Friday, December 20, 2013

Selintas Kisah Bakteri dan Virus

Bakteri menghuni tubuh kita sejak beberapa saat kita terlahir ke dunia. Bayi yg lahir secara spontan (persalinan normal), melewati vagina sang ibu yang pastinya penuh dengan bakteri. Bayi yg dilahirkan dengan operasi sesar pun, ketika didekapkan ke dada ibunya atau dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD), segera "berkenalan" dengan bakteri-bakteri baik penghuni kulit ibu, dan terjadilah perpindahan ke tubuh bayi.

Bayi yg awalnya berada di dalam lingkungan steril di dalam rahim ibu, segera pindah ke dunia yg penuh dengan kuman tak terhingga.

Pastilah ini diciptakan Sang Pencipta dengan maksud.

Pada saat bayi berusia 7 hari, milyaran bakteri menjadi penghuni tetap hidung, mulut, kulit, dan ususnya. Apakah kemudian bayi menjadi sakit karenanya?

Kini diketahui bahwa tubub manusia adalah HUMAN MICROBIOME. Apa maksudnya? Ada kurang lebih 10 trilyun sel yg menyusun tubuh manusia, tetapi ada 100 trilyun bakteri yang menghuni tubuh kita! Tubuh manusia lebih merupakan kumpulan bakteri dibandingkan kumpulan sel. Lalu apakah kita menjadi sakit setiap waktu? Tentu saja tidak.

Lalu apakah penggunaan antibiotik berlebihan dan tidak pada tempatnya (digunakan utk infeksi virus) tidak berpotensi membunuh bakteri baik penghuni tubuh kita? Keseimbangan pun akan terganggu dan prinsip survival of the fittest akan membuat bakteri baik bertanya: mengapa kami dimusnahkan?
Lebih jauh lagi, SUPERBUG alias bakteri resisten antibiotik juga ikut tercipta. Masa depan umat manusia ikut terancam...


Sekarang..mari kita bicara tentang virus. Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa virus bukanlah makhluk hidup. Virus "hanyalah" rangkaian materi genetik DNA/RNA yg dibungkus dengan protein dan polisakarida, yang HANYA bisa hidup di dalam makhluk hidup lainnya.

Jumlah virus di muka bumi amat sangat tak terhingga banyaknya. Virus ada di mana-mana. Tanpa disadari, setiap saat manusia menghirup dan menelan milyaran virus. Tapi apakah manusia menjadi sakit setiap waktu? Lagi-lagi tidak.

Virus menginfeksi tidak hanya manusia, tapi seluruh makhluk hidup di bumi. Bakteri pun diinfeksi oleh virus (virus yg menginfeksi bakteri dinamakan bakteriofag). Jumlah bakteriofag yg ada di lautan (saja), diperkirakan sebanyak 10 pangkat 30 (hitung sendiri ya..). Bila direntangkan rangkaian kepala sampai ekor bakteriofag ini, panjangnya (kalau tidak salah) sekitar 200 tahun cahaya. Ya, tak terbayangkan, jika kita masih ingat seberapa cepatnya kecepatan cahaya. Silakan buka www.virology.ws bila ingin mempelajari betapa luar biasanya virus. Profesor Vincent Racaniello dkk dari Columbia University menjelaskannya dengan mudah.

Kita sudah mengetahui bahwa mayoritas bakteri yang tinggal bersama kita tidak membahayakan, bahkan menguntungkan. Bakteri penghuni usus besar misalnya, membantu pencernaan kita setiap waktu dan berperan dalam pembentukan vitamin K.

