Dok, anak saya usianya
hampir 5 tahun, tapi malas mengunyah sehingga setiap kali makan bisa
sampai satu jam. Dia pun enggan minum susu. Padahal saya sudah berusaha
telaten menyuapi dan rajin mengingatkan untuk minum susu. Untuk
meningkatkan staminanya, saya berikan dia biofos, madu, dan sari kurma.
Benarkah tindakan saya ini?
Sejak kecil anak saya juga sering
batuk, Dok. Mungkinkah ini pengaruh dari asma yang saya idap? Jika
batuknya agak berat, dokter selalu memberi antibiotik. Apa pemberian
antibiotik suatu keharusan atau adakah cara lain? Terima kasih.
Retno, Bojonegoro
Ibu Retno, ada empat hal yang akan saya jawab. Pertama, anak Ibu sudah
cukup besar, bukan bayi lagi. Coba amati mengapa ia membutuhkan waktu
makan yang lama dan mengunyah lambat. Kondisi tersering adalah anak
bosan makan nasi. Orangtua pun cenderung memberi label anak “susah
makan” karena tidak mau makan nasi (mengingat nasi adalah makanan utama
kebanyakan orang Indonesia).
Sebagian anak adalah pemilih makanan
(picky eater), maka orangtua harus menyesuaikan keinginan dan selera
makan anak, tanpa mengurangi kualitas nutrisinya. Tawarkan jenis makanan
pengganti karbohidrat yang variatif, misalnya beras merah, kentang,
gandum, jagung, dan sagu. Jangan lupa, lauk berupa protein dan lemak,
serta pendamping sayur dan buah di tiap porsi makan.
Satu hal
penting yang perlu kita pahami, minum susu tidaklah wajib. Maka jangan
paksa anak untuk minum susu tiap hari bila ia tidak menyukainya. Susu
dibutuhkan sebagai sumber kalsium, dan Ibu dapat mengganti kalsium dari
sumber makanan hewani lainnya. Pemberian makanan yang bervariasi
diharapkan dapat meningkatkan selera makan anak.
Kedua, penyebab
batuk berulang harus ditelusuri, salah satunya dengan konsultasi ke
dokter. Asma mungkin saja salah satu penyebabnya, namun orangtua yang
asma tidak secara langsung menurunkannya pada anak. Apa ada orang dewasa
yang merokok di sekeliling anak? Faktor ini sering terlupakan sebagai
penyebab batuk anak, yaitu sebagai second-hand bahkan third-hand smoker.
Ketiga, sampai saat ini belum ada satu pun suplemen yang terbukti dapat
meningkatkan daya tahan tubuh atau stamina anak. Prinsipnya, berikan
makanan sesuai kebutuhan nutrisi anak, yang mencakup makronutrien
(karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikronutrien (vitamin dan
mineral). Ibu bisa membuka situs www [dot] choosemyplate [dot] gov untuk
melihat contoh-contohnya.
Yakinlah, selama anak Ibu tidak
mengalami penyakit yang menekan daya tahan tubuh seperti HIV, leukemia,
dan kanker lain, atau minum obat-obatan steroid jangka panjang, maka
daya tahan anak baik-baik saja. Sering mengalami batuk pilek tidak
berarti daya tahan tubuh lemah. Anak yang sudah bersekolah jadi sering
sakit karena tertular infeksi virus berulang dari kawan-kawannya. Perlu
diingat, infeksi virus dapat sembuh sendiri seiring waktu.
Terakhir, antibiotik hanya diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri.
Sebagian besar penyakit infeksi pada manusia, termasuk anak-anak,
disebabkan infeksi virus yang sama sekali tidak membutuhkan antibiotik.
Pemberian antibiotik berulang justru dapat membunuh bakteri-bakteri baik
di tubuh anak dan menjadikannya makin rentan sakit. Batuk “agak berat”
belum tentu butuh antibiotik, apabila penyebabnya bukan infeksi bakteri.
Ibu bisa mempelajari masalah bahaya antibiotik di situs www [dot]
react-yop [dot] or [dot] id, www [dot] milissehat [dot] web [dot] id,
dan blog saya, www [dot] arifianto [dot] blogspot [dot] com.
*Rubrik ini diasuh oleh dr. Arifianto, SpA atau akrab dipanggil Dokter
Apin. Ia juga menulis buku "Orangtua Cermat Anak Sehat" dan Buku Pro
Kontra Imunisasi
Friday, April 03, 2015
Belajar dari Orangtua Shalih
Menjadi seorang dokter anak adalah sebuah nikmat untuk saya. Bagaimana
tidak? Hampir setiap hari saya bertemu dengan anak-anak yang sakit dalam
berbagai bentuk. Mulai dari yang paling ringan, sekedar batuk-pilek
saja, sampai dengan yang berat, semacam infeksi susunan saraf pusat atau
radang paru-paru berat yang membutuhkan perawatan di ruang rawat
intensif. Tidak hanya ini, kondisi keseharian anak-anak ini pun
bermacam-macam. Tidak sedikit yang berasal dari keluarga miskin papa,
sehingga ketika menghadapi anaknya yang harus dirawat, orangtuanya harus
meninggalkan pekerjaannya untuk sementara dan otomatis kehilangan
sumber penghasilannya, yang sebenarnya dalam kondisi sehari-harinya pun
belum tentu mencukupi untuk hidup esok hari. Kondisi ini kadang
diperumit dengan anak-anak mereka yang mengalami keterlambatan
perkembangan atau palsi serebral. Mereka harus disuapi, dimandikan,
diawasi sepanjang waktu, kadang mengalami episode kejang berulang, yang
semuanya membutuhkan banyak waktu dan perhatian. Kondisi ini berlangsung
bertahun-tahun, karena anak-anak ini memanh tidak dapat berkembang
layaknya anak-anak normal lainnya. Semua ini selalu membuat saya
bersyukur dengan kondisi yang saya dan keluarga alami. Kami memiliki
anak-anak yang sehat tidak kurang suatu apa pun.
