Sunday, September 29, 2019

Selamat Merokok!

“Dok, anak saya sudah dua kali dirawat di RS karena sesak napas.” Seorang Ibu bertanya.
“Sakitnya apa?” Tanya saya. “Pneumonia?”
Si Ibu mengangguk. Anaknya belum berusia genap satu tahun. Masuk kategori bayi. Padahal imunisasi dasar lengkap.
“Ada yang merokok di rumah?” Tanya saya lagi. Pertanyaan standar.
“Ayahnya.” Jawab Ibu singkat. Sayang sekali ayahnya tidak ikut saat itu. Baiklah, #resepdokterapin kembali harus dibuat.

Saya sudah berkali kali menjelaskan bahaya #rokok terhadap kesehatan saluran napas anak. Silakan geser dan simak beberapa kesimpulan penelitian berskala #metaanalisis dan #systematicreview ini. Para dokter dan penikmat jurnal kedokteran paham tingkat “kesahihan” jurnal-jurnal serupa. Tidak ada keraguan. #Merokok menyumbang banyak kasus #pneumonia dan berbagai infeksi saluran napas lain. Siapa yang merokok, dan siapa yang mati. Orang dewasa yang merokok, anak-anaknya yang dirawat di RS.

(Semua jurnal ini adalah open access dan bisa dibaca bebas dengan mengetikkan judulnya di mesin pencari).

Selamat merokok. Hisab menanti kelak bagi semua orang. Alam akhirat jelas adanya.
#infeksisalurannapas #pneumonia #bronkitis #bronkiolitis #asma#tuberkulosis #mati #alamkubur #azabkubur #akhirat




Apakah duduk posisi-W berdampak buruk bagi anak?

Banyak sekali orangtua yang menanyakan: anak saya sering sekali duduk dengan posisi-W. Dia tampak nyaman dengan posisi itu. Haruskah saya mengubahnya? Menggerakkan kakinya agar berubah menjadi duduk bersila? Atau mencarikannya bangku dan meja, supaya ia tidak duduk melantai? Saya pernah mendengar kebiasaan duduk dengan posisi-W dapat mengganggu pertumbuhan tulangnya di kemudian hari, bahkan menyebabkan cedera panggul dan gaya berjalan buruk!
Pembahasan “w-sitting” atau “duduk-W” memang kontroversial sampai saat ini. Termasuk di kalangan tenaga kesehatan terkait yang mendalami bidang rehabilitasi medik dan ortopedi. Maka saya harus sangat berhati-hati membahasnya. Dari penelusuran terhadap beberapa artikel populer (untuk awam), pendapat ahli, dan artikel berbasis bukti (evidence based), maka saya mendapatkan beberapa kesimpulan ini. (Semua tautan/link terkait lebih detil di highlight “Duduk Posisi-W” di Instagram @dokterapin dan Twitter @dokterapin), 
- Secara umum, kesimpulan yang saya dapatkan adalah: #dudukposisiWini tidak menyebabkan gangguan ortopedik (dislokasi/selip panggul, posisi tulang memuntir), otot (kaku otot panggul), atau neurologis/saraf (kelemahan otot). Artikel dari International Hip Dysplasia Institute menuliskan “W-sitting posture is normal for many children, and should be allowed even though children who can sit like this often walk with their feet turned in – called pigeon toed walking” (tautan di highlight). Lembar edukasi Seattle Children’s Hospital juga menyebutkan “Having your child sit on their bottom with their knees and feet out to the side of the hips (“W” position) will not affect your child’s hips or legs or worsen the intoeing”. Dan American Family Physician menjelaskan “the W sitting position is common in children with increased femoral anteversion; however, there is no evidence that sitting habits cause or worsen orthopedic lower extremity problems”.
- Mengapa anak tampak nyaman duduk dengan posisi-W? Salah satunya terkait dengan kondisi “femoral torsion/anteversion” yang terjadi saat bayi lahir dan menetap sampai beberapa tahun sesudahnya. Tapi jangan samakan dengan orang dewasa ya. Nyamankah Anda duduk dengan posisi-W? Ketika “perputaran paha ke dalam” makin menjauh seiring bertambahnya usia, maka duduk-W bisa menghilang sendiri. Alasan lain adalah posisi-W membuat anak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia fokus mengerjakan hal lain sambil duduk di lantai.
- Lalu apakah harus mengubah posisi anak yang terbiasa duduk-W? Silakan coba! Banyak yang secara alamiah mengembalikan ke posisi-W nya lagi. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah: ketika anak nyaman dengan satu posisi itu, apalagi sambil nonton gawai/gadget, maka tentunya berdampak buruk dengan “screen time” yang lama. Anak juga tidak baik duduk dalam satu posisi terlalu lama. Harus banyak bergerak. Maka mengubah posisinya menjadi “tidak nyaman” bisa membuatnya lepas dari gawai dan beraktivitas dengan gerakan.
Saya sekali lagi menekankan masih ada perbedaan pendapat mengenai topik ini. Tapi dari beberapa referensi yang saya baca, maka ini pandangan saya.







