Wednesday, October 29, 2008

Doctor to The Poor (Part one)

Apa yang Dokter Bisa Lakukan dalam Menangani Masalah Kemiskinan: Sebuah Pengalaman Pribadi (bagian 1)

Bagi Anda yang membaca posting saya sebelumnya, pasti bisa menebak bahwa tulisan ini terinspirasi dari buku "Banker to The Poor"-nya Prof. Muhammad Yunus. Anda tidak salah. Buku ini sangat inspiratif bagi saya. Untuk itu, saya ingin berbagi pengalaman saya yang baru menjalani profesi dokter selama empat tahun ini, yang sekiranya relevan dengan ide-ide Muhammad Yunus.

Saya sangat bersyukur dengan pengalaman profesi saya yang sebenarnya masih sangat sedikit ini. Lulus dari fakultas kedokteran empat tahun silam, saya belum memiliki rencana spesifik, akan menjadi dokter seperti apa saya. Beberapa jenis pekerjaan telah saya coba: menerima tawaran untuk melamar sebagai dokter di sebuah perusahaan asuransi, menjadi dokter jaga di klinik 24 jam, namun hanya bertahan tidak lebih dari 48 jam, dan selebihnya ditawari kakak-kakak kelas. Pekerjaan yang cukup lama bertahan adalah menjadi dokter pemeriksa di sebuah perusahaan taksi dan dokter jaga di Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), klinik khusus untuk dhu'afa. Dua pekerjaan ini membiasakan saya berinteraksi dengan pasien yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dua tempat ini juga mengasah kemampuan saya berinteraksi dengan pasien, membuat pola dan teknik komunikasi yang khas dan individual antara dokter-pasien, dan mendapatkan penghasilan tetap tentunya. Cerita-cerita berkesan tentang dua tempat ini ada di arsip blog.

Tak lama setelah lulus, saya juga bertemu kembali dengan guru saya di fakultas kedokteran. Interaksi dengan beliau mengharuskan saya melatih diri memberikan banyak ceramah kesehatan bagi masyarakat non medis. Tidak sampai satu tahun berselang, saya dan istri menggali pengalaman baru sebagai dokter dan dokter gigi program tidak tetap (PTT) di propinsi Jambi. Hanya enam bulan, cukup singkat memang. Kini, empat tahun pasca lulus dari FK, saya kembali menjalani pendidikan sebagai peserta program pendidikan dokter spesialis anak di almamater S1.

Komentar pertama saya lahir dari pengalaman bekerja di LKC. Buat saya, lembaga ini tidak sekedar memberikan dana berobat bagi masyarakat dhu'afa yang butuh pengobatan namun tidak punya uang, tetapi juga berusaha memberdayakan mereka, lepas dari segala kekurangan sistem yang ada. Penjaringan anggota dilakukan dari survei tim LKC langsung ke rumah-rumah mereka yang mengajukan keanggotaan. Segera setelah disetujui, anggota memiliki hak untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis, sama sekali tidak dipungut biaya, dengan mendatangi LKC. Dari berbagai penjuru Jabodetabek, bahkan beberapa dari luar wilayah ini, termasuk luar Jawa, kaum dhu'afa datang untuk mendapatkan layanan kesehatan umum, gigi, kebidanan dan kandungan, pemeriksaan laboratorium dan radiologi, serta obat langsung dari apotek LKC. Tak dapat dipungkiri, kesannya memang dominan kuratif: kalau sakit ya baru datang untuk berobat. Beberapa yang harus dirujuk ke RS, misalnya harus mendapatkan kemoterapi, dilakukan operasi besar hingga amputasi sekalipun, dan konsultasi ke subspesialis, diantarkan langsung menggunakan ambulans LKC, dan diurusi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)-nya. Setidaknya LKC membantu mengadvokasi masyarakat untuk mendapatkan SKTM/JAMKESMAS dari pemerintah ini. Untuk menghindari kesan kuratif, LKC juga memiliki banyak program di bidang promotof/preventif. Lembaga ini memiliki banyak desa binaan dan memberikan supervisi bagi pos-pos kesehatan mandiri yang memiliki dana untuk memberdayakan masyarakat setempat di bidang kesehatan, misalnya dalam hal revitalisasi Posyandu, membentuk kader-kader pemberantas tuberkulosis (TB), dan penanganan gizi buruk. Inilah beberapa kegiatan yang saya tahu hingga saya meninggalkan LKC 1,5 tahun silam. Saya bercerita di sini berdasarkan pengalaman pribadi, tidak mewakili lembaga.

Pelajaran berharga yang ingin saya bagi adalah: kekuatan dana zakat-infak-sodaqoh yang dikelola secara amanah dan profesional, ternyata dengan cukup efisien mampu memberikan kontribusi menyehatkan masyarakat miskin secara optimal. Dana tidak sekedar digunakan untuk membiayai pengobatan orang sakit, tapi juga memberdayakan mereka saat sehat, sebelum jatuh sakit. Lembaga-lembaga seperti LKC sebenarnya sudah lahir di banyak tempat saat ini. Namun yang memiliki jam terbang dan diversifikasi program seperti LKC belum banyak.

Bertolak dari sini, ada beberapa hal yang menurut saya bisa dokter lakukan untuk membantu masyarakat miskin di bidang kesehatan:

1. Memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat non medis, misalnya penyuluhan kesehatan.
Saya dan istri memahami, penghasilan keluarga tidak dapat digantungkan semata dari menjalankan profesi medis ini. Kami bukanlah tipe orang yang "ngoyo", berusaha mendapatkan semaksimal mungkin dari praktik dokter-dokter gigi saja. Orangtua kami telah mengamanahkan anak-anaknya menjadi profesional medis untuk dapat membantu orang lain. Konsekuensinya: berprofesi harus seimbang dunia-akhirat. Tiap pasien harus dilayani dengan baik: tidak hanya diobati penyakitnya, tetapi diberikan pencerdasan agar ketika menghadapi kondisi penyakit serupa, bisa menangani terlebih dahulu sendiri di rumah. Pasien diberitahu kapan harus ke dokter. Kalau memang tidak perlu ke dokter, ya tidak perlu ke dokter. Rugi dong dokternya? Insya Alloh tidak. Kadang saya geli juga dengan istri saya. Ia demikian semangatnya menjelaskan bahwa sikat gigi itu penting, menunjukkan dengan model gigi bagaimana cara menyikat gigi, dan bahwa gigi pasiennya tidak perlu dicabut, tapi bisa dirawat dulu. Tapi si pasien sudah tidak sabar ingin giginya dicabut, dan tampak bosan dengan penyuluhan istri saya. Tidak mudah memang mengubah pola pikir masyarakat yang ingin datang ke dokter, dapat obat, terus sembuh. Kalau dokternya tidak manjur, ya pindah ke dokter lain. Kalau tidak dapat obat, tidak bakalan sembuh.

Saking tertariknya dengan urusan suluh-menyuluh, istri saya pernah merancang program yang ia namakan "Dana Sehat", yaitu warga RT/RW mengumpulkan iuran Rp 3.000 per kepala keluarga per bulan, dan dananya diolah untuk diwujudkan menjadi buletin kesehatan dan pemeriksaan-pemeriksaan preventif kesehatan lainnya dengan harga sangat murah. Niatnya menciptakan masyarakat yang sehat. Puskesmas setempat yang seharusnya banyak menjalankan program preventif-promotif ini tidak banyak berperan. Puskesmas nyatanya lebih tendensius di bidang kuratif: mengobati yang sakit. Namun para petinggi masyarakat di lingkungan rumah kami kurang menanggapinya. Ini tantangan sesungguhnya. Kami hanya single fighter. Perjalanan untuk mewujudkan cita-cita kami masih panjang.

