Bakteri
menghuni tubuh kita sejak beberapa saat kita terlahir ke dunia. Bayi yg
lahir secara spontan (persalinan normal), melewati vagina sang ibu yang
pastinya penuh dengan bakteri. Bayi yg dilahirkan dengan operasi sesar
pun, ketika didekapkan ke dada ibunya atau dilakukan inisiasi menyusu
dini (IMD), segera "berkenalan" dengan bakteri-bakteri baik penghuni
kulit ibu, dan terjadilah perpindahan ke tubuh bayi.
Bayi yg awalnya berada di dalam lingkungan steril di dalam rahim ibu,
segera pindah ke dunia yg penuh dengan kuman tak terhingga.
Pastilah ini diciptakan Sang Pencipta dengan maksud.
Pada saat bayi berusia 7 hari, milyaran bakteri menjadi penghuni tetap
hidung, mulut, kulit, dan ususnya. Apakah kemudian bayi menjadi sakit
karenanya?
Kini diketahui bahwa tubub manusia adalah HUMAN
MICROBIOME. Apa maksudnya? Ada kurang lebih 10 trilyun sel yg menyusun
tubuh manusia, tetapi ada 100 trilyun bakteri yang menghuni tubuh kita!
Tubuh manusia lebih merupakan kumpulan bakteri dibandingkan kumpulan
sel. Lalu apakah kita menjadi sakit setiap waktu? Tentu saja tidak.
Lalu apakah penggunaan antibiotik berlebihan dan tidak pada tempatnya
(digunakan utk infeksi virus) tidak berpotensi membunuh bakteri baik
penghuni tubuh kita? Keseimbangan pun akan terganggu dan prinsip
survival of the fittest akan membuat bakteri baik bertanya: mengapa kami
dimusnahkan?
Lebih jauh lagi, SUPERBUG alias bakteri resisten antibiotik juga ikut tercipta. Masa depan umat manusia ikut terancam...
Sekarang..mari
kita bicara tentang virus. Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa virus
bukanlah makhluk hidup. Virus "hanyalah" rangkaian materi genetik
DNA/RNA yg dibungkus dengan protein dan polisakarida, yang HANYA bisa
hidup di dalam makhluk hidup lainnya.
Jumlah virus di muka bumi
amat sangat tak terhingga banyaknya. Virus ada di mana-mana. Tanpa
disadari, setiap saat manusia menghirup dan menelan milyaran virus. Tapi apakah manusia menjadi sakit setiap waktu? Lagi-lagi tidak.
Virus menginfeksi tidak hanya manusia, tapi seluruh makhluk hidup di
bumi. Bakteri pun diinfeksi oleh virus (virus yg menginfeksi bakteri
dinamakan bakteriofag). Jumlah bakteriofag yg ada di lautan (saja),
diperkirakan sebanyak 10 pangkat 30 (hitung sendiri ya..). Bila
direntangkan rangkaian kepala sampai ekor bakteriofag ini, panjangnya
(kalau tidak salah) sekitar 200 tahun cahaya. Ya, tak terbayangkan, jika
kita masih ingat seberapa cepatnya kecepatan cahaya. Silakan buka www.virology.ws
bila ingin mempelajari betapa luar biasanya virus. Profesor Vincent
Racaniello dkk dari Columbia University menjelaskannya dengan mudah.
Kita sudah mengetahui bahwa mayoritas bakteri yang tinggal bersama kita
tidak membahayakan, bahkan menguntungkan. Bakteri penghuni usus besar
misalnya, membantu pencernaan kita setiap waktu dan berperan dalam
pembentukan vitamin K.
Virus diketahui sebagai penyebab
tersering penyakit infeksi pada manusia, termasuk anak. Jauh lebih
sering dibandingkan dengan infeksi bakteri. Anak-anak adalah kelompok yg
sangat sering sakit akibat infeksi virus. Sebagai contoh, dalam setahun
seorang anak dapat mengalami 10-12 kali episode selesma (common cold).
