya, penegakan hukunya, pertahanan nasionalnya, sistem perpajakannya, dsb.

· Complexity requires a differential diagnosis. Seorang anak dengan demam tinggi, penyebabnya bisa dari infeksi, trauma, autoimun, kanker, keracunan, dll. Namun selalu ada prioritas kemungkinannya, tidak semuanya dianggap sama. Begitu juga dengan negara. IMF memfokuskan pada isu-isu yang sempit seperti korupsi, membatasi usaha swasta, defisit anggaran, dan kepemilikan sumber-sumber negara. Dan menyamakan semua negara, dengan melakukan saran untuk memotong pajak, meliberalisasi perdagangan, dan memprivatisasi milik negara (salah satu hal menyedihkan untukku di Indonesia adalah privatisasi RS pemerintah. Hiks, kemana orang miskin bisa berobat?) IMF tidak melihat bidang agronomi, iklim, penyakit, isu gender, dan lainnya.

· All medicine is family medicine (sesuatu yang dokter Indonesia juga sering melupakannya). Tidak cukup mengobati penyakit seorang anak, dengan melupakan kemiskinan yang diderita orangtuanya, cukupkah asupan makanan bergizinya, apakah orangtuanya bermasalah secara sosial, dll. Bagaimana mungkin negara seperti Ghana akan lepas dari lilitan kemiskinan jika masih menghadapi sanksi perdagangan internasional (begitu juga dengan Irak. Sachs juga mengkritisi pemerintahan Bush yang memerangi “terorisme”, tapi melupakan perang terhadap kemiskinan yang bisa menjadi benih-benih terorisme).

· Monitoring and evaluation are essential to successful treatment. IMF atau World Bank seringkali mendikte suatu negara untuk mengikuti programnya, tanpa mengevaluasi kemudian apakah programnya tersebut cocok untuk negara bersangkutan.

· Medicine is a profession, and as a profession requires strong norms, ethics, and codes of conduct.

Bagaimana dengan Indonesia? Penulis tidak menyinggung sama sekali negara ini. (Meskipun sudah kucari dalam indeks. Mungkin Mr. Sachs belum pernah menangani Indonesia sebagai salah satu “pasien”-nya, atau tidak ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari negara ini!) Padahal dalam edisi TIME yang membahas khusus buku ini, beberapa foto diambil dari Indonesia. Seingatku gambar dua anak jalanan yang tertidur pulas di lantai stasiun Senen, dan seorang pemulung di atas gunung sampah.

Dalam rubrik Ragam Majalah SAKSI edisi 9 Maret 2006, wartawan jurnalisme investigatif Rizky Ridyasmara—veteran SABILI—menulis dengan gamblang, hal-hal yang menurutku penyebab bangkrutnya Indonesia, dan curamnya jurang pemisah dan kesenjangan antara si Kaya dan si Miskin. Bagian dari rentetan perampokan kekayaan negara oleh konspirasi jahat pejabat dan pengusaha negeri ini. Berawal sejak Soeharto berkuasa, dimulailah proses pembangkrutan negara kaya raya ini, hingga menjadi salah satu negara miskin dunia saat ini.

Pada November 1967, beberapa bulan setelah Soeharto berkuasa, presiden mengutus tim ekonomi kepresidenan—populer disebut Mafia Berkeley—ke Jenewa untuk menemui sejumlah konglomerat Yahudi seperti Rockefeller, dan menggadaikan kekayaan alam Indonesia kepada jaringan korporasi Yahudi dunia. Di sinilah untuk pertama kalinya, emas, perak, timah, nikel, minyak dan gas bumi, semen, dan sebagainya jatuh ke tangan asing. Tahun 1970, oil boom dan industrialisasi besar-besaran mengejar pertumbuhan ekonomi dan melupakan pemerataan, digerakkan oleh utang luar negeri, menumbuhkan satu kelompok masyarakat Indonesia yang sangat kaya, dan memelaratkan rakyat banyak. Berpusat di Cendana, kelompok yang terdiri dari kolusi birokrat dan teknokrat korup, dengan pengusaha Cina yang dimanjakan rezim berkuasa, memunculkan istilah Kelompok “Ali-Baba”. Petinggi TNI/Polri digunakan sebagai penjaga stabilitas dan keamanan rezim, untuk menindas setiap suara kritis dari rakyat. Pada tahun 1980-an, tercatat 300 grup bisnis konglomerat, dengan 224 grup dimiliki pengusaha non pribumi, dan sisanya 76 grup oleh pribumi. Di mana-mana terlihat pembangunan, dengan landasan tidak kokoh karena berasal dari utang!

Kejadian ini berlanjut terus sampai terjadi krisis ekonomi tahun 1997, yang disinyalir kuat akibat ulah konglomerat Yahudi George Soros, yang tiba-tiba memborong mata uang dolar AS dari seluruh pasar uang Asia. Di tahun 1998, Soeharto yang tidak mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis, menyerahkan penyelesaiannya pada IMF. Lembaga sokongan Yahudi ini menemukan bahwa pemerintah punya utang luar negeri sebesar 60 miliar dolar, sedangkan di luar negeri, para konglomerat berutang lebih besar: 75 miliar dolar!

Seorang teman menceritakan data GAIKINDO tahun lalu menyebutkan penjualan mobil di Indonesia adalah yang tertinggi di Indonesia. Apa artinya? Masih banyak orang kaya di negeri ini. Namun lebih banyak lagi golongan ekonomi sengsaranya. Teringat pula siaran di TV pagi ini, Pilkada di Papua kemarin terhambat di Timika, karena banyak warga setempat yang mencari tumpahan emas di sekitar Freeport. Negara mana selain Indonesia yang penduduk lokalnya bergelimpangan di bawah garis kemiskinan, di tengah-tengah lautan emas milik mereka, yang dibawa pergi ribuan kilometer ke negara asing, akibat ulah segelintir pejabat masa Soeharto!