Belum lagi program lain istri saya dengan semangatnya yang tak pernah padam: Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) Mandiri. Yaitu menawarkan ke sekolah-sekolah yang ada satu paket perawatan gigi lengkap dengan biaya wajar, dengan menitikberatkan pada upaya promotif-preventif. Tidak berbeda dengan UKGS yang diadakan Puskesmas. Namun karena terbatasnya cakupan Puskesmas ke sekolah swasta, upaya ini harus dilakukan. Rencana ini timbul dengan pengalaman istri saya menjalankan UKGS bermodalkan poster pemberian di hampir semua SD di kawasan transmigrasi pelosok Kabupaten Muara Jambi saat PTT. Ketika Puskesmas kebanyakan hanya memberikan penyuluhan saja untuk menggugurkan kewajiban dari Dinas Kesehatan Kabupaten, dan dianggap telah menjalankan program, istri saya memberikan bonus bagi seluruh sekolah: pemeriksaan gigi gratis plus pencabutan gigi susu, dan sikat gigi massal. Petugas Puskesmas lain agak sulit mengikuti istri saya yang terlalu rajin ini. Hehe.

Bagaimana cara lain meningkatkan penghasilan keluarga, jika tidak dapat mengandalkan income dari praktik kedokteran? Investasi di bidang ekonomi lainnya. Yang penting halal dan sesuai syari'ah. Lagi-lagi motornya istri saya, yang menggemari investasi sejak mahasiswa. Sampai sekarang ia masih berjualan pulsa elektrik sebagai hobi dan memudahkan kami mengisi ulang pulsa. Ia juga menjalankan usaha makanan franchise bermodal kecil selama setahunan ini. Kami juga sedang menggemari Aidil Akbar dan Perfect Number-nya. Saat ini, semangat yang ada adalah mencari ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di bidang investasi. Bukankah sembilan dari sepuluh sahabat Rasululluah saw yang dijamin masuk surga adalah pedagang? Mengapa umat Islam dari profesi manapun kemudian tidak berani berdagang? Dengan tidak mengabaikan kode etik profesi tentunya: tidak menjalin kolusi dengan farmasi, tidak membohongi pasien dengan diagnosis tidak jelas (kalau tidak tahu atau tidak yakin, ya bilang saja tidak tahu, tapi berjanji untuk mencarikan jawabannya), dan berani tidak melubangi kantong pasien dengan resep obat yang tidak perlu.

2. Menanamkan pemahaman pola penggunaan obat yang rasional, yaitu menghindari praktik polifarmasi (meresepkan lebih dari dua obat, yang sebenarnya tidak perlu) dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Polifarmasi berdampak pada kemungkinan interaksi obat yang berpotensi membahayakan tubuh, padahal seringkali dokter tidak memahami interaksi obat-obatan yang diresepkannya. Mereka hanya mengikuti resep turun-temurun dari para pendahulunya: puyer/kapsul campur untuk diare, puyer untuk batu-pilek, kapsul campur untuk demam, dsb. Apoteker lalu tidak meneliti lebih jauh kemungkinan interaksi yang dapat terjadi, dan asisten apoteker lalu meraciknya mengikuti instruksi. Dampak lain tentunya pada biaya obat yang mahal. Bayangkan saja jika resep yang mahal ini diresepkan ke pasien-pasien kurang mampu, karena dokter kurang pede untuk meresepkan seminimal mungkin obat, khawatir obatnya tidak cespleng dan pasiennya tidak lekas sembuh, apalgi kabur ke dokter lain. Biaya pengobatan mahal ini lebih berguna ditabung untuk pendidikan anak-anaknya atau membeli bahan pangan bergizi tinggi.

Pun dengan antibiotika. Jangan ragu untuk tidak meresepkan antibiotika sama sekali, kalau penyakitnya akibat infeksi virus, atau pilihlah antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin sesuai panduan (guidelines) penyakitnya. Kekurangpercayadirian dokter membuat mudahnya mereka meresepkan antibiotika spektrum luas sebagai pilihan pertama. Lagi-lagi dampak negatifnya akan sama seperti paragraf di atas, baik bagi pasien miskin ataupun kaya.
Dalam satu sesi ceramah di sebuah universitas di tepi Jakarta, mendampingi pembicara dari Kanada, sehingga saya harus berbicara dalam dua bahasa, seorang panelis bertanya, apakah saya hanya akan jadi pahlawan kesiangan, memaparkan fakta polifarmasi dan penggunaan antibiotika yang berlebihan, sedangkan saya berdiri sebagai pembicara seolah-olah hanya menampilkan masalah, tanpa melakukan sesuatu untuk mengatasinya? Saya terkejut sekaligus geli dengan pertanyaan spontan dosen bertitel pascasarjana itu. Satu-dua orang dokter yang berusaha bersikap idealis, tidak melakukan praktik polifarmasi dan meresepkan antibiotika dengan hati-hati, mungkin tidak akan membuat perbaikan bermakna. Untuk itu perlu adanya ajakan dari satu dokter ke dokter lain, yang diharapkan terus bergulir seperti bola salju, hingga akhirnya semakin banyak dokter akan memiliki kesadaran dan pemahaman untuk bersikap rasional dalam melakukan peresepan. Namun penelitian menunjukkan bahwa dokter adalah salah satu profesi yang paling sulit mengubah pola praktik yang sudah turun-temurun berjalan di Indonesia ini. Seorang sejawat saya yang pernah menjadi staf pengajar untuk pendidikan spesialis dengan pesimis mengatakan bahwa karena sulit mengubah perilaku dokter yang dididiknya (baru kelihatan ketika sudah lulus dan berpraktik sebagai dokter spesialis), ia memutuskan untuk mengajar saja pasien-pasiennya supaya pintar. Mengerti ilmu kesehatan. Konsumen kesehatan adalah dokter bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Setidaknya inilah yang dokter bisa lakukan: memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat awam (non medis).

Bagi saya pribadi, pengalaman memberikan ceramah kesehatan ini juga sangat menyenangkan. Atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan guru saya di milis sehat, saya bisa merasakan pengalaman memberikan ceramah mulai dari orangtua-orangtua muda berlatar pendidikan sarjana di Jakarta dan sekitarnya, ceramah bagi ibu-ibu pengajian di beberapa masjid, pelatihan bagi dokter dan tenaga medis di perusahaan di luar kota, hingga terbang ke Surabaya dan pembangkit listrik di Paiton, Probolinggo. Kesannya sama: mereka semua antusias dengan materi-materi kesehatan yang kami berikan. Mereka butuh. Mereka juga berpotensi menjadi agen perubahan yang akan menularkan "virus of the mind" ini ke kerabat-kerabat terdekatnya. Umumnya mereka berpendidikan dan berpenghasilan menengah ke atas. Setelah mendapatkan ceramah, sangat mungkin pos pengeluaran mereka di bidang kesehatan akan berkurang, karena mereka telah tahu bagaimana layanan kesehatan yang rasional. Andaikan saja masyarakat yang miskin dan awam kesehatan mendapatkan pencerdasa-pencerdasan semacam ini. Mereka tidak perlu khawatir uang mereka yang pas-pasan akan habis untuk biaya berobat ke dokter.

belum kelar... ada usulan untuk sambungannya? Mungkin saya akan sedikit bercerita tentang program dokter keluarga yang diterapkan oleh Bupati/Walikota Bontang, Kalimantan...

Bank Kaum Miskin


Pertama kali saya mendengar nama Muhammad Yunus sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2006 adalah ketika mengikuti pelatihan ESQ Eksekutif, atas dorongan dan motivasi dari istri saya tercinta, di akhir tahun 2006. Dorongan untuk segera membaca buku tentangnya langsung muncul begitu melihatnya di salah satu tumpukan di toko buku, tak lama setelah berbincang-bincang dengan seorang senior yang menyebut-nyebut namanya lagi.

