Saturday, March 10, 2018

Apakah anak yang sedang mengalami diare tidak boleh minum susu?

Apakah anak yang sedang mengalami diare tidak boleh minum susu?

Ini prinsipnya:

- Mayoritas diare pada anak disebabkan oleh infeksi virus (misalnya rotavirus). Sebagian kecil lainnya adalah infeksi bakteri, infeksi parasit, intoleransi laktosa, dan keracunan makanan.

- Diare adalah upaya tubuh untuk membuang semua penyebab tersebut. Maka biarkan tubuh mengeluarkannya lewat diare atau muntah, tapi jangan sampai terjadi dehidrasi.
Maka penanganan utama diare adalah: cairan! Ya, berikan cairan sebanyak-banyaknya alias berikan anak minum sesering mungkin. 

- Anak yang diare seringkali merasa mual juga dan nafsu minum serta makannya turun. Maka berikan minuman atau makanan yang ia sukai. Anak yang masih mendapatkan ASI tentu diteruskan ASI-nya. Tapi anak yang sudah tidak minum ASI dan maunya susu, bagaimana? Atau maunya teh manis? Bahkan es krim?

Kembali pada prinsip apa penyebab diare dan terapi cairan untuk mencegah dehidrasi. Bila diare disebabkan oleh infeksi virus, tentu tidak ada pantangan makan atau minum. Yang penting anak mau minum, meskipun sedikit-sedikit, tapi sering.

- Sebagian kecil penyebab diare adalah intoleransi laktosa. Yaitu kekurangan enzim laktase yang mampu memecah laktosa pada susu menjadi glukosa dan galaktosa, sehingga laktosa tidak dicerna di usus halus, dan menuju ke usus besar, menyebabkan produksi gas berlebih, kembung, mual, kram perut, dan diare.

Pada diare yang disebabkan oleh intoleransi laktosa, susu dan produknya tentu dihindari. Diare akibat infeksi virus bisa saja menyebabkan intoleransi laktosa, tapi tidak sering. Ketika anak diare justru maunya minum susu yang biasa dia minum (kalau susunya diganti jenis lain, free lactose atau low lactose yang berbeda rasa, malah anaknya menolak), maka pemberian susu tersebut dapat diteruskan. Tidak perlu diencerkan atau diganti merek lain. Karena prinsipnya mencegah dehidrasi. Tetapi jika keluhan anak justru makin bertambah, misalnya muncul sakit perut, kembung, dan makin sering BAB-nya, maka susu dapat dihentikan dan dicari minuman lain.

- Apa minuman yang bisa diberikan? Yang terbaik tentunya larutan gula-garam seperti oralit. Tapi jika anak menolak, boleh berikan kuah sup, sari buah, dan minuman selain soda dan kafein, untuk menjaga kecukupan cairan.
Kenali tanda dehidrasi seperti anak tidak pipis lebih dari 6 jam. Ketahui kapan harus ke dokter.

- Bagaimana dengan alergi susu? Bukankah susu dihindari saat diare karena alasan ini?
Seperti sudah dijelaskan, alasannya lebih ke arah intoleransi laktosa, bukan alergi susu sapi. Mekanismenya pun berbeda. Tanda dan gejalanya juga. Perlu ada topik khusus yang membahas alergi susu sapi. Tapi umumnya anak yang sebelumnya tidak memiliki alergi susu sapi, maka susu dan produknya tetap dapat diberikan saat diare.




The Story of Short: Kisah tentang Anak Pendek (not exactly a short story)

Saya mau tanya dulu, kalau pergi ke Posyandu, Puskesmas, bidan, atau dokter untuk kunjungan rutin imunisasi, yang diperiksa dari bayinya apa saja? Berat badan pastinya. Tinggi badan rutin diperiksa juga? Lalu ketika anak datang ke dokter karena sakit, untuk konsultasi, selain berat badan, apakah tinggi badan rutin diukur juga? Pentingkah memantau tinggi badan anak?

Coba perhatikan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) edisi tahun 2016 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hal-hal yang harus dipantau dari anak balita sudah cukup lengkap: berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, bahkan indeks massa tubuh pun harus dicatat dan diplot ke kurva dalam tiap kunjungan ke fasilitas kesehatan. Semua parameter ini menandakan status gizi seorang anak yang masih melalui fase tumbuh dan kembang. Tidak cukup hanya memantau berat badan anak untuk menentukan gizinya baik atau tidak. Tinggi badan pun menentukan kecukupan nutrisi anak. Bagaimana perasaan orangtua ketika anaknya gemuk, tapi lebih pendek dibandingkan semua teman sebayanya? Atau bayangkan juga ketika mereka masuk usia remaja bahkan dewasa kelak. Perawakan pendek alias stunting bahkan menjadi indikator yang rutin dipantau dalam survei kesehatan nasional suatu negara, dan dibandingkan dengan negara-negara lain. Beda ya pastinya, ketika rata-rata tinggi badan penduduk suatu negara lebih baik daripada negara lain. Nah, apa sih perawakan pendek alias short stature itu?

Short stature adalah tinggi badan anak yang berada di bawah persentil 3 atau minus 2 Z-score di kurva pertumbuhan (growth chart). Apa pula artinya ini? Silakan browsing tentang growth chart atau cari sekilas di arsip timeline saya. Nah, ketika secara objektif anak dikategorikan pendek menurut kurva pertumbuhan, maka harus ditentukan, apakah termasuk perawakan pendek yang normal (wajar/fisiologis), atau abnormal? Termasuk fisiologis jika dikategorikan familial short stature (memang keturunannya pendek/genetik) atau constitutional delay (sekarang pendek, nanti ketika menjelang/saat sudah pubertas menjadi tinggi sama halnya dengan kawan-kawan sebayanya). Bagaimana membedakan kedua hal ini? Menggunakan bone age (foto ronsen telapak tangan untuk melihat usia tulang) salah satunya. Jika memang dokter menyimpulkan anak Bapak/Ibu masuk ke dalam perawakan pendek fisiologis ini, maka jangan berkecil hati.

Apakah tidak ada usaha yang bisa dilakukan untuk menaikkan tinggi badan anak kita? Berenang misalnya? Atau minum “susu tinggi kalsium” seperti kata iklan? 😁

Sampai saat ini, saya belum menemukan literatur yang cukup "sahih" menjelaskan hubungan antara renang dan tinggi badan, sehingga saya tidak dapat menjawabnya. Terlepas dari hal ini, berenang adalah olahraga yang sangat baik bagi anak kita. Tetapi jika sudah merutinkan anak berenang dan belum mendapatkan kenaikan tingginya menyamai kawan-kawannya, ya jangan berkecil hati bila pendeknya memang familial. Pastikan nutrisi anak yang seimbang sudah terpenuhi. Jangan sekedar mengandalkan minum susu saja. 

Minum susu tinggi kalsium bisa buat badan tambah tinggi? Kata iklan, anak yang lebih pendek, lalu dia minum susu tinggi kalsium, dan bertambahlah tingginya menyamai kawannya yang sebelumnya lebih tinggi. 

Hehe, memangnya tinggi badan hanya dipengaruhi oleh asupan kalsium semata? Tentu saja tidak. Faktor genetik (keturunan) sangat berpengaruh. Jika ayah-ibu anak ini memang memiliki perawakan pendek (short stature), tentunya sangat wajar jika anak mereka ternyata lebih pendek dari kawan-kawan sebayanya. Meskipun si anak sudah minum tinggi kalsium setiap hari.

Malahan, bisa jadi anak ini mengalami efek samping kebanyakan minum susu. Misalnya, makannya kurang karena sudah kenyang dengan susu. Lalu risiko anemia defisiensi besi karena asupan kalsium yang tinggi mengurangi penyerapan zat besi di saluran cerna. Dan risiko sembelit.

Jadi, kalau orangtuanya pendek, tapi sudah cukup nutrisi, tidak ada penyakit kronis pada anak, dan anak masuk dalam kategori stunting saat ini, apakah akan pendek seterusnya sampai dewasa nanti, dan tidak ada yang bisa dilakukan? Kalau pendeknya constitutional delay, oke deh masih bisa berharap tinggi belakangan alias late bloomer. Tapi kalau masuk kategori familial short stature?

Saat ini para ahli juga mengenal terminologi “secular trend in growth and puberty”. Salah satunya adalah usia menstruasi awal (menarche) anak perempuan yang makin muda dari dekade ke dekade berikutnya. Di abad ke-18 misalnya, laporan yang ada menunjukkan usia menarche anak sekitar 14 tahun. Saat ini, usia 10 tahunan sudah banyak anak perempuan yang mengalami menarche, dan salah satunya berhubungan dengan indeks massa tubuhnya (status gizi). Usia menarche anak juga lebih cepat kadang-kadang, dibandingkan usia menarche ibunya dulu. Tinggi badan pun sama. Tidak jarang kita lihat anak-anak yang tinggi badannya lebih tinggi dari kedua orangtuanya saat sudah masuk usia remaja, meskipun kadang kedua orangtuanya masuk dalam kategori pendek. Berbagai faktor seperti nutrisi dan pengaruh lingkungan, serta tentunya kadar hormon berpengaruh dalam teori “secular trend” ini. 

Semoga saja kelak anak-anak yang saat ini pendek bisa mencapai tinggi yang sama dengan kawan-kawan sebayanya. Tetapi pastikan tidak ada penyakit yang memengaruhi tinggi badan anak, dan pantau teratur tingginya. Konsultasikan ke dokter anak jika ada keraguan.

(Gambar diambil dari: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3GQPdB7lstJ7mJ2xJjTXp9WTLpkCyiy2lfIHZC_Zyt12apEIkYcLKKKCNUQOK1x1RISSEHMw55OEvpa-hkrDfPVUbi_EcN3qn8MW_p4_1oe1cNWuIX6Yx8Pb7CCHbtxsW13yg/s1600/height.jpg)




Thursday, March 08, 2018

Bakteri adalah hadiah terbaik Ibu untuk bayinya

Apa “hadiah” pertama seorang ibu kepada bayi yang baru dilahirkannya?
Bakteri. Ya, bakteri. 

Pernahkah Anda merenung, mengapa bayi dilahirkan dengan cara yang Anda ketahui seperti saat ini? Ya, melalui vagina yang kita pahami penuh dengan kolonisasi berbagai bakteri, kadang ditambah dengan kotoran (baca: feses) dari usus besar Ibu. Mengapa bayi harus lahir dengan cara “tidak bersih” seperti ini? Sang Pencipta pasti punya maksud.

Di dalam rahim Ibu yang sangat terjaga, bayi berada dalam lingkungan yang hampir steril. Saya katakan hampir steril, karena ternyata tidak 100% bebas kuman. Masih ada sedikit bakteri berada di lingkungan yang berisi bayi yang berenang dalam cairan ketuban yang terbungkus erat selaput ketuban. Ketika saat persalinan tiba, selaput ketuban pecah dan bersamaan dengan mengalirnya cairan ketuban keluar, maka masuklah bakteri-bakteri baik dari jalan lahir yang sangat banyak jumlahnya. Bakteri yang sehari-harinya menghuni vagina Ibu menjadi penghuni tubuh bayi, melapisi seluruh permukaan kulit bayi mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan tertelan masuk sampai ke saluran cerna bayi. Bahkan materi feses atau tinja ibu pun tidak jarang ikut terlibat, masuk ke tubuh bayi. Puluhan trilyun bakteri menjadi penghuni tubuh seorang makhluk yang sebelumnya berada dalam kondisi hampir suci. Bakteri yang dominan berasal dari vagina dan usus besar Sang Ibu.