Buku ini sangat perlu untuk dibaca oleh seluruh ahli ekonomi negara kita tercinta. Meskipun aplikasinya pastinya akan sangat sukar, you know, tahu lah negeri seperti apa kita ini. But let’s not being always pessimistic. Tak sabar menunggu keluarnya edisi terjemahan buku ini (atau sudah ada yang tahu?). Meskipun bahasa Inggrisnya cukup mudah, tapi tetap saja bagiku, menyelesaikan membaca buku ini butuh waku yang sangat lama. Hehehe.

Sachs marries storytelling with acute analysis to explain why, over the past 200 years, wealth and poverty have diverged and evolved across the planet, and why the poorest nations have been so markedly unable to escape the trap of poverty.

The End of Poverty is a Roadmap to a More Prosperous and SECURE WORLD…

Friday, March 10, 2006

Dokter Siprofloksasin

Maafkan aku wahai sejawat-sejawatku

Karena tidak sependapat dengan kalian

Mudah memberikan Ciprofloxacin

Untuk infeksi bakteri yang masih sensitif terhadap antibiotika lini pertama

Atau untuk infeksi yang sebenarnya mayoritas akibat virus

Bahkan untuk keadaan yang sebenarnya mungkin tidak membutuhkan antibiotika sama sekali

Ngeri aku membayangkan kemungkinan resistensi yang bisa terjadi

Belum lagi efek sampingnya...

... dan kontra indikasinya

Ngeri deh


mengenang kecenderungan beberapa jenis dokter yang mudah memberikan antibiotika (AB) bukan lini pertama tanpa indikasi. Padahal kontra indikasinya cukup mengerikan: tidak boleh diberikan pada anak/remaja pada masa pertumbuhan, serta pada ibu hamil dan menyusui! Karena menghambat pembentukan lempeng epifisis tulang panjang. Teringat pada ibu yang diberikan AB jenis ini tanpa indikasi (cuma common colds saja, akibat virus), dan ternyata kemudian diketahui ia sedang hamil trimester pertama!

Juga sebagian mantri/bidan yang berpraktik layaknya dokter (ilegal), memberikan antibiotika jenis ini pada balita, tanpa pernah belajar farmakologinya.

Tadinya mau kasih judul: "Dokter Antibiotika". Tapi ga jadi deh. Penunjukan Sipro hanya sekedar untuk simbolisasi saja. Bukannya saya anti Sipro.

Indonesia, Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku.

Monday, March 06, 2006

Curhat tentang Teman Sejawat dan RS

Sudah lama ingin menumpahkan kekesalan ini dalam tulisan.

Awalnya seorang teman dekat yang sudah kukenal sejak SD kelas 4 (tetangga seberang blok, teman main Street Fighter 2 di Nintendo, partner lomba cerdas tangkas P4 pas SMP, dan kakak kelas beda setahun di SMU) dinyatakan mengalami Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Pada umur yang sangat muda (belum genap 27 tahun), akibat obesitas yang diidapnya (berat badan lebih dari 100 kg dengan tinggi badan tidak mencapai 170 cm). Ia harus masuk RS dengan keluhan badan sangat melas. Sebuah RS swasta kecil di bilangan... ah, jangan disebut, nanti langsung ketahuan, dan saya bisa kena damprat.

Di suatu bakda subuh di masjid komplek rumahku, mertua temanku ini (yang kebetulan tetangga depan rumah. Artinya: pasangan suami-istri ini awalnya adalah tetangga seberang blok!) menghampiriku dan menanyakan beberapa hal tentang penyakit menantunya. Aku memutuskan untuk pergi menjenguknya.

Seperti biasa, jika menjenguk seseorang di RS, aku akan segera menghampiri ruang perawat dan meminta untuk melihat status pasien (rekam medik), untuk mengetahui riwayat penyakit pasien, diagnosis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan perkembangannya sampai saat ini. Dan tentu saja ini selalu berhasil, kadang tanpa harus menyebutkan identitasku sebagai seorang dokter.

Tapiiii... di RS ini, sebuah RS swasta kecil dengan tabung oksigen di kamar temanku yang sudah kehilangan bola indikatornya, pasiennya kebanyakan golongan menengah ke bawah (dengan biaya perawatan yang tentu saja bukan level kelas mereka, namanya juga RS swasta), dan perawat yang tidak selalu siap sedia di ruangannya, AKU TIDAK DIIJINKAN MELIHAT STATUS PASIEN!!! Alasannya: kebijakan rumah sakit.

Setahuku (sayangnya aku belum mengeceknya lagi di buku pasal-pasal) status catatan rekam medik pasien adalah hak pasien dan keluarganya, untuk dapat diakses. Artinya keluarga boleh membaca rekam mediknya. Karena berkeras melihat status pasien dengan memperkenalkan diri sebagai keluarganya (iya, keluarga satu bangsa), perawat menawarkan aku bertemu dengan dokter jaga. Tentu saja aku menerimanya. Yang penting aku dapat penjelasan mengenai si pasien.

Dipanggillah si dokter jaga. Seorang dokter perempuan berjilbab yang kutaksir umurnya tidak jauh berbeda denganku, dan tidak kukenal. Pastinya beda almamater denganku. Dia bertanya dengan detil:

"Bapak siapa?"
"Saya keluarganya."
"Keluarga apanya ya?"
"Yaa.. sebenarnya temannya. Saya tetangga Pak Widi. Boleh saya melihat status pasien?"
"Di sini kita tidak mengizinkan untuk melihat status pasien."
"Saya dokter."
"Kalau begitu seharusnya mengerti, dong."

Walaahh.. RS macam apa ini? Peraturan macam apa? Ketika menjenguk saudara iparku di sebuah RS swasta kelas menengah di bilangan Jakarta Selatan, aku diizinkan melihat status pasien, meski akhirnya tetap harus bertemu juga dengan dokter jaga. Tapi tetap saja aku boleh melihat status pasien, dan bisa berdiskusi dengannya.

Saat menengok Tanteku yang terbaring sakit di RSUD besar di Kota Bogor, hanya bermodal senyum dan kalimat, "Maaf Pak, boleh saya melihat statusnya Bu Elok?", si perawat langsung menyodorkan status pasien untuk kulihat. Tanpa bertanya-tanya apa aku dokter atau bukan, apa keperluanku dsb.

