Tuesday, January 30, 2018

Mengenal Japanese encephalitis

Lagi rame penyakit Japanese encephalitis (JE) ya? Perlukah kita mendapatkan vaksinnya?

Prinsip pertama bagi seorang dokter, menurut saya, adalah JUJUR. Jadi menyampaikan informasi tentang suatu kondisi haruslah utuh. Misalnya saja tentang penyakit JE. Permintaan vaksin ini sepertinya sedang meningkat. Apakah masyarakat sudah utuh pemahamannya tentang penyakit ini? Penyedia layanan vaksinasi pun harus utuh memberikan informasi tentang penyakit ini. Jadi kesannya tidak sekedar “jualan” vaksin saja. Membaca jadwal imunisasi IDAI 2017 (seperti di gambar) termasuk keterangannya ya. Di situ tertera jelas bagi siapa vaksin JE diberikan.

Mengenal Japanese encephalitis

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dikabarkan meninggal dalam keadaan mengenaskan akibat virus bernama Japanese encephalitis (JE). Sebelum menghembuskan napas terakhir, anak ini mengalami perburukan kondisi yang cukup cepat, kejang, dan mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Pesan singkat yang berisi kisah tragis ini menyebar di kalangan para ibu beberapa waktu lalu. Sebagian menjadi panik dan meminta agar anaknya mendapatkan vaksin JE. Apakah sebenarnya penyakit ini? Berbahayakah? Perlukah anak-anak kita mendapatkan vaksinnya?

Virus Japanese encephalitis

Virus Japanese encephalitis (JE) adalah golongan flavivirus, sama halnya dengan virus Dengue, yellow fever, dan West Nile. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terutama golongan Culex. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus ini tidak mengalami gejala apapun. Hanya kurang dari satu persen orang yang memiliki virus JE dalam tubuhnya mengalami gejala-gejala, seperti demam, sakit kepala, dan muntah-muntah di awal sakit, lalu berlanjut menjadi penyakit mematikan yang disebut ensefalitis akut. Peradangan di jaringan otak ini bergejala perubahan status mental/perilaku, defisit neurologis (misalnya kelemahan/kelumpuhan anggota tubuh), sampai kejang dan kematian. Angka kematian akibat ensefalitis JE mencapai 30%. Cacat saraf permanen atau kelainan kejiwaan/psikiatri sebesar 30-50%. 

Masa inkubasi, yaitu periode sejak masuknya virus sampai munculnya gejala penyakit, adalah 5- 15 hari. Sebanyak 24 negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat masuk dalam daerah endemis JE, sehingga membuat lebih dari 3 milyar orang berisiko tertular penyakit ini. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan sebanyak 326 kasus JE pada tahun 2016. Kasus terbanyak dilaporkan di Propinsi Bali sebanyak 226 kasus (69,3 persen). Tingginya kasus JE di Bali dihubungkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di daerah tersebut, mengingat nyamuk Culex banyak terdapat di area persawahan dan irigasi.

Di daerah endemis, yaitu lokasi dengan kasus penularan/infeksi tinggi, orang dewasa yang terinfeksi virus JE kebanyakan tidak mengalami gejala (tidak menjadi sakit), dan justru memperoleh kekebalan/imunitas alamiah. Anak-anak adalah kelompok yang rentan sakit, sesuai data sebanyak 85% kasus yang dilaporkan tahun 2016 adalah kelompok usia di bawah 15 tahun. Penyakit ini tidak ada obatnya. Sama halnya dengan kebanyakan penyakit akibat infeksi virus, seperti Dengue (DBD), yang penanganannya bersifat suportif, seperti menjaga kecukupan cairan dan mencegah dehidrasi, serta mengawasi risiko terjadinya komplikasi berat seperti ensefalitis, dan menanganinya sesuai gejala-gejala yang muncul.

Untunglah saat ini sudah tersedia vaksin JE untuk mencegah penyakit ini. Awalnya vaksin JE dikhususkan bagi para pelancong/wisatawan yang akan berkunjung ke daerah endemis JE. Vaksin disuntikkan sebanyak 2 kali dengan interval/selang waktu sebulan antar vaksin, dan selambat-lambatnya 10 hari sebelum memasuki daerah endemis. Pada bulan September 2017 mendatang, Kementerian Kesehatan akan mulai memberikan vaksin JE bagi anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun, di 9 kabupaten/kota di Bali, dengan sasaran 897.050 anak. Program yang dinamakan kampanye imunisasi JE ini akan dilanjutkan dengan memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal imunisasi rutin anak berusia 9 bulan (bersamaan dengan imunisasi campak/rubella), di daerah-daerah yang dinilai endemis JE. 

Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal terbarunya (tahun 2017) untuk diberikan pada usia 12 bulan, dan diulang 1 – 2 tahun berikutnya untuk memberikan perlindungan jangka panjang. Anak-anak yang akan berkunjung memasuki daerah endemis JE juga disarankan mendapatkan vaksin JE. 

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan lebih detil kriteria pelancong yang perlu mendapatkan vaksin JE, yaitu:
- bukan yang berkunjung untuk waktu singkat (kurang dari 1 bulan), tetapi untuk yang akan berada di daerah endemis JE selama lebih dari 1 bulan, atau 
- yang akan berkali-kali mengunjungi daerah endemis, meskipun dalam tiap kunjungannya tidak mencapai 1 bulan. 

Mereka yang akan memasuki daerah endemis untuk waktu singkat tetap disarankan mendapatkan vaksin JE sebelumnya apabila: 
- daerah tersebut sedang mengalami wabah JE, 
- pelancong tidak yakin lokasi mana saja di daerah tersebut yang akan dikunjunginya, dan 
- pelancong menghabiskan banyak waktunya di daerah persawahan atau pedesaan khususnya malam hari, atau berada di luar ruangan (berkemah, mendaki gunung, atau aktivitas outdoor lainnya), atau berada di daerah endemis selama periode penyebaran virus meskipun kunjungannya singkat.

Pencegahan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan lotion anti nyamuk (repelan) berisi DEET, IR3535, pikaridin, atau minyak ekaliptus lemon. Kenakan pakaian berlengan panjang, celana panjang, dan kaos kaki untuk menghindari gigitan nyamuk. Juga kurangi aktivitas di luar ruangan di sore/malam hari dan saat suhunya lebih dingin.

Upaya memastikan diagnosis JE diawali dengan kecurigaan terhadap gejala-gejala yang ada, khususnya ketika terjadi ensefalitis, ditambah dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan keberadaan virus JE di dalam tubuh.

(Gambar diambil dari http://outbreaknewstoday.com/wp-content/uploads/2017/09/21314593_1709763445701567_4389493826546397559_n.jpg)

Tulisan dr. Arifianto, Sp.A ini pernah dimuat di rubrik Tumbuh Kembang Majalah UMMI tahun lalu.