Kondisi ini berlanjut dengan bayi yang diletakkan segera di dada Ibu untuk inisiasi menyusu dini. Bakteri di kulit Ibu pun segera bergerak ke tubuh bayi baru lahir ini, memperkaya variasi jenis kuman baik di tubuh bayi. Bayi lalu mendapatkan air susu Ibu (ASI), yang kandungannya pun tidak lepas dari bakteri-bakteri baik seperti Bifidobacterium lactis dan Bacteroides. Bahkan ASI pengandung HMO (human milk oligosaccharides) yang merupakan makanan bakteri-bakteri baik ini, sehingga koloni kuman ini tetap dapat hidup dalam saluran cerna bayi.

Apa arti semua ini? Ya, bakteri-bakteri baik yang senantiasa diwariskan dari generasi ke generasi ini, dari nenek ke ibu, ibu ke anak-anaknya, dan terus ke cucu-cucunya, adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia yang menemani tubuh sepanjang hayatnya, dan tentunya punya berbagai manfaat untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup manusia. 

Lalu, bagaimana apabila bayi lahir secara operasi sesar dan bahkan tidak mendapatkan ASI (dengan berbagai alasan medis)? 
Ya, secara alamiah jenis dan jumlah kuman yang didapatkan bayi di awal kehidupannya berbeda dengan yang lahir normal melalui vagina dan berlanjut dengan menyusu ke ibu. Pada proses operasi sesar, paparan pertama kuman baik adalah ketika kulit perut Ibu disayat, dan masuklah kuman dari udara di ruang operasi dan kulit perut ibu. Jenis bakterinya bisa jadi tidak sama dengan bakteri pada persalinan normal. Bayi yang minum susu formula juga tidak mendapatkan sekitar 700 spesies mikroba yang ada dalam ASI.

Lalu apakah bayi-bayi yang terlahir dengan operasi sesar dan tidak mendapatkan ASI akan lebih buruk kondisi kesehatannya karena tidak mendapatkan human microbiome penting di awal kehidupannya? Beberapa penelitian berskala besar dan penting memang menunjukkan adanya hubungan antara rendahnya jumlah bakteri baik penghuni tubuh alias human microbiome di awal kehidupan bayi dengan meningkatnya risiko asma, diabetes melitus tipe 1, penyakit seliak, dan obesitas. Meskipun keempat masalah kesehatan ini tidak semata-mata muncul akibat satu faktor penyebab saja. Dan tidak berarti juga bahwa tindakan operasi sesar lebih buruk daripada persalinan normal, atau susu formula “haram”. Karena pemberiannya tentu atas indikasi medis. Tindakan pembedahan kaisar terbukti menyelamatkan banyak nyawa atas indikasi medis yang tepat, dan susu formula boleh diberikan dengan indikasi medis tepat pula. Tetapi tidak dielakkan, bahwa persalinan normal yang berlanjut dengan kontak kulit segera ke Ibu dan berlanjut dengan pemberian ASI jauh memberikan manfaat dengan keberadaan human microbiome ini. Salah satu warisan manusia dari generasi ke generasi sejak keberadaan manusia di muka bumi ini.

Mengapa saya menaruh perhatian khusus terhadap hal ini? Tidak lepas dari maraknya penggunaan antibiotik yang tidak tepat beberapa dekade terakhir. Infeksi virus pun “dihantam” dengan antibiotik, sehingga potensial membunuh bakteri-bakteri penghuni tubuh kita yang bahkan berfungsi sebagai penjaga tubuh manusia, bisa menghadang bakteri-bakteri “jahat” penyebab penyakit alias patogen. Maka penggunaan antibiotik yang bijak dan sesuai indikasi penting dalam menjaga keberadaan dan peran human microbiome tubuh kita.

(Artikel bagus yang saya rekomendasikan di https://blogs.scientificamerican.com/guest-blog/shortchanging-a-babys-microbiome/)








Ketika anak sakit dan dokter tidak memberikan obat

Tidak memberikan obat saat anak sakit TIDAK SAMA dengan membiarkan saja...
.
"Jadi dibiarin aja Dok, kalau anak batuk-pilek?"
"Kata dokter, anak sakit batuk-pilek nggak perlu minum obat. Jadi dibiarin aja? Sembuh sendiri?"
"Anaknya demam dan nggak rewel. Katanya nggak perlu buru-buru dikasih obat penurun panas. Jadi dibiarin aja, trus panasnya turun sendiri?"
.
Kalimat-kalimat pertanyaan di atas sering sekali saya terima. "Jadi kalau anak sakit, dibiarkan saja?" Kadang tampak tak percaya, saat mengajukan pertanyaan ini. Hehe. Dokternya tega banget ya, masa anak sakit dibiarkan saja? Nggak dikasih obat? Mungkin ini yang ada di benak sebagian orangtua.
.
Kita kembalikan lagi pada: apa diagnosisnya? Baru kita beralih pada: apa terapinya? Jangan dibalik, diagnosis belum terjawab, langsung diberikan terapi. Nah, seperti sudah sering kita bahas, maka kita paham bahwa:
- Batuk pilek alias selesma/common cold nggak ada obatnya. (Obatnya sabar dan gendong kan? Hehe) Nggak perlu obat batuk maupun obat pilek.
- Demam nggak perlu buru-buru dikasih obat, kalau anaknya tidak rewel.
.
Lalu anaknya dibiarkan saja, sampai sembuh sendiri? Ya tidak juga! Kita tetap memastikan anak tidak dehidrasi dengan terus memberikan minum. Kita melakukan observasi untuk memantau ada tidaknya tanda-tanda kegawatan lain seperti sesak napas. Dan kita membekali diri dengan ilmu! Supaya kita tahu kapan harus ke dokter lagi, dan kapan bisa ditangani saja di rumah, dengan bekal ilmu. Tentunya tidak sama dengan membiarkan saja, bukan? Observasi, atau istilah kerennya "wait and see approach", adalah bagian dari terapi juga. Tidak melulu dengan "harus dikasih obat", kalau memang tidak perlu obat yang harus dikonsumsi.
.
Jadi, ketika ada yang bertanya: "apa obatnya common cold?"
"Ya common sense." 
.
Setuju? 😊
.
(Gambar diambil dari www.nps.org.au/__data/assets/image/0008/285794/Use-common-sense-MI-edit.png)




Thursday, February 15, 2018

Anak batuk pilek boleh diuap pakai air panas?

“Kata Dokter, batuk pilek alias selesma nggak perlu obat kan. Terus, boleh nggak kalau saya uap pakai air panas aja? Supaya dahaknya encer dan ingusnya mudah dikeluarkan?” tanya seorang Ibu.
“Ibu boleh-boleh aja melakukan hal itu. Tapi saya tidak merekomendasikan. Bayangkan aja kalau pas anaknya diuap dengan posisi wajah menghadap ke baskom berisi air panas. Pas Ibunya lagi mengantuk, bagaimana? Anak sakit kan biasanya rewel. Orangtua ikutan lelah menjaga anaknya. Pas lagi ngantuk, anaknya dipaksakan untuk “diterapi uap”, eehh, bisa kecebur ke air panas kan! Malah jadi luka bakar. Awalnya anaknya cuma batuk-pilek aja, malah berakhir jadi luka bakar. Lagipula, kalaupun diuap dengan air panas, apakah anaknya kemudian akan segera membaik? Kan penyebabnya virus. Mungkin bisa aja nyaman sesaat. Trus kemudian hidungnya mampet lagi dan batuknya tetap berdahak. Apakah dahaknya kemudian lebih encer dan anaknya bisa “hoek-cuih” buang dahak seperti orang dewasa? Enggak kan. Mau kental ataupun encer, dahak akan ditelan juga. Nggak masuk saluran napas kok. Kan obat terbaiknya ada dua: #SABAR dan #GENDONG 😊. Nggak perlu diuap pake minyak kayu putih juga. Pernah merasakan tidak? Malah makin perih matanya. Anak bisa jadi makin nggak nyaman, padahal niat orangtuanya baik.”
Udah jelas ya jadinya? 😊
(Posisi menggendong tegak menguntungkan bayi bisa menelan dahak dan ingus lebih mudah dengan bantuan gravitasi, dibandingkan dengan posisi telentang. Makanya tidak ada yang mengalahkan sabar dan gendong 😁.




(Sumber gambar: https://i.ytimg.com/vi/mBcPzD6B7Fw/hqdefault.jpg)

Apa saja kandungan vaksin difteri (vaksin Td)?

Tulisan ini khusus membahas kandungan vaksin Td seperti dalam gambar, yaitu yg isinya kombinasi antara vaksin tetanus dan vaksin difteri dalam satu sediaan. Adapun vaksin difteri tersedia dalam beberapa sediaan, seperti vaksin kombo DPT, DPT+Hib+HepB, DPaT, DPaT+Hib+polio, dll.

Saya jelaskan komposisi vaksin Td produksi salah satu BUMN kita: Bio Farma. 

Secara umum, vaksin terdiri atas dua kandungan: bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan aktif vaksin Td adalah: vaksin tetanus dan vaksin difteri. Tujuan bahan aktif tentunya menciptakan kekebalan terhadap penyakit tetanus dan difteri. Jadi orang yang mendapatkan imunisasi Td diharapkan tidak akan pernah mengalami sakit tetanus dan difteri sama sekali.
Bahan tambahan yang terkandung dalam vaksin Td sesuai informasi dalam kemasan adalah: aluminium fosfat dan timerosal. Apakah itu?

Sebelumnya saya jelaskan dulu bahwa kandungan aktif vaksin Td bukanlah bakteri tetanus dan difteri secara utuh, tetapi toksin (racun)nya, yaitu “toksoid difteri yang dimurnikan” dan “toksoid tetanus yang dimurnikan”. Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, dan penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Tepatnya: yang membuat penyakit pada tubuh manusia bukanlah bakterinya langsung, tetapi toksin (racun) yang dihasilkannya. Untuk itu, ilmuwan sejak abad ke-19 sudah mengembangkan vaksin difteri dan tetanus menggunakan toksin yang dilemahkan (toksoid), dan di awal abad ke-20 terciptalah vaksin difteri dan tetanus yang terbukti efektif dan menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia.