Justru inilah yang mengundang curiga: sebuah RS yang tidak mengijinkan status pasiennya dilihat, sekalipun oleh pasien atau keluarganya. Jangan-jangan si Direktur khawatir ada tindakan dokternya yang menyalahi SOP medis, dan diketahui keluarga, sehingga memudahkan untuk dituntut. Kalau memang tidak ada kejanggalan atau kesalahan, untuk apa ditutup-tutupi? Toh tujuan melihat status semata-mata untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari si pasien.

Karena tidak diijinkan melihat status, akhirnya aku bertanya-tanya saja langsung pada si dokter jaga.

"Diagnosis masuknya apa?" Kutanyakan supaya aku yakin bahwa ini adalah DM dengan komplikasi, sehingga masuk indikasi rawat inap.
"Curiga Ketoasidosis."
"Saya lihat pas jenguk tadi, Pak Widi tampak mengantuk terus. Diberi obat tidur minor tranquilizer ya?" setelah kutanyakan mengenai perkembangan gula darah hariannya, dan kebetulan aku sangat kenal dengan sang SpPD dan kecenderungannya yang sangat mungkin untuk memberikan obat jenis ini.
"Ya, dapat alprazolam." Sebenarnya yang disebutkan si dokter jaga adalah merek dagangnya. Yang jelas aku kurang setuju dengan pemberian sedatif ini, karena menyamarkan keadaan umum pasien (masking), sehingga sulit dinilai apakah ini akibat DM-nya, atau bukan. Hal ini juga bisa membuat pasien lebih lama dirawat, padahal mungkin seharusnya sudah keluar dari indikasi rawat inap.

Di akhir pembicaraan, aku meminta nomor HP si dokter jaga.
"Boleh saya meminta nomor HP-nya, Dok?"
"Untuk apa ya?"
"Kebetulan saya kerja di perusahaan tidak jauh dari sini. Banyak karyawan saya ketika jatuh sakit langsung datang dan dirawat di sini. Saya tidak punya kontak dengan dokter di sini. Seandainya saya punya, tentunya lebih enak, ketika ada karyawan saya yang dirawat."
"Maaf, langsung saja telepon ke RS kalau begitu." Tampak sekali resistensi darinya. Aku minta pendekatan personal antar satu dokter umum ke dokter umum lainnya, tapi ia tampak sangat berhati-hati. Emangnya gw mau ngapain sih? Ngajuin kasus malpraktik teman sejawat sendiri?
Okay, aku tidak berhasil menjalin persahabatan dengannya.
"O iya, minggu lalu ada anak dari karyawan saya yang dirawat di sini, kok boleh ya saya melihat statusnya?" Kebetulan sekali aku pernah berhasil melihat status pasien, ketika aku menjenguk seseorang yang dirawat di kelas 3.
"O.. itu seharusnya tidak boleh."


Well, itu sekelumit tentang RS yang membuatku amat kesal dengan pelayanannya yang tidak memuaskan. Istri temanku yang juga temanku sejak SMP dan tetangga depan rumah ini juga mengeluhkan sikap kritisnya bertanya-tanya pada perawat dan dokter spesialisnya, dan mendapat tanggapan kurang simpatik. Mungkin mereka terbiasa dengan pasien sosioekonomi menengah ke bawah yang nrimo saja. Padahal suami-istri ini adalah alumni ITB-IPB yang merasa hal biasa ketika ingin mengetahui keadaan persis kesehatannya.

Berikutnya menyangkut dokter yang merawatnya, kebetulan orang yang sudah aku, adikku, dan ayah-ibuku kenal baik, karena pernah berobat dengannya, dan pernah mendapat tutorial mahasiswa.

Untuk ini aku beristighar, astaghfirullooh a' adziim. Niatku semata-mata agar semua dokter di Indonesia memberikan layanan terbaiknya untuk kepentingan konsumen. Mampu memberikan penjelasan ketika pasien bertanya. Minimal memberitahu apa diagnosisnya, dan apa obat yang diberikan, apa tujuannya, dan bagaimana perkembangan hariannya.

Mungkin memang sudah menjadi karakter si dokter ini untuk sedikit bicara. Orangtua pasien pernah bercerita denganku, ketika ia bertanya bagaimana keadaan anaknya.
"Pokoknya tenang aja ya, Bu, kan sedang diobati."
Singkat, tanpa kejelasan.

Sampai aku berhasil membuka statusnya dan mengetahui anak perempuan berusia 13 tahun itu menderita hipertensi dan dugaan glomerulonefritis akut.

Itulah pertama kalinya aku melakukan suatu tindakan yang menurutku--jarang dilakukan dokter di Indonesia--akibat budaya feodal dan senioritas antara dokter spesialis-dokter umum, dosen-mahasiswa.

Aku mengirimi di dokter spesialis secarik surat.

Bingung dan harus berpikir agak lama ketika aku akan menggerakkan ujung pulpenku, di sebuah kertas berkop nama perusahaan tempatku berpraktik. Pasien adalah keluarga karyawan. Aku khawatir sekali kata-kataku akan terdengar kurang sopan, terhadap orang yang pernah menjadi salah seorang pengajarku. Yang jelas ia pastinya tidak ingat denganku, satu dari sekian ribu orang yang pernah menjadi mahasiswa FKUI.

Akhirnya kesimpulan isi surat itu hanyalah: agar dokter bisa menjelaskan pada keluarga pasien bagaimana perkembangan si anak saat dokter visite. Cukup sopan, bukan? Dan tujuan tercapai.

Alhamdulillah, memang ada hasilnya. Beberapa hari kemudian muncul angka-angka seluruh hasil lab yang diperlihatkan untukku, dan permintaannya untuk bertemu denganku. Namun sulit karena jadwalnya bentrok. Ia praktik, aku juga praktik. Namun bisa juga: aku pengecut! Tidak berani, atau segan bertemu dengannya. Beraninya hanya lewat surat antar teman sejawat. Kalau ketemuan langsung... gimana gitu lho junior dengan senior. Meskipun aku sama sekali tidak tertarik dengan bidang spesialisasinya, dan tidak perlu khawatir ketika mendaftar jadi residen nanti untuk harus bertemu dengannya.

