Friday, January 22, 2016

Sedikit penjelasan tentang media sel dalam vaksin

Sulit untuk menjelaskan secara singkat. Bisa saja disalahpahami, khususnya bagi mereka yang memang dari awal sudah punya kerangka berpikir menolak imunisasi, atau vaksin itu haram! Apapun yang sudah dijelaskan, maka tidak akan menerimanya dan berpendapat "ah, yang bicara kan kelompok pro-vaksinasi, jadi ya wajar begitu pendapatnya." Anyway, saya coba jelaskan.
1. Vaksin adalah produk biologis. Diciptakan sekedar untuk merangsang terbentuknya sistem imunitas (daya tahan tubuh) terhadap kuman tertentu/spesifik. Maka proses pembuatannya menggunakan kuman (virus/bakteri) yang dibiakkan dalam media biologis pula, agar bisa diperbanyak sebaik mungkin.
2. Virus berbeda dengan bakteri. Virus bukanlah makhluk hidup. Virus butuh media sel hidup agar bisa diperbanyak untuk keperluan pembuatan vaksin massal. Dalam hal vaksin polio dan rotavirus, sel-sel yang diambil dari ginjal kera digunakan sebagai media tempat virus polio/rotavirus bisa diperbanyak.
Jadi ini sel dari ginjal kera ya. Bukan ginjal keranya.
3. Setelah virus berhasil diperbanyak, maka yang digunakan sebagai bahan vaksin yang nantinya akan masuk ke tubuh manusia adalah virusnya. Bukan sel-sel ginjal keranya!
4. Tidak semua vaksin virus menggunakan media sel ginjal kera dalam pembuatannya. Sebagai contoh, vaksin hepatitis B dan HPV menggunakan teknik rekayasa genetik DNA rekombinan (tidak pakai sel ginjal kera sama sekali). Vaksin campak dan influenza dibuat menggunakan media telur (tidak pakai sel ginjal kera). Vaksin MMR dan cacar air (varisela) tidak pakai sel ginjal kera juga.
5. Vaksin bakteri tidak menggunakan media sel hidup, karena bakteri sendiri adalah makhluk hidup yang bisa hidup independen, meskipun berada di luar sel hidup. Makanya bisa dibuat menggunakan media agar di laboratorium. Yang digunakan juga tidak selamanya bakteri secara utuh. Misalnya vaksin tetanus dan difteri hanya toksinnya. Vaksin PCV dan Hib dari polisakarida dinding selnya. Dst...
6. Bagi pembaca yang mungkin tidak punya latar belakang ilmu alam (IPA) atau tidak pernah bekerja di laboratorium, bisa jadi sulit memahaminya.
Segini dulu ya