Monday, January 29, 2018

Kalau bayi hidungnya mampet, boleh nggak ya disedot pakai mulut orangtuanya?


Tanggapan pertama saya biasanya: idih, jorok! Hehe 😀 Iya kan, bayangkan aja, ingus si bayi dihisap oleh mulut bapak atau ibunya. Di ingus anak banyak kumannya. Di mulut orangtuanya banyak kumannya. Saya sih nggak pernah melakukan hal serupa pada ketiga anak saya.

Tapi kan kasihan, Dok. Anaknya susah napas. Rewel. Nangis aja semalaman. Masa dibiarkan aja? Begitu biasanya tanggapan para orangtua. Saya jadi ingat perkataan guru saya yang kurang lebih: "nggak ada bayi sampai meninggal gara-gara hidungnya mampet!" Iya, bener juga. Meskipun kedua lubang hidung tersumbat sempurna, bayi akan bernapas lewat mulut. Oksigen tetap masuk ke paru-paru. Lalu saya menambahkan: "yang ada adalah anak meninggal karena paru-parunya yang mampet". Alias pneumonia (radang paru-paru, pernah saya jelaskan di tulisan yang lain).

Lalu bagaimana mengatasi hidung tersumbat akibat pilek pada bayi? Kalau disedot dengan alat seperti pada gambar, bagaimana?

Ada beberapa alat penyedot/pengisap lendir yang dijual di pasaran. Baik seperti pada gambar, atau suction bulb berupa balon kecil untuk mengisap ingus/lendir dari hidung. Sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi anak belum tentu nyaman diperlakukan seperti ini. Kadang kalau anak berontak/tidak kooperatif, bisa menimbulkan gesekan dan luka di dinding dalam hidung. Niat awalnya baik, malah berisiko melukai anak.

Bagaimana dengan tetes hidung yang isinya garam fisiologis (NaCl0,9%)? Ada juga yang bentuknya semprot hidung. Lagi-lagi, bisa juga digunakan. Tapi kebanyakan bayi tidak nyaman dimasukkan cairan ke dalam hidungnya. Malah jadi nangis karena kesal/sebal. Niat awalnya baik, tapi belum tentu bayinya lebih nyaman.

Kalau diuap dengan air panas, kadang dicampur dengan minyak kayu putih, gimana? Pertama, belum tentu juga melegakan napas anak. Kedua, risiko tercebur ke dalam baskom air panas dan anak bisa luka bakar! Harus ekstra hati-hati dan tak boleh mengantuk karena semalaman tak tidur si kecil rewel.

Atau menggunakan balsem dan minyak telon untuk menghangatkan dada, boleh kan? Siapa tahu ingusnya jadi encer juga? Boleh saja, asal anak tidak alergi dengan bahan-bahan tersebut.

Diuap saja di tempat praktik dokter dengan alat inhalasi. Gimane? Hehe, nggak perlu serepot itu. Lagipula terapi inhalasi kan ditujukan untuk serangan asma (sudah beberapa kali saya bahas).

O iya, hampir lupa. Menyedot ingus menggunakan mulut orangtuanya juga meningkatkan risiko sakit jadi makin lama lho. Kok bisa? Ya, ketika ayah/ibu menyedot ingus anaknya, maka virus di saluran napas anak bisa pindah ke saluran napas orangtuanya, karena posisi mereka sangat berdekatan. Orangtua menghirup napas dekat saluran napas anak.belum lagi kalau si bayi bersin dan batuk. Awalnya orangtua belum sakit, akhirnya ketularan deh pilek dari anaknya. Seharusnya si anak saatnya pulih dengan sendirinya dari pileknya, tertular lagi dari orangtuanya yang baru kena pilek. Bolak-balik-bolak-balik-bolak-balik-dst. Ping pong! Nggak kelar kelar. Kita pahami bahwa yang membuat selesma seorang anak lama tak kunjung kelar ya ping pong ini.
Sekarang ngaku aja deh, siapa yang pernah melakukan hal serupa? Hehe 🙂

Terus apa dong?? Ini nggak boleh, itu nggak perlu! 

Sabar, sabar. Yang penting kita paham prinsip kapan bayi harus dibawa ke dokter? Yaitu ketika sesak napas, frekuensi napas lebih dari 60x/menit saat tenang, disertai tarikan di seluruh sela iga. Artinya sudah terjadi peradangan sampai jaringan paru (pneumonia). Bukan sekedar pilek meler selesma biasa.

Posisikan bayi dengan gendong tegak, supaya ingusnya turun ke bawah. Biasanya ditelan bayi tanpa kita lihat tentunya. Dan terus susui bayi agar tak dehidrasi. Ujung-ujungnya memang digendong juga. Hehe. Iya kan, terapi terbaik adalah SABAR dan GENDONG.

Cepat sehat ya yang bayinya lagi pada mampet hidungnya...

(Foto diambil dari http://asibayi.com/wp-content/uploads/2014/06/pigeon-tube-nasal-aspirator.jpg)



Monday, January 22, 2018

Mengapa saya menolak puyer racikan


“Ooh my God... divided by eyes?” Kalimat ini selalu saya ingat. Guru saya menceritakan pengalamannya sekitar satu dekade lalu, ketika kawannya dari Australia melihat proses pembuatan puyer di sini. Ya, satu kertas putih berisi campuran berbagai macam obat, di antara jejeran kertas-kertas puyer lainnya, yang dibagi-bagi (harapannya) dengan jumlah sama rata (yakin? 😅), antar satu kertas dengan kertas lainnya. Yakin dosisnya sama antar bungkusan? Pembaginya adalah mata manusia yang timbangan khusus miligram. Lalu, kira-kira apa penyakit yang butuh satu sediaan campuran alias racikan seperti ini? Apa penyakit anak yang sering diresepkan puyer? Batuk pilek alias common cold? Kan nggak ada obatnya. Diare? Lagi-lagi obatnya oralit dan zinc yang sudah ada sediaan sirupnya. “Radang tenggorokan”? Kan sudah dijelaskan juga, ini diagnosis tidak jelas. Kejang demam? Butuh obat penurun panas? Kalaupun butuh parasetamol, kan sudah ada sediaan sirup atau drops-nya. Antibiotik? Ada sirupnya juga. Lalu apa penyakit yang butuh puyer isi campuran berbagai jenis obat, atau ada juga yang memberikan sirup diisi berbagai campuran obat lagi.