Apakah aluminium fosfat itu? Dengar kata aluminium, apa yang terlintas di pikiran Anda? Ya, bahan pembuat panci kok dimasukkan ke dalam tubuh manusia? 😅 Bahan ini adalah ajuvan vaksin, yaitu zat yang dapat meningkatkan respons imun tanpa harus menyuntikkan vaksin dalam volume banyak ke tubuh. Bayangkan saja, kok dosis vaksin difteri bayi dan dewasa yang disuntikkan ke tubuh sama-sama 0,5 ml saja? Ini karena adanya ajuvan. Dan tidak semua vaksin mengandung aluminium sebagai ajuvan, hanya beberapa saja. Aluminium sebagai ajuvan sudah digunakan selama 80 tahun terakhir dan terbukti aman. Di sisi lain, aluminium ternyata ada di mana-mana, dan merupakan unsur ketiga terbanyak di bumi! Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan menelan 10 miligram aluminium. Susu formula mengandung sampai 30 miligram aluminium. Aluminium dalam vaksin yang disuntikkan sampai bayi berusia 6 bulan sebanyak 4 miligram, jauh lebih sedikit daripada yang terkandung dalam ASI! 

Jadi cukup jelas ya. Vaksin itu harus aman dan efektif (mencegah penyakit). Ajuvan menunjang efektivitas vaksin dalam membentuk respon imun, dan terbukti aman selama puluhan tahun.

Terakhir, kandungan timerosal yang dikenal sebagai merkuri atau raksa sebagai logam berat. Serem ya dengernya? Logam berat disuntikkan ke dalam tubuh! 😱
Timerosal dalam vaksin ini (tidak semua vaksin mengandung timerosal) berfungsi sebagai pengawet yang bermanfaat mencegah kontaminasi bakteri dan jamur. Satu botol/vial vaksin Td kan bisa diberikan untuk 10 orang (10 dosis), maka ketika jarum steril baru masuk menembus karet penutup botol vaksin, lebih dari sekali (ingat, jarumnya pasti selalu jarum baru sekali pakai yang dijamin steril), maka adanya risiko kontaminasi kuman sekecil apapun dari luar terkurangi dengan adanya timerosal dalam vaksin. Penggunaan timerosal sudah dilakukan selama puluhan tahun dan terbukti aman.

Tapi kan ini merkuri. Merkuri! Berbahaya lho... 🤔 Ada yang menghubungkannya dengan autis bahkan! 😓
Ternyata tidak, timerosal sudah dibuktikan tidak berhubungan dengan autism. Lalu ada lagi pembagian etil merkuri dan metil merkuri. Timerosal adalah etil merkuri yang berbeda dengan metil merkuri yang terdapat dalam ikan-ikan laut yang tercemar logam berat.
Selengkapnya tentang timerosal sudah saya bahas di fanpage @bukuprokontraimunisasi





Apakah vaksin efektif dalam mencegah penyakit? Bagaimana membuktikannya?



Tahu foto apa ini? Ini adalah hasil pemeriksaan darah seorang anak yang diperiksakan:
- apakah ia memiliki virus hepatitis B di dalam tubuhnya (terinfeksi)? Yaitu dengan pemeriksaan HBsAg.
- apakah ia memiliki kekebalan terhadap virus hepatitis B? Yaitu dengan pemeriksaan Anti HBs. 

Apa hasilnya? HBsAg-nya negatif, artinya ia tidak punya virus dalam tubuhnya. Dan Anti HBs-nya positif, artinya anak ini punya kekebalan untuk TIDAK terinfeksi virus hepatitis B sepanjang hidupnya! Dan tahukah Anda, apa yang membuat Anti HBs anak ini positif? Ya, vaksin hepatitis B sejak beberapa jam kelahirannya!

Mengapa saya periksakan dua hal ini ke pasien saya? Karena anak ini terlahir dari ibu yang positif terinfeksi virus hepatitis B. Maka tugas saya selalu dokter adalah: MENGUPAYAKAN bayinya tidak terinfeksi hepatitis B, yang berpotensi menjadi kanker hati dan sirosis di usia dewasanya. Saya memberikan DUA upaya perlindungan: imunisasi hepatitis B (vaksin) dan pemberian imunoglobulin hepatitis B (HBIg). 

Apa sebenarnya penyakit hepatitis B? Sepenting apa sampai harus diberikan dalam 12 jam setelah lahir? Belajar yuk 😊

Virus hepatitis B (VHB)—seperti namanya—spesifik menyerang organ hati. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus hepatitis B tidak mengalami gejala penyakit sampai bertahun-tahun setelah pertama kali virus masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Mayoritas orang terdiagnosis hepatitis B dalam bentuk sakit kuning (hepatitis), sirosis hati, atau kanker hati (karsinoma hepatoselular). Penyakit hepatitis B ditularkan melalui kontak dengan darah orang yang terinfeksi hepatitis B sebelumnya, misalnya melalui transfusi darah, penggunaan obat suntik (narkoba), pemakaian tato di kulit, bayi baru lahir yang tertular ibunya, dan hubungan seks. Kadang penularan bisa melalui cara yang tak terduga seperti penggunaan bersama pisau cukur, sikat gigi, atau handuk. Satu milliliter darah seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B bisa mengandung satu milyar virus. Virus ini juga dapat berada pada suatu benda (objek) selama 7 hari, meskipun tidak berada di dalam darah. Akibat risiko penularan yang kadang tidak terduga dan mayoritas penderitanya tidak menunjukkan gejala awal, maka vaksin hepatitis B penting diberikan di Indonesia.

Awalnya vaksin hepatitis B hanya diberikan pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi tertular virus hepatitis B, misalnya tenaga kesehatan di RS, pasien cuci darah (dialisis), dan pengguna narkoba suntik. Tetapi karena penularan juga terjadi pada kelompok masyarakat tidak berisiko, maka strategi yang digunakan di AS pada tahun 1980-an ini tidak berhasil. Insidens (angka kejadian) hepatitis B tidak berubah meskipun imunisasi sudah 10 tahun berjalan. Maka strategi diganti menjadi memberikan imunisasi hepatitis B pada bayi sejak baru lahir. Apabila program imunisasi ini berjalan baik dan cakupannya tinggi, maka diharapkan hepatitis B musnah dalam satu sampai dua generasi mendatang.

Bagaimanakah gejalanya?
Pada bayi dan anak-anak, infeksi hepatitis B tidak bergejala, tetapi pada 7 dari 10 remaja dan dewasa yang mengalaminya, terdapat gejala-gejala seperti: demam, nyeri sendi dan perut, mual, muntah, tidak nafsu makan, air seni berwarna gelap, dan kulit serta mata berwarna kuning.

Bagaimana vaksin hepatitis B dibuat?
Upaya menemukan HBsAg memiliki sejarah berliku. Perkembangan bioteknologi mengantarkan pada pembuatan vaksin hepatitis B yang digunakan saat ini, yaitu menggunakan teknologi DNA rekombinan. Rekayasa genetika ini diawali oleh penemuan enzim yang dapat "memotong" DNA yang dihasilkan oleh bakteri Eschericia coli, oleh Herbert Boyer. Di sisi lain, Stanley Cohen menemukan "plasmid", yaitu DNA berbentuk lingkaran (sirkular) yang membawa gen untuk resistensi antibiotik. Plasmid ternyata mudah dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lainya, trrmasuk untuk memimdahkan gen resistensi antibiotik. Cohen kemudian menggunakan enzim temuan Boyer untuk memotong plasmid yang berisi gen resisten antibiotik dan memasukkan gen yang berisi resistensi terhadap antibitoik lain, lalu menyambung kembali DNA plasmid sehingga utuh seperti sebelumnya. Plasmid kini berisi gen yang resisten terhadap dua jenis antibiotik. Cohen memasukkan plasmid tersebut ke dalam bakteri lainnya dan berhasil menciptakan bakteri baru yang resisten terhadap dua jenis antibiotik. Hasil eksperimen ini membuat Boyer dan Cohen menyimpulkan bahwa gen apapun, termasuk gen manusia, dapat dimasukkan ke dalam plasmid bakteri. Ketika bakteri memperbanyak dirinya, maka protein yang dibawanya, termasuk protein manusia, akan ikut diperbanyak juga. Bakteri dapat mejadi pabrik mini yang memproduksi berbagai jenis komponen tubuh manusia. Inilah cikal bakal rekayasa genetik yang ikut digunakan dalam pembuatan vaksin hepatitis B.

Mengapa bayi saya segera harus mendapatkan imunisasi hepatitis B setelah lahir, meskipun saya jelas tidak terinfeksi virus hepatitis B?

Data statistik di AS menunjukkan tiap tahun 18.000 anak terinfeksi hepatitis B sebelum usia 10 tahun. Makin muda usia seseorang terkena hepatitis B, maka makin besar risiko mengalami kanker hati atau sirosis hati di kemudian hari. Apakah sebagian besar anak ini terinfeksi dari ibunya saat proses persalinan? Ternyata separuhnya terinfeksi dari ibunya, tetapi selebihnya dapat terinfeksi dari orang lain atau anggota keluarga lain, dengan cara tidak terduga seperti yang sudah dijelaskan. Orang-orang yang menularkan ini pun mayoritas tidak menunjukkan gejala. Fakta ini menekankan pentingnya imunisasi hepatitis B dan waktunya adalah segera (dalam 12 jam) setelah bayi lahir.

Sekitar 95% infeksi VHB di Asia ditransmisikan secara vertikal dari ibu hamil ke bayi yang dilahirkannya, sedangkan 5% sisanya ditularkan pada masa kehamilan (sebelum proses persalinan). Proses penularan ini harus segera diputusdengan pemberian imunisasi hepatitis B pada usia kurang dari 12 jam sejakbayi dilahirkan (didahului dengan suntikan vitamin K untuk mencegah komplikasi perdarahan).Pemberian imunisasi dini ini juga dapat mencegah bayi dari terinfeksi oleh orang-orang yang tidak diketahui statusinfeksinya kelak setelah pulang ke rumah. Imunisasi hepatitis B kedua diberikan saat bayi berusia 1 bulan, dilanjutkan dengan imunisasi ketiga saat berusia 6 bulan. Sekitar 95 dari 100 orang yang mendapatkan imunisasi hepatitis B lengkap akan terhindar dari infeksi VHB. Apabila sebelum persalinan ibu sudah diketahui terinfeksi VHB, maka saat bayi lahir juga diberikan imunoglobulin G (HBIg).

Data WHO mencatat 240 juta penduduk di seluruh dunia hidup dengan hepatitis B kronik dan 600.000 orang meninggal akibat komplikasinya setiap tahun. Di Amerika Serikat, mayoritas penderita mendapatkan infeksi VHB saat masih anak-anak. Sekitar 90% anak-anak ini akan mengalami infeksi kronik, dan 1 dari 4 akan mengalami komplikasi termasuk kanker.

Pengobatan terhadap anak yang terinfeksi VHB juga masih kurang efektif, misalnya dengan interferon atau analog nukleotida. Di Indonesia, salah satu masalah terbesar adalah pemberian imunisasi hepatitis B pertama pada usia kurang dari 12 jam sering ditunda. Misalnya karenaalasan tidak siap atau HBsAg ibu negatif. Padahal ibu dengan HBsAg negatif belum tentu tidak mengidap hepatitis B. Bisa terjadi occult hepatitis B, yaitu orang dengan HBsAg negatif, dapat menunjukkan anti HBc positif pada pemeriksaan lanjut.Pada kondisi ini, sebenarnya orang tersebut telah mengidap penyakit hepatitis B. Inilah alasan pentingnya imunisasi hepatitis B pada usia kurang dari 12 jam pertama, tanpa melihat status HBsAg ibu.