Campak dan Teror Bom





Pada bulan Desember 2014, sebanyak 40 orang di negara bagian California dinyatakan positif mengidap suatu penyakit yang sangat menular. Ternyata mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengunjungi Disneyland setempat baru-baru itu. Dalam waktu singkat, penyakit ini mewabah dan menyebar ke setidaknya 6 negara bagian di Amerika Serikat. Wabah baru dinyatakan berakhir setelah pihak-pihak kesehatan bekerja keras menghentikan wabah tersebut. Pada 27 April 2015, wabah akhirnya dinyatakan berakhir.
Berselang setahun kemudian, di akhir tahun 2015, otoritas kesehatan di Sydney, Australia, mengeluarkan peringatan serupa akan risiko terjadinya wabah penyakit serupa. Alasannya adalah seorang warga lokal diketahui mengalami penyakit ini setelah mengunjungi pusat kesehatan di tanggal 28 dan 30 November. Sebelumnya pada tanggal 26 dan 27, ia sempat mengunjungi pusat perbelanjaan di kota. Artinya ia sempat berada di tengah keramaian orang banyak. Potensi menular ke orang-orang lain. Ya, satu orang saja mengalami sakit ini, maka gegerlah seluruh kota.
Di antara kedua kejadian tersebut, seorang mahasiswa di Universitas California di Berkeley diketahui mengalami penyakit yang sama. Pihak kampus segera memberitakan kabar ini ke seluruh pihak, dan meminta orang-orang lain yang mengalami kecurigaan penyakit serupa agar menghubungi pihak kesehatan. Mahasiswa yang sakit dikarantina dan tidak boleh berhubungan dengan aktivitas perkuliahan, sampai masa penularannya dinyatakan berakhir.
Apakah penyakit yang demikian membuat khawatir warga di AS dan Australia? Ya, campak, alias measles atau rubeola. Campak penyakit berbahaya? Anda mungkin menganggap saya berlebihan. Tapi inilah faktanya. Campak sesungguhnya bukanlah penyakit ringan. Campak adalah penyakit yang sangat menular dan berisiko memiliki komplikasi pneumonia (radang paru-paru), diare yang cenderung menyebabkan dehidrasi berat, sampai radang selaput otak, yang semuanya berakhir dengan kematian!
Bukankah semua anak akan mengalami campak? Demam yang disertai dengan ruam-ruam merah? Tidak, ini adalah pandangan yang salah! Penyakit demam disertai ruam pada anak tersering adalah roseola, bukan campak. Saat ini, penyakit campak sudah sangat jauh berkurang dibandi dengan seratus tahun silam. Imunisasi campak (dan MMR) terbukti efektif mengurangi angka penyakit dan kematian akibat campak di seluruh dunia. Campak memang ditandai dengan demam dan ruam. Tapi demamnya lebih lama, mencapai 3-7 hari, disertai batuk, pile, dan mata merah, serta ruam yang awalny muncul di hari ketiga sampai kelima. Ketika ruam memudar, bekas kehitaman masih dijumpai di kulit.
Kesalahan persepsi campak sebagai roseola atau rubella yang dikenal juga sebagai "tampek" atau "sarampak" membuat banyak orangtua tidak mengenalinya. Banyak juga yang berkata, "Anak saya sudah kena campak kok, meskipun sudah diimunisasi campak", atau "anak saya tidak perlu lagi diimunisasi campak, karena dia sudah kena campak sebelumnya". Faktanya anak-anak yang sudah diimunisasi campak akan sangat jarang mengalami campak, dan banyak orangtua yang berpikir anaknya sudah sakit campak (padahal sesungguhnya roseola atau rubella yang dialaminya) lalu tidak mengimunisasikan campak ke anaknya, akhirnya mengalami komplikasi fatal akibat campak di kemudian hari.
Dari semua vaksin yang diberikan gratis oleh pemerintah, saya mengamati dalam praktik sehari-hari, campak adalah imunisasi yang paling sering terlewatkan. Alasan tersering adalah anak berulang kali sakit batuk pilek, sehingga petugas di Puskesmas menunda imunisasinya. Padahal imunisasi BCG, Polio, dan DPT-Hib-Hepatitis B-nya lengkap. Ketika anak berusia lebih dari 6 bulan, wajar sekali jika selesma sering melandanya. Keadaan ini diperburuk dengan pandangan sebagian kalangan masyarakat yang menolak imunisasi dengan berbagai alasan. Maka wajar saja sampai saat ini kasus campak masih sering dijumpai di masyarakat Indonesia. Hampir setiap hari kasus baru campak didapati di Puskesmas dan RS. Angka rawat inap dan kematian akibat campak masih sulit ditekan.
Silakan lihat poster-poster peringatan penyakit campak yang ada di sini. Sebagiannya berasal dari awal tahun 1900-an di AS. Sejak satu abad silam, mereka sudah paham benar bahayanya campak. Siapa saja yang sakit campak harus dikarantina alias diisolasi! Jangan sampai wabah terjadi dan memakan banyak korban. Siapa yang melanggar aturan ini akan mendapatkan sanksi dari pemerintah. Vaksin campak dan MMR memang baru dikembangkan secara serius pada tahun 1950-an.
Maka mendengar tagar ‪#‎KamiTidakTakut‬ dengan bom teroris beberapa hari lalu.membuat saya teringat dengan peringatan bahayanya campak. Masyarakat Indonesia dikatakan unik karena justru mendatangi lokasi korban bom, ketika orang-orang Barat mungkin justru berlarian menghindarinya ketika menghadapi kondisi serupa. Maka saya tidak menginginkan tagar serupa berlaku untuk penyakit campak. Masyarakat Indonesia harus paham campak tidaklah sama dengan "tampak". Bahkan ketika Anda atau anak Anda dicurigai sakit campak sejak di rumah, maka hindarilah mengantri dokter di ruang tunggu yang sama dengan pasien-pasien lainnya. Selama menunggu giliran dipanggil masuk ke ruang dokter, maka sepanjang waktu itu virus campak bisa menular ke semua orang di sekitarnya.
Penulis adalah seorang dokter anak dan sudah menulis buku "Orangtua Cermat, Anak Sehat"dan "Pro Kontra Imunisasi".