Apa artinya? Sebulan sekali! Apakah tiap bulan anak kena batuk pilek
harus diberikan obat? Apakah tiap bulan kena batuk pilek anak harus
dibawa ke dokter? Tentunya tidak. Sebutlah nama-nama seperti respiratory
syncytial virus, influenza virus, parainfluenza virus, rinovirus, dan
adenovirus sebagai penyebab tersering infeksi saluran napas pada anak.
Total ada sekitar 200 strain virus yg bisa membuat common cold.
Inilah kabar buruk dan kabar baik tentang virus. Kabar buruknya adalah:
biasanya hampir tidak ada obat yg dapat menyembuhkan infeksi virus
lebih cepat. Kabar baiknya: sebagian besar infeksi virus biasanya sembuh
sendiri tanpa obat-obatan.
Antibiotik tidak dapat membunuh
virus, sehingga pastinya tidak membantu sama sekali membuat anak dengan
infeksi virus sembuh lebih cepat.
Saya
ingin bercerita sedikit pengalaman bertemu seorang ibu kemarin. Ia
membawa anaknya yg berusia 16 bulan dengan riwayat 2x kejang demam, dan
mendatangi saya untuk meminta pemeriksaan lengkap anaknya dan beberapa
pertanyaan mengenai kejang demam.
Pertanyaan pertama saya adalah: "apa saja yang sudah Ibu baca mengenai kejang demam?" Anaknya sudah 2x mengalami kejang demam, dan...unfortunately..dirawat.
"Belum baca, Dok". Jujur, jawabannya mengejutkan saya. Saya sangat
berharap ia sudah belajar tentang kejang demam dan siap mendiskusikannya
dengan saya.
Tapi tidak apa-apa. Ini kesempatan bagi saya untuk
menyampaikan beberapa poin penting tentang kejang demam dan
memberikannya beberapa "PR" bacaan yang harus diselesaikannya di rumah.
Semua ini demi kebaikan anaknya, menurut saya.
Buat Ibu yang
ternyata membaca tulisan saya ini, mohon maaf bila saya share di sini
untuk dijadikan bahan pelajaran. Mohon diijinkan.
Apa pelajaran
yg bisa diambil? Ya...lagi-lagi orangtua adalah sosok terpenting
pemegang kesehatan anaknya. Dokter hanya sesekali bertemu di ruang
praktik, dan maaf, belum tentu dapat diandalkan (kan hanya bertemu saat
itu saja). So..belajar terus ya. Sekarang saya tambah satu PR lagi:
kuasai demam dan kejang demam.
Kita berlanjut.. Saya sampaikan
beberapa kondisi yang seringkali tertukar: infeksi virus atau bakteri
ya? Ini saya ambil dr buku Breaking the Antibiotic Habit-nya Paul Offit.
Ia dokter anak dan profesor di bidang penyakit infeksi di AS, jadu
jenis penyakitnya sebagian mungkin lebih cocok untuk konteks AS.
1. Virus yang menyebabkan produksi CAIRAN di telinga, disalahartikan
dengan bakteri yg menyebabkan INFEKSI TELINGA (otitis media).
2. Virus yang menyebabkan NYERI TENGGOROKAN, disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan STREP THROAT.
3. Virus yang menyebakan ingus hijau/kuning kental dari hidung (COMMON
COLD), disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan SINUSITIS.
4. Virus yg menyebabkan batuk yg terdengar "berat" (BRONKITIS), disalahartikan dengan bakteri yg menyebabkan PNEUMONIA.
Sekarang saya bahas dalam konteks Indonesia. Saya mohon maaf sebelumnya
bila ada yg tidak berkenan. Ini berdasarkan pengamatan subjektif saya
di lapangan.
1. Dokter belum tentu rutin melakukan pemeriksaan
telinga anak dengan otoskop. Padahal ini adalah pemeriksaan rutin. Jadi
bagaimana diagnosis infeksi telinga dibuat tanpa pemeriksaan menggunakan
otoskop? Lebih-lebih yg langsung meresepkan antibiotik hanya
berdasarkan keluhan subjektif seorang balita.
