Saya terinspirasi untuk menulis ini selagi membaca buku How to Master
Your Habits tulisan Ustadz Felix Y. Siauw. Habits alias kebiasaan,
ternyata memegang peran penting dalam kehidupan kita. Bahkan habits, yg
dibentuk oleh latihan (exercise) dan pengulangan (repetition), dapat
mengendalikan hidup kita. Salah satunya adalah habit dalam peresepan
obat oleh dokter.
Kita tahu mayoritas dokter di Indonesia masih mudah meresepkan antibiotik (AB), meskipun bisa jadi tidak ada indikasinya. Batuk pilek karena infeksi virus diberi AB. Diare tanpa darah karena infeksi virus diberikan AB. Demam lebih dari 3 hari karena infeksi virus, diresepkan AB juga. Apa kira-kira alasan dokter yg meresepkan?
"Kuman di Indonesia sebagai negara berkembang berbeda dengan kuman di negara maju. Di sini banyak infeksi bakteri, jadi harus diberi AB."
"Waduh, Indonesia beda dengan luar negeri. Sudah banyak kuman yg kebal karena pemberian AB selama ini, nanti tidak sembuh kalau tidak dikasih AB."
Dan masih banyak alasan lainnya. Begitu juga dengan pasiennya sendiri, terkadang bila tidak diresepkan AB, malah meminta. "Saya sudah berobat ke bidan, ke dokter 2 kali, tapi kok anak saya masih belum sembuh batuknya. Saya sekarang ke dokter spesialis kok sama saja, tidak dikasih AB." (Padahal dari dokter dan bidan sebelumnya malah sudah diberi AB segala rupa tapi belum sembuh juga. Ya iyalah, banyak yg batuk pilek di rumahnya jadi mudah tertular dan belum sembuh).
Seorang kawan bahkan pernah memberikan sarannya pada saya, yg kurang lebih seperti ini: "Pin, nanti kalo ente di RSUD, tidak sama dengan pasien-pasien yg kelasnya menengah ke atas. Kalo pasien dirawat dan tidak dapat AB, bisa makin lama pulihnya."
Well, let's see. I have my own "habit". Not just a habit, of course. But how to make a diagnosis and treat patient, based on years of training, facing patients, and SHOULD BE based on Evidence-based guidelines, of course.
Habit yg dibentuk atas kepercayaan terhadap guidelines, EBM, dan jam terbang pemantauan pasien dengan terapi yg sudah diberikan tentunya berbeda dengan habit mudahnya memberi AB karena ke-tidak-pede-an bila tidak meresepkannya.
Contoh lain adalah diagnosis menentukan perlu tidaknya cek laboratorium. Tentunya tidak semua demam lebih dari 3 hari harus dicek lab, bukan? Karena tidak semua demam lebih dari 3 hari dicurigai DBD.
Saya tipe orang yg mudah percaya dengan teori yg diberikan. Bukankah dokter harus percaya dengan teori yg didapatkannya saat belajar? Bukankah guideline dan EBM disusun berdasarkan banyak penelitian dan dapat dikritisi setting penelitiannya, untuk dapat dicocokkan dengan ke-mampu-laksana-annya di tempat praktik kita? Selama bertahun-tahun saya mencoba "mempercayai" guidelines dan melaksanakannya. Kalau tidak butuh AB ya jangan diberikan. Ini habit yg coba dibentuk.
Saya lalu coba menerapkannya di setting tempat dg banyak pasien low-socioeconomic class seperti di RSUD. Hey, ternyata sama saja. Mau pasiennya kaya atau miskin, kumannya sepertinya sama saja. Jadi semua back to guidelines. Habit yg dibentuk sesuai guidelines akan melahirkan outcome sesuai yg diperkirakan. Pasien tidak lebih lama juga length of stay di RS. Sembuhnya sama juga. Well, meskipun harus diakui, ada sebagian kecil kasus yg di luar dugaan. Nggak nyangka kalo ini DBD, padahal awalnya batuk pilek. Atau ternyata infeksi bakteri yg butuh AB, padahal awalnya yakin banget infeksi virus. Kasus-kasus "kecolongan" seperti ini tentunya jarang. Berlaku hukum percaya dulu dengan yg mayoritas, baru ke yg minoritas.
Sebaliknya, habit yg dibentuk untuk mudah meresepkan AB untuk kasus-kasus yg sebenarnya infeksi virus akan melahirkan outcome "pasien susah sembuh bila tidak dapat AB". Patokan ini berlaku juga untuk pasien ya: jangan minta AB kalo tidak terindikasi. Makanya, belajar dulu mengenai AB.