Kebiasaan mengirim surat ini aku lanjutkan setelah menjenguk temanku yang mengalami DM. Kebetulan dokter yang merawatnya sama. Aku menulis pandanganku bahwa alprazolam bisa menimbulkan masking effect, dan bertanya kapan temanku ini boleh pulang. Biasa lah, diskusi ilmiah antar dokter. Sama seperti yang diajarkan pada semua mahasiswa kedokteran saat presentasi kasus. Ketika kita semua telah menjadi dokter, tentu kebiasaan ini tidak boleh berhenti, bukan? Sekalipun terhadap senior.

Memang kemudian keluarga temanku memutuskan untuk tidak memberikan suratku ini pada si dokter.

Beberapa hari kemudian terdengarlah kabar mengejutkan (sekaligus sangaat menggelikan). Bapak si pasien anak, salah seorang karyawan perusahaan tempatku bekerja, melapor padaku. Dalam konsultasi lanjutan pasca pulang dari rawat inap, karyawanku ini ditanya dokter.

"Bapak, kenapa waktu itu dokter perusahaan Bapak sampai datang kemari?" sambil menunjukkan suratku yang masih disimpannya setelah berminggu-minggu. Ia kurang suka sampai ada dokter luar datang 'mengintervensi' pasiennya. Hal yang aku tidak sepakat. Hal ini justru membuka peluang adanya second opinion dari teman sejawat lain, sesuatu yang positif. Diskusi bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan kita, jika memang ada, bukan? Tidak ada dokter yang sempurna. Tidak ada manusia sempurna. Dokter adalah profesi yang diciptakan untuk bekerja dalam tim.
"Itu dokter perusahaan saya, Pak. Dia hanya ingin tahu kondisi anak saya."

Diskusi pun berlanjut seru. Aku tidak bisa menceritakannya dalam bentuk dialog. Intinya si karyawan yang kebetulan salah seorang pimpinan dari sekian ratus pekerja ini dengan tegas menegur si dokter.
"Saya hanya ingin tahu. Sudah empat hari dirawat, kok anak saya belum ada perubahan. Harusnya Dokter introspeksi, dong."
Ia bercerita dengan semangat, bahwa so dokter sampai berkeringat mendapat teguran keras dengannya. Perawat hanya berdiri di ruangan sekian lama, menatapi perbincangan seru itu.

Mudah-mudahan saja si dokter mengintrospeksi dirinya, setelah mendapat teguran keras dari seorang pasien yang berani. Agar di lain waktu ia lebih ramah dan berempati pada pasien, mau menjelaskan apa diagnosisnya, dan semua tindakan yang dilakukan, serta perkembangan harian pasien. Bukankah dokter seperti ini akan dicintai pasien, dan pasiennya akan bertambah banyak?

Sekian dulu. Yang terpenting adalah mengintrospeksi diriku sendiri.

Semoga di masa depan komunikasi dokter-pasien jauh lebih baik. Konsumen kesehatan adalah mitra terbaik pemberi layanan jasa. Tanpa pasien, apalah artinya dokter?

Wednesday, February 01, 2006

A Day in The Life (It’s an Ordinary Day… just Like Any Other Days)

I read the news today oh boy,

about a kucky man who made the grade,

and though the news was rather sad,

well I just had to laugh,

I saw the photograph…


Woke up, fell out of bed,

dragged a comb across my head,

found my way downstairs and drank a cup,

and looking up I noticed I was late…


Potongan syair lagu The Beatles, yang menginspirasi judul di atas.


Ya… itu memang satu hari yang biasa saja dalam hidupku. Bangun pagi, belum sempat menikmati istirahat panjang setelah pulang agak larut, kemudian pagi harinya diminta menggantikan dinas teman sejawat. Untungnya tidak perlu waktu lama untuk menerobos Pasar Ciputat yang belum begitu macet. Kadang stres juga menyetir sendirian melewati jalanan ini.


Hari bergulir agak siang. Seorang ibu berumur 38 tahun masuk ruang periksa. Senyum kecil merekah di wajahnya yang terbalut kerudung. Ia mengenaliku, begitupun sebaliknya. Berarti dalam satu kunjungan, aku yang memeriksanya, mungkin. Kupastikan melalui layar monitor mencari namaku dalam kunjungan terdahulu.


Ada keluhan apa, Bu?” kata-kata sakti pembuka anamnesis* terucap.

Kepalanya sakit. Kuminta perawat untuk memeriksa tekanan darahnya: 110/70. Normal. Kubaca catatan rekam mediknya di komputer: tidak ada riwayat hipertensi. Apakah ibu pakai kacamata, tanyaku. Tidak, jawabnya.

Mungkin saya masih sedih setelah anak laki-laki saya meninggal,” ujarnya. Ekspresi wajahnya mulai berubah. Tampak beberapa tahun lebih tua.

O, ya?” nada bertanya yang kadang terdengar agak melecehkan.

Iya, Dok, yang meninggal di LKC tiga bulan yang lalu.”

Aku berpikir keras, berusaha mengingat-ingat. Kutunjukkan ekspresi wajah seolah-olah aku ingat, padahal tidak. Siapa ya? Aku familiar sekali dengan wajah sang ibu. Tapi… sudahlah.

Sekarang anaknya yang ada berapa?”

Dua. Laki-laki semua.”

Tuh, alhamdulillah masih ada dua, laki semua pula,” maksudku untuk menghiburnya.

Kuberi saran bahwa keluhan nyeri kepalanya adalah akibat stres pikiran, dan untuk meredakannya adalah dengan menenangkan pikirannya yang masih bersedih, sambil menyerahkan kertas resep berisi obat pereda nyeri yang diminum jika perlu saja. Yee… itu sih semua orang juga tahu, batinku.