Saya belum selesai membacanya. Sangat inspiratif. Sang profesor ahli ekonomi ini menceritakan kisah bagaimana ia memulai Grameen Bank, yang kini telah mengangkat jutaan manusia dari lembah kemiskinan, dengan pinjaman usaha yang diberikannya. Sudah banyak resensi mengenai buku ini di berbagai media. Silakan membacanya sendiri.

Saya kutipkan sebagian isi halamannya.
"Sufiya Begum mendapat 2 sen sehari. Kenyataan ini mengejutkan saya. Di ruang kuliah saya berteori mengenai jumlah miliaran dolar, tapi di sini, di hadapan mata saya, masalah hidup-mati ditentukan oleh sejumlah recehan. Ini tidak benar. Mengapa perkuliahan di kampus tidak mencerminkan kenyataan hidup yang dihadapi Sufiya? Saya marah, marah pada diri sendiri, marah pada Fakultas Ekonomi saya dan pada ribuan profesor pintar yang tidak pernah mencoba membahas masalah ini dan mengatasinya. Tampak oleh saya sistem ekonomi yang ada sekarang membuat kepastian mutlak bahwa penghasilan Sufiya akan dibiarkan selamanya berada pada tingkat yang sedemikian rendah, sehingga dia tidak akan pernah menabung sesen pun, apalagi berinvestasi untuk meningkatkan basis ekonominya...."

Pikiran ini sudah terlintas di dalam kepala seorang mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong, Bangladesh, lebih dari 30 tahun silam. Lintasan pikiran seorang idealis. Seseorang yang peka perasaannya terhadap segala sesuatu yang ditangkap oleh indera penglihatannya, dan segera bergerak untuk memberikan solusinya.

"Akal sehat saya tidak akan membiarkan masalah ini berlangsung terus. Saya ingin membantu 42 orang pekerja keras ini, yang sehat dan tidak cacat. Saya terus memikirkan masalah ini berputar-putar, seperti anjing mencari tulang. Orang-orang seperti Sufiya miskin bukan karena bodoh atau malas. Mereka bekerja sepanjang hari, menggarap pekerjaan fisik yang rumit. Mereka miskin karena lembaga-lembaga finansial di negeri ini tidak membantu mereka memperluas basis ekonominya. Tidak ada struktur finansial formal yang tersedia untuk melayani kredit kaum miskin..."

Gagasan-gagasan alumni Vanderbilt University ini menabrak pakem-pakem teori ekonomi yang berlaku kebanyakan, dan kenyataan investasi yang ada di hampir seluruh belahan dunia. Namun keberanian dan kerja kerasnya telah disyukuri oleh banyak "mantan" orang miskin di seluruh dunia. Pantaslah ia diganjar Nobel Perdamaian. Penerbit yang menerjemahkan buku ini pun tak salah menyematkan pesan di sampul belakang buku: "wajib dibaca oleh setiap akademisi, aktivis, dan pengambil kebijakan". Anda juga tentunya.

Terjemahan buku yang pertama kali diterbitkan tahun 1997 ini enak dibaca. Penerbit telah memilihkan penerjemah yang profesional. Ini resensi buku tentang ekonomi kedua yang saya buat di blog ini. Lebih lengkap tentang Muhammad Yunus dan Grameen Bank dapat dengan mudah Anda temui di search engine manapun. Program pemerintah yang banyak diiklankan di TV akhir-akhir ini, yaitu PNPM Mandiri, sepertinya memiliki konsep serupa dengan yang sudah dipraktikkan oleh Grameen Bank.


Saturday, September 13, 2008

Ditonjok Pasien



“Ini salah dokter. Dokter mencabut alat tanpa seijin saya!”

Duk! Bogem mentah mendarat tepat di ubun-ubun pria di sebelahku. Ia terhuyung sedikit ke belakang.

Refleks, aku mendorong laki-laki peninju menjauhi pria tadi. Kupegangi erat-erat kedua lengannya agar ia tidak merangsek ke depan. Pria yang terkena bogem di belakangku mulai bergerak ke penyerangnya.

Gawat.

“Sabar, Pak, sabar. Tenang!” kataku.

Gerakan keduanya terhenti. Aku khawatir sekali. Laki-laki yang kuhadang ini adalah ayah pasien yang baru saja meninju dokter yang ikut merawat anaknya.

Anaknya baru saja kami nyatakan meninggal, setelah resusitasi yang cukup melelahkan selama lebih dari 30 menit. Melakukan kompresi jantung di tengah siang bulan puasa, ventilasi tekanan positif yang membuat kram tangan, dan percobaan intubasi yang gagal melulu. Kondisi anaknya memang kurang bagus. Kesadarannya tidak pernah pulih, pasca pemasangan ventilator berhari-hari, ditambah “bonus” sepsis. Si bocah mengalami gagal napas siang itu. Orangtuanya tidak terima. Dalam keadaan kalut, ia menyerang dan menyalahkan dokter bedahnya. Singkat cerita, si ayah memeluk dokter yang baru saja dipukulnya. Ia menerima kematian putrinya. Namun apakah cerita akan berakhir di sini? Akankah ia melancarkan tuntutan ke rumah sakit?

Saya mengalami sendiri kisah di atas. Salah satu bagian dari buku “Better” membahas dengan baik malpraktik dalam esai “The Malpractice Mess”. Pembahasan yang belum pernah kubaca dari sisi analisis manapun, khususnya di Indonesia. Saya tidak akan membahas topik ini di sini. Silakan baca sendiri buku asli atau terjemahannya, atau di majalah “The New Yorker” edisi 2006. Yang jelas, sebagian besar dokter sepakat, bahwa tuntutan malpraktik, di Indonesia khususnya, berakar dari komunikasi dokter-pasien yang kurang baik. Sama halnya dengan ilustrasi di atas, menurut saya. Semua tindakan yang dilakukan terhadap pasien adalah sesuai standard of procedure, namun penjelasan yang kurang terhadap orangtua membuat tuntutan mungkin saja diajukan. Apalagi pada pasien-pasien yang dirawat di unit rawat intensif, keputusan dokter untuk meneruskan resusitasi atau tidak harus benar-benar disampaikan pada keluarga.

Saya jadi ingat sebuah kasus. Seorang anak perempuan berumur 3 tahun dengan gagal ginjal kronik, sesak napas, edema paru, tak respon dengan pemberian diuretik sampai dosis yang dimungkinkan, tidak dapat dilakukan hemodialisis karena tidak ada alat yang sesuai ukuran anak-anak, dan kontraindikasi relatif untuk pemasangan dialisis peritoneal karena trombositopenia—sel-sel pembeku darahnya hanya 25 ribu per mikroliter—sehingga pemasangan CAPD berisiko tinggi menimbulkan perdarahan, akhirnya diputuskan untuk pemasangan ventilator.

Orangtuanya mampu secara finansial. Cerdas pula. Pertanyaan-pertanyaannya ke tim dokter mengesankan seolah-olah ia pernah mampir kuliah di fakultas kedokteran. Harus sangat berhati-hati jika berbicara dengan pasien seperti ini.

“Apa yang akan dokter lakukan, jika ini adalah anak Dokter?”

Dokter spesialis anak konsultan dengan uban hampir memenuhi kepalanya ini tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. “Saya akan menghentikan ventilatornya dan berserah pada Tuhan.”

Anak ini masih bisa bernapas spontan. Cairan masuk-keluar selalu dihitung tiap beberapa jam. Balans cairannya harus negatif. Tidak perlu melakukan pengambilan sampel darah berulang kali untuk pemeriksaan diagnostik. Jika terjadi perburukan, henti napas misalnya, tidak perlu dilakukan kompresi dada yang berisiko mematahkan tulang rusuknya. Biarkan ia meninggal dengan tenang.