Hal lain yang membuat saya bersyukur adalah beberapa orangtua pasien yang saya jumpai. Ya, mereka memberikan banyak pelajaran kepada saya selaku sesama orangtua. Mereka adalah para orangtua yang shalih. Ada beberapa kisah.
Beberapa tahun yang lalu saat masih menjalani pendidikan spesialisasi, saya merawat seorang anak berusia 2 tahun dengan kanker di otaknya. Awalnya gadis kecil ini secara bertahap menurun kemampuan berjalannya. Singkat cerita, tumor ganas menghuni lokasi yang dekat dengan batang otaknya, dan ia dirawat di ruang rawat intensif dengan bantuan ventilator karena tumot menekan batang otak yang merupakan pusat napas.
Ibu gadis kecil ini adalah seorang hafidzah--hafal Quran 30 juz. Ayah si gadis adalah pria shalih yang meskipun tidak berlatar pendidikan khusus agama, tetapi kadang menjadi imam shalat berjamaah di masjid dengan hafalan Quran yang cukup baik. Allah memang mengasihi hamba-hamba-Nya yang shalih dan mengujinya. Saya terkesan dengan ketabahan dan kepasrahan mereka menghadapi anak tercintanya, hingga sang gadis menemui ajalnya. Tidak ada kesedihan berlebihan atau penyesalan menghadapi ujian itu. Hanya ayat-ayat Quran yang senantiasa terlantun dari lisan sang Ayah saat menemani gadis ciliknya. Bocah ini meninggal di hari Jumat. A good day to die.
Beberapa pekan lalu, saya menjumpai lagi pasangan orangtua shalih. Curahan hati sang bunda saya ceritakan di bawah. Saya sudah mendapatkan ijin darinya. Yang membuat saya terkesan adalah kepasrahan total sang bunda ketika saya harus menceritakan hasil CT Scan putrinya. Wahai Ibu, saya belajar banyak dari Ibu dan suami. Semoga Allah memberikan kesembuhan untuk ananda dan mengangkat derajat Ibu dan keluarga. Terima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepada saya, akan arti hidup yang sesungguhnya adalah penyerahan diri kepada Allah semata.
Inilah curahan hatinya...
"Sofiyyah Qurrota Aini
Dalam nama ada doa, begitu juga dengan namamu,kami berharap engkau menjadi perempuan seperti Sofiyyah binti Huyay.ummul mukminin dari kalangan yahudi yang mungil, cantik dan cerdas.lalu menjadi penyejuk mata ummi dan abah.
"Aini tau ga? Kamu itu Hadiah terindah dari Allah", itulah yang selalu kubisikkan padamu di malam-malam kau jelang berbaring.dan matamu yang indah akan berkejab kejab dengan sesungging senyum yang lebar.aku tau kamu bahagia.
Seperti namamu, engkau menjadi anak yg mungil,cantik,cerdas, ceria dan sholehah. Bukan hanya yg ummi rasakan, tapi juga dirasakanoleh teman dan guru-gurumu.harapan besar terbentang di hadapanmu. Apalagi ketika 3 bulan lalu kau meminta untuk tidak meneruskan sekolah. "Aini mau apa?",tanyaku. "Aku mau belajar tahfidz dan bahasa arab aja Mi". Jawabmu tegas.
Dan seperti di sekolah TK dan SD mu,di tempat kau mondok pun engkau jadi penyejuk mata ustadz dan ustadzahmu.
Namun itu semua hanya berlangsung sekitar 3minggu. Bermula ketika muntahmu makin menghebat dan fisikmu yang semakin melemah."ada apa dengan anakku?dokter hanya mendiagnosis dia menderita gastritis dan typhus,tp kenapa kondisinya semkin melemah? Semakin sering tidur? Penglihatan yang kabur dan gelisah setiap malam.ada apa dengan dirimu cintaku?.tapi, subhanallah, tak pernah ku dengar satu kata keluhan pun dari bibirmu.kau hanya meringkuk sambil memeluk kedua lututmu."pusing nak?",dan kau hanya mengangguk.