Aku bermaksud memanggil pasien berikutnya. Catatan rekam mediknya belum terdokumentasi dalam sistem jaringan komputer, masih tertulis di kertas status pasien biasa.

Suami saya, Dok. Dia sakit kepala, tapi tidak bisa datang,” ibu di hadapanku otomatis menyahut, seolah-olah tahu aku akan memanggil nama suaminya.

Aku agak kecewa, karena ada riwayat hipertensi tertulis di rekam mediknya. Seharusnya ia datang untuk memeriksakan tekanan darahnya. Bisa saja nyerinya berhubungan dengan tekanan darahnya.

Dia sakit sekali, sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Saya nggak bisa membawanya. Boleh minta obatnya kan, Dok?” si Ibu memohon.

Sebenarnya aku tidak setuju. Menurutku jika hanya sekedar sakit kepala, setelah minum obat pereda nyeri, ia pasti dapat memaksakan diri untuk datang ke LKC.

Ongkosnya mahal, Dok,” lagi-lagi si Ibu mampu menebak isi kepalaku. “Dari rumah ke sini naik angkot Rp 2500. Pulang-pergi Rp 5000. Belum ongkos ojeknya. Dari rumah ke luar harus naik ojek, karena agak jauh.”

Aku kembali tertegun. Ini hal yang biasa, sebenarnya. Banyak orang yang sakit (bukan sekdar batuk-pilek, atau nyeri kepala biasa) dan harus memeriksakan diri ke Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya, namun dengan alasan tidak punya ongkos, mereka datang dalam keadaan penyakit lanjut.

Kasihan, Dok. Bapaknya sakit. Siapa yang cari uang dalam keadaan seperti ini. Cobaan apa lagi yang saya terima ini…” Bulir-bulir air mata mengalir turun dari kedua kelopak matanya. Suaranya bergetar.


Duh… jangan sampai ibu ini menyesali nasibnya. Hidup dalam kemiskinan, ditinggal mati anak laki-laki tertuanya, plus kepala keluarga yang tidak produktif dalam mencari nafkah akibat sakit.

Jangan nangis ya, Bu. Sabar ya, Bu. Kutunjukkan empatiku padanya. Banyak orang yang sama susahnya dengan ibu, batinku. Ibu tidak sendirian. Malah ada yang lebih susah dari ibu. Tentu saja ini tidak kuucapkan. Kuakhiri dialog dengan memberikan resep juga untuk suaminya.


Hari yang biasa bagiku di sini. Berhadapan dengan kaum dhu’afa dengan segala persoalan hidupnya. Mungkin sebuah acara di Trans TV yang judulnya menurutku amat berkesan tidak mensyukuri nikmat akan berucap: “Kejamnya Dunia”.


Tidak sampai selang sejam, seorang ibu berusia awal tiga puluhan masuk menggendong seorang bayi, dan anak perempuan berumur empat tahun berjalan lincah di sisinya.

Pemandangannya tidak biasa. Si bayi tergeletak lemah dengan selang tipis menjulur keluar dari salah satu sisi lubang hidungnya. Namanya naso gastric tube (NGT) atau “pipa” hidung-lambung, sebuah selang elastis yang dimasukkan dari lubang hidung terus mencapai lambung. Fungsi utamanya untuk memasukkan makanan cair atau obat pada pasien yang kesadarannya menurun, dapat juga menguji adanya perdarahan atau zat racun dalam saluran cerna dan “membilasnya”.

Aku membaca catatan rekam medik, yang terakhir menunjukkan “datang untuk mengganti NGT”. Ternyata balita yang sudah berumur 14 bulan ini didiagnosis oleh dokter anak “mengalami” ensefalitis (aku tidak boleh menuliskan “menderita”, karena akan dimarahi jika ketahuan seorang dosen Ilmu kedokteran komunitas masa kuliah dulu), suatu peradangan dalam jaringan otak, dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau penyebab lainnya. Tidak ditulis dalam statusnya. Yang jelas kesadarannya tidak membaik sampai saat ini, sehingga si anak tidak mampu menerima respon dari lingkungan luar, sekalipun untuk refleks sederhana seperti menelan makanan atau minum melalui mulutnya. Itu alasan NGT senantiasa terpasang, dan diganti setiap dua minggu sekali, menghindari kolonisasi bakteri penyebab penyakit dalam selangnya.

Jujur saja, aku yang sudah terbiasa melihat pasien sakit berat, masih merasa kasihan melihatnya. Kuminta ia bergeser ke meja tindakan, dengan bantuan seorang perawat, selang hidung-lambungnya diganti dengan yang baru. Si anak menangis karena merasa tidak nyaman. Refleks nyerinya masih bekerja dengan baik. Agak sulit juga memasang NGT pada batita yang kesadarannya sukar diuji. Kekhawatiran terbesar adalah selang salah masuk ke batang paru-parunya, dan mampu menyebabkan kekurangan oksigen berujung pada kematian. Tetapi ada prosedur yang dapat mencegah kesalahan ini.

Anaknya masih belum bisa apa-apa ya, Bu?” tatapku pada si ibu yang tingginya kira-kira sepuluh sentimeter lebih rendah. “Maksudnya jika dimasukkan makan ke dalam mulutnya, ia akan mengecap-ngecap merasakan ada sesuatu.”

Kadang-kadang bisa,” jawabnya singkat sambil menunduk, terus menatap anaknya. Melihat ukuran sang anak, lebih kecil dari batita seusianya.

Dapatnya susu apa, Bu?”

LLM,” lagi-lagi masih menundukkan kepalanya, tidak menatapku.

Ibu tolong lihat saya dong, kok nunduk terus,” ucapku halus. Maksudku ingin menangkap perasaan si ibu secara penuh. Jika dia mengalami suatu masalah dengan si anak, keluarkanlah semuanya saat ini juga. Aku ingin menangani semua kasus yang kuhadapi secara menyeluruh. Apakah ibu ini memang pemalu.