Komentar saya terhadap overdiagnosis Tongue Tie dan overtreatment insisi

Berhubung banyak yang nanya #overdiagnosis #tonguetie dan #overtreatment insisi alias #frenotomi itu seperti apa? Maka singkatnya saya ambil saja isi dari “Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia” yang judulnya “Diagnosis dan Tata Laksana Ankyloglossia (Tongue Tie)”. Jelas sekali bahwa mendiagnosis tongue tie yang harus diinsisi itu tidaklah mudah. Alurnya puanjaaaang. Itupun harus dilakukan dulu pendampingan menyusui, apabila ada kesulitan menyusui, sampai beberapa waktu, sampai akhirnya diputuskan untuk harus diinsisi. Mengapa? Karena pada banyak kasus, dengan pendampingan menyusui yang baik, masalah menyusui terselesaikan! Tanpa harus “ujug-ujug” (baca: buru-buru) diputuskan untuk frenotomi. Inilah pentingnya peran konselor menyusui 😊.
Jadi: TIDAK overdiagnosis artinya mampu mendiagnosis dengan tepat sesuai algoritma yang ada di gambar dan skor HATLFF, dan TIDAK overtreatment artinya mampu memberikan konseling dan pendampingan manajemen menyusui yang adekuat. Mengingat 50-75% bayi dengan ankyloglossia TETAP DAPAT MENYUSU tanpa kendala, dengan pendampingan konselor menyusui yang tepat 😊

Pelekatan (latch-on) yang kurang tepat dan nyeri pada puting ibu belum tentu karena tongue tie. Bisa jadi karena penyebab lain. Silakan simak keempat gambar untuk lebih jelasnya.




Haruskah Bayi Merangkak?

“Dok, anak saya tidak merangkak, padahal umurnya sudah 9 bulan. Dia mau ngesot, atau merayap, bahkan sudah bisa rambatan, berdiri dengan berpegangan. Duduk juga udah mantap, dan senangnya diberdirikan. Saya pernah baca, kalau nggak merangkak, ada satu fase perkembangan yang terlewati, nanti berdampak buruk kemudian hari. Benar tidak?”

Pertanyaan ini cukup sering didapatkan di praktik sehari-hari. Inilah pentingnya orangtua paham pola dan linimasa perkembangan bayi dan anak. Istilahnya #milestones. Nggak perlu dihapal sebenarnya. Bisa dibaca di buku Kesehatan Ibu dan Anak yang warnanya pink, atau di paspor kesehatan anak dari RS. Lalu dicocokkan, apakah pada usianya ada yang belum dicapai dan perlu khawatir. Di dalam buku #MakanTepatTumbuhSehat yang saya dan Dokter @pratamidiah tulis, sudah dijelaskan rinci. Kami memasukkan juga merangkak ke dalam satu poin, tapi masih banyak poin lagi yang menyertai, begitu juga “warning sign”-nya (ada di 2 gambar terakhir feed ini). Apa artinya? Dari beberapa parameter gerak motorik kasar, merangkak HANYA salah satunya. Masih ada beberapa parameter lain yang harus dicapai. Tidak merangkak TIDAK masuk dalam WARNING sign.