Virus diketahui sebagai penyebab tersering penyakit infeksi pada manusia, termasuk anak. Jauh lebih sering dibandingkan dengan infeksi bakteri. Anak-anak adalah kelompok yg sangat sering sakit akibat infeksi virus. Sebagai contoh, dalam setahun seorang anak dapat mengalami 10-12 kali episode selesma (common cold). Apa artinya? Sebulan sekali! Apakah tiap bulan anak kena batuk pilek harus diberikan obat? Apakah tiap bulan kena batuk pilek anak harus dibawa ke dokter? Tentunya tidak. Sebutlah nama-nama seperti respiratory syncytial virus, influenza virus, parainfluenza virus, rinovirus, dan adenovirus sebagai penyebab tersering infeksi saluran napas pada anak. Total ada sekitar 200 strain virus yg bisa membuat common cold.

Inilah kabar buruk dan kabar baik tentang virus. Kabar buruknya adalah: biasanya hampir tidak ada obat yg dapat menyembuhkan infeksi virus lebih cepat. Kabar baiknya: sebagian besar infeksi virus biasanya sembuh sendiri tanpa obat-obatan.

Antibiotik tidak dapat membunuh virus, sehingga pastinya tidak membantu sama sekali membuat anak dengan infeksi virus sembuh lebih cepat.


Saya ingin bercerita sedikit pengalaman bertemu seorang ibu kemarin. Ia membawa anaknya yg berusia 16 bulan dengan riwayat 2x kejang demam, dan mendatangi saya untuk meminta pemeriksaan lengkap anaknya dan beberapa pertanyaan mengenai kejang demam.
Pertanyaan pertama saya adalah: "apa saja yang sudah Ibu baca mengenai kejang demam?" Anaknya sudah 2x mengalami kejang demam, dan...unfortunately..dirawat.
"Belum baca, Dok". Jujur, jawabannya mengejutkan saya. Saya sangat berharap ia sudah belajar tentang kejang demam dan siap mendiskusikannya dengan saya.
Tapi tidak apa-apa. Ini kesempatan bagi saya untuk menyampaikan beberapa poin penting tentang kejang demam dan memberikannya beberapa "PR" bacaan yang harus diselesaikannya di rumah. Semua ini demi kebaikan anaknya, menurut saya.

Buat Ibu yang ternyata membaca tulisan saya ini, mohon maaf bila saya share di sini untuk dijadikan bahan pelajaran. Mohon diijinkan.

Apa pelajaran yg bisa diambil? Ya...lagi-lagi orangtua adalah sosok terpenting pemegang kesehatan anaknya. Dokter hanya sesekali bertemu di ruang praktik, dan maaf, belum tentu dapat diandalkan (kan hanya bertemu saat itu saja). So..belajar terus ya. Sekarang saya tambah satu PR lagi: kuasai demam dan kejang demam.

Kita berlanjut.. Saya sampaikan beberapa kondisi yang seringkali tertukar: infeksi virus atau bakteri ya? Ini saya ambil dr buku Breaking the Antibiotic Habit-nya Paul Offit. Ia dokter anak dan profesor di bidang penyakit infeksi di AS, jadu jenis penyakitnya sebagian mungkin lebih cocok untuk konteks AS.

1. Virus yang menyebabkan produksi CAIRAN di telinga, disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan INFEKSI TELINGA (otitis media).

2. Virus yang menyebabkan NYERI TENGGOROKAN, disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan STREP THROAT.

3. Virus yang menyebakan ingus hijau/kuning kental dari hidung (COMMON COLD), disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan SINUSITIS.

4. Virus yg menyebabkan batuk yg terdengar "berat" (BRONKITIS), disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan PNEUMONIA.

Sekarang saya bahas dalam konteks Indonesia. Saya mohon maaf sebelumnya bila ada yg tidak berkenan. Ini berdasarkan pengamatan subjektif saya di lapangan.

1. Dokter belum tentu rutin melakukan pemeriksaan telinga anak dengan otoskop. Padahal ini adalah pemeriksaan rutin. Jadi bagaimana diagnosis infeksi telinga dibuat tanpa pemeriksaan menggunakan otoskop? Lebih-lebih yg langsung meresepkan antibiotik hanya berdasarkan keluhan subjektif seorang balita.
Hey, tolong ingatkan saya juga ya, bila saya lupa melakukan pemeriksaan telinga anak Anda.