Hey, tolong ingatkan saya juga ya, bila saya lupa melakukan pemeriksaan telinga anak Anda.
2. Diagnosis "radang tenggorok" adalah salah satu yg tersering dibuat
oleh dokter di sini, kemudian diresepkanlah antibiotik. Padahal radang
tenggorokan bukanlah diagnosis medis. Antibiotik hanya diberikan pada
strep throat, bukan radang tenggorok akibat virus.
Nambah lagi: PR baca ttg strep throat ya.
3. Kalau ingus sudah berubah warna dan menjadi kental, berarti karena
infeksi bakteri dong? Antibiotik dong.. Hehe ini lagi-lagi adlh salah
kaprah tersering. Sudah saya jelaskan di video saya di youtube ya.
Diagnosis sinusitis pun hanya dibuat pada anak besar, jarang sekali pd
balita.
4. Jujur, saya jarang buat diagnosis bronkitis (karena
kekurangmampuan saya secara klinis untuk membuat diagnosis ini). Tapi
toh karena virus yg akan sembuh sendiri kan.. Yg penting, PR lagi:
belajar ttg pneumonia. Kapan anak dicurigai pneumonia sehingga
dipikirkan antibiotik? Tentunya ada gejala sesak napas.
Friday, December 20, 2013
Demam dan Antibiotik
"Dok,
anak saya demam sudah tiga hari. Ada batuk pilek. Tadi saya ke dokter
dan diresepkan antibiotik. Belum saya tebus. Saya tanya ke dokter,
kenapa anak saya dapat antibiotik? Setahu saya batuk-pilek karena
infeksi virus. Dokternya menjawab: karena anak ibu demam, jd kemungkinan
ini infeksi bakteri.
Apakah antibiotik harus saya tebus dan berikan ke anak saya?"
Pernah mendengar cerita serupa? Dokter mendiagnosis infeksi bakteri berdasarkan gejala demam. Atau biasanya bila demamnya tinggi, di atas 39 derajat selsius, maka dicurigai infeksi bakteri dan diresepkan antibiotik.
Benarkah demikian?
Mari kita bahas terlebih dulu mengenai demam..
Di dalam buku "Breaking the Antibiotic Habit" tulisan Paul Offit dkk, dituliskan data dari 100 anak yg pergi ke dokter karena demam, sekitar 60 akan diresepkan antibiotik. Sebenarnya hanya 10 yg terbukti terdiagnosis infeksi bakteri.
Demam diciptakan Alloh untuk memerangi infeksi (dalam hal adanya infeksi yg terjadi). Ketika kuman (virus/bakteri) masuk, sel-sel sistem imun kita menghasilkan protein bernama pirogen yang merangsang hipotalamus (termostat di otak kita) untuk menaikkan suhu tubuh dan terjadilah DEMAM. Mengapa wujudnya harus demam? Karena pada kondisi demam, sistem imun (pertahanan tubuh) kita bekerja lebih baik dalam melawan infeksi.
Sel darah putih kita yg bernama limfosit B menghasilkan protein bernama antibodi yang "mengikat" dan membunuh virus/bakteri. Limfosit T bekerja dengan mematikan sel-sel yang terinfeksi virus/bakteri, sebelum makin banyak sel yg dirusak oleh kuman. Ada sel-sel lain yg bekerja dg cara menangkap kuman, mencernanya, dan menyerahkannya ke sistem imun (antigen presenting cells). Semua tentara daya tahan tubuh ini bekerja LEBIH BAIK saat demam.
Apa artinya? DEMAM itu BAIK.
Kalau demam baik, mengapa badan kita tidak terus menerus demam saja?
Hehe, demam pastinya terasa tidak nyaman di badan. Demam juga menaikkan kerja jantung kita, meningkatkan pembuangan cairan tubuh, dan kebutuhan energi. Jadi tubuh hanya membuat demam saat dibutuhkan saja.