Lebih lanjut lagi, banyak ahli, bahkan penelitian, menunjukkan #merangkaktidak harus dilalui oleh seorang anak dengan perkembangan otak normal, dan tidak memiliki dampak buruk tertentu di kemudian hari. Kami dokter anak menggunakan alat skrining perkembangan #DenverDevelopmentalScreeningTest, dan merangkak tidak masuk ke dalam parameter perkembangan normal yang harus dilalui. Alasan mengapa banyak bayi tidak merangkak dihubungkan dengan kebiasaan tidur telentang, yang dulunya sempat bayi-bayi kecil dibiasakan tidur tengkurap dan berisiko mengalami SIDS. Tidur telentang mengurangi risiko SIDS, tapi mengurangi juga kemampuan merangkak. Maka ada “tummy time” yang digunakan sebagai salah satu bentuk stimulasi.
Simak highlight “Bayi Merangkak” di Instagram @dokterapin untuk lebih jelasnya. Artikel-artikel diambil dari
@scientific_american @healthychildrenaap @babycenter @parenting @todaysparent















Happy Breastfeeding Day!

A picture is worth a thousand words. Mungkin ini istilah yang tepat untuk gambar ini. Dalam pekan menyusui dunia alias #worldbreastfeedingweek2019 kali ini, kita semua diingatkan kembali untuk sepakat bahwa ASI adalah yang terbaik untuk bayi. Bahkan untuk sang ibu juga. Pemberian #ASIsecara eksklusif selama 6 bulan pertama, dilanjutkan dengan meneruskan ASI dan menambahkan #MPASI, tidak hanya memberikan manfaat bagi bayinya, tetapi juga bagi ibunya. Lalu bagaimana apabila tidak dapat memberikan ASI, dan harus memberikan susu formula?

Mengutip dari kawan saya seorang dokter obgyn, Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, tempat saya pertama melihat foto ini, beliau mengingatkan “happy-healthy-well fed baby”. Ya, bayi harus sehat, mendapatkan nutrisi cukup, dan bahagia! Kita semua sudah paham dan sepakat pentingnya ASI, dan kita pun paham bahwa tiap ibu dan bayinya adalah unik. Tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya. Tapi satu hal yang pasti disepakati semua adalah: SEMUA ibu pasti menginginkan dan BERUSAHA yang terbaik bagi bayinya. Dan satu hal yang SAMA berlaku bagi semua bayi adalah: mereka akan tumbuh baik apabila diberi NUTRISI yang tepat. Being fed properly. Appropriately. Jadi, “stop judging others!” Tidak perlu merasa “baper” 😉, bahkan melakukan “mom-shaming”. Ketika ada yang harus mendapatkan suplementasi atau bahkan substitusi berupa susu formula, tentunya sudah dengan pertimbangan matang dan mencari keputusan terbaik bagi tumbuh-kembang bayinya. Dengan sudah berusaha terlebih dulu memberikan ASI, dan tetap memantau pertumbuhan bayi dengan baik di grafik pertumbuhan alias #growthchart. Deteksi dini gagal tumbuh, dan analisis penyebabnya! Pengetahuan menyusui harus sudah dibekali bahkan sejak sebelum hamil. Atau ada juga yang mengalami kasus bingung puting dengan berbagai sebab, lalu mencoba relaktasi dengan supplemental nursing system menggunakan bantuan tube-feeding. Ada juga bayi-bayi dengan kondisi kesehatan khusus yang sejak awal bahkan harus menggunakan selang/sonde lambung ini. Tetapi tetap semua berusaha memberikan yang terbaik bagi bayinya: mencapai tumbuh kembang optimal, dan terhindar dari gagal tumbuh.

Happy feeding Moms and Babies! 

😊
Photo credit: Felicia Saunders Photography

Apakah pemberian #probiotik bermanfaat untuk mengobati dermatitis atopi alias eczema?

Beberapa orangtua yang saya temui di ruang praktik menceritakan bahwa mereka menggunakan salah satu merek probiotik (saya nggak sebut namanya ya. Tapi beberapa yang merespon IGS saya benar menebaknya 😁Apa artinya? Yang pakai banyak juga ya. Kaget juga saya 😅), sebagai salah satu terapi dermatitis atopi anak mereka. Saya jadi penasaran. Benarkah demikian? Adakah bukti bukti ilmiah yang mendukungnya? Seperti yang sudah saya jelaskan di buku #BertemanDenganDemam, penanganan eczema meliputi pengenalan pencetus, dan pemberian terapi yang meliputi pelembap, steroid, dan antihistamin jika diperlukan.