2. Diagnosis "radang tenggorok" adalah salah satu yg tersering dibuat oleh dokter di sini, kemudian diresepkanlah antibiotik. Padahal radang tenggorokan bukanlah diagnosis medis. Antibiotik hanya diberikan pada strep throat, bukan radang tenggorok akibat virus.
Nambah lagi: PR baca ttg strep throat ya.

3. Kalau ingus sudah berubah warna dan menjadi kental, berarti karena infeksi bakteri dong? Antibiotik dong.. Hehe ini lagi-lagi adlh salah kaprah tersering. Sudah saya jelaskan di video saya di youtube ya. Diagnosis sinusitis pun hanya dibuat pada anak besar, jarang sekali pd balita.

4. Jujur, saya jarang buat diagnosis bronkitis (karena kekurangmampuan saya secara klinis untuk membuat diagnosis ini). Tapi toh karena virus yg akan sembuh sendiri kan.. Yg penting, PR lagi: belajar ttg pneumonia. Kapan anak dicurigai pneumonia sehingga dipikirkan antibiotik? Tentunya ada gejala sesak napas.
 

Demam dan Antibiotik

"Dok, anak saya demam sudah tiga hari. Ada batuk pilek. Tadi saya ke dokter dan diresepkan antibiotik. Belum saya tebus. Saya tanya ke dokter, kenapa anak saya dapat antibiotik? Setahu saya batuk-pilek karena infeksi virus. Dokternya menjawab: karena anak ibu demam, jd kemungkinan ini infeksi bakteri.
Apakah antibiotik harus saya tebus dan berikan ke anak saya?"
Pernah mendengar cerita serupa? Dokter mendiagnosis infeksi bakteri berdasarkan gejala demam. Atau biasanya bila demamnya tinggi, di atas 39 derajat selsius, maka dicurigai infeksi bakteri dan diresepkan antibiotik.
Benarkah demikian?

Mari kita bahas terlebih dulu mengenai demam..

Di dalam buku "Breaking the Antibiotic Habit" tulisan Paul Offit dkk, dituliskan data dari 100 anak yg pergi ke dokter karena demam, sekitar 60 akan diresepkan antibiotik. Sebenarnya hanya 10 yg terbukti terdiagnosis infeksi bakteri.

Demam diciptakan Alloh untuk memerangi infeksi (dalam hal adanya infeksi yg terjadi). Ketika kuman (virus/bakteri) masuk, sel-sel sistem imun kita menghasilkan protein bernama pirogen yang merangsang hipotalamus (termostat di otak kita) untuk menaikkan suhu tubuh dan terjadilah DEMAM. Mengapa wujudnya harus demam? Karena pada kondisi demam, sistem imun (pertahanan tubuh) kita bekerja lebih baik dalam melawan infeksi.

Sel darah putih kita yg bernama limfosit B menghasilkan protein bernama antibodi yang "mengikat" dan membunuh virus/bakteri. Limfosit T bekerja dengan mematikan sel-sel yang terinfeksi virus/bakteri, sebelum makin banyak sel yg dirusak oleh kuman. Ada sel-sel lain yg bekerja dg cara menangkap kuman, mencernanya, dan menyerahkannya ke sistem imun (antigen presenting cells). Semua tentara daya tahan tubuh ini bekerja LEBIH BAIK saat demam.

Apa artinya? DEMAM itu BAIK.

Kalau demam baik, mengapa badan kita tidak terus menerus demam saja?
Hehe, demam pastinya terasa tidak nyaman di badan. Demam juga menaikkan kerja jantung kita, meningkatkan pembuangan cairan tubuh, dan kebutuhan energi. Jadi tubuh hanya membuat demam saat dibutuhkan saja.

Lalu apakah demam boleh diobati? Diturunkan dg obat penurun panas?