Orangtuanya setuju. Dibuktikan dengan tanda tangan di dalam lembar status rekam medik. Komunikasi berjalan baik.

“Pada kondisi seperti ini, yang kita lakukan adalah to care, bukan to cure,” jelasnya pada kami, para residen.

Kasus lain yang agak sukar kulupakan adalah pasien kecilku dengan sirosis bilier. Sejak usia beberapa minggu, ia sudah kuning. Bukan kuning fisiologis, yang seharusnya sudah menghilang. Bukan pula breastmilk jaundice ataupun breastfeeding jaundice. Matanya kuning, tinjanya berwarna pucat, dan urinnya seperti warna the. Perutnya juga terus membuncit. Jawaban yang ia dapatkan dari dokter anak pertama adalah, “tidak apa-apa, dijemur saja, nanti juga hilang sendiri.” Padahal saat itu umurnya sudah mendekati dua bulan.

Di usia empat bulan, orangtuanya membawa ke dokter anak lain. “Ini atresia bilier. Seharusnya dilakukan operasi sebelum usianya dua bulan. Sekarang sudah terlambat. Tanda-tanda awal sirosis sudah terjadi.”

Hingga kini orangtuanya tidak pernah terpikir untuk menuntut dokter anak pertama. Mungkin karena ia hanya lulusan SMP, dan hanya bekerja sebagai sopir pribadi bos perusahaan, tak terpikir olehnya untuk melakukan hal itu.

Doctor is not a job, but it is a profession”. Begitu senior saya pernah menasihati kami. Dokter itu harus care dengan pasien-pasiennya. Belajar yang baik, supaya tidak ada ilmu yang terlewatkan. Bekerja teliti, jangan sampai hal-hal terkecil luput. Setiap hembusan napas adalah demi kepentingan orang lain. Ibadah yang kelak akan diganjar pahala oleh Alloh. Namun bisa menjadi dosa jika tidak mau menangani pasien dengan benar. Masalah bayaran? Lagi-lagi Atul Gawande menjelaskannya dengan sangat menarik dalam bab bukunya.

“Apabila profesi dokter adalah bisnis yang murni menukar jasa dengan uang, jika tidak ada bedanya dengan menjual mobil, lantas mengapa memilih pendidikan kedokteran selama dua belas tahun (enam tahun untuk kuliah S1 dan profesi, enam tahun lagi untuk spesialisasi termasuk tesis S2—apin), bukan malah misalnya sekolah bisnis dua tahun? Alasannya pasti karena setidaknya para dokter masih termotivasi oleh harapan untuk melakukan pekerjaan yang bermakna dan terhormat bagi masyarakat”.

Maka sekarang saya agak heran, jumlah adik-adik kelas saya yang menjadi mahasiswa kedokteran dua kali lipat lebih banyak dibandingkan jaman saya dulu, 10 tahun yang lalu ketika saya masuk FK. Sekarang ada mahasiswa reguler, kelas khusus (“dokter daerah” dengan ratusan juta rupiah dibayar di muka), dan internasional (yang uang masuknya puluhan ribu dolar). Uang SPP semesteran mahasiswa reguler saja 15 kali lipat dibandingkan bayaran saya dulu. Sungguh bersyukur saya bisa mengenyam pendidikan “jaman dulu”. Belum lagi skill dokter yang akan semakin terbatas karena harus bersaing dengan jumlah mahasiswa yang semakin banyak, sedangkan jumlah pasiennya segitu-gitu saja. Saingan lainnya adalah jumlah dokter yang sedang menempuh spesialisasi semakin banyak. Lebih banyak jumlah dokter dan mahasiswa kedokteran dibandingkan jumlah pasien di RS pendidikan. Apakah rasional jika masih ada orangtua yang menyekolahkan anaknya di FK dengan harapan jadi orang kaya kelak? Wallahu a’lam.

Friday, May 23, 2008

such a short age (2)

Ibu mana yang tak sedih kehilangan anak satu-satunya? Putra semata wayangnya baru saja meninggal dunia karena HIV. Ya, HIV/AIDS. Kerusakan jaringan paru yang luas akibat pneumonia yang diduga akibat infeksi Pneumocytis carinii atau tuberkulosis membuat si bocah berumur dua tahun ini mengalami gagal napas. Ruang ICU penuh. Ia hanyalah satu dari sekian ribu warga Jakarta yang menggunakan fasilitas GAKIN. Mau pindah ke ICU RS mana lagi? Setelah tiga jam berjuang menghadapi sakaratul maut di ruang bangsal dengan fasilitas seadanya, seluruh otot pernapasannya kelelahan. Berhenti napas. Anak kecil dengan hasil pemeriksaan penyaring ELISA yang hasilnya reaktif itu meninggal tadi.

Sang Ibu sendiri baru tahu anaknya HIV positif setelah membuka amplop hasil pemeriksaan. Ia sama sekali tidak tahu, penyebab demam dan diare kronik pada putranya adalah infeksi virus nista itu. Artinya dia sendiri juga seharusnya HIV positif. Dari mana si balita mendapatkan HIV kalau bukan dari ibunya? Berarti suaminya yang meninggal dua tahun silam dengan mulut penuh bercak putih itu akibat HIV/AIDS juga? Suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Si istri baru tahu kebiasaan biadab suaminya itu setelah menikah. Tapi ia sama sekali tidak tahu kalau si suami akan meninggalkan warisan anak dengan HIV di tubuhnya. Juga HIV di tubuhnya sendiri, mungkin.

Kini ia telah menjadi janda. Seorang janda dengan kemungkinan besar HIV di tubuhnya. Ia baru saja kehilangan harta terbesarnya di dunia, putra yang amat dikasihinya selama ini. Apa yang harus dilakukannya setelah ini? Di usia yang masih sangat muda, yang masih butuh seseorang yang mengasihi dan dikasihi.

Kisah semacam ini menimpa banyak anak dan wanita di seluruh dunia. Transmisi virus HIV yang ditularkan dari ibu pada anaknya. Di sisi lain sudah kulihat sendiri anak-anak kecil dengan jumlah limfosit T (CD4) yang sangat rendah akibat supresi HIV, yang sudah ditinggal mati orangtuanya yang mantan AIDS, dan kini mereka dibesarkan kakek-neneknya. Bocah-bocah lucu yang harus minum anti retroviral seumur hidupnya, dan keluar-masuk rumah sakit dengan berbagai penyakit infeksi dan masalah gizi.

Lalu apa yang masih dimiliki si ibu tadi? Aku yakin, ia masih memiliki iman. Alloh akan memberikannya kehidupan yang lebih baik setelah ini. Insya Alloh.