Pada anak yang dilahirkandari ibu hamil dengan HBsAg positif dan mendapatkan imunoglobulin dalam waktu kurang dari 12 jam, dilanjutkan/dibarengi dengan imunisasi hepatitis B, maka tingkat keberhasilan pencegahan infeksi VHB dapat mencapai 95-97%. Satu hal yang harus diingat adalah kurang dari 5% penularan dapat terjadi dalam kandungan (sebelum persalinan), sehingga idealnya semua ibu hamil diperiksa status HBsAg-nya.

Seberapa menularkah hepatitis B?
Apabila 10 orang sehat (belum pernah diimunisasi hepatitis B dan tidak terinfeksi VHB) tinggal satu rumah dengan orang yang terinfeksi VHB, maka diperkirakan 4 dari 10 orang sehat ini akan terinfeksi.

Apakah vaksin hepatitis B efektif?

Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 15 tahun pasca imunisasi, namun secara teoritis bisa sampai seumur hidup, sehingga pada anak secara umum tidak dianjurkan untuk imunisasi booster setelah berusia lebih dari 6 bulan. 

Manfaat Imunisasi Hepatitis B
1. Mengurangi kematian akibat komplikasi VHB
2. Mencegah kanker hati dan sirosis (gagal) hati
3. Mencegah penularan terhadap orang lain

Selengkapnya di buku Pro Kontra Imunisasi yang saya tulis.

Tuesday, January 30, 2018

Mengenal Japanese encephalitis

Lagi rame penyakit Japanese encephalitis (JE) ya? Perlukah kita mendapatkan vaksinnya?

Prinsip pertama bagi seorang dokter, menurut saya, adalah JUJUR. Jadi menyampaikan informasi tentang suatu kondisi haruslah utuh. Misalnya saja tentang penyakit JE. Permintaan vaksin ini sepertinya sedang meningkat. Apakah masyarakat sudah utuh pemahamannya tentang penyakit ini? Penyedia layanan vaksinasi pun harus utuh memberikan informasi tentang penyakit ini. Jadi kesannya tidak sekedar “jualan” vaksin saja. Membaca jadwal imunisasi IDAI 2017 (seperti di gambar) termasuk keterangannya ya. Di situ tertera jelas bagi siapa vaksin JE diberikan.

Mengenal Japanese encephalitis

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dikabarkan meninggal dalam keadaan mengenaskan akibat virus bernama Japanese encephalitis (JE). Sebelum menghembuskan napas terakhir, anak ini mengalami perburukan kondisi yang cukup cepat, kejang, dan mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Pesan singkat yang berisi kisah tragis ini menyebar di kalangan para ibu beberapa waktu lalu. Sebagian menjadi panik dan meminta agar anaknya mendapatkan vaksin JE. Apakah sebenarnya penyakit ini? Berbahayakah? Perlukah anak-anak kita mendapatkan vaksinnya?

Virus Japanese encephalitis

Virus Japanese encephalitis (JE) adalah golongan flavivirus, sama halnya dengan virus Dengue, yellow fever, dan West Nile. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terutama golongan Culex. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus ini tidak mengalami gejala apapun. Hanya kurang dari satu persen orang yang memiliki virus JE dalam tubuhnya mengalami gejala-gejala, seperti demam, sakit kepala, dan muntah-muntah di awal sakit, lalu berlanjut menjadi penyakit mematikan yang disebut ensefalitis akut. Peradangan di jaringan otak ini bergejala perubahan status mental/perilaku, defisit neurologis (misalnya kelemahan/kelumpuhan anggota tubuh), sampai kejang dan kematian. Angka kematian akibat ensefalitis JE mencapai 30%. Cacat saraf permanen atau kelainan kejiwaan/psikiatri sebesar 30-50%. 

Masa inkubasi, yaitu periode sejak masuknya virus sampai munculnya gejala penyakit, adalah 5- 15 hari. Sebanyak 24 negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat masuk dalam daerah endemis JE, sehingga membuat lebih dari 3 milyar orang berisiko tertular penyakit ini. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan sebanyak 326 kasus JE pada tahun 2016. Kasus terbanyak dilaporkan di Propinsi Bali sebanyak 226 kasus (69,3 persen). Tingginya kasus JE di Bali dihubungkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di daerah tersebut, mengingat nyamuk Culex banyak terdapat di area persawahan dan irigasi.

Di daerah endemis, yaitu lokasi dengan kasus penularan/infeksi tinggi, orang dewasa yang terinfeksi virus JE kebanyakan tidak mengalami gejala (tidak menjadi sakit), dan justru memperoleh kekebalan/imunitas alamiah. Anak-anak adalah kelompok yang rentan sakit, sesuai data sebanyak 85% kasus yang dilaporkan tahun 2016 adalah kelompok usia di bawah 15 tahun. Penyakit ini tidak ada obatnya. Sama halnya dengan kebanyakan penyakit akibat infeksi virus, seperti Dengue (DBD), yang penanganannya bersifat suportif, seperti menjaga kecukupan cairan dan mencegah dehidrasi, serta mengawasi risiko terjadinya komplikasi berat seperti ensefalitis, dan menanganinya sesuai gejala-gejala yang muncul.

Untunglah saat ini sudah tersedia vaksin JE untuk mencegah penyakit ini. Awalnya vaksin JE dikhususkan bagi para pelancong/wisatawan yang akan berkunjung ke daerah endemis JE. Vaksin disuntikkan sebanyak 2 kali dengan interval/selang waktu sebulan antar vaksin, dan selambat-lambatnya 10 hari sebelum memasuki daerah endemis. Pada bulan September 2017 mendatang, Kementerian Kesehatan akan mulai memberikan vaksin JE bagi anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun, di 9 kabupaten/kota di Bali, dengan sasaran 897.050 anak. Program yang dinamakan kampanye imunisasi JE ini akan dilanjutkan dengan memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal imunisasi rutin anak berusia 9 bulan (bersamaan dengan imunisasi campak/rubella), di daerah-daerah yang dinilai endemis JE. 

Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal terbarunya (tahun 2017) untuk diberikan pada usia 12 bulan, dan diulang 1 – 2 tahun berikutnya untuk memberikan perlindungan jangka panjang. Anak-anak yang akan berkunjung memasuki daerah endemis JE juga disarankan mendapatkan vaksin JE. 

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan lebih detil kriteria pelancong yang perlu mendapatkan vaksin JE, yaitu:
- bukan yang berkunjung untuk waktu singkat (kurang dari 1 bulan), tetapi untuk yang akan berada di daerah endemis JE selama lebih dari 1 bulan, atau 
- yang akan berkali-kali mengunjungi daerah endemis, meskipun dalam tiap kunjungannya tidak mencapai 1 bulan. 

Mereka yang akan memasuki daerah endemis untuk waktu singkat tetap disarankan mendapatkan vaksin JE sebelumnya apabila: 
- daerah tersebut sedang mengalami wabah JE, 
- pelancong tidak yakin lokasi mana saja di daerah tersebut yang akan dikunjunginya, dan 
- pelancong menghabiskan banyak waktunya di daerah persawahan atau pedesaan khususnya malam hari, atau berada di luar ruangan (berkemah, mendaki gunung, atau aktivitas outdoor lainnya), atau berada di daerah endemis selama periode penyebaran virus meskipun kunjungannya singkat.

Pencegahan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan lotion anti nyamuk (repelan) berisi DEET, IR3535, pikaridin, atau minyak ekaliptus lemon. Kenakan pakaian berlengan panjang, celana panjang, dan kaos kaki untuk menghindari gigitan nyamuk. Juga kurangi aktivitas di luar ruangan di sore/malam hari dan saat suhunya lebih dingin.

Upaya memastikan diagnosis JE diawali dengan kecurigaan terhadap gejala-gejala yang ada, khususnya ketika terjadi ensefalitis, ditambah dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan keberadaan virus JE di dalam tubuh.

(Gambar diambil dari http://outbreaknewstoday.com/wp-content/uploads/2017/09/21314593_1709763445701567_4389493826546397559_n.jpg)

Tulisan dr. Arifianto, Sp.A ini pernah dimuat di rubrik Tumbuh Kembang Majalah UMMI tahun lalu.





Monday, January 29, 2018

Kalau bayi hidungnya mampet, boleh nggak ya disedot pakai mulut orangtuanya?


Tanggapan pertama saya biasanya: idih, jorok! Hehe 😀 Iya kan, bayangkan aja, ingus si bayi dihisap oleh mulut bapak atau ibunya. Di ingus anak banyak kumannya. Di mulut orangtuanya banyak kumannya. Saya sih nggak pernah melakukan hal serupa pada ketiga anak saya.

Tapi kan kasihan, Dok. Anaknya susah napas. Rewel. Nangis aja semalaman. Masa dibiarkan aja? Begitu biasanya tanggapan para orangtua. Saya jadi ingat perkataan guru saya yang kurang lebih: "nggak ada bayi sampai meninggal gara-gara hidungnya mampet!" Iya, bener juga. Meskipun kedua lubang hidung tersumbat sempurna, bayi akan bernapas lewat mulut. Oksigen tetap masuk ke paru-paru. Lalu saya menambahkan: "yang ada adalah anak meninggal karena paru-parunya yang mampet". Alias pneumonia (radang paru-paru, pernah saya jelaskan di tulisan yang lain).

Lalu bagaimana mengatasi hidung tersumbat akibat pilek pada bayi? Kalau disedot dengan alat seperti pada gambar, bagaimana?

Ada beberapa alat penyedot/pengisap lendir yang dijual di pasaran. Baik seperti pada gambar, atau suction bulb berupa balon kecil untuk mengisap ingus/lendir dari hidung. Sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi anak belum tentu nyaman diperlakukan seperti ini. Kadang kalau anak berontak/tidak kooperatif, bisa menimbulkan gesekan dan luka di dinding dalam hidung. Niat awalnya baik, malah berisiko melukai anak.

Bagaimana dengan tetes hidung yang isinya garam fisiologis (NaCl0,9%)? Ada juga yang bentuknya semprot hidung. Lagi-lagi, bisa juga digunakan. Tapi kebanyakan bayi tidak nyaman dimasukkan cairan ke dalam hidungnya. Malah jadi nangis karena kesal/sebal. Niat awalnya baik, tapi belum tentu bayinya lebih nyaman.

Kalau diuap dengan air panas, kadang dicampur dengan minyak kayu putih, gimana? Pertama, belum tentu juga melegakan napas anak. Kedua, risiko tercebur ke dalam baskom air panas dan anak bisa luka bakar! Harus ekstra hati-hati dan tak boleh mengantuk karena semalaman tak tidur si kecil rewel.

Atau menggunakan balsem dan minyak telon untuk menghangatkan dada, boleh kan? Siapa tahu ingusnya jadi encer juga? Boleh saja, asal anak tidak alergi dengan bahan-bahan tersebut.