Nanti anak mengalami kejang dong bila suhunya naik terus? Benarkah demikian?

 Kita tengok dua penelitian yg pernah dilakukan. Pertama di Johns Hopkins School of Medicine di Baltimore. Peneliti membagi dua kelompok anak yg sedang mengalami cacar air (varisela). Kelompok pertama rutin mendapatkan parasetamol 4 kali sehari selama 4 hari. Sedangkan kelompok kedua tidak diberikan obat penurun panas untuk mengatasi demamnya. Apa hasilnya? Ternyata anak-anak yg tidak mendapatkan parasetamol lebih cepat hilang lenting-lenting kulitnya, dibandingkan dengan yg diobati dengan parasetamol.

Penelitian kedua dilakukan di Universitas Adelaide di Australia. Peneliti menginfeksi 60 relawan dewasa sehat dengan rinovirus (penyebab common cold). 15 orang mendapat parasetamol, 15 orang ibuprofen, 15 orang aspirin, dan 15 sisanya tidak mendapat obat. Hasilnya seperti dugaan kita. Kelompok yg tidak diobati sembuh lebih cepat dibandingkan dengan yg diobati, dan membentuk antibodi lebih banyak dibandingkan dengan yg diobati.

Pemberian parasetamol, misalnya, juga bukan tanpa risiko. Banyak anak yg mengalami kerusakan hati akibat overdosis parasetamol atau kekurangpahamanborangtua terhadap dosis obat.

Masalah fever phobia ini demikian mendunianya. Jurnal Pediatrics di tahun 2011 menyimpulkan parasetamol atau obat penurun panas (antipiretik) lainnya diberikan bertujuan untuk membuat anak lebih nyaman ketika demam terus naik. Tidak perlu buru-buru memberikan antipiretik bila anak tidak rewel dan masih aktif.

Nanti kejang dong kalau suhunya naik terus?

Satu, kejang demam hanya terjadi pada 3 dari 100 anak yg mengalami demam. Dua, kejang demam tidak menjadi epilepsi atau menimbulkan kerusakan otak. Tiga, pemberian antipiretik terbukti tidak mencegah kejang demam. Empat, makin tinggi suhu tidak menandakan makin berat penyakit. Lima, hipotalamus kan punya setting suhu sendiri. Pada suhu tertentu, bila "mentok", maka tubuh akan menurunkan sendiri suhunya.

Apakah suhu yg lebih tinggi menandakan penyebabnya adalah bakteri?
Penelitian di Harvard Medical School di akhir 1980-an menunjukkan suhu yg lebih tinggi tidak membedakan penyebabnya virus atau bakteri. Bahkan kadang-kadang infeksi virus bisa menghasilkan suhu lebih tinggi dibandingkan bakteri.

Saturday, December 14, 2013

Mana yang lebih efektif: DPT atau DPaT?

Banyak orangtua khawatir anaknya mengalami demam pasca imunisasi DPT, sehingga mereka lebih memilih DPaT/DaPT/DTaP sebagai vaksin yang "tidak panas". Benarkah demikian? Vaccine information statement dari CDC menyatakan risiko demam pada anak yang mendapatkan vaksin DPaT dapat mencapai 1 dari 4 anak. (sumber: http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/vis/vis-statements/dtap.html). Artinya: sebenarnya tidak ada vaksin yang bebas demam 100%.

Lebih lanjut lagi, wabah pertusis yang terjadi di negara lain, Amerika Serikat khususnya, membuat peneliti kembali mengevaluasi efektivitas vaksin DPaT. Perlu diketahui, AS dan banyak negara lain di Eropa dan Australia sudah tidak menggunakan DPT (baca: whole cell pertussis vaccine--menggunakan bakteri pertusis utuh) lagi, tetapi menggunakan DPaT (baca: acellular pertussis vaccine--hanya menggunakan sekitar 3 komponen dari bakteri pertusis). Di AS sendiri, penggantian ini sudah dilakukan sejak tahun 1992, sedangkan di negara kita Indonesia, Bio Farma masih memproduksi DPT (kombinasi dengan Hepatitis B dan Hib) dan tersedia juga alternatif vaksin impor DPaT (tunggal, dan kombinasi dengan Hib, atau Hib-IPV).