Ternyata si anak pernah dirawat sampai satu bulan di sebuah RS swasta dan pemerintah. Tidak ada perkembangan yang berarti selama perawatan, hanya saja kesadarannya sedikit lebih membaik. Ia boleh dibawa pulang dengan NGT senantiasa terpasang untuk memastikan asupan makanan terus masuk. Berat badannya hanya 5,6 kg dengan umur 1 tahun 2 bulan. Gizi buruk tentunya.

Aku penasaran dan memeriksa beberapa refleks lainnya. Kuarahkan lampu senter menyorot kedua bola matanya secara bergantian. Negatif. Tidak ada refleks cahaya sama sekali. Pupilnya tidak mengecil. Kemungkinan besar si anak juga mengalami kebutaan.

Bu, anaknya bisa mendengar suara ibu, tidak? Misalnya kalau dipanggil ia akan merespon.” Aku tidak langsung menyampaikan hasil pemeriksaanku barusan, melainkan mengajukan pertanyaan lain.

Sang ibu—masih menundukkan kepalanya—tampak ragu-ragu. “Kadang-kadang bisa,” jawabnya. Ia tampaknya ingin menanyakan maksud pertanyaanku.

Bu, sepertinya anaknya juga tidak bisa melihat. Barusan saya tes pakai cahaya, tidak ada responnya.”

Deg, kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulutku. Sudah menjadi kebiasaanku menyampaikan keadaan pasien sejelas mungkin pada dirinya atau keluarganya, tentu dengan cara sehalus mungkin, melihat situasi dan kondisi. Aku berasumsi si ibu sudah tahu keadaan anaknya sejak dirawat sebulan lamanya dari dokter-dokter spesialis anaknya, termasuk kemungkinan buta dan tulinya. Seharusnya dokter yang dulu merawat sudah menyampaikannya.


Bener, Dok?” suaranya bergetar. Kali ini menatapku. Matanya merah, seolah-olah mulai meleleh, dan mengalirlah air matanya. Hidungnya pun memerah. Ia kembali menunduk, dan mengeratkan dekapannya pada si anak. Seolah-olah sang anak akan pergi meninggalkannya.


Oh, tidak, lagi-lagi aku membuat dua orang menangis hari ini. My fault, yes, it’s my fault. But she should’ve known this from her paediatricians. How come they didn’t tell her before? Or maybe she has already known, but my statement emphasized her worriness. Her belief for so long, that her daughter would be just fine.


Sudahlah, sekalian saja kusampaikan semuanya.

Bu, dulu kata dokter anaknya, dia dapat pulih seperti sediakala tidak?”

Saya nggak nanya,” jawabnya.

Iya, Bu, kalau menurut saya, sepertinya akan sangat sulit untuk kembali pulih seperti anak-anak sehat lainnya,” jelasku jujur. Ia harus tahu sejak saat ini, daripada kesedihan berlarut di kemudian hari. “Tapi lebih pastinya, ibu konsultasi saja dengan dokter spesialis anaknya,” seraya kubuatkan lembar konsultasi bagi relawan dokter spesialis anak di sini, “ini saya buatkan pengantarnya. Yang penting untuk saat ini, dia mendapatkan makanan cukup, dijaga kesehatannya jangan sampai sakit. Perkiraan saya tadi belum tentu benar, lho. Anak-anak ibu yang lain tidak ada yang mengalami sakit seperti ini kan?”

Ternyata tidak ada riwayat penyakit serupa pada kakak-kakaknya. Balita dengan ensefalitis (aku kurang yakin juga dengan diagnosisnya) ini adalah anak ketiga, dengan dua anak pertama yang sehat-sehat.


Selanjutnya si anak dipindahkan ke meja konsultasi gizi, mengingat adanya penyerta gizi buruk, yang perlu mendapatkan penanganan tersendiri. Dari anamnesis dengan ibu ahli gizi kami, diketahui bahwa suaminya adalah sopir pribadi. Selama ini susu masih mampu terbeli dari penghasilan suaminya.


Bandingkan saja dengan pasien berikutnya hari itu. Seorang ibu yang mengeluh panas-dingin sehabis kehujanan, ketika sedang mencari kayu. Ya, mencari kayu bakar. Ia bekerja sebagai seorang pencari kayu bakar. Inilah member LKC, dengan segala kedhu’afan yang dimilikinya. Wajar saja ia diterima sebagai anggota dan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis 100% jika sakit (ongkos transportasi ke rumah tidak ditanggung).


Menjelang waktu dzuhur, seorang bayi lain datang dengan sumbing bibir dan langit-langit (labiopalatoschizis). Ia member baru, belum pernah memeriksakan diri sebelumnya ke LKC. Apa lagi maksud kedatangannya selain meminta bantuan untuk operasi bibir sumbing gratis.


Bayi berusia 7 bulan ini mempunyai berat badan bagus, bahkan cenderung agak obese. Anaknya pun sangat ceria, dan kooperatif saat diperiksa. Aku menjelaskan untuk operasi, dokter bedah plastik di sini mensyaratkan berat badan minimal 10 kg. Artinya kurang empat kilogram lagi untuk si kecil. Masalah yang ada sekarang adalah: si bayi menghabiskan cukup banyak susu bubuk SGM 2. Satu kotak bisa ludes dalam dua hari saja. Penghasilan si ayah berbadan lebih tinggi dan lebih besar dariku yang berprofesi sebagai satpam di sebuah yayasan Islam terkemuka di Jakarta Selatan sebesar Rp 300 per bulan tidak mampu menanaggungnya (ini kalimat majemuk banget ya, tidak mengikuti kaidah ekonomi kata!). Dengan berat hati aku menyampaikan bahwa LKC tidak mampu menanggung semua biaya member, misalnya dalam pengusahaan susu. Kasus yang lebih umum, jika tidak ada ASKES GAKIN dan SKTM, LKC tidak akan mampu membiayai operasi seluruh member-nya di RS rujukan. Sayang sekali dulu si ibu yang sempat mampu memerah susunya untuk ditampung dalam botol dengan dot khusus ini sudah ‘kering’ ASI-nya. Padahal menurutku, ASI yang berdasarkan pada prinsip ‘on-demand’ ini tidak akan kering selama ibu rajin memerah dengan teknik yang benar, sepenuh hati. Ya, bandingkan saja dengan gaji si ayah yang habis untuk membelikan susu salah satu anaknya, dari empat anak yang dimilikinya.