Diuap saja di tempat praktik dokter dengan alat inhalasi. Gimane? Hehe, nggak perlu serepot itu. Lagipula terapi inhalasi kan ditujukan untuk serangan asma (sudah beberapa kali saya bahas).

O iya, hampir lupa. Menyedot ingus menggunakan mulut orangtuanya juga meningkatkan risiko sakit jadi makin lama lho. Kok bisa? Ya, ketika ayah/ibu menyedot ingus anaknya, maka virus di saluran napas anak bisa pindah ke saluran napas orangtuanya, karena posisi mereka sangat berdekatan. Orangtua menghirup napas dekat saluran napas anak.belum lagi kalau si bayi bersin dan batuk. Awalnya orangtua belum sakit, akhirnya ketularan deh pilek dari anaknya. Seharusnya si anak saatnya pulih dengan sendirinya dari pileknya, tertular lagi dari orangtuanya yang baru kena pilek. Bolak-balik-bolak-balik-bolak-balik-dst. Ping pong! Nggak kelar kelar. Kita pahami bahwa yang membuat selesma seorang anak lama tak kunjung kelar ya ping pong ini.
Sekarang ngaku aja deh, siapa yang pernah melakukan hal serupa? Hehe 🙂

Terus apa dong?? Ini nggak boleh, itu nggak perlu! 

Sabar, sabar. Yang penting kita paham prinsip kapan bayi harus dibawa ke dokter? Yaitu ketika sesak napas, frekuensi napas lebih dari 60x/menit saat tenang, disertai tarikan di seluruh sela iga. Artinya sudah terjadi peradangan sampai jaringan paru (pneumonia). Bukan sekedar pilek meler selesma biasa.

Posisikan bayi dengan gendong tegak, supaya ingusnya turun ke bawah. Biasanya ditelan bayi tanpa kita lihat tentunya. Dan terus susui bayi agar tak dehidrasi. Ujung-ujungnya memang digendong juga. Hehe. Iya kan, terapi terbaik adalah SABAR dan GENDONG.

Cepat sehat ya yang bayinya lagi pada mampet hidungnya...

(Foto diambil dari http://asibayi.com/wp-content/uploads/2014/06/pigeon-tube-nasal-aspirator.jpg)



Monday, January 22, 2018

Mengapa saya menolak puyer racikan


“Ooh my God... divided by eyes?” Kalimat ini selalu saya ingat. Guru saya menceritakan pengalamannya sekitar satu dekade lalu, ketika kawannya dari Australia melihat proses pembuatan puyer di sini. Ya, satu kertas putih berisi campuran berbagai macam obat, di antara jejeran kertas-kertas puyer lainnya, yang dibagi-bagi (harapannya) dengan jumlah sama rata (yakin? 😅), antar satu kertas dengan kertas lainnya. Yakin dosisnya sama antar bungkusan? Pembaginya adalah mata manusia yang timbangan khusus miligram. Lalu, kira-kira apa penyakit yang butuh satu sediaan campuran alias racikan seperti ini? Apa penyakit anak yang sering diresepkan puyer? Batuk pilek alias common cold? Kan nggak ada obatnya. Diare? Lagi-lagi obatnya oralit dan zinc yang sudah ada sediaan sirupnya. “Radang tenggorokan”? Kan sudah dijelaskan juga, ini diagnosis tidak jelas. Kejang demam? Butuh obat penurun panas? Kalaupun butuh parasetamol, kan sudah ada sediaan sirup atau drops-nya. Antibiotik? Ada sirupnya juga. Lalu apa penyakit yang butuh puyer isi campuran berbagai jenis obat, atau ada juga yang memberikan sirup diisi berbagai campuran obat lagi.

Praktik pembuatan puyer atau racikan berbagai obat ini dikenal dengan istilah drug compounding. Silakan baca definisinya dalam gambar. Bagaimana Kementerian Kesehatan memandang praktik serupa? Ternyata masuk dalam kategori pengobatan yang tidak rasional (lihat gambar dan baca tautan di bawah). Apa saja risikonya?
- polifarmasi: yaitu memberikan banyak obat untuk satu kondisi. Coba kembalikan pada DIAGNOSIS. Apakah terapinya sesuai? Butuh obat sebanyak itu?
- Interaksi obat, yaitu antar satu obat dengan obat lainnya. Sudah cek di aplikasi drug-interaction? Sudahkah apoteker mengecek semua potensi interaksi obat?
- Kontaminasi dengan kuman. Pernah lihat cara pembuatan puyer? Apakah semua asisten apoteker mengenakan sarung tangan dan masker saat “meracik” obatnya? Apakah wadah alias lumpangnya bebas dari campuran obat antara satu pasien dengan pasien lainnya? 

Apakah tidak boleh membuat obat dalam bentuk puyer sama sekali? Drug compounding masih diperbolehkan dengan alasan-alasan seperti di gambar.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh konsumen kesehatan?
1. Selalu tanya apa diagnosis, karena ini menentukan terapi. Kecocokan antara diagnosis dengan terapi bisa dibaca lebih detil di era informasi yang ada di ujung jari ini.
2. Minta selalu kopi resep apabila resep tidak jelas terbaca, agar tahu apa saja obat-obatan yang diresepkan. Kandungan dan interaksi obat amat mudah dicek di situs semacam drugs.com dan webmd.com, atau yang lebih rumit semacam medscape.com
3. Apabila diberikan puyer, tanyakan apa alasannya. Apakah tidak ada sediaan sirupnya atau tabletnya? Atau mungkin memang obat yang belum ada sediaan sirupnya, sedangkan butuh tepat sesuai dosis berat badan anak/bayi yang kecil. Tapi tetap saja: BUKAN campuran berbagai obat dalam satu puyer.

Jadi... masih mau mendapatkan puyer racikan berisi campuran lebih dari satu obat? 😊

Bacaan lebih lanjut:
http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MTcwLmhvdGxpbms=
http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/collections/2014/11/drug-compounding
https://www.fda.gov/Drugs/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/PharmacyCompounding/ucm339764.htm#combine










Friday, January 19, 2018

Apakah sabun antiseptik lebih baik dibandingkan sabun biasa?


“Hati-hati main di lantai, Nak. Banyak bakteri berbahaya yang bisa buat sakit.” Sang Ibu mengingatkan putranya yang berusia 5 tahun. Sepertinya pesan yang disampaikan berulang kali oleh iklan sudah merasuk mantap ke dalam konsep berpikirnya. Bakteri itu berbahaya, dan bisa buat sakit. “Nanti cuci tangan pakai sabun antiseptik ya.” Ibunya menambahkan.

Di tempat lain.
“Sabun hebat melindungi dari kuman yang kuat. Sebelum antibiotik, bantu cegah dengan sabun antiseptik.” Sayup-sayup terdengar suara ini dari televisi. Sambil mengiris bawang di dapur, Ibu mendengarkan pesan komersial ini berulang kali. Ia juga teringat iklan yang lain. Anak-anak berisiko terpapar dengan berbagai kuman pembuat sakit berhari-hari. Di tubuh, di tangan, penuh dengan berbagai kuman termasuk bakteri yang dikesankan sebagai tokoh jahat. Maka sabun antiseptik mampu mencegah berbagai risiko penyakit ini. Masalahnya adalah: benarkah fakta ini? Benarkah sabun antiseptik yang digunakan sehari-hari untuk mandi atau mencuci tangan, dan bisa dibeli bebas di toko terbukti efektif mengurangi kejadian penyakit seperti infeksi saluran napas dan infeksi saluran cerna? Atau kembali ke prinsip pertanyaan: apakah bakteri yang sehari-hari berinteraksi dengan tubuh kita, termasuk anak-anak kita, adalah bakteri jahat pembuat sakit?

Apabila kita coba telusuri berbagai referensi (beberapa saya sampaikan di akhir tulisan), maka kita akan mendapati fakta “mengejutkan” akhir-akhir ini: sabun antiseptik tidak terbukti efektif mencegah penyakit seperti yang banyak dipercaya, bahkan memiliki beberapa risiko buruk bagi kesehatan. Badan pengawas obat dan makanan (POM) Amerika Serikat (FDA) sudah mengeluarkan rilisnya beberapa tahun lalu bahwa perusahaan-perusahaan produsen sabun antiseptik diminta mengevaluasi kembali produknya, sebelum dinyatakan masih layak diteruskan produksinya atau tidak. Apa saja yang perlu diketahui tentang sabun antiseptik?

- Sabun antiseptik, atau antibakterial/antimikrobial, adalah sabun yang ditambahkan bahan antibakteri seperti triclosan dan/atau triclocarban (bahan-bahan lain tidak dibahas di sini). Maka baca kemasan produk yang disebut mengandung antiseptik, baik pada sabun cair/batang, pasta gigi, sampo, larutan pel, matras, karpet, sampai peralatan dapur sehari-hari.

- Kembali dulu kepada prinsip bahwa MAYORITAS bakteri di alam semesta adalah BAIK. Bakteri yang membuat sakit hanyalah sedikit sekali dari semua bakteri yang ada. Sejak manusia lahir, maka bakteri menghuni seluruh tubuh manusia, dengan jumlah yang diperkirakan 10x lipat lebih banyak dari jumlah sel penyusun tubuh. Jadi bakteri baik mendampingi manusia sepanjang hidupnya di dunia. Penggunaan antibiotik yang ditujukan khusus untuk membunuh bakteri jahat, secara tidak tepat, berpotensi membunuh bakteri-bakteri baik di tubuh kita dan lingkungan tempat tinggal kita. Di sisi lain, mayoritas penyakit pada anak dan dewasa disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Maka ketika iklan gencar “menyosialisasikan” kata kuman, maka harus diperjelas:
- Virus?
- Bakteri baik penghuni tubuh (komensal) atau lingkungan sekitar?
- Atau bakteri jahat pembuat sakit (patogen)?
Agar jelas kapan butuh antibiotik (baca: antiseptik) dan kapan tidak.

- Apa penyebab tersering selesma dan flu? Virus kan. Tidak perlu antibiotik. Apa penyebab tersering diare? Virus lagi. Tidak perlu antibiotik. Kecuali selesma/flu yang menjadi pneumonia dan diare disertai darah (disentri).

- FDA menyimpulkan dari hasil kajiannya bahwa penggunaan sabun antiseptik TIDAK TERBUKTI lebih baik dari sabun biasa non-antiseptik dalam mencegah penyakit infeksi yang sering disebutkan. Lalu bagaimana cara mencegah infeksi akibat berbagai virus dan bakteri yang ditransmisikan lewat tangan kita? Ya cuci tangan dengan air mengalir, selama 20 detik, cukup dengan sabun biasa. Cuci tangan dibuktikan sebagai salah satu langkah terbaik dalam mencegah berbagai penyakit infeksi saluran napas dan saluran cerna.

- Hand sanitizer yang misalnya mengandung alkohol 60 persen dan sabun antiseptik khusus di RS tidak masuk dalam definisi sabun antiseptik yang dijual bebas di pasaran dan diiklankan bebas di berbagai media. Pencegahan infeksi di RS dengan 6 langkah cuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi nosokomial yang berpotensi membahayakan nyawa, apalagi dengan ancaman berbagai bakteri resisten antibiotik di RS.