Lalu apakah demam boleh diobati? Diturunkan dg obat penurun panas?
Nanti anak mengalami kejang dong bila suhunya naik terus? Benarkah demikian?
Kita tengok dua penelitian yg pernah dilakukan. Pertama di Johns Hopkins School of Medicine di Baltimore. Peneliti membagi dua kelompok anak yg sedang mengalami cacar air (varisela). Kelompok pertama rutin mendapatkan parasetamol 4 kali sehari selama 4 hari. Sedangkan kelompok kedua tidak diberikan obat penurun panas untuk mengatasi demamnya. Apa hasilnya? Ternyata anak-anak yg tidak mendapatkan parasetamol lebih cepat hilang lenting-lenting kulitnya, dibandingkan dengan yg diobati dengan parasetamol.
Penelitian kedua dilakukan di Universitas Adelaide di Australia. Peneliti menginfeksi 60 relawan dewasa sehat dengan rinovirus (penyebab common cold). 15 orang mendapat parasetamol, 15 orang ibuprofen, 15 orang aspirin, dan 15 sisanya tidak mendapat obat. Hasilnya seperti dugaan kita. Kelompok yg tidak diobati sembuh lebih cepat dibandingkan dengan yg diobati, dan membentuk antibodi lebih banyak dibandingkan dengan yg diobati.
Pemberian parasetamol, misalnya, juga bukan tanpa risiko. Banyak anak yg mengalami kerusakan hati akibat overdosis parasetamol atau kekurangpahamanborangtua terhadap dosis obat.
Masalah fever phobia ini demikian mendunianya. Jurnal Pediatrics di tahun 2011 menyimpulkan parasetamol atau obat penurun panas (antipiretik) lainnya diberikan bertujuan untuk membuat anak lebih nyaman ketika demam terus naik. Tidak perlu buru-buru memberikan antipiretik bila anak tidak rewel dan masih aktif.
Nanti kejang dong kalau suhunya naik terus?
Satu, kejang demam hanya terjadi pada 3 dari 100 anak yg mengalami demam. Dua, kejang demam tidak menjadi epilepsi atau menimbulkan kerusakan otak. Tiga, pemberian antipiretik terbukti tidak mencegah kejang demam. Empat, makin tinggi suhu tidak menandakan makin berat penyakit. Lima, hipotalamus kan punya setting suhu sendiri. Pada suhu tertentu, bila "mentok", maka tubuh akan menurunkan sendiri suhunya.
Apakah suhu yg lebih tinggi menandakan penyebabnya adalah bakteri?
Penelitian di Harvard Medical School di akhir 1980-an menunjukkan suhu yg lebih tinggi tidak membedakan penyebabnya virus atau bakteri. Bahkan kadang-kadang infeksi virus bisa menghasilkan suhu lebih tinggi dibandingkan bakteri.
Apakah antibiotik harus saya tebus dan berikan ke anak saya?"
Pernah mendengar cerita serupa? Dokter mendiagnosis infeksi bakteri berdasarkan gejala demam. Atau biasanya bila demamnya tinggi, di atas 39 derajat selsius, maka dicurigai infeksi bakteri dan diresepkan antibiotik.
Benarkah demikian?
Mari kita bahas terlebih dulu mengenai demam..
Di dalam buku "Breaking the Antibiotic Habit" tulisan Paul Offit dkk, dituliskan data dari 100 anak yg pergi ke dokter karena demam, sekitar 60 akan diresepkan antibiotik. Sebenarnya hanya 10 yg terbukti terdiagnosis infeksi bakteri.
Demam diciptakan Alloh untuk memerangi infeksi (dalam hal adanya infeksi yg terjadi). Ketika kuman (virus/bakteri) masuk, sel-sel sistem imun kita menghasilkan protein bernama pirogen yang merangsang hipotalamus (termostat di otak kita) untuk menaikkan suhu tubuh dan terjadilah DEMAM. Mengapa wujudnya harus demam? Karena pada kondisi demam, sistem imun (pertahanan tubuh) kita bekerja lebih baik dalam melawan infeksi.