Praktik pembuatan puyer atau racikan berbagai obat ini dikenal dengan istilah drug compounding. Silakan baca definisinya dalam gambar. Bagaimana Kementerian Kesehatan memandang praktik serupa? Ternyata masuk dalam kategori pengobatan yang tidak rasional (lihat gambar dan baca tautan di bawah). Apa saja risikonya?
- polifarmasi: yaitu memberikan banyak obat untuk satu kondisi. Coba kembalikan pada DIAGNOSIS. Apakah terapinya sesuai? Butuh obat sebanyak itu?
- Interaksi obat, yaitu antar satu obat dengan obat lainnya. Sudah cek di aplikasi drug-interaction? Sudahkah apoteker mengecek semua potensi interaksi obat?
- Kontaminasi dengan kuman. Pernah lihat cara pembuatan puyer? Apakah semua asisten apoteker mengenakan sarung tangan dan masker saat “meracik” obatnya? Apakah wadah alias lumpangnya bebas dari campuran obat antara satu pasien dengan pasien lainnya? 

Apakah tidak boleh membuat obat dalam bentuk puyer sama sekali? Drug compounding masih diperbolehkan dengan alasan-alasan seperti di gambar.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh konsumen kesehatan?
1. Selalu tanya apa diagnosis, karena ini menentukan terapi. Kecocokan antara diagnosis dengan terapi bisa dibaca lebih detil di era informasi yang ada di ujung jari ini.
2. Minta selalu kopi resep apabila resep tidak jelas terbaca, agar tahu apa saja obat-obatan yang diresepkan. Kandungan dan interaksi obat amat mudah dicek di situs semacam drugs.com dan webmd.com, atau yang lebih rumit semacam medscape.com
3. Apabila diberikan puyer, tanyakan apa alasannya. Apakah tidak ada sediaan sirupnya atau tabletnya? Atau mungkin memang obat yang belum ada sediaan sirupnya, sedangkan butuh tepat sesuai dosis berat badan anak/bayi yang kecil. Tapi tetap saja: BUKAN campuran berbagai obat dalam satu puyer.

Jadi... masih mau mendapatkan puyer racikan berisi campuran lebih dari satu obat? 😊

Bacaan lebih lanjut:
http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MTcwLmhvdGxpbms=
http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/collections/2014/11/drug-compounding
https://www.fda.gov/Drugs/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/PharmacyCompounding/ucm339764.htm#combine










Friday, January 19, 2018

Apakah sabun antiseptik lebih baik dibandingkan sabun biasa?


“Hati-hati main di lantai, Nak. Banyak bakteri berbahaya yang bisa buat sakit.” Sang Ibu mengingatkan putranya yang berusia 5 tahun. Sepertinya pesan yang disampaikan berulang kali oleh iklan sudah merasuk mantap ke dalam konsep berpikirnya. Bakteri itu berbahaya, dan bisa buat sakit. “Nanti cuci tangan pakai sabun antiseptik ya.” Ibunya menambahkan.

Di tempat lain.
“Sabun hebat melindungi dari kuman yang kuat. Sebelum antibiotik, bantu cegah dengan sabun antiseptik.” Sayup-sayup terdengar suara ini dari televisi. Sambil mengiris bawang di dapur, Ibu mendengarkan pesan komersial ini berulang kali. Ia juga teringat iklan yang lain. Anak-anak berisiko terpapar dengan berbagai kuman pembuat sakit berhari-hari. Di tubuh, di tangan, penuh dengan berbagai kuman termasuk bakteri yang dikesankan sebagai tokoh jahat. Maka sabun antiseptik mampu mencegah berbagai risiko penyakit ini. Masalahnya adalah: benarkah fakta ini? Benarkah sabun antiseptik yang digunakan sehari-hari untuk mandi atau mencuci tangan, dan bisa dibeli bebas di toko terbukti efektif mengurangi kejadian penyakit seperti infeksi saluran napas dan infeksi saluran cerna? Atau kembali ke prinsip pertanyaan: apakah bakteri yang sehari-hari berinteraksi dengan tubuh kita, termasuk anak-anak kita, adalah bakteri jahat pembuat sakit?

Apabila kita coba telusuri berbagai referensi (beberapa saya sampaikan di akhir tulisan), maka kita akan mendapati fakta “mengejutkan” akhir-akhir ini: sabun antiseptik tidak terbukti efektif mencegah penyakit seperti yang banyak dipercaya, bahkan memiliki beberapa risiko buruk bagi kesehatan. Badan pengawas obat dan makanan (POM) Amerika Serikat (FDA) sudah mengeluarkan rilisnya beberapa tahun lalu bahwa perusahaan-perusahaan produsen sabun antiseptik diminta mengevaluasi kembali produknya, sebelum dinyatakan masih layak diteruskan produksinya atau tidak. Apa saja yang perlu diketahui tentang sabun antiseptik?

- Sabun antiseptik, atau antibakterial/antimikrobial, adalah sabun yang ditambahkan bahan antibakteri seperti triclosan dan/atau triclocarban (bahan-bahan lain tidak dibahas di sini). Maka baca kemasan produk yang disebut mengandung antiseptik, baik pada sabun cair/batang, pasta gigi, sampo, larutan pel, matras, karpet, sampai peralatan dapur sehari-hari.

- Kembali dulu kepada prinsip bahwa MAYORITAS bakteri di alam semesta adalah BAIK. Bakteri yang membuat sakit hanyalah sedikit sekali dari semua bakteri yang ada. Sejak manusia lahir, maka bakteri menghuni seluruh tubuh manusia, dengan jumlah yang diperkirakan 10x lipat lebih banyak dari jumlah sel penyusun tubuh. Jadi bakteri baik mendampingi manusia sepanjang hidupnya di dunia. Penggunaan antibiotik yang ditujukan khusus untuk membunuh bakteri jahat, secara tidak tepat, berpotensi membunuh bakteri-bakteri baik di tubuh kita dan lingkungan tempat tinggal kita. Di sisi lain, mayoritas penyakit pada anak dan dewasa disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Maka ketika iklan gencar “menyosialisasikan” kata kuman, maka harus diperjelas:
- Virus?
- Bakteri baik penghuni tubuh (komensal) atau lingkungan sekitar?
- Atau bakteri jahat pembuat sakit (patogen)?
Agar jelas kapan butuh antibiotik (baca: antiseptik) dan kapan tidak.

- Apa penyebab tersering selesma dan flu? Virus kan. Tidak perlu antibiotik. Apa penyebab tersering diare? Virus lagi. Tidak perlu antibiotik. Kecuali selesma/flu yang menjadi pneumonia dan diare disertai darah (disentri).

- FDA menyimpulkan dari hasil kajiannya bahwa penggunaan sabun antiseptik TIDAK TERBUKTI lebih baik dari sabun biasa non-antiseptik dalam mencegah penyakit infeksi yang sering disebutkan. Lalu bagaimana cara mencegah infeksi akibat berbagai virus dan bakteri yang ditransmisikan lewat tangan kita? Ya cuci tangan dengan air mengalir, selama 20 detik, cukup dengan sabun biasa. Cuci tangan dibuktikan sebagai salah satu langkah terbaik dalam mencegah berbagai penyakit infeksi saluran napas dan saluran cerna.