Jadi pengen nulis tentang HIV/AIDS pada anak kalo pas lagi senggang nanti…

such a short age (1)

Setelah menjalani hampir 6 bulan mendalami dasar-dasar metodologi penelitian, komputer statistik, dan semacamnya—yang sepertinya sudah 80% hilang dari kepala, tiga bulan pertama rotasi modul saya adalah di bangsal non infeksi. Hampir 90% kasusnya adalah keganasan pada anak. Angka kematian cukup tinggi, melihat prognosis kanker secara umum yang tidak begitu baik, meski dengan pengobatan kemoterapi dini. Kematian menjadi suatu hal yang biasa bagi kami di sini. Saya ingat pertama kali memberi kabar kepada pasangan suami-istri yang baru memiliki satu anak, bahwa anak mereka satu-satunya memiliki leukemia mieloblastik akut. Tentu saja mereka langsung menangis. Diagnosis ditegakkan setelah saya melakukan aspirasi sumsum tulang saya yang pertama. Tindakan ini cukup menyakitkan untuk di anak. Saya harus menembus tulang rawannya di tonjolan krista iliaka posterior superior menggunakan besi berujung tajam seukuran pena besar. Singkat cerita si anak menjalani seri kemoterapi untuk AML M1-nya. Belum selesai satu seri, ia mengalami aplasia. Sel darah putihnya jatuh ke angka di bawah 1000, setelah di awal penyakit angkanya mencapai hampir 100.000. ia masuk ke ruang isolasi. Aplasia adalah keadaan yang bisa diramalkan dalam kemoterapi untuk AML M1. Keuntungannya adalah prognosis kelak akan lebih baik. Meskipun di sisi lain sistem pertahanan tubuhnya menjadi amat tertekan, sehingga mudah terkena infeksi. Kemoterapi memang ibarat pedang bermata dua. Total perawatannya hampir satu bulan, namun seri kemoterapi belum bisa dilengkapi. Si anak mengalami melena. Orangtuanya menyerah, dan minta pulang paksa. Supervisor kami sudah menjelaskan langsung kepada pasangan suami-istri ini alangkah berisikonya membawa pulang anak mereka saat itu. Mereka tetap bersikeras.

Satu bulan kemudian, si anak masuk instalasi gawat darurat dengan keadaan yang cukup menyedihkan. Wajahnya bengkak dan lebam di sana-sini akibat perdarahan bawah kulit. Darah segar mengalir dari kedua lubang hidungnya. Trombositnya turun di bawah angka 50.000, seperti dugaan semula. Kelenjar getah beningnya membesar di hampir seluruh daerah yang dapat diraba. Hati dan limpanya juga teraba membesar. Padahal “bom” kemoterapi beberapa minggu silam telah mengecilkan semua pembesaran organ itu. Tak sampai dua minggu di bangsal perawatan, sehabis sholat subuh, telepon saya berbunyi. Si anak meninggal. Ayahnya menangis mengikhlaskan kepergian anak satu-satunya. Persis seperti saat mendengar bahwa anaknya menderita leukemia.

Kematian menjadi hal yang biasa bagi kami. Amat biasa bahkan. Sebagai rumah sakit rujukan nasional, anak-anak dengan berbagai jenis keganasan yang mereka miliki datang dari berbagai penjuru negeri. Masih sedikit memang rumah sakit yang mampu memberikan fasilitas kemoterapi. Sebelum bekerja sebagai residen di RS ini, saya sudah cukup sering menghadapi kematian. Kalau sudah letih, saya bisa tidur beberapa meter di bekas bed pasien yang meninggal. Tanpa ada perasaan apa-apa. Tapi ketika mulai lagi bekerja di RS yang pernah mendidik saya selama beberapa tahun, saya hampir saja menangis ketika menghadapi kematian pasien yang pertama, setelah sekian lama. Salah satu kesedihan saya waktu itu adalah diagnosis belum tegak benar, karena masih menunggu hasil pemeriksaan apusan sediaan sumsum tulang di bawah mikroskop, dan pasien sempat mengalami kegagalan sirkulasi (syok hipovolemik) sebelum meninggal. Saya merasa bertanggung jawab sehingga bocah perempuan berusia 3 tahun itu—yang lagi-lagi merupakan anak satu-satunya dari orangtuanya—mengalami tahapan menuju syok.

Saya ingat betul percakapan saya dengan orangtua pasien pertama saya di bangsal non infeksi, ketika menunjukkan kasir pembayaran pemeriksaan bone marrow aspiration.

“Nama saya Arifianto, hampir sama dengan nama anak Bapak.” Saya memperkenalkan diri.

“Mudah-mudahan si A nanti bisa jadi dokter seperti dokter Arif.” Balas si Bapak.

Dalam hati saya berkata, andaikan saja Alloh mengijinkan si anak memiliki cukup umur di dunia ini.

Ternyata Alloh menakdirkannya di dunia dalam waktu yang cukup singkat.

Semoga Alloh mengampuni dosa seluruh orangtua yang bersabar menghadapi ujian anak-anaknya yang menderita kanker.

Sunday, March 30, 2008

Resident Story--The Beginning

I am a resident in pediatrics--eight months down, three more years to go. I'm not allowed to make excuses. If my senior resident needs something done, I can't say, "But I haven't had my lunch," or, "I'm still working on another patient." With 180-hour workweeks and many nights without sleep during the night shift, I'm also trying to learn to be a pediatrician. And my weight has already decreased 4 kilos within two months.

--have to give thesis presentation next week, many stories to tell, and urge to read Atul Gawande's "Better". Has anyone?--

Friday, January 18, 2008

Mengapa Tidak Mau Memberikan Imunisasi?

Seorang sejawat mengirimkan e-mail di bawah ini: “kalau bisa Anda buat tulisan tentang pentingnya imunisasi/vaksinasi karena sekarang mulai banyak keluarga muslim yang tidak mau anaknya divaksinasi dan lebih memilih "bahan-bahan" alternatif sperti beberapa merek yang sudah banyak bereder melalui sistem MLM di kalangan tertentu, walaupun saya tahu persis produk-produk tersebut belum ada penelitian Randomized Controlled Trials-nya. Ini potensi destruktifnya kan besar sekali untuk potensi generasi di masa yang akan datang.. Mereka bahkan sdh ada yg meminta utk diadakan semacam penyuluhan untuk menginformasikan tentang bahaya/tidak perlunya vaksinansi, di antara argumennya ialah bahwa vaksin itu buatan Yahudi/strategi Amerika utk meracuni anak-anak muslim...”

Baiklah kawan, saya coba memberikan pendapat saya. Sebuah buku yang (ternyata) ditulis oleh seorang dokter (si penulis tidak menyebutkan dengan tegas bahwa ia dokter, setelah menelusuri profilnya di internet baru saya tahu) memberikan keterangan seperti ini: “Vaksinasi bisa menghancurkan sistem kekebalan tubuh kita. Para ahli klinis yang meneliti penyakit sebelum dan sesudah vaksinasi menyimpulkan bahwa vaksin dapat melemahkan sistem imun. Akibat buruk suntikan vaksin bisa terus berlanjut. Dalam kasus-kasus tertentu yang buruk, suntikan vaksin itu malah bisa membunuh orang yang diberi suntikan. Beberapa ahli juga mengatakan kalau vaksin justru melemahkan upaya tubuh untuk bereaksi secara normal terhadap penyakit. Bahkan, ia berpotensi juga memunculkan penyakit autoimun. Terdapat beberapa penyakit autoimun, di antaranya: sindrom Guillain Barre, trombositopenia, dan artritis.” Padahal beberapa halaman sebelumnya penulis menyebutkan, “sistem imun adalah upaya silaturahmi yang bertugas untuk mengembangkan suatu pola interaksi yang sehat. Hal ini dapat diamati pada proses vaksinasi, yaitu pada saat sebagian eleman mikroba patogen (penyebab penyakit) yang telah dilemahkan atau bagian yang tidak berbahaya diperkenalkan ke dalam tubuh sebagai faktor “pengingat” bagi sistem imun”. Pernyataannya kontradiktif, di bagian akhir buku penulis mengajak pembaca untuk tidak memberikan imunisasi, tetapi di halaman pembuka, ia menjelaskan imunisasi memberikan pola interaksi yang sehat dalam tubuh. Anyway, saya setuju dengan 90% isi bukunya, hanya statement tentang imunisasi dan beberapa hal kecil lain saja yang saya tidak sepakat. Juga hal-hal yang disebut di atas seperti Guillain Barre syndrome, trombositopenia, dan artritis, disebut sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau post vaccination adverse event, yang relatif jarang terjadi, jarang sekali yang fatal, dan dijelaskan oleh dokter sebelum tindakan imunisasi dilakukan, sehingga mendapat persetujuan tindakan dari orangtua.