Kali ini saya tidak membahas apa itu dermatitis atopi, penyebab dan terapi secara detil (silakan baca-baca sendiri ya. Di buku saya juga ada). Tapi hanya menjawab pertanyaan di atas. Daaannn... seperti yang Anda bisa baca di beberapa jurnal yang saya sertakan screenshot-nya di feed ini: BELUM ada bukti ilmiah yang cukup kuat, yang mendukung perlunya pemberian probiotik pada dermatitis atopi.
Saya menampilkan sumber dari @cochraneorg yang dianggap seperti “shahih Bukhari-Muslim” dalam ilmu kedokteran berbasis bukti (EBM) (maafkan kalau analogi saya tidak tepat, hanya berusaha menyederhanakan), karena menampilkan meta-analisis, yang merupakan level tertinggi dalam #evidencebasedmedicine. Begitu juga jurnal dari Frontiers in Microbiology yang menampilkan systematic review, yang kesimpulannya juga serupa. Gambar terakhir juga mencoba menjelaskan dengan lebih mudah.

Maka, sudah jelas ya kesimpulannya 😉











Bolehkah anak < 2 tahun memakai pasta gigi?

 Masih menyambung tulisan sebelumnya. Saya menampilkan poster dari panduan di Ireland, bahwa anak < 2 tahun tidak perlu pasta gigi. CDC Amrik pun menyatakan hal serupa (silakan cek gambar). Sedangkan panduan dari ikatan dokter giginya Amrik (ADA) dan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) warna pink (udah dibaca belum?), anak yang sudah punya gigi, termasuk < 2 tahun, dianjurkan menggunakan pasta gigi berfluoride. Masing masing tentunya punya dasar ilmiah yang sangat kuat. Jadi mau pilih mana? Saya cenderung pada pendapat CDC US dan Dental Health Foundation Ireland, bahwa anak < 2 tahun tidak menggunakan pasta gigi dulu. Alasannya: belum pandai/bisa berkumur/meludah, dan berisiko menelan pasta gigi. Bukankah pasta gigi anak boleh ditelan? Iya, kalau sangat sedikit. Tapi tetap saja, pasta gigi dirancang BUKAN untuk ditelan. Sebagai dokter anak, dan kebetulan suami dari dokter gigi (saya pertama kali paham mengenai penggunaan pasta gigi anak dari istri saya), saya memperhatikan anak-anak Indonesia belum pandai berkumur, khususnya < 3 tahun. Dan sepertinya (koreksi kalau saya salah) belum ada sosialisasi yang cukup baik bahwa menyikat gigi itu penting, tapi odol alias pasta gigi bukan untuk ditelan. Apalagi produk pasta gigi anak dirancang dengan berbagai rasa yang menarik untuk anak, sehingga terkesan tidak masalah apabila tertelan. Belum lagi iklannya...

Tapi bagaimana kalau kekurangan #fluoride? Justru alasan utama mengapa sejak gigi pertama tumbuh harus diberikan pasta gigi berfluoride adalah untuk mencegah #karies. Jadi kita sepakat pentingnya #fluoride. Tapi harus sangat berhati hati menilai kesiapan anak anak untuk menggunakan pasta gigi. Fluoride juga terdapat di air minum (saya belum mencari data kandungan fluoride di air minum kita dan perbandingannya dengan negara negara lain), kalaupun tidak mendapatkannya di pasta gigi. Dan kelebihan fluoride juga bisa membuat #fluorosis (silakan browse ya). Jadi gunakan pasta gigi anak berfluoride sesuai ketentuan berdasarkan usia, dan lihat kesiapan anak ketika menyikat gigi. Dampingi mereka!
Tapi bagaimana kalau kekurangan #fluoride? Justru alasan utama mengapa sejak gigi pertama tumbuh harus diberikan pasta gigi berfluoride adalah untuk mencegah #karies. Jadi kita sepakat pentingnya #fluoride. Tapi harus sangat berhati hati menilai kesiapan anak anak untuk menggunakan pasta gigi. Fluoride juga terdapat di air minum (saya belum mencari data kandungan fluoride di air minum kita dan perbandingannya dengan negara negara lain), kalaupun tidak mendapatkannya di pasta gigi. Dan kelebihan fluoride juga bisa membuat #fluorosis (silakan browse ya). Jadi gunakan pasta gigi anak berfluoride sesuai ketentuan berdasarkan usia, dan lihat kesiapan anak ketika menyikat gigi. Dampingi mereka!








Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...