- Hand sanitizer yang misalnya mengandung alkohol 60 persen dan sabun antiseptik khusus di RS tidak masuk dalam definisi sabun antiseptik yang dijual bebas di pasaran dan diiklankan bebas di berbagai media. Pencegahan infeksi di RS dengan 6 langkah cuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi nosokomial yang berpotensi membahayakan nyawa, apalagi dengan ancaman berbagai bakteri resisten antibiotik di RS.

- Apa hal yang sering dikhawatirkan terhadap penggunaan sabun antiseptik berlebihan? Ya betul, risiko terjadinya resistensi antibiotik. Ketika antiseptik (baca: antibiotik) ikut mematikan bakteri-bakteri baik di kulit, maka lama kelamaan akan terbentuk bakteri resisten (mekanismenya panjang dan rumit), dan menambah daftar panjang resistensi antibiotik yang dibentuk oleh penggunaan antibiotik tidak rasional (antibiotik untuk infeksi virus, antibiotik spektrum luas untuk infeksi bakteri yang hanya membutuhkan spektrum sempit). Kekhawatiran ini memang masih kontroversial, karena bukti jelas bahwa penggunaan triclosan/triclocarban berhubungan langsung dengan resistensi antibiotik belum utuh, tetapi hipotesis banyak mengkhawatirkan risiko ini. Selain itu lembaga konsumen di Eropa ada yang menyatakan bahwa kandungan triclosan/triclocarban di bawah 0,3 persen masih dianggap aman. Unilever sendiri yang dianggap produsen nomor 1 dunia dalam produk perawatan tubuh harian, menyatakan akan menarik triclosan/triclocarban dalam seluruh produknya paling lambat akhir tahun 2018. Mari kita lihat buktinya nanti.

- Kandungan antiseptik dalam sabun diteliti dalam eksperimen hewan memengaruhi fungsi endokrin, misalnya terhadap hormon tiroid. Ada yang mengkhawatirkan risiko jangka panjang berupa infertilitas, pubertas dini, obesitas, dan kanker. Penelitian lain menunjukkan penggunaan triclosan yang sering berhubungan dengan meningkatnya risiko alergi. Mungkin ini disebabkan karena berkurangnya paparan terhadap bakteri, yang sebenarnya dibutuhkan dalam pembentukan sistem imun dan fungsinya. Bahan antiseptik ini ternyata bisa melewati lapisan kulit, dan ada penelitian yang menunjukkan triclosan terdeteksi dalam urin/air seni. Dalam skala besar di lingkungan, triclosan yang larut lewat akumulasi di aliran air ke tanah melalui saluran pembuangan air, akhirnya dapat mengganggu kemampuan fotosintesis ganggang. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Ya, rajin mencuci tangan dan mandi cukup menggunakan sabun biasa saja. 

Beberapa referensi:
https://www.fda.gov/ForConsumers/ConsumerUpdates/ucm378393.htm
https://m.huffpost.com/us/entry/14046710
https://www.smithsonianmag.com/science-nature/five-reasons-why-you-should-probably-stop-using-antibacterial-soap-180948078/
https://www.unilever.com/about/innovation/Our-products-and-ingredients/Your-ingredient-questions-answered/Triclosan-and-triclocarban.html







Tuesday, January 16, 2018

Infeksi Virus atau Bakteri?


Dua hari ini si kecil demam. Suhunya 39 derajat selsius, dan hidungnya mampet. Hampir sepanjang hari ia batuk. Ibu membawanya ke dokter dan mendapatkan obat. Ternyata salah satunya antibiotik. Haruskah diminum? 


Masih ingat kapan pertama kali anak Anda mengalami demam? Saat masih bayi? Apa perasaan Anda saat itu? Panik, bingung, atau tetap tenang sambil berpikir langkah pertama yang harus dilakukan? Sebagian dari Anda mungkin pergi ke dokter dan mendapatkan penjelasan sakitnya disebabkan oleh infeksi. Apakah infeksi itu? Yaitu masuknya kuman ke dalam tubuh, dan bisa menimbulkan sakit atau tidak. Tergantung dari daya tahan tubuh. Kuman atau mikroorganisme berukuran sangat kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, tetapi justru merupakan penghuni terbesar alam semesta ini. Jenisnya bermacam-macam, tetapi yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah virus dan bakteri. Bagaimana membedakan keduanya?


Pertama, kita harus mengenali apakah virus dan bakteri itu. Bakteri adalah makhluk hidup bersel satu, yang ada di berbagai tempat di muka bumi. Di permukaan tanah hingga kedalamannya, di permukaan air hingga kedalaman laut, bahkan di udara. Tubuh makhluk hidup pun, termasuk manusia, dihuni oleh berbagai jenis bakteri. Para peneliti mendapatkan fakta jumlah bakteri penghuni tubuh manusia ternyata sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah sel penyusun tubuh manuaia! Jika ada 10 trilyun sel penyusun tubuh manusia, maka ada 100 trilyun bakteri penghuni tubuh manusia! Nah, dengan jumlah bakteri sebanyak ini, dan mendiami tubuh manusia sejak bayi dilahirkan dan menampakkan diri untuk pertama kalinya ke dunia ini, mengapa manusia jarang sakit? Karena bakteri-bakteri ini baik! Ya, mayoritas bakteri yang ada di dalam semesta, termasuk di tubuh manusia adalah penghuni “alami” dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keseimbangan bakteri di alam menjaga keseimbangan hidup makhluk hidup. Bakteri di usus besar manusia misalnya, menjaga agar saluran pencernaan kita bekerja baik, mampu mencerna makanan secara wajar, tidak sembelit, dan menghasilkan vitamin K yang berfungsi dalam pembekuan darah. Hanya kurang dari 10% bakteri yang dapat menyebabkan sakit pada manusia.

Berbeda halnya dengan virus. Virus sebenarnya bukan makhluk hidup, karena ia tidak dapat hidup mandiri di luar sel makhluk hidup. Virus ada di mana-mana, dan dapat menghuni seluruh sel hidup di alam, seperti tumbuhan, hewan, bahkan bakteri pun bisa dihinggapi oleh virus. Virus menyebabkan sakit pada manusia dengan cara mengambil alih fungsi sel di tubuh dan merusak kerjanya. Ternyata mayoritas penyakit pada manusia disebabkan oleh infeksi virus.


