Orang Indonesia tidak bisa lepas dari kudapan. Bahkan, kita orang
dewasa, menggemari jajanan, apa pun jenisnya. Hidup tanpa jajan, rasanya
seperti misi yang mustahil. Kita kerap menilai jajanan kemasan pabrikan
lebih aman dan sehat. Padahal, menurut dokter spesialis anak, dr.
Arifianto SpA, tidak demikian. Kalaupun jenis makanan itu aman,
menggunakan gula, garam, pewarna, dan pengawet sesuai dengan batas yang
ditentukan, makanan itu bisa disebut ‘safe’, tapi belum tentu ‘healthy’.
Untuk itu, kita perlu menelisik lebih jauh, apa sebetulnya yang disebut jajanan sehat. Para praktisi kedokteran merujuk pola makan yang baik menurut food plate (di situs choosemyplate dot gov), yaitu makanan yang seimbang karbohidrat kompleks, protein, sayuran, dan buah.
Buat anak-anak, ada meal time dan snack time. “Snack time sehat itu berupa jajanan rendah kalori dan tinggi serat. Ujung-ujungnya banyak sayur dan buah juga. Memang itu diet yang benar,” jelas dr. Arifianto, yang mengatakan, gemuk dan kurusnya anak belum tentu karena faktor makanan, bisa juga karena faktor genetis.
Mengenai berapa banyak dan berapa kali sehari anak mengonsumsi snack, dr. Arifianto berpendapat, “Prinsipnya, tiga kali makan, dua kali camilan. Tapi, namanya anak, dia makan kalau dia lapar. They eat what they see. Bisa jadi makan snack-nya cuma sekali karena keasyikan main. Selama kurva berat/tinggi badannya mengikuti kurva standar WHO, dia tumbuh normal.”
Hal yang patut diwaspadai juga, menurut dr. Arifianto, adalah keberadaan iklan makanan yang berkali-kali muncul di layar televisi. Jingle-nya yang catchy langsung ‘kena’ di kepala anak. “Selain kebijakan pengawasan makanan, mungkin perlu ada kebijakan penayangan iklan yang berkaitan dengan makanan. Jangan cuma iklan rokok yang diatur. Ada iklan seperti jelly, sosis, dan snack-snack kemasan yang ditayangkan ke anak-anak. Banyak dari makanan itu tinggi gula, pengawet, dan garam,” cetus dr. Arifianto.
Ditambahkannya, jika mengonsumsi makanan itu, sebaiknya sesekali saja. Tapi, praktiknya untuk anak-anak memang susah. Apalagi di mana-mana lihat iklan. Tak heran jika saat ini angka obesitas dan penyakit degeneratif terus meningkat. “Dengan menerapkan pola makan dan jajan sehat pada anak, diharapkan di masa mendatang penderita penyakit degeneratif menurun.”
Sekarang, tantangannya bisakah kita, orang tua, mengubah paradigma dan gaya makannya? Sebab, harus diakui, orang tua juga bisa disebut sebagai korban dari serangan asing yang masuk lewat media, yang membuat kebanyakan pola makan dan kudapan kita jauh dari sehat. Sulit untuk mengubah begitu saja.
Untuk menerapkan pola makan sehat di keluarga, tentu harus dimulai dari kita. Para orang tua haruslah menjadi role model bagi anaknya. “Kalau anak makanannya diatur, disuruh-suruh, tetapi orang tuanya makan mi instan, fast food, dan gorengan, percuma saja. Jika orang tuanya bagus pola makannya, anak tidak akan terpengaruh dengan beragam jajanan tidak sehat yang dijajakan di luar,” ujar dr. Arifianto.
Langkah awal untuk memulai hidup sehat adalah dengan memahami, seperti apa gaya hidup sehat itu. Selain mengenali jenis makanan sehat, kebersihan juga harus menjadi bagian dari gaya hidup. “Jika sulit menemukan jenis jajanan sehat, tidak ada cara lain kecuali membawa bekal sendiri dari rumah,” ujar dr. Arifianto.