Sel darah putih kita yg bernama limfosit B menghasilkan protein bernama antibodi yang "mengikat" dan membunuh virus/bakteri. Limfosit T bekerja dengan mematikan sel-sel yang terinfeksi virus/bakteri, sebelum makin banyak sel yg dirusak oleh kuman. Ada sel-sel lain yg bekerja dg cara menangkap kuman, mencernanya, dan menyerahkannya ke sistem imun (antigen presenting cells). Semua tentara daya tahan tubuh ini bekerja LEBIH BAIK saat demam.
Apa artinya? DEMAM itu BAIK.
Kalau demam baik, mengapa badan kita tidak terus menerus demam saja?
Hehe, demam pastinya terasa tidak nyaman di badan. Demam juga menaikkan kerja jantung kita, meningkatkan pembuangan cairan tubuh, dan kebutuhan energi. Jadi tubuh hanya membuat demam saat dibutuhkan saja.
Lalu apakah demam boleh diobati? Diturunkan dg obat penurun panas?
Nanti anak mengalami kejang dong bila suhunya naik terus? Benarkah demikian?
Kita tengok dua penelitian yg pernah dilakukan. Pertama di Johns Hopkins School of Medicine di Baltimore. Peneliti membagi dua kelompok anak yg sedang mengalami cacar air (varisela). Kelompok pertama rutin mendapatkan parasetamol 4 kali sehari selama 4 hari. Sedangkan kelompok kedua tidak diberikan obat penurun panas untuk mengatasi demamnya. Apa hasilnya? Ternyata anak-anak yg tidak mendapatkan parasetamol lebih cepat hilang lenting-lenting kulitnya, dibandingkan dengan yg diobati dengan parasetamol.
Penelitian kedua dilakukan di Universitas Adelaide di Australia. Peneliti menginfeksi 60 relawan dewasa sehat dengan rinovirus (penyebab common cold). 15 orang mendapat parasetamol, 15 orang ibuprofen, 15 orang aspirin, dan 15 sisanya tidak mendapat obat. Hasilnya seperti dugaan kita. Kelompok yg tidak diobati sembuh lebih cepat dibandingkan dengan yg diobati, dan membentuk antibodi lebih banyak dibandingkan dengan yg diobati.
Pemberian parasetamol, misalnya, juga bukan tanpa risiko. Banyak anak yg mengalami kerusakan hati akibat overdosis parasetamol atau kekurangpahamanborangtua terhadap dosis obat.
Masalah fever phobia ini demikian mendunianya. Jurnal Pediatrics di tahun 2011 menyimpulkan parasetamol atau obat penurun panas (antipiretik) lainnya diberikan bertujuan untuk membuat anak lebih nyaman ketika demam terus naik. Tidak perlu buru-buru memberikan antipiretik bila anak tidak rewel dan masih aktif.
Nanti kejang dong kalau suhunya naik terus?
Satu, kejang demam hanya terjadi pada 3 dari 100 anak yg mengalami demam. Dua, kejang demam tidak menjadi epilepsi atau menimbulkan kerusakan otak. Tiga, pemberian antipiretik terbukti tidak mencegah kejang demam. Empat, makin tinggi suhu tidak menandakan makin berat penyakit. Lima, hipotalamus kan punya setting suhu sendiri. Pada suhu tertentu, bila "mentok", maka tubuh akan menurunkan sendiri suhunya.
Apakah suhu yg lebih tinggi menandakan penyebabnya adalah bakteri?
Penelitian di Harvard Medical School di akhir 1980-an menunjukkan suhu yg lebih tinggi tidak membedakan penyebabnya virus atau bakteri. Bahkan kadang-kadang infeksi virus bisa menghasilkan suhu lebih tinggi dibandingkan bakteri.