Atau kau pijat pijat sendiri tangan dan kakimu. "Kenapa mba?pegel ya?",dankamu hanya menjawab "iya". Ketika setiap malam kau gelisah tidak bisa tidur dan ummi berusaha nemenin,kamu cuma bilang,"ummi ga usah bangun, tidur aja". Pada umurmu yang baru 7 tahun,kau simpan sendiri penderitaan sakitmu.Subhanallah
3 minggu sudah sejak vonis itu ummi dan abah dengar. Medulla Blastoma. Nama asing yang meluluhkan lantakkan hati ummi dan abah. Mengguncang gunung harapan, mengaburkan mimpi indah dan menciptakan sungai sungai di kedua mata kami.
Sofiyyah Qurrota Aini
Perempuan mungil,cantik dan cerdas penyejuk mata kami. Engkau memang hadiah terindah dari Allah. Tiap kali ummi membopongmu,menyuapimu,memandikanmu,menyelimutimu, ummi rasakan kebahagiaan dibalik hati ummi yang menangis. Engkaulah anak pilihan Allah di antara jutaan anak lain di dunia ini.Allah pilihkan engkau untuk menjadi ladang pahala ummi dan abah.Allah pilihkan engkau untuk mengajari ummi dan abah arti kesabaran dan keikhlasan.Engkau memang bukan milik kami,engkau hanya titipan yang harus kami jaga demi kebahagiaan akhirat kami.
Ketegaranmu adalah ketegaran kami juga nak.
Perjuangan kita di dunia ini baru dimulai nak ,mari kita berjuang bersama-sama untuk meraih janji Allah terhadap orang-orang yang sabar.Surga Firdaus.
Amiin.."
Hal lain yang membuat saya bersyukur adalah beberapa orangtua pasien yang saya jumpai. Ya, mereka memberikan banyak pelajaran kepada saya selaku sesama orangtua. Mereka adalah para orangtua yang shalih. Ada beberapa kisah.
Beberapa tahun yang lalu saat masih menjalani pendidikan spesialisasi, saya merawat seorang anak berusia 2 tahun dengan kanker di otaknya. Awalnya gadis kecil ini secara bertahap menurun kemampuan berjalannya. Singkat cerita, tumor ganas menghuni lokasi yang dekat dengan batang otaknya, dan ia dirawat di ruang rawat intensif dengan bantuan ventilator karena tumot menekan batang otak yang merupakan pusat napas.
Ibu gadis kecil ini adalah seorang hafidzah--hafal Quran 30 juz. Ayah si gadis adalah pria shalih yang meskipun tidak berlatar pendidikan khusus agama, tetapi kadang menjadi imam shalat berjamaah di masjid dengan hafalan Quran yang cukup baik. Allah memang mengasihi hamba-hamba-Nya yang shalih dan mengujinya. Saya terkesan dengan ketabahan dan kepasrahan mereka menghadapi anak tercintanya, hingga sang gadis menemui ajalnya. Tidak ada kesedihan berlebihan atau penyesalan menghadapi ujian itu. Hanya ayat-ayat Quran yang senantiasa terlantun dari lisan sang Ayah saat menemani gadis ciliknya. Bocah ini meninggal di hari Jumat. A good day to die.
Beberapa pekan lalu, saya menjumpai lagi pasangan orangtua shalih. Curahan hati sang bunda saya ceritakan di bawah. Saya sudah mendapatkan ijin darinya. Yang membuat saya terkesan adalah kepasrahan total sang bunda ketika saya harus menceritakan hasil CT Scan putrinya. Wahai Ibu, saya belajar banyak dari Ibu dan suami. Semoga Allah memberikan kesembuhan untuk ananda dan mengangkat derajat Ibu dan keluarga. Terima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepada saya, akan arti hidup yang sesungguhnya adalah penyerahan diri kepada Allah semata.
Inilah curahan hatinya...
"Sofiyyah Qurrota Aini
Dalam nama ada doa, begitu juga dengan namamu,kami berharap engkau menjadi perempuan seperti Sofiyyah binti Huyay.ummul mukminin dari kalangan yahudi yang mungil, cantik dan cerdas.lalu menjadi penyejuk mata ummi dan abah.
"Aini tau ga? Kamu itu Hadiah terindah dari Allah", itulah yang selalu kubisikkan padamu di malam-malam kau jelang berbaring.dan matamu yang indah akan berkejab kejab dengan sesungging senyum yang lebar.aku tau kamu bahagia.
Seperti namamu, engkau menjadi anak yg mungil,cantik,cerdas, ceria dan sholehah. Bukan hanya yg ummi rasakan, tapi juga dirasakanoleh teman dan guru-gurumu.harapan besar terbentang di hadapanmu. Apalagi ketika 3 bulan lalu kau meminta untuk tidak meneruskan sekolah. "Aini mau apa?",tanyaku. "Aku mau belajar tahfidz dan bahasa arab aja Mi". Jawabmu tegas.
Dan seperti di sekolah TK dan SD mu,di tempat kau mondok pun engkau jadi penyejuk mata ustadz dan ustadzahmu.