Kedua, untuk mengetahui apakah penyebab penyakit ini adalah virus atau bakteri tentunya dengan mengidentifikasi kuman penyebabnya. Misalnya dengan mengisolasi virus atau bakteri dari jaringan atau sel tubuh yang sakit, lalu mengenalinya di laboratorium. Tetapi ini tentunya bukan hal yang mudah, karena membiakkan virus dan bakteri bukan tindakan laboratorium yang sederhana, lalu sangat sedikit fasilitas laboratorium yang mampu melakukannya, dan membutuhkan biaya sangat tinggi serta seringkali menyakitkan bagi manusia (melakukan biopsi jaringan misalnya). Maka seiring perkembangan ilmu kedokteran selama berabad-abad dan makin banyaknya penyakit yang dikenali, mengetahui diagnosis suatu penyakit dapat menentukan apakah penyebabnya infeksi virus atau bakteri.

Sebagai contoh. Ketika seseorang didiagnosis selesma alias batuk dan pilek (seperti ilustrasi di awal tulisan) atau common cold, maka jelaslah bahwa penyebabnya infeksi virus. Selesma dan penyakit sejenisnya bernama influenza (flu) yang merupakan infeksi saluran napas atas, disebabkan oleh infeksi virus. Mungkinkah ternyata penyebabnya infeksi bakteri? Jika ternyata penyakit menjalar ke saluran napas dan menyebabkan pneumonia (radang paru), maka bisa jadi penyebabnya infeksi bakteri. Bagaimana membedakan selesma atau flu, dengan pneumonia? Ada tanda dan gejala yang bisa dibaca di banyak sumber, dan pemeriksaan dokter memastikan diagnosisnya. Maka jangan pernah lupa: tanyakan kepada dokter apa diagnosisnya (dalam bahasa medis/kedokteran, bukan bahasa awam). Pemberian terapi atau obat menyesuaikan dengan diagnosis. Ketidaksesuaian antara diagnosis dan terapi tentu dapat menimbulkan keraguan.


 Beberapa diagnosis penyakit tersering dan penyebabnya ada dalam gambar.


Ketiga, infeksi virus tidak diobati dengan antibiotik (antivirus pun diberikan hanya pada sebagian kecil penyakit berat). Umumnya daya tahan tubuh yang akan memulihkan penyakit akibat infeksi virus, seiring waktu. Infeksi bakterilah yang membutuhkan antibiotik. Apabila seseorang didiagnosis penyakitnya akibat infeksi virus lalu ia diberikan antibiotik, maka diagnosis atau terapinya harus dipertanyakan.


Keempat, kebanyakan penyakit akibat infeksi virus sifatnya ringan dan anak masih dapat beraktivitas atau tampak ceria. Sedangkan infeksi bakteri yang bergejala berat dan tidak segera diberikan antibiotik dapat berakibat fatal, bahkan kematian. Maka sebelum mengetahui apa diagnosis suatu penyakit, maka hal terpenting bagi seluruh orangtua adalah: mengenali tanda-tanda kegawatan yang mengharuskan segera ke dokter/rumah sakit. Misalnya:

Sesak napas, ditandai dengan napas cepat lebih dari 50 kali per menit dan adanya tarikan di antara sela-sela iga
Dehidrasi atau kekurangan cairan, yaitu lebih dari 6-8 jam anak tidak buang air kecil
Demam di atas 39 derajat selsius dan anak cenderung lemah, serta tidak ada gejala-gejala pendampingnya
Anak banyak tidur dan sukar dibangunkan
Kejang untuk pertama kalinya dan berlangsung lebih dari 5 menit, dilanjutkan dengan penurunan kesadaran
Perdarahan yang tidak kunjung berhenti

Maka di era informasi yang sangat mudah didapatkan lewat ponsel cerdas, bekalilah diri dengan ilmu kesehatan dari situs-situs terpercaya, seperti www.idai.or.idwww.milissehat.web.idwww.kidshealth.org dan www.who.int Selamat belajar!


Tulisan pernah dimuat di Rubrik Tumbuh Kembang Majalah Ummi yang ditulis oleh dr. Arifianto, Sp.A




Sunday, January 14, 2018

Apa sebenarnya “RUM” itu?


"Dok, minta rekomendasi dokter yang RUM dong!" 
Tidak jarang saya dimintai jawaban atas permintaan di atas. Memangnya apa definisi RUM? Idealis? Tidak pelit bicara? Tidak gampang kasih obat? Atau baik hati dan tidak sombong?

Rational use of medicine yang biasa disingkat RUM adalah terminologi yang dibuat oleh WHO sejak tahun 1985 dan mencakup definisi:

- pasien mendapatkan medikasi (tidak saya bilang obat ya, supaya kesannya ke dokter tidak harus pulang bawa obat) sesuai kebutuhan klinis alias diagnosisnya
- dosisnya sesuai kondisi individual
- lama pengobatan harus tepat
- biayanya paling murah!

Yuk kita kupas satu-satu, secara singkat saja

Definisi pertama mengharuskan kesesuaian antara DIAGNOSIS dan terapi. Artinya, kalau berobat dan dapat terapi, ya harus sesuai. Jangan sampai diagnosisnya A, dapat terapinya B. Makanya, biasakan bertanya ke dokter: apa diagnosisnya, ketika mendapat obat atau terapi lain. Kebiasaan ini juga membuat konsumen kesehatan bisa belajar lebih lanjut tentang diagnosis sakitnya, dan kesesuaian terapi. 

Hal lain adalah mendapatkan informasi diagnosis yang jelas dan tegas! Tidak ada lagi diagnosis "abu-abu" seperti "gejala tipes", "gejala DBD", "flek paru", "tampek", atau "radang tenggorokan". Tegas saja: tifoid atau bukan, DBD atau bukan, TB atau bukan, roseola atau rubella atau campak, dan strep throat atau bukan. 

Definisi kedua dan ketiga menunjukkan terapi itu sifatnya individual. Bahkan saudara kembar yang sakitnya sama pun bisa jadi obatnya berbeda. Pada anak, dosis obat ditentukan terutama dari berat badan, meskipun pada kemasan obat yang dijual bebas seperti parasetamol sirup misalnya, dituliskan dengan umur.

Pelajaran lainnya adalah tidak dibenarkan saling bertukar obat, khususnya untuk obat-obatan yang memang harus dengan resep dokter, antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya pada percakapan di bawah ini:

"Bu, saya udah 3 hari sakit gigi. Belum sempat ke dokter gigi. Enaknya minum obat apa ya?" tanya seorang Ibu ke Ibu lainnya, sambil menunggu anak mereka pulang sekolah.
"Kemarin saya sempat punya keluhan yang sama, Jeng. Lalu saya ke dokter gigi dan dikasih amoksisilin. Setelah dua hari minum obat dan enakan, saya stop antibiotiknya. Sekarang masih ada sisa, buat Jeng aja. Siapa tahu enakan habis minum amoksisilin punya saya," Si Ibu di sebelahnya menanggapi.

Hayo... silakan evaluasi, apa saja kesalahan dalam percakapan di atas? Yak, betul! Tidak menghabiskan antibiotik atas petunjuk dokter, dan bertukar obat sembarangan. Padahal antibiotik lho!