Inilah beberapa kesimpulan yang mungkin bisa membantu orangtua membuat keputusan: vaksin mana yang akan digunakan?

- Vaksin DPT (whole cell) lebih melindungi seseorang dari kemungkinan terkena pertusis dibandingkan dengan DPaT (acellular). Fakta ini dibuktikan dari penelitian terbentuknya antibodi terhadap pertusis (pada penderita) menggunakan alat PCR, seperti diungkapkan di jurnal Pediatrics tahun ini (sumber: http://pediatrics.aappublications.org/content/early/2013/05/15/peds.2012-3836.full.pdf). Keunggulan vaksin DPT ini juga disimpulkan di jurnal Clinical infectious Disease tahun ini (sumber: http://cid.oxfordjournals.org/content/early/2013/03/05/cid.cit046.abstract).

- Durasi (jangka/lamanya) proteksi vaksin DPaT lebih singkat dibandingkan DPT dalam mencegah sakit pertusis. Interval waktu dari kapan terakhir mendapatkan imunisasi DPaT juga memengaruhi risiko seorang remaja/dewasa terkena pertusis di kemudian hari. (sumber: http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=1456072). Untuk itu, pemberian imunisasi booster jangan sampai terlewat. Sejauh ini rekomendasi imunisasi di Indonesia memberikan vaksin DPT/DPaT terakhir di usia 5-6 tahun. Mulai usia 7 tahun ke atas, dan jadwal imunisasi booster/ulangan di usia 10-12 tahun adalah imunisasi dT yang tidak mengandung pertusis. Di AS sendiri sudah menggunakan Tdap sebagai booster untuk usia tersebut/remaja/dewasa. Di Indonesia, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai insidens pertusis pada remaja dan dewasa.

- Bagaimanapun juga, vaksin DPaT tetap efektif melindungi bayi dan balita dari sakit pertusis. Cochrane yang dikenal sebagai sumber meta-analisis menyimpulkannya. (sumber: http://summaries.cochrane.org/CD001478/acellular-vaccines-for-preventing-whooping-cough-in-children).

- Lebih lanjut lagi, penelitian yang terakhir dipublikasikan menunjukkan vaksin pertusis aselular mampu mencegah sakit, tetapi tidak mencegah infeksi (tertular) dan penyebaran kuman Bordetella pertussis. Penelitian ini memang baru dilakukan pada hewan percobaan (sumber: http://www.medscape.com/viewarticle/815247).

Artikel lain yang juga bagus untuk dibaca ada di sini: http://www.medscape.com/viewarticle/777012_1

Nah, kini selaku orangtua, silakan memutuskan vaksin mana yang akan Anda gunakan: DPT atau DPaT. Semoga membantu dan bermanfaat.