Bukan hal baru bagi dokter dan pasien, bahwa sebagian dokter tidak mau memberikan imunisasi bagi pasien-pasiennya. Ada yang tidak mau memberikan vaksin jenis tertentu saja, ada yang menunda memberikan vaksin tertentu sampai umur lewat dari usia yang direkomendasikan, dan ada yang tidak mau memberikan semua jenis vaksin. Padahal jelas sekali, di seluruh dunia vaksinasi/imunisasi telah terbukti mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi tertentu. Sebut saja cacar (variola, bukan cacar air atau varisela) yang telah musnah dari permukaan bumi sejak tahun 1970-an, padahal sebelumnya penyakit ini telah merenggut jutaan nyawa. Sebut lagi penyakit infeksi lain seperti cacar (measles) yang memiliki komplikasi meningitis (radang selaput otak) dan pneumonia (radang jaringan paru) yang mematikan. Juga ada difteri, pertusis, tetanus, polio, dan lain-lain—name it deh, semua vaksin yang ada—yang membuat kita hampir tidak pernah menemui kasus ini di keseharian. Padahal beberapa dekade silam ketakutan besar menimpa orangtua yang khawatir anaknya terkena penyakit-penyakit ini. Lalu mengapa dokter tidak memberikan?

Ada beberapa alasan dalam analisis pribadi saya. Pertama, sebuah isu massal menyebutkan bahwa vaksinasi adalah konspirasi Yahudi melemahkan daya tahan anak-anak berbagai umat. Toh sudah diberi vaksinasi campak, cacar air, BCG, masih bisa juga terkena campak, cacar air, dan tuberkulosis! Ya, tidak ada satupun vaksin memiliki efek protektif mencapai 100%. Semua dokter yang lulus dari fakultas kedokteran negeri ini juga tahu. Sebagai contoh, vaksinasi BCG memiliki efektivitas perlindungan terhadap TBC sebanyak 0 sampai 80%. Artinya, anak yang sudah diimunisasi BCG sangat mungkin terinfeksi TBC dan menjadi sakit di negara endemik TBC ini. Tetapi, BCG terbukti sangat efektif mencegah komplikasi TBC seperti TB milier dan meningitis TB. Vaksin-vaksin lain seperti DPT, Hepatitis B, campak, dsb memiliki angka efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan BCG. Bayangkan saja kalau tidak ada vaksinasi campak. Padahal Depkes mencatat 30 ribu anak Indonesia meninggal per tahunnya akibat komplikasi campak (pneumonia, meningitis). Sampai-sampai diadakan PIN Campak bulan Februari tahun lalu di Jakarta. Vaksinasi campak jauh mengurangi angka kesakitan dan kematian ini.

Banyak orangtua juga membuktikan anak-anak mereka tidak ada satupun yang sakit-sakitan, dan selalu sehat, padahal tidak ada yang diimunisasi barang seorang pun. Hal ini tentunya sangat mungkin. Dalam konsep epidemiologi klinik, satu anak yang tidak diimunisasi polio misalnya, tapi ia adalah carrier (pembawa) virus polio, dapat menginfeksi seluruh anak lain yang berada di lingkungannya yang tidak mendapatkan imunisasi polio. Ini adalah hipotesis terjadinya heboh polio di Sukabumi tahun 2003 silam. Makanya seluruh anak dalam satu komunitas harus divaksinasi, tanpa kecuali.

Alasan kedua, di dalam vaksin juga disinyalir terdapat zat-zat haram, seperti babi, janin manusia yang diaborsi, dll. Selengkapnya bisa melihat ke www.halal-guide.com

Saya coba menyalin kandungan vaksin yang saya ambil dari kemasannya langsung. Ini daftarnya, sesuai merek dagang (beda pabrik bisa beda pengawet):

Infanrix-Hib (GSK), yaitu vaksin DaPT-Hib dalam satu sediaan (kombo), atau Tetract-Hib (DPT-Hib): isinya toksoid difteri, toksoid tetanus, dan tiga antigen pertusis yang dimurnikan dalam garam aluminium. Juga mengandung polisakarida kapsuler polyribosylribitol-fosfat (PRP) dari Hib. Toksin D dan T diperoleh dari kultur bakteri yang didetoksifikasi dan dimurnikan. Komponen seluler/aseluler P juga diperoleh dari bakteri B. pertusis. Kemudian semuanya diformulasikan dalam garam fisiologis, dan diawetkan dengan 2-fenoksietanol (alkohol).

Act-Hib (Aventis), isinya Hib saja: mengandung polisakarida Hib yang terkonjugasi dengan protein tetanus, dan pengawet Trometamol dan Sukrosa, dilarutkan dengan Natrium klorida.

Varilrix (GSK), yaitu vaksin varisela/cacar air: virus varisela-zoster strain OKA hidup yang dilemahkan, dikultur dalam sel diploid manusia MRC5.

Engerix-B (GSK), yaitu vaksin hepatitis B: antigen permukaan virus yang dimurnikan diolah dengan teknik DNA rekombinan, dimasukkan dalam aluminium hidroksida. Antigen dihasilkan melalui kultur sel kapang/yeast (Saccharomyces cerevisiae). Tidak ada satupun sel manusia hidup yang digunakan dalam pembuatannya.

MMR-II (MSD), yaitu vaksin kombo MMR: virus campak hidup yang dilemahkan dikultur dalam sel embrio ayam; virus mumps hidup juga dikultur dalam embrio ayam; virus rubella hidup dikultur dalam sel diploid manusia. Tidak mengandung pengawet.

Havrix 720 (GSK), yaitu vaksin hepatitis A mati yang diawetkan dengan formalin, dimasukkan dalam aluminium hidroksida, dan dipropagasi dalam sel diploid manusia.

Typhim Vi, yaitu vaksin tifoid, dari polisakarida S. Typhi, diawetkan dengan fenol dan larutan buffer yang mengandung NaCl, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan air.

Saya masih belum bisa mendapatkan daftar isi kemasan produk Biofarma seperti BCG, Hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Mudah-mudahan segera bisa dilengkapi.

Kira-kira komponen mana dari zat-zat di atas yang berpotensi membahayakan tubuh dan mengandung bahan haram? Saya belum menemukan bukti sahih. Semua obat yang diproses secara kimia di pabrik seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama halnya dengan kepedulian terhadap imunisasi ini. Memang negara kita sangat bermasalah dalam status kehalalan obat-obatan dan kosmetika. Andaikan saja bisa mencontoh Malaysia, yang berusaha memproduksi sendiri vaksin halal. Maka saat ini, saya merujuk pada keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sini (terlalu panjang jika disalin ulang): http://www.halalguide.info/content/view/120/397/ atau http://www.halalguide.info/content/view/120/55/

Analoginya bisa dipakai untuk seluruh jenis vaksin lain (BTW, vaksin IPV yang disebut dalam fatwa ini tidak digunakan secara luas di Indonesia, yang digunakan adalah OPV). Lebih lengkap lagi tentang imunisasi juga bisa dilihat di blog Bu Lita di http://lita.inirumahku.com

Surat pembaca saya tentang kontroversi halal imunisasi ini pernah dimuat Majalah Hidayatullah edisi November 2007. Sayangnya tidak ada soft copy-nya di web, dan belum saya salin ulang.

Pro dan kontra terhadap imunisasi atau vaksinasi tidak akan pernah berakhir. Saya bersyukur ada komunitas seperti milis SEHAT (http://groups.yahoo.com/group/sehat) yang selalu mendiskusikan dan memberikan informasi terkini tentang imunisasi dan kesehatan secara umum yang sahih (tidak semua informasi kesehatan di internet terbukti sahih secara evidence based medicine). Silakan juga buka www.sehatgroup.web.id

Sekian dulu. Wallahu a’lam.