Definisi terakhir menunjukkan bahwa obat yang paling murah belum tentu tidak berkualitas. Ya,obat generik pun sama kualitasnya dengan obat bermerek. Maka dokter yang mengikuti prinsip RUM akan memberikan obat generik.

Ada RUM, ada juga IRUM, alias irrational use of medicine. Nah, contoh-contoh IRUM ini banyak sekali. Sebagian sudah pernah dibahas.

Tinggal sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada saja kan? 😊



Tuesday, January 09, 2018

Me ngom pol pada remaja, Wajarkah?


Sampai kapan dianggap wajar? Mengapa anak mengompol? Bagaimana mengatasinya?

Mengompol (bedwetting/nocturnal enuresis) masih dianggap wajar sampai anak berusia 7 tahun. Meskipun sejak usia 1 tahun, anak sudah dapat dibiasakan untuk tidak mengompol. Apakah wajar ketika seorang anak misalnya saat ini sudah berusia 11 tahun dan mengompolnya berlangsung sejak bayi dan belum pernah bisa dihentikan (primer), atau sudah pernah selama minimal 6 bulan tidak mengompol, lalu kembali mengompol (sekunder)? Terlepas dari kedua hal ini, ternyata 1 dari 100 remaja masih mengompol, dan harus dicaritahu apa penyebabnya, agar dapat dberikan solusinya.
 
- Gangguan hormonal, yaitu kekurangan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone atau ADH) dapat menyebabkan produksi urin yang berlebih di malam hari, termasuk saat tidur, dan menjadi mengompol.
 
- Gangguan di kandung kemih (buli-buli), yaitu kontraksi (gerakan mengencangkan) otot kandung kemih yang berlebihan dapat menyebabkan organ ini tidak bisa menampung volume urin sesuai seharusnya, sehingga mudah merasa ingin berkemih dan mengompol saat tak tertahankan. Sebagian remaja dan dewasa juga ternyata mempunyai ukuran kandung kemih yang relatif lebih kecil dibandingkan orang-orang lain.
 
- Genetik atau keturunan. Orangtua yang dulunya mengalami hal serupa dengan anaknya, saat mereka berusia remaja, maka anaknya pun bisa mengalami keluhan yang sama. Gen terkait mengompol ini masih diteliti.
 
- Masalah tidur, yaitu yang menyebabkan seorang remaja tidur sangat pulasnya, hingga sukar terbangun, meskipun seharusnya ke kamar mandi untuk buang air kecil.
 
- Konsumsi kafein, misalnya sering minum kopi, sehingga frekuensi buang air kecil pun meningkat.
 
- Beberapa penyakit yang menyebabkan enuresis sekunder, misalnya diabetes, kelainan struktur organ saluran kemih, sembelit (konstipasi), dan infeksi saluran kemih (ISK). Diabetes diketahui dengan pemeriksaan laboratorium gula darah, sedangkan ISK diketahui lewat pemeriksaan urinalisis (air seni). Adanya cedera tulang belakang (korda spinalis) akibat terjatuh atau kecelakaan lalu lintas juga dapat menyebabkan enuresis sekunder, karena pengaturan proses berkemih yang melibatkan jalur saraf di tulang belakang.
 
- Stres psikologis, misalnya akibat perceraian orangtuanya, kematian orang yang dicintainya, pindah rumah atau sekolah, atau masalah keluarga.
 
Apa yang bisa dilakukan ketika menghadapi remaja mengompol?
 
- Jangan banyak minum sebelum tidur, dan tentunya biasakan buang air kecil tepat sebelum tidur. Minuman seperti cokelat, kopi, teh, dan soda masuk dalam daftar yang harus dihindari saat malam hari. Ketika bangun tidur di pagi hari, biasakan segera ke kamar mandi untuk buang air kecil. Jika diperlukan, bangunkan anak/remaja 1 kali saja saat tidur malam hari untuk pergi ke kamar mandi, lalu segera kembali tidur.
 
- Gunakan teknik “imajinasi positif” (positive imagery), yaitu sejak saat sebelum tidur, seorang anak/remaja membayangkan dengan yakin bahwa ia akan terbangun keesokannya dengan “kering” (tidak basah akibat mengompol). Bisa juga dengan memberikan penghargaan (reward) kepada diri sendiri ketika mampu bangun tidur tidak mengompol.
 
- Gunakan alarm mengompol (bedwetting alarms) untuk membangunkan anak/remaja. Cara kerjanya adalah: alarm menyala ketika kasur mulai basah akibat air seni, dan diharapkan anak segera terbangun untuk mematikan alarm dan pergi ke kamar mandi, sebelum kasur makin basah akibat anak meneruskan mengompol. Alat ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, tetapi dapat dibeli lewat toko online. Tidak jarang anak yang mengompol tidak segera terbangun meskipun alarm sudah berbunyi kencang, dan butuh waktu untuk membiasakan dengan kerja alat ini, termasuk harus dibangunkan oleh orangtuanya. Kunci keberhasilannya adalah: membiasakan diri segera bangun, ketika mulai merasa harus buang air kecil. Atau membiasakan kemampuan menahan keinginan berkemih sampai saatnya bangun tidur.
 
- Ketika semua cara di atas tidak berhasil, maka obat yang bisa diberikan oleh dokter berupa imipramine (cara kerjanya belum jelas) atau desmopressine (ADH sintetis yang cara kerjanya menyerupai ADH sesungguhnya). Kelemahan obat-obatan adalah risiko berulangnya keluhan, ketika obat dihentikan.
 
(Tulisan ini pernah dimuat di rubrik tumbuh kembang Majalah Ummi yang ditulis oleh dr. Arifianto Apin)

(Gambar diambil dari http://www.sittercycle.com/wp-content/uploads/2014/07/bigstock-Bed-Wetting-2155652.jpg)



Monday, January 08, 2018

Tiga Kecerewetan Saya

Ada 3 hal yang sering saya komentari dari Ibu-ibu yang kontrol bawa bayinya untuk kunjungan pertama pasca lahiran:

1. "Kenapa bayinya pakai gurita*? Ibu, sekarang tahun 2017, bukan tahun 1977. Bayi jaman sekarang udah nggak pakai gurita lagi...."

Biasanya si Ibu senyum-senyum aja, trus lilitan kain yang rapat menyelubungi seluruh dada dan perut bayi itu dibuka, supaya saya bisa periksa bayinya. Ada juga ibu yang nyeletuk: disuruh sama ibu saya (baca: nenek si bayi). Atau: biar hangat, Dok, dan nggak kembung perutnya, atau semacamnya. Saya lagi-lagi harus meluruskan mitos "perut kembung" pada bayi.

2. "Bedaknya cemong amat, Bu." 