Apin

Friday, December 13, 2013

Pandangan Mengenai Status Kehalalan Vaksin

Bismillah...
Karena banyak yg tampaknya bingung dg kabar keharaman vaksin, maka saya coba share pemahaman yg saya punya. Sebagai seorang tenaga kesehatan yg rutin mengimunisasi banyak anak, orangtua, dan anak-anak saya sendiri tentunya, saya kelak akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan saya di Hari Akhir kelak, termasuk dlm hal mengimunisasi.
Untuk itu saya menggali banyak referensi dan menyimpulkannya:
1. Prinsipnya, hukum kehalalan vaksin berdasarkan 3 hal:
- Istihalah: yaitu sesuatu yg sudah berubah dr sifat aslinya. Yg awalnya haram, menjadi tidak haram. Misal: babi dg seluruh komponennya yg haram, ketika berubah menjadi gelatin yg digunakan sbg stabilizer dlm vaksin (atau cangkang kapsul) menjadi tidak haram, karena sudah berubah dr sifat aslinya. Mengenai hal ini pernah diadakan konferensi ulama internasional yg memutuskannya. Link-nya pernah saya share di grup Gesamun.
- Istihlak: yaitu sesuatu yg najis/haram, ketika tercampur dengan bahan lain yg suci (terlarut) dlm jumlah besar, maka menjadi tidak najis/haram lg. Misal: tripsin dari pankreas babi (porcine) yg digunakan dlm proses awal pembuatan vaksin, akan dibersihkan hingga tidak terdeteksi dlm produk akhir vaksin.
- Dhorurot (darurat): yaitu ketika "terdesak" dan tdk ada pilihan lain. Ini yg paling sering digunakan oleh Komisi Fatwa MUI kita. Dasarnya adlh Quran surat Al Baqoroh 173, Al An'aam 145, dan An Nahl 115.

2. Bagaimana praktiknya dlm vaksin? Bahan bersumber babi digunakan dlm 2 kondisi:
- Sbg tripsin yg digunakan dlm kultur sel (silakan baca ttg vaccine cell culture di google) awal. Tujuannya utk melepaskan virus yg sdh dibiakkan dr wadah "bulk", agar virus dpt digunakan dlm proses selanjutnya. Tripsin ini jg dapat menghasilkan "biakan" bakteri yg banyak, utk digunakan dlm proses selanjutnya.
Berikutnya tripsin harus dicuci sampai bersih, karena bila tdk dicuci, tripsin adlh enzim yg bersifat sbg kataliaator yg akhirnya jg dapat merusak vaksin.
Dlm produk akhir vaksin yg disuntikkan/diteteskan ke dlm tubuh manusia, kandungan tripsin babi ini sudah tidak ada. Prinsipnya istihlak.
Contoh vaksin virus yg menggunakan tripsin porcine: polio dan rotavirus.
Contoh vaksin bakteri: meningokokus. FYI, bakteri meningokokus yg digunakan dlm vaksin pun bukan bakteri utuh, tapi hanya "dinding" polisakaridanya saja.
- Porcine digunakan sbg stabilizer yg ADA dlm produk akhir vaksin yg masuk dlm tubuh manusia. Stabilizer digunakan utk menjaga kualitas dan keawetan vaksin, shg vaksin yg disuntikkan tetap baik dlm memicu respon antibodi.
Produk ini pun tidak dinyatakan haram dan boleh digunakan berdasar fatwa ulama. Prinsipnya istihalah.
Contoh vaksinnya adlh MMR dan varisela produksi Merck (banyak digunakan oleh saudara2 kita di US). Di Indonesia, vaksin MMR produksi Sanofi (Trimovax) dan varisela produksi Sanofi (Okavax) dan GSK (Varilrix), sejauh pengamatan saya tidak menggunakan porcine sbg stabilizer, terapi menggunakan bahan lain. Ini pernah saya bahas jg di grup Gesamun.

3. Dlm wawancara saya dg seorang anggota tim ahli LP POM MUI (doktor di bidang bioteknologi) yg pernah dikirim utk melihat proses pembuatan vaksin meningokokus, beliau mengutip jg bbrp ayat dalil hukum darurat di atas. Bila dilihat konteksnya: ayat tsb digunakan dlm konteks makanan yg dikonsumsi utk menyambung kelangsungan hidup. Vaksin tidak sama dlm hal ini. Vaksin disuntikkan/diteteskan utk memicu respon antibodi dlm jumlah yg sangat sangat sedikit (0,5-1 ml). Maka tidak sepatutnya vaksin dilabelisasi haram.