Semoga Allah Mengabulkan Harapan Ibumu, Nak!

"Besok 40 harinya anak saya, Pak." Ibu di hadapan saya bersuara lirih. Matanya berkaca-kaca. "Waktu itu jam 12 malam dia bilang ingin pulang ke surga. Jam 1 pagi kejang dan langsung dibawa ke IGD. Sempat 4 hari di PICU, tapi tidak tertolong." Kini kedua matanya basah.
"Anaknya cakep, Pak. Umurnya 9 tahun. Saya sekolahkan di sekolah agama (madrasah ibtidaiyah). Cita-citanya ingin jadi pilot, supaya bisa terbang. Sekarang dia sudah terbang selama-lamanya, dan tidak kembali lagi." Suaranya terisak. Wanita berumur 40-an tahun ini mengusap matanya dengan kaosnya.
"Ini fotonya, Pak." Ia menunjukkan foto almarhum putra pertamanya di ponsel jadulnya. Mungkin ponsel generasi 10 tahun lalu. Gambar seorang bocah laki-laki berkacamata. Tampan. Tampak sehat.
"Tetangga-tetangga saya tidak percaya.anak saya pergi secepat itu." Suaranya bergetar menahan isak tangisnya. Kesedihan seorang ibu yang ditinggal anak laki-laki pertamanya yang baru dilahirkannya pada usia mendekati paruh baya. Tapi ia terus ingin bercerita pada saya.
"Sekarang anak laki-laki saya tinggal yang satu ini. Satu-satunya harapan saya." Tatapannya beralih pada bocah berusia 15 bulan yang terbaring merintih dengan selang oksigen di hidungnya. "Anak yang sakit-sakitan sejak bayi. Doakan ya Pak, supaya anak ini sehat."
Anak ketiganya yang saat ini sedang dirawat memang sudah kali ke limanya berada di ruang rawat kami. Bayangkan saja, usia 15 bulan sudah bolak-balik dirawat. Pastinya lemah nian daya tahan tubuhnya. Sejak 9 hari yang lalu masuk dengan pneumonia (radang paru-paru), dan awalnya dirawat di PICU. Alhamdulillah kondisinya berangsur membaik dan kini bisa dirawat di bangsal biasa. Perawatan sebelumnya pun dengan diagnosis yang sama. Bocah ini juga mengalami keterlambatan perkembangan global. Tengkurap saja belum bisa. Ibunya yang orang Sumatera menaruh harapan besar pada anak laki-lakinya satu-satunya ini.
Kutatap wajah si bocah kecil. Ia tersenyum balas menatapku. Mungkin ia paham dialog antara sang Ibu denganku. Semoga Allah mengabulkan harapan Ibumu ya Nak, ucapku dalam hati.