There are times I find it hard to sleep at night
We are living through such troubled times
And every
child that reaches out for someone to hold
For one moment they become my own


And how can I pretend that I don't know what's going on?
When every second, and every minute another soul is gone?
And I believe that in my life I will see (oh yea) an end to hopelessness, of giving up, of suffering


If we all stand together this one time
Then no one wil be left behind
Stand up for life
Stand up and hear me sing
Stand up for love


Aku cukup terkesan dengan lagu hits yang dinyanyikan Destiny’s Child ini. Pertama kali melihat klip videonya sebagai lagu tema “Peduli Kasih Indosiar”. Setiap menyaksikan di TV, atau mendengar lantunan syair dan iramanya di radio dalam mobil, aku terbayang pada pasien-pasien kecilku di LKC yang bernasib kurang-lebih sama dengan mereka yang ditayangkan dalam video tema.


Yeah… if we all stand up together for love, then no one will be left behind. I’ve passed so many ordinary days with hopeless and suffered people, so that I’m afraid I’ll lose my empathy, and judge those as ordinary things not to be worried. Too many poor people in this country. Too many hopelessness and suffering around me. But the deepest side of my heart isn’t dead already.


It’s just a day in the life. And I’ll still go through these days. With love and care to others. Hopefully.


Menulis dalam mood sehabis bertemu lagi dengan kasus bayi dengan bibir sumbing yang menderita bronkopneumonia berulang, kemarin lusa. Menyaksikan ekspresi kesedihan dari sang ibu, serta kasih sayang tulus dari sang ayah mengajak komunikasi anaknya yang cacat, memberikan perasaan syukur atas nikmat Alloh yang luar biasa.


There are places I remember, all my life

Though some have changed

Some forever not for better

Some have gone, and some remain…


Though I know I’ll never lose affection

For people and things that went before

I know I’ll often stop and think about them

In My Life.. I Love Them All (The Beatles).


*dialog antara dokter dengan pasien untuk mengeksplorasi keluhan dan mencapai suatu kesimpulan diagnosis

Sunday, January 22, 2006

Complications: A Surgeon's Notes on an Imperfect Science by Atul Gawande

This is the BEST non-fiction book I've ever read!!

Inilah buku yang menjelaskan sisi-sisi manusiawi kehidupan seorang dokter (ya.. Dokter juga Manusia :-) Bahwa dokter adalah manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan, segala keterampilan yang Dokter peroleh adalah melalui pengulangan yang membutuhkan jam terbang, dan 'lahan berlatih' seorang dokter adalah Manusia juga! Inilah yang membedakan profesi dokter dari lainnya. Namun tidak berarti buku yang ditulis oleh seorang dokter ini lantas membenarkan tindakan malpraktik. Enaknya, aku akan mulai mengutip beberapa isi buku yang sangat menarik ini.

Atul Gawande adalah seorang dokter bedah umum (general surgeon) berkebangsaan Amrik, juga seorang penulis di majalah kenamaan "The New Yorker". Jika sempat membuka situs majalah internet Slate.Com, Anda juga akan menemukan beberapa tulisannya. Berbekal pengalaman sehari-harinya, khususnya pada masa-masa residensi (sekolah spesialisasi), ia banyak memaparkan ilustrasi dari kasus-kasus bedah.

Membaca Pendahuluan-nya saja, Anda akan langsung tertarik untuk tidak menghentikan membaca buku ini. Penulis memulai cerita dengan satu kasus bedah yang ia dapatkan di masa residensinya. Dan ia menulis, "Aku sadar, ilmu kedokteran merupakan sesuatu yang aneh yang kadang merisaukan. Taruhannya begitu tinggi, kewenangan yang diambil begitu besar. Kami cekoki orang dengan obat, kami masukkan jarum dan slang ke tubuh mereka, kami kutak-katik mereka secara fisik, biologis, dan kimiawi, kami buat mereka berbaring tak sadar, lalu membukakan tubuhnya untuk dilihat semua orang.... maka akan tampak betapa kacau, tak pasti, dan juga mencengangkannya ilmu kedokteran itu."

Dan Atul Gawande meneruskannya dengan ilutrasi kasus seorang anak dengan massa tumor di daerah dada yang membuatnya sesak napas, dan para dokter menghadapi dilema pilihan tindakan apa yang akan dikerjakannya. Ya: DILEMA. Suatu hal yang jamak dalam dunia mayoritas abu-abu ini (bukan hitam-putih).

Bagian 1 buku ini (judul besarnya: "Kekhilafian") menggambarkan betapa mudah seorang dokter berbuat salah, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, tak lupa kisah nyata yang bisa diambil pelajarannya.

Dr Atul Gawande menceritakan pengalaman pertamanya memasang infus vena sentral pada seorang pasien, mulai dari tidak bisa menemukan bagian ini, sampai ia menjadi demikian mahir dan harus mengajarkan pada orang lain. Ia menulis: "ada yang berbeda di kedokteran: orang berlatih dengan manusia!" Bagi Anda yang kebetulan pernah menjalani masa-masa pendidikan kedokteran, pastinya kadang Anda akan tersenyum sendiri, mengingat-ingat pengalaman pertama mengerjakan suatu tindakan pada pasien, atau bagaimana teknik berbicara dengan mereka.

Pernahkah Anda berobat ke sebuah RS, dan harus menghadapi kenyataan yang melayani Anda adalah seorang ko ass (mahasiswa kedokteran), atau seorang residen (bukannya dang dokter spesialis senior)? Betapa kecewanya Anda. Sudah membayar mahal untuk sebuah layanan kesehatan bermutu, dihadapkan pada sebuah tindakan 'eksperimental'. Apa-apaan ini?