- Apa hal yang sering dikhawatirkan terhadap penggunaan sabun antiseptik berlebihan? Ya betul, risiko terjadinya resistensi antibiotik. Ketika antiseptik (baca: antibiotik) ikut mematikan bakteri-bakteri baik di kulit, maka lama kelamaan akan terbentuk bakteri resisten (mekanismenya panjang dan rumit), dan menambah daftar panjang resistensi antibiotik yang dibentuk oleh penggunaan antibiotik tidak rasional (antibiotik untuk infeksi virus, antibiotik spektrum luas untuk infeksi bakteri yang hanya membutuhkan spektrum sempit). Kekhawatiran ini memang masih kontroversial, karena bukti jelas bahwa penggunaan triclosan/triclocarban berhubungan langsung dengan resistensi antibiotik belum utuh, tetapi hipotesis banyak mengkhawatirkan risiko ini. Selain itu lembaga konsumen di Eropa ada yang menyatakan bahwa kandungan triclosan/triclocarban di bawah 0,3 persen masih dianggap aman. Unilever sendiri yang dianggap produsen nomor 1 dunia dalam produk perawatan tubuh harian, menyatakan akan menarik triclosan/triclocarban dalam seluruh produknya paling lambat akhir tahun 2018. Mari kita lihat buktinya nanti.

- Kandungan antiseptik dalam sabun diteliti dalam eksperimen hewan memengaruhi fungsi endokrin, misalnya terhadap hormon tiroid. Ada yang mengkhawatirkan risiko jangka panjang berupa infertilitas, pubertas dini, obesitas, dan kanker. Penelitian lain menunjukkan penggunaan triclosan yang sering berhubungan dengan meningkatnya risiko alergi. Mungkin ini disebabkan karena berkurangnya paparan terhadap bakteri, yang sebenarnya dibutuhkan dalam pembentukan sistem imun dan fungsinya. Bahan antiseptik ini ternyata bisa melewati lapisan kulit, dan ada penelitian yang menunjukkan triclosan terdeteksi dalam urin/air seni. Dalam skala besar di lingkungan, triclosan yang larut lewat akumulasi di aliran air ke tanah melalui saluran pembuangan air, akhirnya dapat mengganggu kemampuan fotosintesis ganggang. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Ya, rajin mencuci tangan dan mandi cukup menggunakan sabun biasa saja. 

Beberapa referensi:
https://www.fda.gov/ForConsumers/ConsumerUpdates/ucm378393.htm
https://m.huffpost.com/us/entry/14046710
https://www.smithsonianmag.com/science-nature/five-reasons-why-you-should-probably-stop-using-antibacterial-soap-180948078/
https://www.unilever.com/about/innovation/Our-products-and-ingredients/Your-ingredient-questions-answered/Triclosan-and-triclocarban.html







Tuesday, January 16, 2018

Infeksi Virus atau Bakteri?


Dua hari ini si kecil demam. Suhunya 39 derajat selsius, dan hidungnya mampet. Hampir sepanjang hari ia batuk. Ibu membawanya ke dokter dan mendapatkan obat. Ternyata salah satunya antibiotik. Haruskah diminum? 


Masih ingat kapan pertama kali anak Anda mengalami demam? Saat masih bayi? Apa perasaan Anda saat itu? Panik, bingung, atau tetap tenang sambil berpikir langkah pertama yang harus dilakukan? Sebagian dari Anda mungkin pergi ke dokter dan mendapatkan penjelasan sakitnya disebabkan oleh infeksi. Apakah infeksi itu? Yaitu masuknya kuman ke dalam tubuh, dan bisa menimbulkan sakit atau tidak. Tergantung dari daya tahan tubuh. Kuman atau mikroorganisme berukuran sangat kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, tetapi justru merupakan penghuni terbesar alam semesta ini. Jenisnya bermacam-macam, tetapi yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah virus dan bakteri. Bagaimana membedakan keduanya?


Pertama, kita harus mengenali apakah virus dan bakteri itu. Bakteri adalah makhluk hidup bersel satu, yang ada di berbagai tempat di muka bumi. Di permukaan tanah hingga kedalamannya, di permukaan air hingga kedalaman laut, bahkan di udara. Tubuh makhluk hidup pun, termasuk manusia, dihuni oleh berbagai jenis bakteri. Para peneliti mendapatkan fakta jumlah bakteri penghuni tubuh manusia ternyata sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah sel penyusun tubuh manuaia! Jika ada 10 trilyun sel penyusun tubuh manusia, maka ada 100 trilyun bakteri penghuni tubuh manusia! Nah, dengan jumlah bakteri sebanyak ini, dan mendiami tubuh manusia sejak bayi dilahirkan dan menampakkan diri untuk pertama kalinya ke dunia ini, mengapa manusia jarang sakit? Karena bakteri-bakteri ini baik! Ya, mayoritas bakteri yang ada di dalam semesta, termasuk di tubuh manusia adalah penghuni “alami” dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keseimbangan bakteri di alam menjaga keseimbangan hidup makhluk hidup. Bakteri di usus besar manusia misalnya, menjaga agar saluran pencernaan kita bekerja baik, mampu mencerna makanan secara wajar, tidak sembelit, dan menghasilkan vitamin K yang berfungsi dalam pembekuan darah. Hanya kurang dari 10% bakteri yang dapat menyebabkan sakit pada manusia.

Berbeda halnya dengan virus. Virus sebenarnya bukan makhluk hidup, karena ia tidak dapat hidup mandiri di luar sel makhluk hidup. Virus ada di mana-mana, dan dapat menghuni seluruh sel hidup di alam, seperti tumbuhan, hewan, bahkan bakteri pun bisa dihinggapi oleh virus. Virus menyebabkan sakit pada manusia dengan cara mengambil alih fungsi sel di tubuh dan merusak kerjanya. Ternyata mayoritas penyakit pada manusia disebabkan oleh infeksi virus.


Kedua, untuk mengetahui apakah penyebab penyakit ini adalah virus atau bakteri tentunya dengan mengidentifikasi kuman penyebabnya. Misalnya dengan mengisolasi virus atau bakteri dari jaringan atau sel tubuh yang sakit, lalu mengenalinya di laboratorium. Tetapi ini tentunya bukan hal yang mudah, karena membiakkan virus dan bakteri bukan tindakan laboratorium yang sederhana, lalu sangat sedikit fasilitas laboratorium yang mampu melakukannya, dan membutuhkan biaya sangat tinggi serta seringkali menyakitkan bagi manusia (melakukan biopsi jaringan misalnya). Maka seiring perkembangan ilmu kedokteran selama berabad-abad dan makin banyaknya penyakit yang dikenali, mengetahui diagnosis suatu penyakit dapat menentukan apakah penyebabnya infeksi virus atau bakteri.

Sebagai contoh. Ketika seseorang didiagnosis selesma alias batuk dan pilek (seperti ilustrasi di awal tulisan) atau common cold, maka jelaslah bahwa penyebabnya infeksi virus. Selesma dan penyakit sejenisnya bernama influenza (flu) yang merupakan infeksi saluran napas atas, disebabkan oleh infeksi virus. Mungkinkah ternyata penyebabnya infeksi bakteri? Jika ternyata penyakit menjalar ke saluran napas dan menyebabkan pneumonia (radang paru), maka bisa jadi penyebabnya infeksi bakteri. Bagaimana membedakan selesma atau flu, dengan pneumonia? Ada tanda dan gejala yang bisa dibaca di banyak sumber, dan pemeriksaan dokter memastikan diagnosisnya. Maka jangan pernah lupa: tanyakan kepada dokter apa diagnosisnya (dalam bahasa medis/kedokteran, bukan bahasa awam). Pemberian terapi atau obat menyesuaikan dengan diagnosis. Ketidaksesuaian antara diagnosis dan terapi tentu dapat menimbulkan keraguan.


 Beberapa diagnosis penyakit tersering dan penyebabnya ada dalam gambar.


Ketiga, infeksi virus tidak diobati dengan antibiotik (antivirus pun diberikan hanya pada sebagian kecil penyakit berat). Umumnya daya tahan tubuh yang akan memulihkan penyakit akibat infeksi virus, seiring waktu. Infeksi bakterilah yang membutuhkan antibiotik. Apabila seseorang didiagnosis penyakitnya akibat infeksi virus lalu ia diberikan antibiotik, maka diagnosis atau terapinya harus dipertanyakan.


Keempat, kebanyakan penyakit akibat infeksi virus sifatnya ringan dan anak masih dapat beraktivitas atau tampak ceria. Sedangkan infeksi bakteri yang bergejala berat dan tidak segera diberikan antibiotik dapat berakibat fatal, bahkan kematian. Maka sebelum mengetahui apa diagnosis suatu penyakit, maka hal terpenting bagi seluruh orangtua adalah: mengenali tanda-tanda kegawatan yang mengharuskan segera ke dokter/rumah sakit. Misalnya:

Sesak napas, ditandai dengan napas cepat lebih dari 50 kali per menit dan adanya tarikan di antara sela-sela iga
Dehidrasi atau kekurangan cairan, yaitu lebih dari 6-8 jam anak tidak buang air kecil
Demam di atas 39 derajat selsius dan anak cenderung lemah, serta tidak ada gejala-gejala pendampingnya
Anak banyak tidur dan sukar dibangunkan
Kejang untuk pertama kalinya dan berlangsung lebih dari 5 menit, dilanjutkan dengan penurunan kesadaran
Perdarahan yang tidak kunjung berhenti

Maka di era informasi yang sangat mudah didapatkan lewat ponsel cerdas, bekalilah diri dengan ilmu kesehatan dari situs-situs terpercaya, seperti www.idai.or.idwww.milissehat.web.idwww.kidshealth.org dan www.who.int Selamat belajar!


Tulisan pernah dimuat di Rubrik Tumbuh Kembang Majalah Ummi yang ditulis oleh dr. Arifianto, Sp.A




Sunday, January 14, 2018

Apa sebenarnya “RUM” itu?


"Dok, minta rekomendasi dokter yang RUM dong!" 
Tidak jarang saya dimintai jawaban atas permintaan di atas. Memangnya apa definisi RUM? Idealis? Tidak pelit bicara? Tidak gampang kasih obat? Atau baik hati dan tidak sombong?

Rational use of medicine yang biasa disingkat RUM adalah terminologi yang dibuat oleh WHO sejak tahun 1985 dan mencakup definisi:

- pasien mendapatkan medikasi (tidak saya bilang obat ya, supaya kesannya ke dokter tidak harus pulang bawa obat) sesuai kebutuhan klinis alias diagnosisnya
- dosisnya sesuai kondisi individual
- lama pengobatan harus tepat
- biayanya paling murah!