Selalu Ada Cara untuk Mensyukuri Nikmat

Saya bersyukur bisa bertemu dengan anak laki-laki itu, di ruang praktik. Bocah berumur 6,5 tahun ini membawa dua buah buku berbahasa Inggris. "Our Body" salah satu judulnya. Anak kelas 1 SD sudah lancar membaca buku berbahasa Inggris? Batinku kagum. Teringat anak-anakku yang berusia tak jauh berbeda dengan anak ini, tapi dengan kemampuan membaca yang masih di bawahnya. Saya juga seringkali dibuat terkesan dengan anak-anak balita yang lancar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris fasih. Saya sendiri sampai sekarang belum mengajarkan bahasa Inggris ke anak-anak. Kadang-kadang membaca linimasa teman-teman di Facebook yang mengisahkan kehebatan anak-anaknya membuat saya terus terkesan. Mulai dari hapalan Qur'an mereka, kemampuan matematika dan sainsnya, sampai keunggulan dalam sosialisasi di masyarakat.
"Umur berapa anaknya mulai bisa membaca?" tanya saya
"18 bulan," jawab si Ibu. Ia lalu menceritakan kemampuan anaknya yang unik dan ketertarikannya pada huruf dan angka, sehingga si bocah bisa membaca sendiri.
"Coba tanya ke dia, Dok, nanti mau kuliah di mana?" ajak si Ibu
Saya mengikuti ajakannya.
"Di University of Tokyo", jawab si anak mantap.
"Sudah pernah tes IQ?" tanya saya lagi.
"IQ-nya 136," jawab Ibu.
Anak laki-laki kelas 1 SD ini sudah punya tujuan di mana ia akan kuliah. Saya sendiri baru memantapkan akan mengambil S-1 di ITB dan melanjutkan ke MIT (Massachussets Institute of Technology) di usia SMU. Meskipun takdir mengantarkan saya menjadi dokter. Dua universitas impian saya tidak tercapai.
Saya kemudian teringat dengan anak-anak berkondisi berbeda dengan anak hebat ini. Anak-anak yang sehari-hari saya jumpai di ruang praktik. Mereka dengan keterlambatan perkembangan, palsi.serebral, sindrom Down, dan pasca meningitis/ensefalitis. Anak-anak yang hanya bisa terbaring telentang tanpa mampu tengkurap. Mereka yang tak mampu menjaga postur lehernya ketika badannya ditegakkan. Bocah-bocah dengan postur tubuh kaku. Mereka yang sepanjang hidupnya bergantung dengan orang lain. Susunan saraf pusatnya tidak normal layaknya anak-anak lain. Ukuran otaknya lebih kecil dibandingkan teman-teman sebayanya. Bahkan beberapa harus menghadapi kejang berulang yang hanya terkontrol dengan obat antikejang. Orangtua anak-anak ini tak terpikirkan anaknya akan bersekolah di mana dan apakah kelak bisa diajari membaca. Mereka berusaha semampunya mendampingi anak-anaknya menjalani fisioterapi, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, sampai terapi wicara. Banyak juga yang nutrisinya tak tercukupi, sampai jatuh ke gizi buruk. Para orangtua dari anak-anak spesial ini harus mencari nafkah ekstra untuk ongkos transportasi pengobatan anak-anaknya, sambil mendampinginya sepanjang waktu.
---------------------------------------------------------------
"Anaknya dibawa fisioterapi rutin ya Bu." Seorang dokter mengajak ibu di hadapannya bercakap-cakap.
"Iya Dok, tapi jangan yang jauh-jauh ya. Saya tidak punya ongkos," jawab Ibu. Di meja periksa terbaring seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan ukuran tubuh serupa anak berusia 4 tahun. Kedua lengan dan kakinya kaku. Tanda si anak sudah bertahun-tahun mengalami palsi serebral, tapi kurang perawatannya.
"Ibu mertua saya bilang, taruh saja anak ini di panti asuhan." Ia melanjutkan. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi saya tidak mau. Meskipun pekerjaan saya hanya mengupas bawang tiap hari, tapi saya tetap ingin mengurus anak saya." Si.Ibu mulai menggendong anaknya. Ke mana-mana ia menggendong putrinya tercinta.
"Iya Bu. Ini tabungan Ibu untuk di akhirat kelak. Hidup di dunia nggak terasa, cuma sebentar saja," balas si dokter.
Selalu ada cara untuk mensyukuri nikmat.