Namun itu semua hanya berlangsung sekitar 3minggu. Bermula ketika muntahmu makin menghebat dan fisikmu yang semakin melemah."ada apa dengan anakku?dokter hanya mendiagnosis dia menderita gastritis dan typhus,tp kenapa kondisinya semkin melemah? Semakin sering tidur? Penglihatan yang kabur dan gelisah setiap malam.ada apa dengan dirimu cintaku?.tapi, subhanallah, tak pernah ku dengar satu kata keluhan pun dari bibirmu.kau hanya meringkuk sambil memeluk kedua lututmu."pusing nak?",dan kau hanya mengangguk.
Atau kau pijat pijat sendiri tangan dan kakimu. "Kenapa mba?pegel ya?",dankamu hanya menjawab "iya". Ketika setiap malam kau gelisah tidak bisa tidur dan ummi berusaha nemenin,kamu cuma bilang,"ummi ga usah bangun, tidur aja". Pada umurmu yang baru 7 tahun,kau simpan sendiri penderitaan sakitmu.Subhanallah
3 minggu sudah sejak vonis itu ummi dan abah dengar. Medulla Blastoma. Nama asing yang meluluhkan lantakkan hati ummi dan abah. Mengguncang gunung harapan, mengaburkan mimpi indah dan menciptakan sungai sungai di kedua mata kami.
Sofiyyah Qurrota Aini
Perempuan mungil,cantik dan cerdas penyejuk mata kami. Engkau memang hadiah terindah dari Allah. Tiap kali ummi membopongmu,menyuapimu,memandikanmu,menyelimutimu, ummi rasakan kebahagiaan dibalik hati ummi yang menangis. Engkaulah anak pilihan Allah di antara jutaan anak lain di dunia ini.Allah pilihkan engkau untuk menjadi ladang pahala ummi dan abah.Allah pilihkan engkau untuk mengajari ummi dan abah arti kesabaran dan keikhlasan.Engkau memang bukan milik kami,engkau hanya titipan yang harus kami jaga demi kebahagiaan akhirat kami.
Ketegaranmu adalah ketegaran kami juga nak.
Perjuangan kita di dunia ini baru dimulai nak ,mari kita berjuang bersama-sama untuk meraih janji Allah terhadap orang-orang yang sabar.Surga Firdaus.
Amiin.."
Bagaimana membentuk habit agar tidak mudah memberikan antibiotik?
Saya terinspirasi untuk menulis ini selagi membaca buku How to Master
Your Habits tulisan Ustadz Felix Y. Siauw. Habits alias kebiasaan,
ternyata memegang peran penting dalam kehidupan kita. Bahkan habits, yg
dibentuk oleh latihan (exercise) dan pengulangan (repetition), dapat
mengendalikan hidup kita. Salah satunya adalah habit dalam peresepan
obat oleh dokter.
Kita tahu mayoritas dokter di Indonesia masih mudah meresepkan antibiotik (AB), meskipun bisa jadi tidak ada indikasinya. Batuk pilek karena infeksi virus diberi AB. Diare tanpa darah karena infeksi virus diberikan AB. Demam lebih dari 3 hari karena infeksi virus, diresepkan AB juga. Apa kira-kira alasan dokter yg meresepkan?
"Kuman di Indonesia sebagai negara berkembang berbeda dengan kuman di negara maju. Di sini banyak infeksi bakteri, jadi harus diberi AB."
"Waduh, Indonesia beda dengan luar negeri. Sudah banyak kuman yg kebal karena pemberian AB selama ini, nanti tidak sembuh kalau tidak dikasih AB."
Dan masih banyak alasan lainnya. Begitu juga dengan pasiennya sendiri, terkadang bila tidak diresepkan AB, malah meminta. "Saya sudah berobat ke bidan, ke dokter 2 kali, tapi kok anak saya masih belum sembuh batuknya. Saya sekarang ke dokter spesialis kok sama saja, tidak dikasih AB." (Padahal dari dokter dan bidan sebelumnya malah sudah diberi AB segala rupa tapi belum sembuh juga. Ya iyalah, banyak yg batuk pilek di rumahnya jadi mudah tertular dan belum sembuh).
Seorang kawan bahkan pernah memberikan sarannya pada saya, yg kurang lebih seperti ini: "Pin, nanti kalo ente di RSUD, tidak sama dengan pasien-pasien yg kelasnya menengah ke atas. Kalo pasien dirawat dan tidak dapat AB, bisa makin lama pulihnya."
Well, let's see. I have my own "habit". Not just a habit, of course. But how to make a diagnosis and treat patient, based on years of training, facing patients, and SHOULD BE based on Evidence-based guidelines, of course.
Habit yg dibentuk atas kepercayaan terhadap guidelines, EBM, dan jam terbang pemantauan pasien dengan terapi yg sudah diberikan tentunya berbeda dengan habit mudahnya memberi AB karena ke-tidak-pede-an bila tidak meresepkannya.
Contoh lain adalah diagnosis menentukan perlu tidaknya cek laboratorium. Tentunya tidak semua demam lebih dari 3 hari harus dicek lab, bukan? Karena tidak semua demam lebih dari 3 hari dicurigai DBD.