Saturday, December 14, 2013
Mana yang lebih efektif: DPT atau DPaT?
Banyak orangtua khawatir anaknya mengalami demam pasca imunisasi DPT,
sehingga mereka lebih memilih DPaT/DaPT/DTaP sebagai vaksin yang "tidak
panas". Benarkah demikian? Vaccine information statement dari CDC
menyatakan risiko demam pada anak yang mendapatkan vaksin DPaT dapat
mencapai 1 dari 4 anak. (sumber: http://www.cdc.gov/vaccines/ hcp/vis/vis-statements/ dtap.html). Artinya: sebenarnya tidak ada vaksin yang bebas demam 100%.
Lebih lanjut lagi, wabah pertusis yang terjadi di negara lain, Amerika
Serikat khususnya, membuat peneliti kembali mengevaluasi efektivitas
vaksin DPaT. Perlu diketahui, AS dan banyak negara lain di Eropa dan
Australia sudah tidak menggunakan DPT (baca: whole cell pertussis
vaccine--menggunakan bakteri pertusis utuh) lagi, tetapi menggunakan
DPaT (baca: acellular pertussis vaccine--hanya menggunakan sekitar 3
komponen dari bakteri pertusis). Di AS sendiri, penggantian ini sudah
dilakukan sejak tahun 1992, sedangkan di negara kita Indonesia, Bio
Farma masih memproduksi DPT (kombinasi dengan Hepatitis B dan Hib) dan
tersedia juga alternatif vaksin impor DPaT (tunggal, dan kombinasi
dengan Hib, atau Hib-IPV).
Inilah beberapa kesimpulan yang mungkin bisa membantu orangtua membuat keputusan: vaksin mana yang akan digunakan?
- Vaksin DPT (whole cell) lebih melindungi seseorang dari kemungkinan
terkena pertusis dibandingkan dengan DPaT (acellular). Fakta ini
dibuktikan dari penelitian terbentuknya antibodi terhadap pertusis (pada
penderita) menggunakan alat PCR, seperti diungkapkan di jurnal
Pediatrics tahun ini (sumber: http:// pediatrics.aappublications.org/ content/early/2013/05/15/ peds.2012-3836.full.pdf). Keunggulan vaksin DPT ini juga disimpulkan di jurnal Clinical infectious Disease tahun ini (sumber: http://cid.oxfordjournals.org/ content/early/2013/03/05/ cid.cit046.abstract).
- Durasi (jangka/lamanya) proteksi vaksin DPaT lebih singkat
dibandingkan DPT dalam mencegah sakit pertusis. Interval waktu dari
kapan terakhir mendapatkan imunisasi DPaT juga memengaruhi risiko
seorang remaja/dewasa terkena pertusis di kemudian hari. (sumber: http://jama.jamanetwork.com/ article.aspx?articleid=1456072).
Untuk itu, pemberian imunisasi booster jangan sampai terlewat. Sejauh
ini rekomendasi imunisasi di Indonesia memberikan vaksin DPT/DPaT
terakhir di usia 5-6 tahun. Mulai usia 7 tahun ke atas, dan jadwal
imunisasi booster/ulangan di usia 10-12 tahun adalah imunisasi dT yang
tidak mengandung pertusis. Di AS sendiri sudah menggunakan Tdap sebagai
booster untuk usia tersebut/remaja/dewasa. Di Indonesia, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai insidens pertusis pada remaja dan
dewasa.
- Bagaimanapun juga, vaksin DPaT tetap efektif
melindungi bayi dan balita dari sakit pertusis. Cochrane yang dikenal
sebagai sumber meta-analisis menyimpulkannya. (sumber: http://summaries.cochrane.org/ CD001478/ acellular-vaccines-for-preventi ng-whooping-cough-in-children).
- Lebih lanjut lagi, penelitian yang terakhir dipublikasikan
menunjukkan vaksin pertusis aselular mampu mencegah sakit, tetapi tidak
mencegah infeksi (tertular) dan penyebaran kuman Bordetella pertussis.