(apin, masih bisa banyak nulis sebelum mulai rotasi bangsal non infeksi. Junior oohh… junior)

Thursday, January 17, 2008

Kalau Anak Sakit, Berobat ke Dokter Anak atau ke Dokter (Umum)?

Pertanyaan ini saya baca di sebuah buku yang diterbitkan oleh sebuah tabloid anak ternama ibukota. Menarik sekali. Salah satu bagian buku itu menulis: “Apakah anak harus dibawa ke dokter spesialis anak (dr, SpA) ataukah cukup ke dokter umum (dr,) saja?” Jawaban di buku: “bila di sekitar rumah ada dokter spesialis anak (DSA) atau kita membayar dokter yang lebih memahami penyakit anak, sebaiknya anak dibawa ke dokter spesialis anak saja. Sebab, DSA lebih memahami masalah penyakit pada anak, karena mereka sudah dibekali ilmu lebih banyak dibandingkan dokter umum biasa. Diharapkan, dengan pemahaman yang lebih tinggi, anak bisa tertangani lebih baik”. Dst dst.

Bagaimana menurut Anda jawaban di atas? Ini pendapat saya pribadi. Dokter menjalani pendidikan selama 6 tahun mulai dari ilmu kedokteran dasar sampai penerapannya pada manusia, dan tata laksana penyakit-penyakitnya. Termasuk ilmu kesehatan anak. Jawaban di atas agak klise (ngambang) menurut saya. Karena bisa saja orang memahami bahwa dokter (umum) kurang tepat dalam menangani masalah kesehatan anak. Bawa saja langsung ke spesialis. Lalu apa yang sudah dipelajari dokter umum enam tahun lamanya?

Dokter spesialis dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh dokter (umum). Artinya, dokter memiliki kompetensi dasar untuk semua kasus, mulai dari kasus kesehatan anak, penyakit dalam, kebidanan-kandungan, bedah, dst. Namun ada kasus-kasus rujukan yang harus ditangani oleh dokter spesialis. Makanya setiap profesi memiliki standar kompetensinya masing-masing. Jika dokter umum melakukan hal-hal di luar standar kompetensinya, maka bisa terjerat pasal dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tahun 2004. Mayoritas kasus kesehatan anak di masyarakat adalah penyakit harian (common problems) seperti demam, batuk-pilek, mencret/diare, dan masih banyak lagi yang tentunya cukup ditangani dokter umum. Namun jika ada masalah kecurigaan penyakit jantung bawaan, gangguan perkembangan, keganasan, dan banyak kasus rujukan lain, tentu prosedurnya adalah dokter merujuk ke dokter spesialis. Tapi tak dapat dielakkan memang di Indonesia konsumen kesehatan bisa memilih untuk datang langsung ke dokter spesialis tanpa melalui dokter umum terlebih dahulu. Beda dengan di negara-negara maju. Dengan kata lain, mekanisme referral system (rujukan) memang belum berjalan di negara kita. Pun tak dapat dipungkiri apa yang tertanam dalam pemahaman masyarakat perkotaan umumnya adalah, datangi langsung dokter yang sesuai dengan spesialistiknya, tanpa harus ke dokter umum terlebih dahulu, jika mampu (bayarnya).

Sampai-sampai guru-guru yang mendidik calon dokter anak di sekolah saya bilang, ”Jangan sampai kamu nanti lulus cuma jadi spesialis batuk pilek mencret”. Itupun juga ngobatinnya masih nggak benar, timpal guru saya yang lain. Sakit ringan diresepkan antibiotika tidak sesuai indikasi. Dalam hati saya pun membalasnya, habis mau gimana lagi, yang datang ke dokter anak kebanyakan memang kasusnya batuk pilek mencret.

Lalu kalau anak sakit gigi, apakah langsung ke dokter gigi anak (drg, SpKGA) atau cukup ke dokter gigi umum (drg,) saja? Buku itu menjawab: “sebaiknya ke dokter gigi anak, karena mereka dibekali pengetahuan mengenai spesifikasi pertumbuhan dan perawatan gigi anak. Pendidikan spesialis dijalani selama 3-4 tahun bla bla bla”

Lagi-lagi, ini opini saya pribadi. Melihat istri saya yang dokter gigi umum, saya jadi tahu persis kemampuan seorang dokter gigi (umum) dalam menangani kasus-kasus gigi anak. Pengalaman menata laksana ratusan siswa SD dalam UKGS di beberapa sekolah di pelosok Sumatera saat PTT, dan menghadapi pasien-pasien anak di bawah lima tahun di praktik rumah, membuat saya memahami kompetensi mereka. Tetapi tentu saja, selalu ada kasus-kasus yang harus ditangani SpKGA. Dokter gigi harus merujuk kasus-kasus ini ke sejawat spesialis mereka.

Those are all my personal opinion. Saya sama sekali tidak mengajak pembaca untuk menjauhi dokter spesialis dalam kunjungan pertama. It’s all up to you. Yang saya ajak adalah agar para pasien (baca: konsumen kesehatan) menjaga dokter tetap bertindak rasional. Tidak jarang pasien minta diberikan obat padahal dokter merasa tidak perlu. Cukup sering konsumen kesehatan minta resep antibiotika padahal dokter sudah menjelaskan bukan indikasinya. Khawatir kehilangan pasien, dokter pun kadang “tunduk” pada keinginan kliennya ini.

Pelajari dasar-dasar ilmu kesehatan dengan baik. Ajak diskusi dokter anak dengan bekal ilmu ini. Alasan lain pentingnya mempelajari dasar-dasar ilmu kesehatan ini adalah orangtua menjadi tahu, kapan sih harus ke dokter. Pada akhirnya, konsumen kesehatan memahami bahwa batuk-pilek, mencret, demam tanpa gejala berat, dan masih banyak penyakit lain sebenarnya tidak perlu dibawa ke dokter sama sekali. Ke dokter umum sekalipun. Just wait and observe, gejalanya akan self limiting (hilang sendiri). Ini sudah terbukti pada banyak sekali orangtua yang memiliki kemauan kuat belajar ilmu kesehatan, dan mempraktikannya pada diri sendiri dan keluarganya. Mudah-mudahan layanan kesehatan negara kita menjadi lebih baik kelak. Amin.

(btw, yang nulis sedang menempuh pendidikan untuk jadi dokter spesialis anak, hehehe)

Perlukah Audit Medik?

Beberapa hari yang lalu, seorang ayah dari bocah 18 bulan yang pernah saya temui di tempat praktik menelepon. Anak laki-lakinya ini tiba-tiba saja muntah berturut-turut sampai empat kali, hingga tidak tersisa makanan di dalam lambungnya, dan yang keluar hanya cairan kuning saja. Ia panik, dan segera menghubungi ponsel saya, menanyakan apa yang sedang terjadi pada anaknya, apa yang harus ia lakukan, dan bisakah ia menemui saya hari itu. Setelah mendengar keterangannya, saya minta ia mengobservasi muntah anaknya, dan sebisa mungkin memberikan larutan elektrolit tiap habis muntah. Saya katakan ini bukan suatu kegawatdaruratan, dan kemungkinan terbesar adalah infeksi virus seperti gastroenteritis virus, atau food poisoning. Tak lama berselang, sebuah SMS darinya muncul di ponsel saya, yang menyatakan bahwa anaknya masih terus-menerus muntah, tidak mau minum apapun, dan seperti setengah sadar. Karena harus segera pergi ke tempat tugas, saya balas saja, “Kalau Bapak khawatir anaknya mengalami dehidrasi berat, bawa saja ke RS”.

Sore hari pulang dari RS, si Bapak kembali meng-SMS: “Dok, anak saya dirawat di RS, dan sedang diperiksa darahnya di laboratorium”. Saya segera balas, dirawat dengan indikasi apa, belum kena infus kan?