Saya tipe orang yg mudah percaya dengan teori yg diberikan. Bukankah dokter harus percaya dengan teori yg didapatkannya saat belajar? Bukankah guideline dan EBM disusun berdasarkan banyak penelitian dan dapat dikritisi setting penelitiannya, untuk dapat dicocokkan dengan ke-mampu-laksana-annya di tempat praktik kita? Selama bertahun-tahun saya mencoba "mempercayai" guidelines dan melaksanakannya. Kalau tidak butuh AB ya jangan diberikan. Ini habit yg coba dibentuk.
Saya lalu coba menerapkannya di setting tempat dg banyak pasien low-socioeconomic class seperti di RSUD. Hey, ternyata sama saja. Mau pasiennya kaya atau miskin, kumannya sepertinya sama saja. Jadi semua back to guidelines. Habit yg dibentuk sesuai guidelines akan melahirkan outcome sesuai yg diperkirakan. Pasien tidak lebih lama juga length of stay di RS. Sembuhnya sama juga. Well, meskipun harus diakui, ada sebagian kecil kasus yg di luar dugaan. Nggak nyangka kalo ini DBD, padahal awalnya batuk pilek. Atau ternyata infeksi bakteri yg butuh AB, padahal awalnya yakin banget infeksi virus. Kasus-kasus "kecolongan" seperti ini tentunya jarang. Berlaku hukum percaya dulu dengan yg mayoritas, baru ke yg minoritas.
Sebaliknya, habit yg dibentuk untuk mudah meresepkan AB untuk kasus-kasus yg sebenarnya infeksi virus akan melahirkan outcome "pasien susah sembuh bila tidak dapat AB". Patokan ini berlaku juga untuk pasien ya: jangan minta AB kalo tidak terindikasi. Makanya, belajar dulu mengenai AB.
Mohon maaf bila tidak berkenan. Mohon koreksi
Kita tahu mayoritas dokter di Indonesia masih mudah meresepkan antibiotik (AB), meskipun bisa jadi tidak ada indikasinya. Batuk pilek karena infeksi virus diberi AB. Diare tanpa darah karena infeksi virus diberikan AB. Demam lebih dari 3 hari karena infeksi virus, diresepkan AB juga. Apa kira-kira alasan dokter yg meresepkan?
"Kuman di Indonesia sebagai negara berkembang berbeda dengan kuman di negara maju. Di sini banyak infeksi bakteri, jadi harus diberi AB."
"Waduh, Indonesia beda dengan luar negeri. Sudah banyak kuman yg kebal karena pemberian AB selama ini, nanti tidak sembuh kalau tidak dikasih AB."
Dan masih banyak alasan lainnya. Begitu juga dengan pasiennya sendiri, terkadang bila tidak diresepkan AB, malah meminta. "Saya sudah berobat ke bidan, ke dokter 2 kali, tapi kok anak saya masih belum sembuh batuknya. Saya sekarang ke dokter spesialis kok sama saja, tidak dikasih AB." (Padahal dari dokter dan bidan sebelumnya malah sudah diberi AB segala rupa tapi belum sembuh juga. Ya iyalah, banyak yg batuk pilek di rumahnya jadi mudah tertular dan belum sembuh).
Seorang kawan bahkan pernah memberikan sarannya pada saya, yg kurang lebih seperti ini: "Pin, nanti kalo ente di RSUD, tidak sama dengan pasien-pasien yg kelasnya menengah ke atas. Kalo pasien dirawat dan tidak dapat AB, bisa makin lama pulihnya."
Well, let's see. I have my own "habit". Not just a habit, of course. But how to make a diagnosis and treat patient, based on years of training, facing patients, and SHOULD BE based on Evidence-based guidelines, of course.
Habit yg dibentuk atas kepercayaan terhadap guidelines, EBM, dan jam terbang pemantauan pasien dengan terapi yg sudah diberikan tentunya berbeda dengan habit mudahnya memberi AB karena ke-tidak-pede-an bila tidak meresepkannya.
Contoh lain adalah diagnosis menentukan perlu tidaknya cek laboratorium. Tentunya tidak semua demam lebih dari 3 hari harus dicek lab, bukan? Karena tidak semua demam lebih dari 3 hari dicurigai DBD.
Saya tipe orang yg mudah percaya dengan teori yg diberikan. Bukankah dokter harus percaya dengan teori yg didapatkannya saat belajar? Bukankah guideline dan EBM disusun berdasarkan banyak penelitian dan dapat dikritisi setting penelitiannya, untuk dapat dicocokkan dengan ke-mampu-laksana-annya di tempat praktik kita? Selama bertahun-tahun saya mencoba "mempercayai" guidelines dan melaksanakannya. Kalau tidak butuh AB ya jangan diberikan. Ini habit yg coba dibentuk.
Saya lalu coba menerapkannya di setting tempat dg banyak pasien low-socioeconomic class seperti di RSUD. Hey, ternyata sama saja. Mau pasiennya kaya atau miskin, kumannya sepertinya sama saja. Jadi semua back to guidelines. Habit yg dibentuk sesuai guidelines akan melahirkan outcome sesuai yg diperkirakan. Pasien tidak lebih lama juga length of stay di RS. Sembuhnya sama juga. Well, meskipun harus diakui, ada sebagian kecil kasus yg di luar dugaan. Nggak nyangka kalo ini DBD, padahal awalnya batuk pilek. Atau ternyata infeksi bakteri yg butuh AB, padahal awalnya yakin banget infeksi virus. Kasus-kasus "kecolongan" seperti ini tentunya jarang. Berlaku hukum percaya dulu dengan yg mayoritas, baru ke yg minoritas.