Mohon maaf bila tidak berkenan. Mohon koreksi
Kita tahu mayoritas dokter di Indonesia masih mudah meresepkan antibiotik (AB), meskipun bisa jadi tidak ada indikasinya. Batuk pilek karena infeksi virus diberi AB. Diare tanpa darah karena infeksi virus diberikan AB. Demam lebih dari 3 hari karena infeksi virus, diresepkan AB juga. Apa kira-kira alasan dokter yg meresepkan?
"Kuman di Indonesia sebagai negara berkembang berbeda dengan kuman di negara maju. Di sini banyak infeksi bakteri, jadi harus diberi AB."
"Waduh, Indonesia beda dengan luar negeri. Sudah banyak kuman yg kebal karena pemberian AB selama ini, nanti tidak sembuh kalau tidak dikasih AB."
Dan masih banyak alasan lainnya. Begitu juga dengan pasiennya sendiri, terkadang bila tidak diresepkan AB, malah meminta. "Saya sudah berobat ke bidan, ke dokter 2 kali, tapi kok anak saya masih belum sembuh batuknya. Saya sekarang ke dokter spesialis kok sama saja, tidak dikasih AB." (Padahal dari dokter dan bidan sebelumnya malah sudah diberi AB segala rupa tapi belum sembuh juga. Ya iyalah, banyak yg batuk pilek di rumahnya jadi mudah tertular dan belum sembuh).
Seorang kawan bahkan pernah memberikan sarannya pada saya, yg kurang lebih seperti ini: "Pin, nanti kalo ente di RSUD, tidak sama dengan pasien-pasien yg kelasnya menengah ke atas. Kalo pasien dirawat dan tidak dapat AB, bisa makin lama pulihnya."
Well, let's see. I have my own "habit". Not just a habit, of course. But how to make a diagnosis and treat patient, based on years of training, facing patients, and SHOULD BE based on Evidence-based guidelines, of course.
Habit yg dibentuk atas kepercayaan terhadap guidelines, EBM, dan jam terbang pemantauan pasien dengan terapi yg sudah diberikan tentunya berbeda dengan habit mudahnya memberi AB karena ke-tidak-pede-an bila tidak meresepkannya.
Contoh lain adalah diagnosis menentukan perlu tidaknya cek laboratorium. Tentunya tidak semua demam lebih dari 3 hari harus dicek lab, bukan? Karena tidak semua demam lebih dari 3 hari dicurigai DBD.
Saya tipe orang yg mudah percaya dengan teori yg diberikan. Bukankah dokter harus percaya dengan teori yg didapatkannya saat belajar? Bukankah guideline dan EBM disusun berdasarkan banyak penelitian dan dapat dikritisi setting penelitiannya, untuk dapat dicocokkan dengan ke-mampu-laksana-annya di tempat praktik kita? Selama bertahun-tahun saya mencoba "mempercayai" guidelines dan melaksanakannya. Kalau tidak butuh AB ya jangan diberikan. Ini habit yg coba dibentuk.
Saya lalu coba menerapkannya di setting tempat dg banyak pasien low-socioeconomic class seperti di RSUD. Hey, ternyata sama saja. Mau pasiennya kaya atau miskin, kumannya sepertinya sama saja. Jadi semua back to guidelines. Habit yg dibentuk sesuai guidelines akan melahirkan outcome sesuai yg diperkirakan. Pasien tidak lebih lama juga length of stay di RS. Sembuhnya sama juga. Well, meskipun harus diakui, ada sebagian kecil kasus yg di luar dugaan. Nggak nyangka kalo ini DBD, padahal awalnya batuk pilek. Atau ternyata infeksi bakteri yg butuh AB, padahal awalnya yakin banget infeksi virus. Kasus-kasus "kecolongan" seperti ini tentunya jarang. Berlaku hukum percaya dulu dengan yg mayoritas, baru ke yg minoritas.
Sebaliknya, habit yg dibentuk untuk mudah meresepkan AB untuk kasus-kasus yg sebenarnya infeksi virus akan melahirkan outcome "pasien susah sembuh bila tidak dapat AB". Patokan ini berlaku juga untuk pasien ya: jangan minta AB kalo tidak terindikasi. Makanya, belajar dulu mengenai AB.
Mohon maaf bila tidak berkenan. Mohon koreksi
No comments:
Post a Comment