Tulisan ini adalah sub artikel dari Majalah Femina edisi 8 Februari 2014 dengan topik "Jajanan Sekolah Sehat", hasil wawancara Ficky Yusrini dengan saya.
Untuk itu, kita perlu menelisik lebih jauh, apa sebetulnya yang disebut jajanan sehat. Para praktisi kedokteran merujuk pola makan yang baik menurut food plate (di situs choosemyplate dot gov), yaitu makanan yang seimbang karbohidrat kompleks, protein, sayuran, dan buah.
Buat anak-anak, ada meal time dan snack time. “Snack time sehat itu berupa jajanan rendah kalori dan tinggi serat. Ujung-ujungnya banyak sayur dan buah juga. Memang itu diet yang benar,” jelas dr. Arifianto, yang mengatakan, gemuk dan kurusnya anak belum tentu karena faktor makanan, bisa juga karena faktor genetis.
Mengenai berapa banyak dan berapa kali sehari anak mengonsumsi snack, dr. Arifianto berpendapat, “Prinsipnya, tiga kali makan, dua kali camilan. Tapi, namanya anak, dia makan kalau dia lapar. They eat what they see. Bisa jadi makan snack-nya cuma sekali karena keasyikan main. Selama kurva berat/tinggi badannya mengikuti kurva standar WHO, dia tumbuh normal.”
Hal yang patut diwaspadai juga, menurut dr. Arifianto, adalah keberadaan iklan makanan yang berkali-kali muncul di layar televisi. Jingle-nya yang catchy langsung ‘kena’ di kepala anak. “Selain kebijakan pengawasan makanan, mungkin perlu ada kebijakan penayangan iklan yang berkaitan dengan makanan. Jangan cuma iklan rokok yang diatur. Ada iklan seperti jelly, sosis, dan snack-snack kemasan yang ditayangkan ke anak-anak. Banyak dari makanan itu tinggi gula, pengawet, dan garam,” cetus dr. Arifianto.
Ditambahkannya, jika mengonsumsi makanan itu, sebaiknya sesekali saja. Tapi, praktiknya untuk anak-anak memang susah. Apalagi di mana-mana lihat iklan. Tak heran jika saat ini angka obesitas dan penyakit degeneratif terus meningkat. “Dengan menerapkan pola makan dan jajan sehat pada anak, diharapkan di masa mendatang penderita penyakit degeneratif menurun.”
Sekarang, tantangannya bisakah kita, orang tua, mengubah paradigma dan gaya makannya? Sebab, harus diakui, orang tua juga bisa disebut sebagai korban dari serangan asing yang masuk lewat media, yang membuat kebanyakan pola makan dan kudapan kita jauh dari sehat. Sulit untuk mengubah begitu saja.
Untuk menerapkan pola makan sehat di keluarga, tentu harus dimulai dari kita. Para orang tua haruslah menjadi role model bagi anaknya. “Kalau anak makanannya diatur, disuruh-suruh, tetapi orang tuanya makan mi instan, fast food, dan gorengan, percuma saja. Jika orang tuanya bagus pola makannya, anak tidak akan terpengaruh dengan beragam jajanan tidak sehat yang dijajakan di luar,” ujar dr. Arifianto.
Langkah awal untuk memulai hidup sehat adalah dengan memahami, seperti apa gaya hidup sehat itu. Selain mengenali jenis makanan sehat, kebersihan juga harus menjadi bagian dari gaya hidup. “Jika sulit menemukan jenis jajanan sehat, tidak ada cara lain kecuali membawa bekal sendiri dari rumah,” ujar dr. Arifianto.
Tulisan ini adalah sub artikel dari Majalah Femina edisi 8 Februari 2014 dengan topik "Jajanan Sekolah Sehat", hasil wawancara Ficky Yusrini dengan saya.
No comments:
Post a Comment