Ini juga biasanya ditanggapi dengan senyum si Ibu. "Nggak usah pakai bedak ya, Bu. Apalagi sampai kebanyakan gini. Tebell benerr," lanjut saya sambil menunjukkan kepulan bedak di sekujur punggung, dada, dan perut bayi, sampai daerah lipat paha dan bokong. Biasanya ketahuan setelah guritanya dibuka. Kasihan bayinya, dalam hati saya. Udah dipakaikan gurita, pakai bedak tabur pula.
"Nanti bedaknya bisa masuk saluran napas," tambah saya. 

Bahaya bedak tabur (talcum powder) sudah saya bahas di posting tahun lalu.

3. "Bayinya masih kuning ya, Bu. Tapi kuning yang masih wajar. Namanya kuning fisiologis. Insya Allah akan berkurang di usianya sampai 2 minggu," jelas saya.

"Jadi dijemur aja ya, Dok?" tanya si Ibu.

"Dijemur itu bisa menghilangkan kuning, Bu. Karena mengubah warna kuning menjadi hitam! Alias bayinya jadi item! Kan kasihan..." saya melanjutkan.

Ini biasanya si Ibu ketawa-ketawa, sama suaminya dan seluruh anggota keluarga yang menemani. Yang ngikut satu rombongan. Hehe.

"Jangan dijemur, Bu, nanti jadi gosong. Boleh dibawa ke luar rumah untuk dapat matahari pagi, tapi nggak usah ditelanjangi bayinya, trus dibolak-balik. Emangnya ikan asin. Hehee," saya jelaskan sambil becanda dikit.

Tentang menjemur bayi yang sempat "kontroversial" di wall saya, silakan cari sendiri status lama saya ya.

Itu 3 "syair lagu" yang sering saya ulang-ulang. Ibu-ibu yang pernah ketemu saya di Poli mungkin masih ingat. Belum lagi ocehan tambahan saya seperti: "apaan ni, Bu? pake peniti sama kayu ditusukkan di baju bayi?" Belum lagi yang pake gunting. Sereemm. Takut ketusuk ke bayinya. Katanya namanya bangle. Saya musti kasih ceramah dikit bahwa muslim tidak boleh pakai jimat semacamnya (ini pernah saya posting juga beberapa tahun lalu). 

Dan "atraksi" andalan saya di tiap kontrol pertama adalah menggendong si bayi seperti di foto. Si ibu dan yang menemani biasanya takut saya akan menjatuhkan bayinya. Hehe, tenang aja. Cara memeriksa seperti itu memudahkan saya melihat sampai ke punggung bayi.

(Keterangan foto: anak pertama saya yang digendong oleh dokter obgyn kami, beberapa tahun lalu. Saya belajar menggendong bayi dengan gaya keren ini dari beliau 😁)

*gurita: kain yang dililitkan dI sekujur tubuh bayi, biasanya berwarna putih, mungkin maksudnya seperti korset untuk ibu pasca melahirkan ya?



Sunday, January 07, 2018

Bayi dalam kandungan itu ya pasti minum air ketuban

Bayi dalam kandungan itu ya pasti minum air ketuban

Hayo ibu-ibu, saya mau tanya. Siapa yang bayinya dulu "minum air ketuban"? Ya, Ibu yang di sebelah situ angkat tangan. Bayinya katanya minum air ketuban ya? Jadinya lahirnya nggak nangis, biru, trus akhirnya dirawat. Alhamdulillah sekarang sudah sehat ya bayinya, Bu.

Nah, Ibu yang di situ juga ngacung. Katanya bayinya juga dulu minum air ketuban, trus nggak dibersihkan ya napasnya pas baru lahir? Makanya sekarang napasnya sering bunyi grok-grok.

Hayo, ibu-ibu yang lain nggak pada angkat tangan. Bayinya sekarang baik baik aja kok. Berarti nggak pada minum air ketuban ya? Hehe. Ibu-ibu, coba saya tanya. Waktu dalam kandungan dulu, bayi adanya di dalam rahim kan? Dikelilingi oleh air ketuban, berada di dalam kantong amnion. Air ketuban ini nama lainnya cairan amnion. Nah, apa salah satu aktivitas janin dalam kandungan? Coba baca gambar dari babycenter di bawah: "your baby regularly swallows amniotic fluid...". Iya, benar. Bayi minum air ketuban selama masih dalam kandungan. Jadi, semua anak Ibu ya pernah minum air ketuban.

Mungkin yang harus diluruskan adalah istilah tersebut. Bayinya lahir, lalu pernapasannya bermasalah karena air ketuban. Istilah ini lebih tepat diarahkan ke "aspirasi mekonium", yaitu bayi yang sudah keburu buang air besar (mekonium) sebelum atau sesaat/setelah lahir, sehingga mekonium nya masuk ke saluran napas (aspirasi), bukan tertelan masuk lambung. Nah, aspirasi mekonium memang bisa buat kondisi gawat darurat pada bayi baru lahir, sampai kadang membutuhkan ventilator.
Atau mungkin istilah "keminum" air ketuban itu berhubungan dengan ketuban pecah dini, yang meningkatkan berbagai risiko seperti infeksi sampai "gawat janin". Padahal nggak berhubungan dengan "minum air ketuban" yang sudah dilakukan bayi sejak dalam kandungan.

Lalu, kalau pas bayinya udah lahir, dan dia minum air ketuban, gimana? Ya nggak papa. Kan diminum masuk lambung, bukan masuk paru-paru. Bayi yang lahir menangis kencang juga tak perlu disedot lendir di rongga mulut dan hidungnya.

Semoga nggak salah istilah lagi ya. Minum = cairan dll masuk ke lambung/saluran cerna. Aspirasi = cairan dll tsb masuk ke saluran napas, sampai paru-paru.

Para dokter obgyn dipersilakan menambahi dan mengoreksi. O iya, tentang bunyi grok-grok pada bayi sampai usianya 6 bulan itu tidak ada hubungannya dengan sedot-menyedot lendir pasca lahir ya. Noisy baby ini sudah saya jelaskan dalam posting beberapa tahun silam. Silakan cari.

(Gambar ilustrasi janin diambil dari mom.girlstalkinsmack.com/image/062013/19/91726883.jpg)



Memangnya bayi harus pakai minyak telon?


"Bu, bayinya pakai minyak telon ya?" tanya saya, menunjuk pada kulit dada, perut, dan punggung yang kering. Bayi di hadapan saya ini umurnya 2 bulan. Tampak aktif. Datang untuk kunjungan imunisasi.

"Iya," jawab si Ibu. 

"Kenapa pakai minyak telon?" tanya saya lagi.

"Supaya hangat. Dan nggak kembung," jawabnya.