Yuk kita kupas satu-satu, secara singkat saja

Definisi pertama mengharuskan kesesuaian antara DIAGNOSIS dan terapi. Artinya, kalau berobat dan dapat terapi, ya harus sesuai. Jangan sampai diagnosisnya A, dapat terapinya B. Makanya, biasakan bertanya ke dokter: apa diagnosisnya, ketika mendapat obat atau terapi lain. Kebiasaan ini juga membuat konsumen kesehatan bisa belajar lebih lanjut tentang diagnosis sakitnya, dan kesesuaian terapi. 

Hal lain adalah mendapatkan informasi diagnosis yang jelas dan tegas! Tidak ada lagi diagnosis "abu-abu" seperti "gejala tipes", "gejala DBD", "flek paru", "tampek", atau "radang tenggorokan". Tegas saja: tifoid atau bukan, DBD atau bukan, TB atau bukan, roseola atau rubella atau campak, dan strep throat atau bukan. 

Definisi kedua dan ketiga menunjukkan terapi itu sifatnya individual. Bahkan saudara kembar yang sakitnya sama pun bisa jadi obatnya berbeda. Pada anak, dosis obat ditentukan terutama dari berat badan, meskipun pada kemasan obat yang dijual bebas seperti parasetamol sirup misalnya, dituliskan dengan umur.

Pelajaran lainnya adalah tidak dibenarkan saling bertukar obat, khususnya untuk obat-obatan yang memang harus dengan resep dokter, antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya pada percakapan di bawah ini:

"Bu, saya udah 3 hari sakit gigi. Belum sempat ke dokter gigi. Enaknya minum obat apa ya?" tanya seorang Ibu ke Ibu lainnya, sambil menunggu anak mereka pulang sekolah.
"Kemarin saya sempat punya keluhan yang sama, Jeng. Lalu saya ke dokter gigi dan dikasih amoksisilin. Setelah dua hari minum obat dan enakan, saya stop antibiotiknya. Sekarang masih ada sisa, buat Jeng aja. Siapa tahu enakan habis minum amoksisilin punya saya," Si Ibu di sebelahnya menanggapi.

Hayo... silakan evaluasi, apa saja kesalahan dalam percakapan di atas? Yak, betul! Tidak menghabiskan antibiotik atas petunjuk dokter, dan bertukar obat sembarangan. Padahal antibiotik lho!

Definisi terakhir menunjukkan bahwa obat yang paling murah belum tentu tidak berkualitas. Ya,obat generik pun sama kualitasnya dengan obat bermerek. Maka dokter yang mengikuti prinsip RUM akan memberikan obat generik.

Ada RUM, ada juga IRUM, alias irrational use of medicine. Nah, contoh-contoh IRUM ini banyak sekali. Sebagian sudah pernah dibahas.

Tinggal sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada saja kan? 😊



Tuesday, January 09, 2018

Me ngom pol pada remaja, Wajarkah?


Sampai kapan dianggap wajar? Mengapa anak mengompol? Bagaimana mengatasinya?

Mengompol (bedwetting/nocturnal enuresis) masih dianggap wajar sampai anak berusia 7 tahun. Meskipun sejak usia 1 tahun, anak sudah dapat dibiasakan untuk tidak mengompol. Apakah wajar ketika seorang anak misalnya saat ini sudah berusia 11 tahun dan mengompolnya berlangsung sejak bayi dan belum pernah bisa dihentikan (primer), atau sudah pernah selama minimal 6 bulan tidak mengompol, lalu kembali mengompol (sekunder)? Terlepas dari kedua hal ini, ternyata 1 dari 100 remaja masih mengompol, dan harus dicaritahu apa penyebabnya, agar dapat dberikan solusinya.
 
- Gangguan hormonal, yaitu kekurangan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone atau ADH) dapat menyebabkan produksi urin yang berlebih di malam hari, termasuk saat tidur, dan menjadi mengompol.
 
- Gangguan di kandung kemih (buli-buli), yaitu kontraksi (gerakan mengencangkan) otot kandung kemih yang berlebihan dapat menyebabkan organ ini tidak bisa menampung volume urin sesuai seharusnya, sehingga mudah merasa ingin berkemih dan mengompol saat tak tertahankan. Sebagian remaja dan dewasa juga ternyata mempunyai ukuran kandung kemih yang relatif lebih kecil dibandingkan orang-orang lain.
 
- Genetik atau keturunan. Orangtua yang dulunya mengalami hal serupa dengan anaknya, saat mereka berusia remaja, maka anaknya pun bisa mengalami keluhan yang sama. Gen terkait mengompol ini masih diteliti.
 
- Masalah tidur, yaitu yang menyebabkan seorang remaja tidur sangat pulasnya, hingga sukar terbangun, meskipun seharusnya ke kamar mandi untuk buang air kecil.
 
- Konsumsi kafein, misalnya sering minum kopi, sehingga frekuensi buang air kecil pun meningkat.
 
- Beberapa penyakit yang menyebabkan enuresis sekunder, misalnya diabetes, kelainan struktur organ saluran kemih, sembelit (konstipasi), dan infeksi saluran kemih (ISK). Diabetes diketahui dengan pemeriksaan laboratorium gula darah, sedangkan ISK diketahui lewat pemeriksaan urinalisis (air seni). Adanya cedera tulang belakang (korda spinalis) akibat terjatuh atau kecelakaan lalu lintas juga dapat menyebabkan enuresis sekunder, karena pengaturan proses berkemih yang melibatkan jalur saraf di tulang belakang.
 
- Stres psikologis, misalnya akibat perceraian orangtuanya, kematian orang yang dicintainya, pindah rumah atau sekolah, atau masalah keluarga.
 
Apa yang bisa dilakukan ketika menghadapi remaja mengompol?
 
- Jangan banyak minum sebelum tidur, dan tentunya biasakan buang air kecil tepat sebelum tidur. Minuman seperti cokelat, kopi, teh, dan soda masuk dalam daftar yang harus dihindari saat malam hari. Ketika bangun tidur di pagi hari, biasakan segera ke kamar mandi untuk buang air kecil. Jika diperlukan, bangunkan anak/remaja 1 kali saja saat tidur malam hari untuk pergi ke kamar mandi, lalu segera kembali tidur.
 
- Gunakan teknik “imajinasi positif” (positive imagery), yaitu sejak saat sebelum tidur, seorang anak/remaja membayangkan dengan yakin bahwa ia akan terbangun keesokannya dengan “kering” (tidak basah akibat mengompol). Bisa juga dengan memberikan penghargaan (reward) kepada diri sendiri ketika mampu bangun tidur tidak mengompol.
 
- Gunakan alarm mengompol (bedwetting alarms) untuk membangunkan anak/remaja. Cara kerjanya adalah: alarm menyala ketika kasur mulai basah akibat air seni, dan diharapkan anak segera terbangun untuk mematikan alarm dan pergi ke kamar mandi, sebelum kasur makin basah akibat anak meneruskan mengompol. Alat ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, tetapi dapat dibeli lewat toko online. Tidak jarang anak yang mengompol tidak segera terbangun meskipun alarm sudah berbunyi kencang, dan butuh waktu untuk membiasakan dengan kerja alat ini, termasuk harus dibangunkan oleh orangtuanya. Kunci keberhasilannya adalah: membiasakan diri segera bangun, ketika mulai merasa harus buang air kecil. Atau membiasakan kemampuan menahan keinginan berkemih sampai saatnya bangun tidur.
 
- Ketika semua cara di atas tidak berhasil, maka obat yang bisa diberikan oleh dokter berupa imipramine (cara kerjanya belum jelas) atau desmopressine (ADH sintetis yang cara kerjanya menyerupai ADH sesungguhnya). Kelemahan obat-obatan adalah risiko berulangnya keluhan, ketika obat dihentikan.
 
(Tulisan ini pernah dimuat di rubrik tumbuh kembang Majalah Ummi yang ditulis oleh dr. Arifianto Apin)

(Gambar diambil dari http://www.sittercycle.com/wp-content/uploads/2014/07/bigstock-Bed-Wetting-2155652.jpg)



Monday, January 08, 2018

Tiga Kecerewetan Saya

Ada 3 hal yang sering saya komentari dari Ibu-ibu yang kontrol bawa bayinya untuk kunjungan pertama pasca lahiran:

1. "Kenapa bayinya pakai gurita*? Ibu, sekarang tahun 2017, bukan tahun 1977. Bayi jaman sekarang udah nggak pakai gurita lagi...."

Biasanya si Ibu senyum-senyum aja, trus lilitan kain yang rapat menyelubungi seluruh dada dan perut bayi itu dibuka, supaya saya bisa periksa bayinya. Ada juga ibu yang nyeletuk: disuruh sama ibu saya (baca: nenek si bayi). Atau: biar hangat, Dok, dan nggak kembung perutnya, atau semacamnya. Saya lagi-lagi harus meluruskan mitos "perut kembung" pada bayi.

2. "Bedaknya cemong amat, Bu." 

Ini juga biasanya ditanggapi dengan senyum si Ibu. "Nggak usah pakai bedak ya, Bu. Apalagi sampai kebanyakan gini. Tebell benerr," lanjut saya sambil menunjukkan kepulan bedak di sekujur punggung, dada, dan perut bayi, sampai daerah lipat paha dan bokong. Biasanya ketahuan setelah guritanya dibuka. Kasihan bayinya, dalam hati saya. Udah dipakaikan gurita, pakai bedak tabur pula.
"Nanti bedaknya bisa masuk saluran napas," tambah saya. 

Bahaya bedak tabur (talcum powder) sudah saya bahas di posting tahun lalu.

3. "Bayinya masih kuning ya, Bu. Tapi kuning yang masih wajar. Namanya kuning fisiologis. Insya Allah akan berkurang di usianya sampai 2 minggu," jelas saya.

"Jadi dijemur aja ya, Dok?" tanya si Ibu.

"Dijemur itu bisa menghilangkan kuning, Bu. Karena mengubah warna kuning menjadi hitam! Alias bayinya jadi item! Kan kasihan..." saya melanjutkan.

Ini biasanya si Ibu ketawa-ketawa, sama suaminya dan seluruh anggota keluarga yang menemani. Yang ngikut satu rombongan. Hehe.

"Jangan dijemur, Bu, nanti jadi gosong. Boleh dibawa ke luar rumah untuk dapat matahari pagi, tapi nggak usah ditelanjangi bayinya, trus dibolak-balik. Emangnya ikan asin. Hehee," saya jelaskan sambil becanda dikit.

Tentang menjemur bayi yang sempat "kontroversial" di wall saya, silakan cari sendiri status lama saya ya.

Itu 3 "syair lagu" yang sering saya ulang-ulang. Ibu-ibu yang pernah ketemu saya di Poli mungkin masih ingat. Belum lagi ocehan tambahan saya seperti: "apaan ni, Bu? pake peniti sama kayu ditusukkan di baju bayi?" Belum lagi yang pake gunting. Sereemm. Takut ketusuk ke bayinya. Katanya namanya bangle. Saya musti kasih ceramah dikit bahwa muslim tidak boleh pakai jimat semacamnya (ini pernah saya posting juga beberapa tahun lalu). 

Dan "atraksi" andalan saya di tiap kontrol pertama adalah menggendong si bayi seperti di foto. Si ibu dan yang menemani biasanya takut saya akan menjatuhkan bayinya. Hehe, tenang aja. Cara memeriksa seperti itu memudahkan saya melihat sampai ke punggung bayi.