4. Dari berbagai informasi yg saya dapat dan cerna, saya menyimpulkan tidak semua narasumber dr MUI yg diwawancara media paham masalah ini. Yg terjadi malah meresahkan masyarakat. Padahal sudah banyak ulama berkaliber internasional yg mendukung program imunisasi. Sejawat dr. Raehanul Bahraen sudah membahasnya dlm blognya di www.muslimafiyah.com
Mungkin Komisi Fatwa MUI kita perlu belajar dr negara2 lain yg tidak menggunakan prinsip darurat dlm memberikan sertifikat halal. Tapi kalaupun tetap dg prinsip darurat, toh ini juga diakui dlm fikih Islam.

5. Terakhir, mengapa menggunakan porcine? Dari wawancara dg narasumber lain seorang vaksinolog senior, porcine digunakan karena menghasilkan "biakan" kuman yg baik kualitasnya. Tentunya tujuan akhir imunisasi adalah mengeradikasi (memusnahkan/menghilangkan) penyakit, sehingga butuh vaksin dg kualitas terbaik. Tapi saat ini ilmuwan jg berusaha mengembangkan vaksin yg tidak menggunakan porcine lg. Sementara ini, bila belum ada alternatif lain dan ingin berhukum dg prinsip darurat, maka dibenarkan.

Vaksin adlh produk biologis yg dikembangkan lewat proses ratusan tahun dan memakan biaya sangat besar dlm memproduksinya. Tidak mudah jika tiba-tiba orang-orang asal bicara: "ayo dong, cari penggantinya. Buat yg baru. Bla bla bla".
Sehingga kesimpulan akhir saya: semua vaksin yg ada saat ini halal utk digunakan. Bila ada alternatif lain yg tidak bersentuhan sama sekali dg porcine, maka silakan gunakan.

Islam adlh agama yg menghendaki kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Imunisasi memberikan kemaslahatan ini. Maka saya yakin, Islam mendukungnya

Wallahu a'lam.Saya mohon maaf atas segala kesalahan. Yg benar datangnya dr Alloh, yg salah dr saya selaku hamba yg lemah dan bodoh.

-ditulis sepanjang Psr Rebo - Ciputat

Thursday, March 14, 2013

Cara Pemesanan Buku


Buku "Orangtua Cermat, Anak Sehat" dapat Anda pesan via online, dan kami akan mengirimkannya langsung ke alamat Anda.

Harga jual di toko buku: Rp. 60.000,-
Harga di sini: Rp.54.000,- per eksemplar (diskon 10%), belum termasuk ongkos kirim

Ongkos Kirim berlaku sebagai berikut :
Ongkos Kirim Jabodetabek Rp. 10.000,-
Ongkos Kirim Pulau Jawa diluar Jabodetabek Rp. 15.000,-
Ongkos Kirim Luar Pulau Jawa Rp. 25.000,-

Ongkos kirim bisa bertambah sesuai dengan banyaknya buku yang dipesan (hitungan berat per kilogram)

Cara pemesanan:
 (harap mengikuti tahap ini dengan lengkap supaya pesanan Anda dapat diproses)

1. Harap mentransfer ke Rekening dahulu:
BCA No. 1651.838.687 a.n. dr. Arifianto (jumlah pembelian buku dan ongkos kirim).

2. Mohon bukti transfer ke:
  • Email ke dokterapin@gmail.com disertai dengan data diri seperti hotline SMS
  • HOTLINE SMS ke 087887834523 dengan format:
    PO_orangtuacermat_[namapemesan]_[exmp]_ [norek]_[nama]_[alamat]_[kota]
Contoh SMS:
PO_orangtuacermat_Ratna_3_1230987456_RatnaSari_Jl.InpresNo.17A,KelurahanTengah,KramatJati_JakartaTimur
Keterangan:
[namapemesan] = nama pemesan
[exmp] = jumlah pesanan
[norek] = nomor rekening pemesan
[nama] = nama sesuai di rekening
[alamat] = alamat pengiriman
[kota] = kota




Setelah sms akan dikirim SMS balasan, seperti berikut “Terima kasih, pesanan Anda segera kami proses. Untuk informasi, SMS ke 087887834523.”

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...