Sebaliknya, habit yg dibentuk untuk mudah meresepkan AB untuk kasus-kasus yg sebenarnya infeksi virus akan melahirkan outcome "pasien susah sembuh bila tidak dapat AB". Patokan ini berlaku juga untuk pasien ya: jangan minta AB kalo tidak terindikasi. Makanya, belajar dulu mengenai AB.
Mohon maaf bila tidak berkenan. Mohon koreksi
Tulisan yang tak saya masukkan ke dalam buku Pro Kontra Imunisasi
Pada
bulan Januari 1925, wabah difteri merebak di Alaska. Beberapa anak suku
Inuit di Nome, Alaska terdiagnosis difteri, penyakit mematikan yang
masih cukup banyak menjangkiti warga di berbagai belahan dunia.
Satu-satunya upaya mengatasi difteri adalah menyuntikkan anti-toksin
kepada seluruh penderitanya. Tanpa obat ini, difteri akan makin menyebar
luas dan menginfeksi lebih banyak orang, membahayakan seluruh penduduk
Nome. Telegraf permohonan bantuan dikirimkan ke berbagai kota di sekitar
yang mungkin menyediakan anti-toksin, tetapi hanya satu RS di
Anchorage, berjarak 1.000 mil dari Nome, yang menyediakan obat ini.
Kendala terbesar adalah transportasi. Kereta api hanya mampu membawa
obat-obatan sampai kota Nenana. Perjalanan udara yang seharusnya menjadi
andalan selanjutnya harus terhenti di hanggar pesawat, akibat cuaca
ganas di musim dingin. Jalan keluarpenyaluran anti-toksin dari Nenana ke
Nome (sejauh 674 mil) harus segera ditemukan.
Tersebutlah nama Balto, seekor anjing Siberian husky yang namanya dikenal saat ini sebagai sosok yang berhasil membawa anti-toksin difteri hingga ke Nome. Ya, akhirnya diputuskan upaya tercepat dan paling memungkinkan membawa anti-toksin menggunakan pasukan anjing (dog sled team). Lebih dari 20 orang pengendali anjing dan pasukan anjing-anjingnya terlibat dalam perjalanan heroik ini. Membawa paket anti-toksin difteri, mereka melawan dinginnyadatarankutub utarayang dapat mencapai minus 40 derajat fahrenheit, ditambah dengan kuatnya hembusan angin dingin yang dengan mudahnya melumpuhkan pasukan anjing dan pengendalinya.
Pada tanggal 1 Februari 1925, paket berisi anti-toksin diserahkan untuk yang terakhir kalinya kepada Gunnar Kassen di desa Bluff. Pasukan anjing Kassen dipimpin oleh anjing bernama Balto, yang harus berhasil mencapai Nome dan menyerahkan paket dalam keadaan baik. Di dalam perjalananmenuju titik akhir, pasukan Balto menghadapi suhu ekstrem minus 50 derajat dan harus melawan angin berkecepatan 50 mph. Kassen tak mampu menentukan arah perjalanan. Dalam kondisi kritis, Balto mampu menentukan arah perjalanan dengan tepat mengikuti nalurinya. Setelah melalui perjalanan melelahkan selama 20 jam, Balto berhasil mencapai tujuanpada tanggal 2 Februari. Anti-toksin difteri mencapai tujuan dengan selamat setelah 7 hari meninggalkan Anchorage dan 127,5 jam pasca keberangkatan dari Nenana.
Kisah heroik Balto menunjukkan upaya penyelamatan nyawa manusia menggunakan vaksin dan anti-toksin sebagai salah satu keberhasilan besar manusia di bidang kemanusiaan. Berbagai upaya telah dikerahkan oleh banyak orang di berbagai negara, termasuk Indonesia, selama puluhan tahun, untuk mendukung keberhasilan program imunisasi. Karena mereka semua memahami: imunisasi terbukti menyelamatkan nyawa.
Simak kisah Ewan McGregor melintasi berbagai belahan dunia untuk mengantarkan vaksin polio, bagaimana polio akhirnya dapat dimusnahkan dari bumi Indonesia, dan pengakuan seorang muslim Nigeria yang menyesal telah menolak imunisasi hanya di Buku Pro Kontra Imunisasi
Arifianto, Juli 2014
Tersebutlah nama Balto, seekor anjing Siberian husky yang namanya dikenal saat ini sebagai sosok yang berhasil membawa anti-toksin difteri hingga ke Nome. Ya, akhirnya diputuskan upaya tercepat dan paling memungkinkan membawa anti-toksin menggunakan pasukan anjing (dog sled team). Lebih dari 20 orang pengendali anjing dan pasukan anjing-anjingnya terlibat dalam perjalanan heroik ini. Membawa paket anti-toksin difteri, mereka melawan dinginnyadatarankutub utarayang dapat mencapai minus 40 derajat fahrenheit, ditambah dengan kuatnya hembusan angin dingin yang dengan mudahnya melumpuhkan pasukan anjing dan pengendalinya.