Penelitian ini memang baru dilakukan pada hewan percobaan (sumber: http://www.medscape.com/ viewarticle/815247).
Artikel lain yang juga bagus untuk dibaca ada di sini: http://www.medscape.com/ viewarticle/777012_1
Nah, kini selaku orangtua, silakan memutuskan vaksin mana yang akan
Anda gunakan: DPT atau DPaT. Semoga membantu dan bermanfaat.
Apin
Friday, December 13, 2013
Pandangan Mengenai Status Kehalalan Vaksin
Bismillah...
Karena banyak yg tampaknya bingung dg kabar keharaman vaksin, maka saya
coba share pemahaman yg saya punya. Sebagai seorang tenaga kesehatan yg
rutin mengimunisasi banyak anak, orangtua, dan anak-anak saya sendiri
tentunya, saya kelak akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan saya
di Hari Akhir kelak, termasuk dlm hal mengimunisasi.
Untuk itu saya menggali banyak referensi dan menyimpulkannya:
1. Prinsipnya, hukum kehalalan vaksin berdasarkan 3 hal:
- Istihalah: yaitu sesuatu yg sudah berubah dr sifat aslinya. Yg
awalnya haram, menjadi tidak haram. Misal: babi dg seluruh komponennya
yg haram, ketika berubah menjadi gelatin yg digunakan sbg stabilizer dlm
vaksin (atau cangkang kapsul) menjadi tidak haram, karena sudah berubah
dr sifat aslinya. Mengenai hal ini pernah diadakan konferensi ulama
internasional yg memutuskannya. Link-nya pernah saya share di grup
Gesamun.
- Istihlak: yaitu sesuatu yg najis/haram, ketika tercampur
dengan bahan lain yg suci (terlarut) dlm jumlah besar, maka menjadi
tidak najis/haram lg. Misal: tripsin dari pankreas babi (porcine) yg
digunakan dlm proses awal pembuatan vaksin, akan dibersihkan hingga
tidak terdeteksi dlm produk akhir vaksin.
- Dhorurot (darurat):
yaitu ketika "terdesak" dan tdk ada pilihan lain. Ini yg paling sering
digunakan oleh Komisi Fatwa MUI kita. Dasarnya adlh Quran surat Al
Baqoroh 173, Al An'aam 145, dan An Nahl 115.
2. Bagaimana praktiknya dlm vaksin? Bahan bersumber babi digunakan dlm 2 kondisi:
- Sbg tripsin yg digunakan dlm kultur sel (silakan baca ttg vaccine
cell culture di google) awal. Tujuannya utk melepaskan virus yg sdh
dibiakkan dr wadah "bulk", agar virus dpt digunakan dlm proses
selanjutnya. Tripsin ini jg dapat menghasilkan "biakan" bakteri yg
banyak, utk digunakan dlm proses selanjutnya.
Berikutnya tripsin
harus dicuci sampai bersih, karena bila tdk dicuci, tripsin adlh enzim
yg bersifat sbg kataliaator yg akhirnya jg dapat merusak vaksin.
Dlm
produk akhir vaksin yg disuntikkan/diteteskan ke dlm tubuh manusia,
kandungan tripsin babi ini sudah tidak ada. Prinsipnya istihlak.
Contoh vaksin virus yg menggunakan tripsin porcine: polio dan rotavirus.
Contoh vaksin bakteri: meningokokus. FYI, bakteri meningokokus yg
digunakan dlm vaksin pun bukan bakteri utuh, tapi hanya "dinding"
polisakaridanya saja.
- Porcine digunakan sbg stabilizer yg ADA dlm
produk akhir vaksin yg masuk dlm tubuh manusia. Stabilizer digunakan utk
menjaga kualitas dan keawetan vaksin, shg vaksin yg disuntikkan tetap
baik dlm memicu respon antibodi.