(Keterangan foto: anak pertama saya yang digendong oleh dokter obgyn kami, beberapa tahun lalu. Saya belajar menggendong bayi dengan gaya keren ini dari beliau 😁)

*gurita: kain yang dililitkan dI sekujur tubuh bayi, biasanya berwarna putih, mungkin maksudnya seperti korset untuk ibu pasca melahirkan ya?



Sunday, January 07, 2018

Bayi dalam kandungan itu ya pasti minum air ketuban

Bayi dalam kandungan itu ya pasti minum air ketuban

Hayo ibu-ibu, saya mau tanya. Siapa yang bayinya dulu "minum air ketuban"? Ya, Ibu yang di sebelah situ angkat tangan. Bayinya katanya minum air ketuban ya? Jadinya lahirnya nggak nangis, biru, trus akhirnya dirawat. Alhamdulillah sekarang sudah sehat ya bayinya, Bu.

Nah, Ibu yang di situ juga ngacung. Katanya bayinya juga dulu minum air ketuban, trus nggak dibersihkan ya napasnya pas baru lahir? Makanya sekarang napasnya sering bunyi grok-grok.

Hayo, ibu-ibu yang lain nggak pada angkat tangan. Bayinya sekarang baik baik aja kok. Berarti nggak pada minum air ketuban ya? Hehe. Ibu-ibu, coba saya tanya. Waktu dalam kandungan dulu, bayi adanya di dalam rahim kan? Dikelilingi oleh air ketuban, berada di dalam kantong amnion. Air ketuban ini nama lainnya cairan amnion. Nah, apa salah satu aktivitas janin dalam kandungan? Coba baca gambar dari babycenter di bawah: "your baby regularly swallows amniotic fluid...". Iya, benar. Bayi minum air ketuban selama masih dalam kandungan. Jadi, semua anak Ibu ya pernah minum air ketuban.

Mungkin yang harus diluruskan adalah istilah tersebut. Bayinya lahir, lalu pernapasannya bermasalah karena air ketuban. Istilah ini lebih tepat diarahkan ke "aspirasi mekonium", yaitu bayi yang sudah keburu buang air besar (mekonium) sebelum atau sesaat/setelah lahir, sehingga mekonium nya masuk ke saluran napas (aspirasi), bukan tertelan masuk lambung. Nah, aspirasi mekonium memang bisa buat kondisi gawat darurat pada bayi baru lahir, sampai kadang membutuhkan ventilator.
Atau mungkin istilah "keminum" air ketuban itu berhubungan dengan ketuban pecah dini, yang meningkatkan berbagai risiko seperti infeksi sampai "gawat janin". Padahal nggak berhubungan dengan "minum air ketuban" yang sudah dilakukan bayi sejak dalam kandungan.

Lalu, kalau pas bayinya udah lahir, dan dia minum air ketuban, gimana? Ya nggak papa. Kan diminum masuk lambung, bukan masuk paru-paru. Bayi yang lahir menangis kencang juga tak perlu disedot lendir di rongga mulut dan hidungnya.

Semoga nggak salah istilah lagi ya. Minum = cairan dll masuk ke lambung/saluran cerna. Aspirasi = cairan dll tsb masuk ke saluran napas, sampai paru-paru.

Para dokter obgyn dipersilakan menambahi dan mengoreksi. O iya, tentang bunyi grok-grok pada bayi sampai usianya 6 bulan itu tidak ada hubungannya dengan sedot-menyedot lendir pasca lahir ya. Noisy baby ini sudah saya jelaskan dalam posting beberapa tahun silam. Silakan cari.

(Gambar ilustrasi janin diambil dari mom.girlstalkinsmack.com/image/062013/19/91726883.jpg)



Memangnya bayi harus pakai minyak telon?


"Bu, bayinya pakai minyak telon ya?" tanya saya, menunjuk pada kulit dada, perut, dan punggung yang kering. Bayi di hadapan saya ini umurnya 2 bulan. Tampak aktif. Datang untuk kunjungan imunisasi.

"Iya," jawab si Ibu. 

"Kenapa pakai minyak telon?" tanya saya lagi.

"Supaya hangat. Dan nggak kembung," jawabnya.

(Saya mau nambahin jawaban lagi: disuruh neneknya. Tapi nggak tega. Sudah cukup lah, saya "dimusuhi" para nenek :-D )

Biasanya saya akan mengembalikan lagi pertanyaannya: memangnya kalau nggak dikasih minya telon, bakalan kembung? Kalau nggak dikasih minyak telon, nanti kedinginan? Atau alasan lain seperti: enak Dok, baunya. Bau bayi...

Penggunaan minyak pada bayi, sejak bayi baru lahir bahkan, memang adalah tradisi. Pemberian minyak telon, dan sebagian kecil lainnya minyak kayu putih, adalah kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan pada bayi-bayi kita. Rasanya kurang lengkap jika tidak memberikan minyak telon setelah bayi dimandikan dan dipakaikan baju. Mari kita kupas satu satu.

- Benarkah pemberian minyak telon bisa mencegah bayi kembung? Maka jawaban saya: definisi kembung pada bayi itu subjektif. Apa ciri ciri bayi kembung? Perut buncit? Bunyi "dung dung" ketika diketuk perutnya?
Ketahuilah bahwa struktur perut bayi dan balita memang tampak buncit, tapi tidak berarti "kembung" penyakit. Lah, kan bunyinya dung dung saat diketok. Wajar dong. Apa isi lambung? Air (susu), makanan, dan udara. Bayi masih sering menangis, kan? Campuran semua itu menciptakan bunyi "dung dung" yang wajar pada bayi.
Yang tidak wajar adalah: ketika perut membuncit, disertai muntah hijau berulang, akibat sumbatan saluran cerna.

- Minyak telon dan sejenisnya bisa memberikan kehangatan. Iya, bisa saja. Tapi jika khawatir bayi kedinginan, mengapa tidak memakaikan baju hangat saja? Lengan panjang, dan celana panjang. Tapi jangan salah, kadang orangtua mempunyai kekhawatiran berlebihan. Justru bayi senang dengan cuaca dingin. Ia akan banyak berkeringat ketika memakai pakaian dalam dan luar (2 lapis). Bayi yang mempunyai kecenderungan "biang keringat" akan menjadi tidak nyaman karena gatal akibat beruntusan. Si bayi lebih senang memakai pakaian tanpa lengan, tapi orangtua dan neneknya (maaf ya nenek, lagi lagi :-)) khawatir bayinya "masuk angin" dan memaksakan menggunakan baju tebal dan minyak telon.

- Tidak jarang saya menjumpai bayi bayi dengan dermatitis kontak (alergi kulit, akibat teriritasi/hipersensitif) akibat minyak telon. Kulit bayi jadi kering, merah, bahkan sampai mudah luka. Semata mata akibat bayi "tidak cocok" dengan penggunaan minyak, atau kosmetik bayi lain. Padahal niat orangtuanya baik, tapi bayinya yang tidak cocok.

Jadi... tidak perlu khawatir lagi ya jika tidak pakai minyak, bedak, atau apapun setelah bayi mandi. "Ritual"-nya cukup: mandi, boleh pakai sabun dan sampo bayi, lalu... langsung pakai baju aja. Nggak usah ditambahi macam macam.

Selamat merawat bayi Anda 😁



The “Last Wish” Project

Apabila Anda ditanya: “if you knew that you’re going to die tomorrow, what would be your last wish”? Saya yakin Anda akan menjawab: banyak beristighfar, berdoa agar mendapatkan husnul khotimah, meminta maaf pada semua orang, melunasi hutang-hutang, dan senantiasa berzikir. Sebenarnya jawabannya kurang tepat, karena yang ditanya adalah “apa harapan terakhir”.

Bagaimana jika yang ditanya adalah seorang anak berusia 3 tahun dengan leukemia akut yang tak respon dengan kemoterapi berulang? Ia sudah menghabiskan berbulan-bulan waktunya di RS, dengan pengambilan darah berulang, rambut rontok, mual dan muntah tak terhitung, dan mulai terbiasa dengan rasa nyeri. Jawabannya adalah: ingin pergi ke Taman Mini Indonesia Indah. Sepupunya mengatakan TMII adalah tempat hiburan menyenangkan, sedangkan ia belum pernah mengunjunginya, karena ia tinggal selama ini di pelosok Banten dan berada di Jakarta karena dirujuk untuk keperluan kemoterapi.

Lalu apa jawaban seorang anak 5 tahun dengan tumor otak yang berlokasi dekat batang otak dan sewaktu-waktu bisa menekan pusat napasnya dan... berhentilah ia bernapas? Sementara kedua tungkainya sudah tak mampu berjalan. Ternyata ia menjawab ingin bertemu dengan penyanyi idolanya, karena selama ini waktunya di RS sebagian dihabiskan dengan menonton kanal YouTube yang menayangkan selebritas cantik ini.

Seorang gadis berusia 13 tahun dengan Tuberkulosis diseminata* juga ditanya apa yang ia inginkan? Kondisinya terbaring lemah dengan oksigen melilit hidungnya, napas tersengal, dengan kuman TB yang menggerogoti paru-paru, masuk ke cairan otak, dan menimbulkan perlengketan di ususnya. Ia menjawab: ingin punya handphone yang bisa memutar video ceramah agama dan murottal. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan dan ibunya yang baru pulih dari stroke tidak punya ponsel. Apalagi smartphone.

Lain lagi jawaban seorang ibu berusia 56 tahun dengan kanker leher rahim stadium 4. Ia ditemani oleh putri semata wayangnya selama menjalani perawatan di RS selama ini. Padahal sang putri pun sebenarnya punya rencana sendiri: segera menikah. Dan tentu jawaban ibu yang kondisinya sudah tak memungkinkan untuk dibawa-bawa ke luar RS ini adalah: ingin menghadiri pernikahan putrinya di gedung dengan ratusan tamu undangan, bersanding di depan dengan calon menantu dan besannya.

Wajarkah jika semua orang ini memiliki harapan terakhirnya masing-masing? Konsep Paliatif memungkinkannya, meskipun sebagian dianggap tidak memungkinkan untuk dibawa-bawa ke luar RS dengan kondisi kesehatannya. Padahal ilmu kedokteran pun belum mampu memulihkannya sampai ke kondisi sembuh seperti sebelumnya. Maka sebagian harapan terakhir ini bisa dipenuhi dengan persiapan matang melibatkan dukungan penuh keluarga.

Tiap orang ingin mati dalam keadaan bahagia dan “bermartabat”. To die in dignity. Maka tanyakan apa keinginan mereka yang belum terpenuhi, dan berusaha mewujudkannya.

Keterangan foto: mengenang gadis dalam kisah ketiga yang baru saja meninggalkan dunia ini. Terima kasih donatur yang sudah membelikan smartphone untuknya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan keteguhan dalam keimanan.

*TB diseminata/disseminated TB: TB yang mengenai lebih dari satu organ, biasanya kuman menyebar lewat aliran darah.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...