Mempermasalahkan Tinggi Badan Anak

Minum susu tinggi kalsium bisa buat badan tambah tinggi? Kan begitu kata iklan, kalo nggak salah. Anaknya lebih pendek, trus dia minum susu tinggi kalsium dan bertambahlah tingginya menyamai kawannya yang sebelumnya lebih tinggi.
Hehe, memangnya tinggi badan hanya dipengaruhi oleh asupan kalsium semata? Tentu saja tidak. Faktor genetik (keturunan) sangat berpengaruh. Jika ayah-ibu anak ini memang memiliki perawakan pendek (short stature), tentunya sangat wajar jika anak mereka ternyata lebih pendek dari kawan-kawan sebayanya. Meskipun si anak sudah minum tinggi kalsium setiap hari.
Malahan, bisa jadi anak ini mengalami efek samping kebanyakan minum susu. Misalnya, makannya kurang karena sudah kenyang dengan susu. Lalu risiko anemia defisiensi besi karena asupan kalsium yang tinggi mengurangi penyerapan zat besi di saluran cerna. Dan risiko sembelit.
Apakah anak yang pendek bisa dipacu pertumbuhannya menjadi tinggi dengan renang?
Saya belum jawab dulu. Posting kali ini sebenarnya ingin sedikit membahas tentang perawakan pendek (short stature) pada anak. Apa artinya? Short stature adalah tinggi badan anak yang berada di bawah persentil 3 atau minus 2 Z-score di kurva pertumbuhan (growth chart). Apa pula artinya ini? Silakan browsing tentang growth chart atau cari sekilas di arsip timeline saya. Nah, ketika secara objektif anak dikategorikan pendek menurut kurva pertumbuhan, maka harus ditentukan, apakah termasuk perawakan pendek yang normal (wajar/fisiologis), atau abnormal? Termasuk fisiologis jika dikategorikan familial short stature (memang keturunannya pendek/genetik) atau constitutional delay (sekarang pendek, nanti ketika menjelang/saat sudah pubertas menjadi tinggi sama halnya dengan kawan-kawan sebayanya). Bagaimana membedakan kedua hal ini? Menggunakan bone age (foto ronsen telapak tangan untuk melihat usia tulang) salah satunya. Jika memang dokter menyimpulkan anak Bapak/Ibu masuk ke dalam perawakan pendek fisiologis ini, maka jangan berkecil hati.
Apakah tidak ada usaha yang bisa dilakukan untuk menaikkan tinggi badan anak kita? Berenang misalnya?
Sampai saat ini, saya belum menemukan literatur yang cukup "sahih" menjelaskan masalah ini, sehingga saya tidak dapat menjawabnya. Terlepas dari hal ini, berenang adalah olahraga yang sangat baik bagi anak kita. Tetapi jika sudah merutinkan anak berenang dan belum mendapatkan kenaikan tingginya menyamai kawan-kawannya, ya jangan berkecil hati bila pendeknya memang familial. Pastikan nutrisi anak yang seimbang sudah terpenuhi. Jangan sekedar mengandalkan minum susu saja.
Satu lagi, jangan khawatir juga, ada yang namanya secular trend in growth and puberty.
--bersambung--