(Saya mau nambahin jawaban lagi: disuruh neneknya. Tapi nggak tega. Sudah cukup lah, saya "dimusuhi" para nenek :-D )

Biasanya saya akan mengembalikan lagi pertanyaannya: memangnya kalau nggak dikasih minya telon, bakalan kembung? Kalau nggak dikasih minyak telon, nanti kedinginan? Atau alasan lain seperti: enak Dok, baunya. Bau bayi...

Penggunaan minyak pada bayi, sejak bayi baru lahir bahkan, memang adalah tradisi. Pemberian minyak telon, dan sebagian kecil lainnya minyak kayu putih, adalah kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan pada bayi-bayi kita. Rasanya kurang lengkap jika tidak memberikan minyak telon setelah bayi dimandikan dan dipakaikan baju. Mari kita kupas satu satu.

- Benarkah pemberian minyak telon bisa mencegah bayi kembung? Maka jawaban saya: definisi kembung pada bayi itu subjektif. Apa ciri ciri bayi kembung? Perut buncit? Bunyi "dung dung" ketika diketuk perutnya?
Ketahuilah bahwa struktur perut bayi dan balita memang tampak buncit, tapi tidak berarti "kembung" penyakit. Lah, kan bunyinya dung dung saat diketok. Wajar dong. Apa isi lambung? Air (susu), makanan, dan udara. Bayi masih sering menangis, kan? Campuran semua itu menciptakan bunyi "dung dung" yang wajar pada bayi.
Yang tidak wajar adalah: ketika perut membuncit, disertai muntah hijau berulang, akibat sumbatan saluran cerna.

- Minyak telon dan sejenisnya bisa memberikan kehangatan. Iya, bisa saja. Tapi jika khawatir bayi kedinginan, mengapa tidak memakaikan baju hangat saja? Lengan panjang, dan celana panjang. Tapi jangan salah, kadang orangtua mempunyai kekhawatiran berlebihan. Justru bayi senang dengan cuaca dingin. Ia akan banyak berkeringat ketika memakai pakaian dalam dan luar (2 lapis). Bayi yang mempunyai kecenderungan "biang keringat" akan menjadi tidak nyaman karena gatal akibat beruntusan. Si bayi lebih senang memakai pakaian tanpa lengan, tapi orangtua dan neneknya (maaf ya nenek, lagi lagi :-)) khawatir bayinya "masuk angin" dan memaksakan menggunakan baju tebal dan minyak telon.

- Tidak jarang saya menjumpai bayi bayi dengan dermatitis kontak (alergi kulit, akibat teriritasi/hipersensitif) akibat minyak telon. Kulit bayi jadi kering, merah, bahkan sampai mudah luka. Semata mata akibat bayi "tidak cocok" dengan penggunaan minyak, atau kosmetik bayi lain. Padahal niat orangtuanya baik, tapi bayinya yang tidak cocok.

Jadi... tidak perlu khawatir lagi ya jika tidak pakai minyak, bedak, atau apapun setelah bayi mandi. "Ritual"-nya cukup: mandi, boleh pakai sabun dan sampo bayi, lalu... langsung pakai baju aja. Nggak usah ditambahi macam macam.

Selamat merawat bayi Anda 😁



The “Last Wish” Project

Apabila Anda ditanya: “if you knew that you’re going to die tomorrow, what would be your last wish”? Saya yakin Anda akan menjawab: banyak beristighfar, berdoa agar mendapatkan husnul khotimah, meminta maaf pada semua orang, melunasi hutang-hutang, dan senantiasa berzikir. Sebenarnya jawabannya kurang tepat, karena yang ditanya adalah “apa harapan terakhir”.

Bagaimana jika yang ditanya adalah seorang anak berusia 3 tahun dengan leukemia akut yang tak respon dengan kemoterapi berulang? Ia sudah menghabiskan berbulan-bulan waktunya di RS, dengan pengambilan darah berulang, rambut rontok, mual dan muntah tak terhitung, dan mulai terbiasa dengan rasa nyeri. Jawabannya adalah: ingin pergi ke Taman Mini Indonesia Indah. Sepupunya mengatakan TMII adalah tempat hiburan menyenangkan, sedangkan ia belum pernah mengunjunginya, karena ia tinggal selama ini di pelosok Banten dan berada di Jakarta karena dirujuk untuk keperluan kemoterapi.

Lalu apa jawaban seorang anak 5 tahun dengan tumor otak yang berlokasi dekat batang otak dan sewaktu-waktu bisa menekan pusat napasnya dan... berhentilah ia bernapas? Sementara kedua tungkainya sudah tak mampu berjalan. Ternyata ia menjawab ingin bertemu dengan penyanyi idolanya, karena selama ini waktunya di RS sebagian dihabiskan dengan menonton kanal YouTube yang menayangkan selebritas cantik ini.

Seorang gadis berusia 13 tahun dengan Tuberkulosis diseminata* juga ditanya apa yang ia inginkan? Kondisinya terbaring lemah dengan oksigen melilit hidungnya, napas tersengal, dengan kuman TB yang menggerogoti paru-paru, masuk ke cairan otak, dan menimbulkan perlengketan di ususnya. Ia menjawab: ingin punya handphone yang bisa memutar video ceramah agama dan murottal. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan dan ibunya yang baru pulih dari stroke tidak punya ponsel. Apalagi smartphone.

Lain lagi jawaban seorang ibu berusia 56 tahun dengan kanker leher rahim stadium 4. Ia ditemani oleh putri semata wayangnya selama menjalani perawatan di RS selama ini. Padahal sang putri pun sebenarnya punya rencana sendiri: segera menikah. Dan tentu jawaban ibu yang kondisinya sudah tak memungkinkan untuk dibawa-bawa ke luar RS ini adalah: ingin menghadiri pernikahan putrinya di gedung dengan ratusan tamu undangan, bersanding di depan dengan calon menantu dan besannya.

Wajarkah jika semua orang ini memiliki harapan terakhirnya masing-masing? Konsep Paliatif memungkinkannya, meskipun sebagian dianggap tidak memungkinkan untuk dibawa-bawa ke luar RS dengan kondisi kesehatannya. Padahal ilmu kedokteran pun belum mampu memulihkannya sampai ke kondisi sembuh seperti sebelumnya. Maka sebagian harapan terakhir ini bisa dipenuhi dengan persiapan matang melibatkan dukungan penuh keluarga.

Tiap orang ingin mati dalam keadaan bahagia dan “bermartabat”. To die in dignity. Maka tanyakan apa keinginan mereka yang belum terpenuhi, dan berusaha mewujudkannya.

Keterangan foto: mengenang gadis dalam kisah ketiga yang baru saja meninggalkan dunia ini. Terima kasih donatur yang sudah membelikan smartphone untuknya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan keteguhan dalam keimanan.

*TB diseminata/disseminated TB: TB yang mengenai lebih dari satu organ, biasanya kuman menyebar lewat aliran darah.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...