Lagi-lagi Dr Gawande memberikan argumentasinya yang sangat tajam: "Inilah kenyataan yang tidak enak tentang pengajaran... hak pasien untuk mendapatkan layanan yang terbaik harus diutamakan di atas tujuan mendidik para calon ahli. Kita menginginkan layanan yang sempurna tanpa latihan. Tetapi, setiap orang akan menghadapi bahaya bila tak ada seorang pun dilatih untuk jadi ahli di masa depan. Maka, pembelajaran berlangsung secara sembunyi-sembunyi,..."

Masih banyak argumen telak lain yang disampaikan Dokter Spesialis Bedah sekaligus peneliti di Brigham Women Hospital ini. Namun tidak berarti isi buku ini melulu 'membela' dokter. Dr Gawande juga memaparkan kisah beberapa sejawatnya yang tidak boleh ditolerir kesalahannya. Dalam hal ini, pembaca akan melihat dalam proses penulisan buku, Atul Gawande mengadakan interaksi langsung dengan tokoh-tokoh yang disebutkannya, dan mengadakan pembicaraan intim dengan mereka.

Penulis juga memaparkan mengenai malpraktik. Ia punya argumentasi menarik akan dampak tuntutan malpraktik: "Masalah yang lebih berat tentang tuntutan malpraktik adalah bahwa dengan memerkarakan kesalahan ini, para dokter menjadi enggan membuka diri kepada publik. Sistem yang menyimpang ini membuat pasien dan dokter berada pada sisi yang berlawanan, dan mendorong kedua pihak untuk mengajukan pandangan yang semakin saling menjauh tentang suatu kejadian. Dengan demikian, bila terjadi sesuatu yang buruk, hampir mustahil dokter akan bicara kepada pasien dengan jujur tentang kesalahannya."

Buku ini juga menyimpulkan penulis seorang dokter yang cerdas dan banyak membaca. Banyak sekali kutipan dari jurnal-jurnal kedokteran bergengsi, dipaparkan dengan bahasa yang memudahkan semua orang memahaminya. Referensinya sangat kuat dan mampu membuat hubungan antara satu sumber dengan sumber lainnya dalam membahas sesuatu. Tidak sedikit hal baru yang aku dapatkan setelah membaca buku ini. Misalnya teknik kolesistektomi (tidak penting bagi seorang dokter (umum) untuk mengetahui teknik ini, lagipula aku tidak pernah ikut operasinya di masa ko asistensi dulu), ilmu terkini mengenai nyeri (pain), rasa mual (nausea), wajah merona (blushing), dan operasi pintas lambung (mungkin teknik ini sampai sekarang belum dilakukan di Indonesia). Beberapa yang kusebutkan terakhir terdapat di Bagian 2: Misteri. Di sini penulis menjelaskan beberapa hal yang sampai saat ini masih menjadi misteri dalam ilmu kedokteran, namun upaya mengatasinya dan penelitiannya masih terus berlangsung. Inilah kehebatan ilmu pengetahuan yang tak pernah berhenti mencari dan mencari. Dan kita akan dihadapkan dengan susunan kalimat yang sangat enak dibaca, menceritakan keterbatasan dokter dalam mengatasi misteri-misteri ini. Pembaca pun akan menjadi maklum dengan keterbatasan dokter, sekaligus menghargai upaya mereka.

Bagian ketiga (terakhir) berjudul: Ketidakpastian. Pembaca akan mendapatkan kisah sesungguhnya akan autopsi mayat (membuatku ingin menuliskan blog tentang autopsi di Indonesia), pilihan akan suatu tindakan yang diserahkan pada pasien (baca: informed consent--maksudnya pasien diberikan penjelasan akan suatu tindakan medis yang akan dilakukan, dan setelah pasien paham, ia punya kebebasan untuk menerima atau menolaknya), dan kasus fasiitis nekrotikans yang tidak pernah terlintas di pikiranku (sebagai diagnosis banding selulitis). Dan membuatku ingin membaca bukunya Jay Katz: "The Silent World of Doctor and Patient" (kalau pasien berhadapan denganku, mereka akan menemukan dokter yang sama sekali tidak silent, alias cerewet! Hehehe

Inilah bagian penutup yang cantik. Betapa penulis sangat piawai dalam menentukan urutan-urutan isi bukunya. Bagian ini membuatku--sebagai seorang dokter--berpikir, bahwa di jaman perlindungan hak konsumen, mudahnya tuntutan malpraktik, tidak sedikitnya dokter yang belum memahami pentingnya komunikasi dengan pasien, serta pasien yang diberi kebebasan untuk memilih, Dokter tetap punya hak untuk 'memaksa' pasien, memilihkan tindakan yang terbaik baginya, pada kasus-kasus yang sangat dilematis dan dapat mengancam hidup pasien, meskipun pasien mempunyai pilihan yang lain.

Masih banyak hal menarik lain yang bisa diungkapkan, namun tidak akan utuh jika tidak membaca langsung buku ini dari awal sampai akhir.

Image hosting by Photobucket

Bahasa yang digunakan dalam buku ini sangat indah. Pilihan katanya baik, enak dibaca, mudah dipahami, meskipun harus menjelaskan permasalahan dalam kedokteran yang mengandung banyak istilah asing. Tampak sekali Dr. Gawande adalah seorang penulis piawai. Meskipun buku yang kubaca ini adalah edisi terjemahan berjudul: "Komplikasi, Drama di Ujung Pisau Bedah: Sebuah Catatan tentang Ilmu yang tak Sempurna", terbitan Penerbit Serambi (www.serambi.co.id).

Sebuah buku terjemahan yang enak dibaca memang tak lepas dari kemahiran penerjemahnya, ialah dr. Zunilda Sadikin Bustami, MS, SpFK, dosen Farmakologi-ku di FKUI.

Tidak sabar rasanya menunggu Atul Gawande menuliskan buku lanjutannya (meskipun ini bukan buku yang dirancang berseri). Atau kapan akan terbit buku serupa yang relevan dengan kondisi Indonesia. Ada yang mau mulai menulisnya?

PS: Penerbit sama sekali tidak membayarku untuk menulis resensi ini

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...