Produk ini pun tidak dinyatakan haram dan boleh digunakan berdasar fatwa ulama. Prinsipnya istihalah.
Contoh vaksinnya adlh MMR dan varisela produksi Merck (banyak digunakan
oleh saudara2 kita di US). Di Indonesia, vaksin MMR produksi Sanofi
(Trimovax) dan varisela produksi Sanofi (Okavax) dan GSK (Varilrix),
sejauh pengamatan saya tidak menggunakan porcine sbg stabilizer, terapi
menggunakan bahan lain. Ini pernah saya bahas jg di grup Gesamun.
3. Dlm wawancara saya dg seorang anggota tim ahli LP POM MUI (doktor di
bidang bioteknologi) yg pernah dikirim utk melihat proses pembuatan
vaksin meningokokus, beliau mengutip jg bbrp ayat dalil hukum darurat di
atas. Bila dilihat konteksnya: ayat tsb digunakan dlm konteks makanan
yg dikonsumsi utk menyambung kelangsungan hidup. Vaksin tidak sama dlm
hal ini. Vaksin disuntikkan/diteteskan utk memicu respon antibodi dlm
jumlah yg sangat sangat sedikit (0,5-1 ml). Maka tidak sepatutnya vaksin
dilabelisasi haram.
4. Dari berbagai informasi yg saya dapat
dan cerna, saya menyimpulkan tidak semua narasumber dr MUI yg
diwawancara media paham masalah ini. Yg terjadi malah meresahkan
masyarakat. Padahal sudah banyak ulama berkaliber internasional yg
mendukung program imunisasi. Sejawat dr. Raehanul Bahraen sudah membahasnya dlm blognya di www.muslimafiyah.com
Mungkin Komisi Fatwa MUI kita perlu belajar dr negara2 lain yg tidak
menggunakan prinsip darurat dlm memberikan sertifikat halal. Tapi
kalaupun tetap dg prinsip darurat, toh ini juga diakui dlm fikih Islam.
5. Terakhir, mengapa menggunakan porcine? Dari wawancara dg narasumber
lain seorang vaksinolog senior, porcine digunakan karena menghasilkan
"biakan" kuman yg baik kualitasnya. Tentunya tujuan akhir imunisasi
adalah mengeradikasi (memusnahkan/menghilangkan) penyakit, sehingga
butuh vaksin dg kualitas terbaik. Tapi saat ini ilmuwan jg berusaha
mengembangkan vaksin yg tidak menggunakan porcine lg. Sementara ini,
bila belum ada alternatif lain dan ingin berhukum dg prinsip darurat,
maka dibenarkan.
Vaksin adlh produk biologis yg dikembangkan
lewat proses ratusan tahun dan memakan biaya sangat besar dlm
memproduksinya. Tidak mudah jika tiba-tiba orang-orang asal bicara: "ayo
dong, cari penggantinya. Buat yg baru. Bla bla bla".
Sehingga
kesimpulan akhir saya: semua vaksin yg ada saat ini halal utk digunakan.
Bila ada alternatif lain yg tidak bersentuhan sama sekali dg porcine,
maka silakan gunakan.
Islam adlh agama yg menghendaki
kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Imunisasi
memberikan kemaslahatan ini. Maka saya yakin, Islam mendukungnya
Wallahu a'lam.Saya mohon maaf atas segala kesalahan. Yg benar datangnya
dr Alloh, yg salah dr saya selaku hamba yg lemah dan bodoh.
-ditulis sepanjang Psr Rebo - Ciputat
Subscribe to:
Posts (Atom)
Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...
-
Pernah menjumpai bercak kemerahan, cenderung berwarna oranye (merah-)?bata) di popok bayi Anda? Bahkan muncul berulang kali! 😱 Normalkah ha...
-
Ternyata tidak pada sebagian besar kasus. Infeksi jamur penyebab sariawan terjadi pada anak-anak dengan daya tahan tubuh menurun, seperti m...
-
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. ...