Cerita berlanjut. Saat ini ia masih mengalami perawatan hari ke-3. Sudah tidak muntah-muntah lagi, tanpa demam, dan segar bugar ingin segera pulang. Masalahnya adalah, dokter yang merawat mendapatkan hasil uji Widal-nya (yang saya tidak tahu untuk apa diperiksa, tapi saya pikir RS ini punya kebijakan untuk memeriksakan lengkap lab darah tanpa alasan jelas) dengan titer positif yang cukup signifikan. Si bocah masih dirawat dengan selang infus menancap yang berulang-kali lepas, dan dua jenis antibiotika diberikan lewat infus dan minum biasa. Ini semua cerita dari sang ayah. Saya sama sekali belum melihat kondisi anak secara langsung. Diagnosis perawatannya adalah tifoid, yang anehnya menurut saya, tanpa demam sama sekali, dan keadaan klinis si anak tidak sesuai dengan diagnosis. Sebagai dokter, saya selalu menekankan pada diri sendiri untuk tidak mengobati hasil lab. Yang dihadapi oleh dokter adalah si manusia sakit, bukan hasil laboratoriumnya. Semua keadaan yang tidak sesuai antara klinis dan hasil pemeriksaan penunjang harus dihadapi dengan tanda tanya besar, dan segera dicaritahu jawaban definitifnya. Satu hal yang jelas, pemeriksaan Widal memiliki sensitifitas yang rendah di negara endemik tifoid ini. Kalau memenuhi kriteria klinis untuk demam tifoid, ya periksa saja kultur feses atau darahnya (gal culture). Ini adalah pemeriksaan baku emas untuk tifoid, dibandingkan Widal. Kecuali si dokter tidak mendapatkan ilmu seperti ini di bangku kuliah spesialiasinya. Keadaan janggal lainnya adalah indikasi memberikan cairan dan obat lewat selang infus, padahal si anak memiliki toleransi makan dan minum yang sangat baik. Saya benar-benar tidak habis pikir.

Jujur saja, satu pertanyaan lalu muncul di benak saya: apakah memang profesi dokter diciptakan untuk saling membenci dan berprasangka buruk satu sama lain, karena dalam menghadapi satu pasien saja bisa berlainan assessment dan tata laksananya? Kita semua lulus dari fakultas kedokteran yang menggunakan buku ajar dan referensi yang kurang lebih sama. Mudah-mudahan kondisi dokter di dunia nyata seperti ini bukan didorong oleh motivasi mendapatkan keuntungan dari memberikan obat tanpa alasan jelas, karena si dokter akan mendapatkan kompensasi materi dari peresepan obat ini. Atau memanfaatkan kepanikan orangtua yang seharusnya mau belajar mengenai dasar-dasar kesehatan, sehingga kasus tanpa indikasi rawat inap pun dirawat juga. Lihat saja laporan dari berbagai negara tingginya angka kematian akibat infeksi nosokomial di RS, karena pasien mendapatkan obat yang seharusnya tidak ia dapatkan, dan dipasang selang infus yang berpotensi iatrogenik memasukkan kuman langsung ke jalur peredaran darah.

Teman saya mengomentari isi pikiran ini dengan: “makanya harus dilakukan audit medik. Selama tidak ada audit medik, kejadian seperti ini akan terus berlangsung”. Ya, tentu saja kawanku, dan nanti para konsumen kesehatan akan menguak dugaan-dugaan malpraktik lewat cara ini.

Daripada pusing memikirkan perselisihan dan saling tikam antar dokter (dengan maksud yang baik atau tidak, entahlah), saya mengajak seluruh konsumen kesehatan yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan untuk lebih peduli dan mau menggali informasi kesehatan lebih dalam. Jadilah pasien yang aktif, selalu kritis terhadap tindakan dokter. Sangat mudah saat ini mendapatkan informasi mengenai apa itu infeksi, kapan antibiotika harus diberikan, apa saja indikasi rawat inap, dan kapan saya harus ke dokter.

Dalam sebuah sesi ceramah, seorang peserta pernah bertanya pada saya, setelah saya memberikan kuliah mengenai apa itu layanan kesehatan terbaik: “Apakah Anda hanya ingin menjadi pahlawan kesiangan?”. Membeberkan semua cerita ini, mengeluhkan kondisi teman-teman sejawat, memposisikan diri mampu menjadi role model bagi konsumen, namun hanya sebatas ini saja?

Perjalanan masih panjang. Guru saya bilang, “It takes two to tango”. Ada kemitraan yang baik antara dokter dan konsumen kesehatannya. Tentunya setelah konsumen mengetahui hak.. dan kewajibannya. Guru besar medikolegal juga berpesan agar para dokter spesialis tidak sekedar mengurusi hal-hal klinis saja, tapi ada yang terjun ke masyarakat membenahi masalah ini. Pastinya ada orang-orang seperti ini di berbagai pelosok negeri. Butuh napas panjang, perencanaan matang, semangat untuk tidak mudah berputus asa, dan tentu saja dukungan dari konsumen kesehatan.

Wednesday, January 16, 2008

Salahnya Puyer

Terinspirasi dari laporan jaga harian pagi ini…

Kasus syok anafilaktik yang diduga akibat alergi obat. Anak umur 5 tahun. Sebelumnya pasien hanya sakit ringan, batuk pilek saja. Pergi ke dokter, diberi resep puyer, dan ditebus obatnya. Ada lima macam obat yang tercantum, termasuk dua jenis antibiotika tablet yang digerus dan dicampur ke dalam puyer. Dua jam setelah minum puyer, anak mulai lemas, hilang kesadaran, dan dibawa ke RS. Diagnosisnya syok anafilaktik. Pertanyaannya: obat mana yang menimbulkan reaksi alergi berat?

Meneketehe. Inilah dilema memberikan puyer. Terlepas dari masalah di atas, puyer tidak memiliki dasar ilmiah. Lihatlah ke semua negara lain, termasuk negara tetangga atau negara yang lebih miskin di belahan Afrika, tidak ada satupun yang memberikan obat dalam bentuk puyer. Bayangkan saja, beberapa jenis obat, digerus dalam satu wadah/lumpang, kemudian dikerok dengan kertas, dan dibagi-bagi ke beberapa lembaran kertas puyer dengan mata telanjang. Yakin bahwa tiap kertas puyer memiliki dosis miligram yang sama? Diberikan ke anak kecil pula (tentu saja, namanya juga puyer), yang dosisnya harus benar-benar akurat. Penyimpangan dosis sebesar sekian miligram dapat menimbulkan efek samping dan keracunan obat. Belum lagi potensi interaksi kimiawi/farmasetik antar obat yang dicampur dalam satu sediaan. Bisa jadi mengurangi potensi obat, sehingga pemberian obat tidak memberikan efek (lalu untuk apa diberi obat), atau menyebabkan potensi efek samping dan toksisitasnya meningkat. Yang timbul adalah penyakit baru gara-gara minum puyer. Kemudian lumpang yang belum bersih benar digunakan lagi untuk mencampur obat-obatan baru dari pasien lain. Logikanya adalah sangat mungkin tercampur dengan serbuk sisa obat-obatan sebelumnya.

Penyakit apa sih memangnya yang harus diberi obat sedemikian banyak? Batuk-pilek akibat infeksi virus? Kan sembuh sendiri. Paling diberi parasetamol/asetaminofen kalau ada demam di atas 38,5 derajat selsius. Butuh antibiotika? Kan infeksi virus, bukan bakteri. Lalu obatnya apa? Wait and observe… until recovery.

Kalau anak memang butuh obat, ya jangan minta puyer. Minta saja sirup dengan sendok/pipet takarnya.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...