Pada tanggal 1 Februari 1925, paket berisi anti-toksin diserahkan untuk yang terakhir kalinya kepada Gunnar Kassen di desa Bluff. Pasukan anjing Kassen dipimpin oleh anjing bernama Balto, yang harus berhasil mencapai Nome dan menyerahkan paket dalam keadaan baik. Di dalam perjalananmenuju titik akhir, pasukan Balto menghadapi suhu ekstrem minus 50 derajat dan harus melawan angin berkecepatan 50 mph. Kassen tak mampu menentukan arah perjalanan. Dalam kondisi kritis, Balto mampu menentukan arah perjalanan dengan tepat mengikuti nalurinya. Setelah melalui perjalanan melelahkan selama 20 jam, Balto berhasil mencapai tujuanpada tanggal 2 Februari. Anti-toksin difteri mencapai tujuan dengan selamat setelah 7 hari meninggalkan Anchorage dan 127,5 jam pasca keberangkatan dari Nenana.
Kisah heroik Balto menunjukkan upaya penyelamatan nyawa manusia menggunakan vaksin dan anti-toksin sebagai salah satu keberhasilan besar manusia di bidang kemanusiaan. Berbagai upaya telah dikerahkan oleh banyak orang di berbagai negara, termasuk Indonesia, selama puluhan tahun, untuk mendukung keberhasilan program imunisasi. Karena mereka semua memahami: imunisasi terbukti menyelamatkan nyawa.
Simak kisah Ewan McGregor melintasi berbagai belahan dunia untuk mengantarkan vaksin polio, bagaimana polio akhirnya dapat dimusnahkan dari bumi Indonesia, dan pengakuan seorang muslim Nigeria yang menyesal telah menolak imunisasi hanya di Buku Pro Kontra Imunisasi
Arifianto, Juli 2014
Korban Serangan Iklan
Orang Indonesia tidak bisa lepas dari kudapan. Bahkan, kita orang
dewasa, menggemari jajanan, apa pun jenisnya. Hidup tanpa jajan, rasanya
seperti misi yang mustahil. Kita kerap menilai jajanan kemasan pabrikan
lebih aman dan sehat. Padahal, menurut dokter spesialis anak, dr.
Arifianto SpA, tidak demikian. Kalaupun jenis makanan itu aman,
menggunakan gula, garam, pewarna, dan pengawet sesuai dengan batas yang
ditentukan, makanan itu bisa disebut ‘safe’, tapi belum tentu ‘healthy’.
Untuk itu, kita perlu menelisik lebih jauh, apa sebetulnya yang disebut jajanan sehat. Para praktisi kedokteran merujuk pola makan yang baik menurut food plate (di situs choosemyplate dot gov), yaitu makanan yang seimbang karbohidrat kompleks, protein, sayuran, dan buah.
Buat anak-anak, ada meal time dan snack time. “Snack time sehat itu berupa jajanan rendah kalori dan tinggi serat. Ujung-ujungnya banyak sayur dan buah juga. Memang itu diet yang benar,” jelas dr. Arifianto, yang mengatakan, gemuk dan kurusnya anak belum tentu karena faktor makanan, bisa juga karena faktor genetis.
Mengenai berapa banyak dan berapa kali sehari anak mengonsumsi snack, dr. Arifianto berpendapat, “Prinsipnya, tiga kali makan, dua kali camilan. Tapi, namanya anak, dia makan kalau dia lapar. They eat what they see. Bisa jadi makan snack-nya cuma sekali karena keasyikan main. Selama kurva berat/tinggi badannya mengikuti kurva standar WHO, dia tumbuh normal.”
Hal yang patut diwaspadai juga, menurut dr. Arifianto, adalah keberadaan iklan makanan yang berkali-kali muncul di layar televisi. Jingle-nya yang catchy langsung ‘kena’ di kepala anak. “Selain kebijakan pengawasan makanan, mungkin perlu ada kebijakan penayangan iklan yang berkaitan dengan makanan. Jangan cuma iklan rokok yang diatur. Ada iklan seperti jelly, sosis, dan snack-snack kemasan yang ditayangkan ke anak-anak. Banyak dari makanan itu tinggi gula, pengawet, dan garam,” cetus dr. Arifianto.
Ditambahkannya, jika mengonsumsi makanan itu, sebaiknya sesekali saja. Tapi, praktiknya untuk anak-anak memang susah. Apalagi di mana-mana lihat iklan. Tak heran jika saat ini angka obesitas dan penyakit degeneratif terus meningkat. “Dengan menerapkan pola makan dan jajan sehat pada anak, diharapkan di masa mendatang penderita penyakit degeneratif menurun.”
Sekarang, tantangannya bisakah kita, orang tua, mengubah paradigma dan gaya makannya? Sebab, harus diakui, orang tua juga bisa disebut sebagai korban dari serangan asing yang masuk lewat media, yang membuat kebanyakan pola makan dan kudapan kita jauh dari sehat. Sulit untuk mengubah begitu saja.