Menyoal Kembali Status Halal Vaksin

Orangtua yang rajin menggali informasi kesehatan anak di media sosial pastinya sudah familiar dengan kontroversi imunisasi, termasuk pertanyaan "halal-kah vaksin?" Dengan mudah saya bisa menjawab: ya, vaksin halal dan mubah. Vaksin tidak haram.
Kemarin seorang kawan mendorong saya untuk menuliskan tanggapan terhadap kalimat "pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi", yang terdapat pada vaksin varisela (cacar air). Sebelumnya, kontroversi seputar "singgungan dengan babi" ini populer pada vaksin meningokokus, rotavirus, dan polio. Saya coba jelaskan dalam bentuk poin-poin.
- Banyak sekali tulisan yang membahas tema ini, salah satunya dalam status saya di https://m.facebook.com/story.php…
Cobalah baca dulu
- Ada tiga terminologi yang akan saya jelaskan di sini, yaitu: Badan POM RI, LPPOM MUI, dan Komisi Fatwa MUI.
BPOM RI adalah lembaga yang langsung berada di bawah presiden (mungkin bisa dikatakan setara dengan kementerian--mohon koreksinya) yang bertanggung jawab mengaudit semua produk obat-obatan (farmasi), termasuk vaksin, yang beredar di Indonesia, agar mendapatkan nomor registrasi dan sah digunakan. Artinya semua produk yang sudah melewati Badan POM RI adalah aman untuk digunakan. Termasuk vaksin.
LPPOM MUI adalah bagian dari MUI yang mengeluarkan sertifikat halal bagi produk-produk makanan dan obat yang ada di Indonesia, termasuk obat-obatan yang sudah diregistrasi oleh BPOM RI. Vaksin adalah satunya.
Fakta yang ada adalah: tidak ada kewajiban bagi produk obat dan kosmetika, termasuk vaksin, untuk memperoleh sertifikat halal dari LPPOM MUI. Hanya produk-produk yang diurus saja yang ada sertifikat halalnya.
Jika semua produk obat harus ada sertifikat halalnya, maka kita akan melihat semua merek parasetmol berlabelkan "halal" di kemasannya. Bungkus oralit pun harus dikemas dengan label halal. Saat dirawat di RS pun, cairan infus yang tertancap di lengan Anda harus ada tulisan halal-nya. Pun semua antibiotik harus dilabel halal. Lalu, ketika label halal tidak ada di semua kemasan barang tersebut, maka menjadi haram?
Ketiga, komisi fatwa MUI. Salah satu komisi yang ada di tubuh MUI ini tugasnya adalah mengeluarkan fatwa. Produk fatwa terkait vaksin yang pernah dikeluarkannya adalah fatwa haram vaksin meningitis (meningokokus) merek tertentu, dan fatwa halal merek lainnya. Saya pribadi berbeda pendapat dengan komisi fatwa MUI dalam hal ini, alasannya akan dijelaskan kemudian.
- Dalam penulisan buku "Pro Kontra Imunisasi", saya beruntung karena bisa mewawancarai langsung narasumber dari anggota LPPOM MUI yang berkunjung langsung ke produsen vaksin di negara luar, sebelum keluar fatwa MUI, dan dua orang narasumber dari BPOM RI, yang paham benar seluk-beluk proses disahkannya suatu vaksin beredar di Indonesia. Nama-namanya ada di dalam buku saya. Dari keterangan yang saya dapatkan dari mereka, sebagiannya sudah saya jelaskan di buku, proses satu produk vaksin sampai bisa dinyatakan boleh beredar di Indonesia sangatlah panjang. Untuk vaksin produk dalam negeri (PT Bio Farma), BPOM RI dilibatkan dalam tiap fase uji kliniknya. Bagi vaksin produksi luar negeri, misalnya vaksin varisela yang saya sebutkan di awal tulisan, maka BPOM meneliti semua dokumen terkait dari produsen asal, dan bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai akhirnya boleh beredar di Indonesia.
- Pencantuman kalimat "pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi" di sebagian kecil kemasan vaksin cenderung menambah keresahan masyarakat. Faktanya pun tidaklah sesederhana itu: menjadi haram karena "dianggap bersinggungan" dengan babi. Sudah sangat sering dibahas oleh banyak orang dalam berbagai tulisan, bahwa makna "bersinggungan dengan bahan bersumber babi" tidak berarti menjadikan produk akhir vaksin haram. Tulisan singkat saya yang saya berikan tautannya di atas menjelaskan hal tersebut, sesuai kaidah istihlak dan istihalah.
Pencantuman kalimat di atas adalah atas saran dari LPPOM MUI. Sedangkan BPOM RI menjalankan tugas sesuai deskripsi yang saya sudah jelaskan. Menurut hemat saya, pencantuman kalimat ini adalah jalan tengah yang diambil oleh tim dari LPPOM MUI, dengan berbagai pendapat yang ada dari banyak orang di dalamnya. Seorang anggota LPPOM MUI yang nukilan wawancaranya saya tuliskan di buku Pro Kontra Imunisasi pun sebenarnya beranggapan vaksin meningokokus yang ada tidaklah haram. Saya lalu membayangkan berbagai perbedaan pendapat yang ada di dalam tim ahli LPPOM MUI harus mengambil satu kesimpulan. Bisa jadi kalimat di atas yang multitafsir itu akhirnya diambil sebagai jalan tengah.
- Mengapa saya tidak sependapat dengan fatwa MUI? Yah, apalah saya, ustadz bukan, apalagi ulama. Tapi saya pribadi lebih cenderung pada prinsip istihalah dan/atau istihlak yang diambil oleh para ulama di Timur Tengah, Amerika, dan Eropa yang pada akhirnya menjadikan isu halal/haram bukanlah suatu masalah. Karena vaksin memang tidaklah haram! Lain dengan alasan komisi fatwa MUI yang lebih cenderung dengan prinsip darurat. Meskipun pada akhirnya, vaksin tetaplah tidak masalah dengan alasan ini.
Saya berlindung kepada Allah dari prinsip "mengambil pendapat sesuai hawa nafsu saja" dalam menyatakan pandangan di atas. Karena sudah sangat banyak penjelasan dari berbagai ulama kibar (besar) yang tidak mempermasalahkan vaksin dan imunisasi. Dalil Qur'an dan Hadits yang menjadi dasarnya. Buku Kontroversi Imunisasi yang ditulis dr. Siti Aisyah Ekg dkk mencantumkan salinan fatwa-fatwa terkait. Buku Imunisasi tulisan dr. Muhammad Saifuddin Hakim dkk sangat rinci menjelaskan pandangan syariat terkait.
Sebagai tambahan, vaksin yang sering dipermasalahkan di Indonesia karena mencantumkan kalimat di atas, misalnya vaksin rotavirus, justru memiliki sertifikat halal dari lembaga sejenis LPPOM MUI di Eropa.
Pada akhirnya, akan selalu ada yang setuju dan tidak setuju dengan apa yang sudah saya tuliskan ini. Tetaplah kita sama-sama bersaudara. Saya tetaplah seorang ayah dari tiga anak yang dengan kesadaran penuh menyuntikkan sendiri vaksin varisela ke tubuh anak-anak saya.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...