Untuk menerapkan pola makan sehat di keluarga, tentu harus dimulai dari kita. Para orang tua haruslah menjadi role model bagi anaknya. “Kalau anak makanannya diatur, disuruh-suruh, tetapi orang tuanya makan mi instan, fast food, dan gorengan, percuma saja. Jika orang tuanya bagus pola makannya, anak tidak akan terpengaruh dengan beragam jajanan tidak sehat yang dijajakan di luar,” ujar dr. Arifianto.
Langkah awal untuk memulai hidup sehat adalah dengan memahami, seperti apa gaya hidup sehat itu. Selain mengenali jenis makanan sehat, kebersihan juga harus menjadi bagian dari gaya hidup. “Jika sulit menemukan jenis jajanan sehat, tidak ada cara lain kecuali membawa bekal sendiri dari rumah,” ujar dr. Arifianto.
Tulisan ini adalah sub artikel dari Majalah Femina edisi 8 Februari 2014 dengan topik "Jajanan Sekolah Sehat", hasil wawancara Ficky Yusrini dengan saya.
Untuk itu, kita perlu menelisik lebih jauh, apa sebetulnya yang disebut jajanan sehat. Para praktisi kedokteran merujuk pola makan yang baik menurut food plate (di situs choosemyplate dot gov), yaitu makanan yang seimbang karbohidrat kompleks, protein, sayuran, dan buah.
Buat anak-anak, ada meal time dan snack time. “Snack time sehat itu berupa jajanan rendah kalori dan tinggi serat. Ujung-ujungnya banyak sayur dan buah juga. Memang itu diet yang benar,” jelas dr. Arifianto, yang mengatakan, gemuk dan kurusnya anak belum tentu karena faktor makanan, bisa juga karena faktor genetis.
Mengenai berapa banyak dan berapa kali sehari anak mengonsumsi snack, dr. Arifianto berpendapat, “Prinsipnya, tiga kali makan, dua kali camilan. Tapi, namanya anak, dia makan kalau dia lapar. They eat what they see. Bisa jadi makan snack-nya cuma sekali karena keasyikan main. Selama kurva berat/tinggi badannya mengikuti kurva standar WHO, dia tumbuh normal.”
Hal yang patut diwaspadai juga, menurut dr. Arifianto, adalah keberadaan iklan makanan yang berkali-kali muncul di layar televisi. Jingle-nya yang catchy langsung ‘kena’ di kepala anak. “Selain kebijakan pengawasan makanan, mungkin perlu ada kebijakan penayangan iklan yang berkaitan dengan makanan. Jangan cuma iklan rokok yang diatur. Ada iklan seperti jelly, sosis, dan snack-snack kemasan yang ditayangkan ke anak-anak. Banyak dari makanan itu tinggi gula, pengawet, dan garam,” cetus dr. Arifianto.
Ditambahkannya, jika mengonsumsi makanan itu, sebaiknya sesekali saja. Tapi, praktiknya untuk anak-anak memang susah. Apalagi di mana-mana lihat iklan. Tak heran jika saat ini angka obesitas dan penyakit degeneratif terus meningkat. “Dengan menerapkan pola makan dan jajan sehat pada anak, diharapkan di masa mendatang penderita penyakit degeneratif menurun.”
Sekarang, tantangannya bisakah kita, orang tua, mengubah paradigma dan gaya makannya? Sebab, harus diakui, orang tua juga bisa disebut sebagai korban dari serangan asing yang masuk lewat media, yang membuat kebanyakan pola makan dan kudapan kita jauh dari sehat. Sulit untuk mengubah begitu saja.
Untuk menerapkan pola makan sehat di keluarga, tentu harus dimulai dari kita. Para orang tua haruslah menjadi role model bagi anaknya. “Kalau anak makanannya diatur, disuruh-suruh, tetapi orang tuanya makan mi instan, fast food, dan gorengan, percuma saja. Jika orang tuanya bagus pola makannya, anak tidak akan terpengaruh dengan beragam jajanan tidak sehat yang dijajakan di luar,” ujar dr. Arifianto.
Langkah awal untuk memulai hidup sehat adalah dengan memahami, seperti apa gaya hidup sehat itu. Selain mengenali jenis makanan sehat, kebersihan juga harus menjadi bagian dari gaya hidup. “Jika sulit menemukan jenis jajanan sehat, tidak ada cara lain kecuali membawa bekal sendiri dari rumah,” ujar dr. Arifianto.
Tulisan ini adalah sub artikel dari Majalah Femina edisi 8 Februari 2014 dengan topik "Jajanan Sekolah Sehat", hasil wawancara Ficky Yusrini dengan saya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...
-
Pernah menjumpai bercak kemerahan, cenderung berwarna oranye (merah-)?bata) di popok bayi Anda? Bahkan muncul berulang kali! 😱 Normalkah ha...
-
Ternyata tidak pada sebagian besar kasus. Infeksi jamur penyebab sariawan terjadi pada anak-anak dengan daya tahan tubuh menurun, seperti m...
-
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. ...