Monday, August 08, 2016

Kelompok Antivaksin dan Vaksin Palsu


Beberapa hari lalu, seorang kawan menuliskan di dalam statusnya, bahwa kelompok antivaksin ikut "bertepuk tangan" dengan kasus vaksin palsu yang menjadi pemberitaan utama media saat ini. Kurang-lebih itu opini yang saya tangkap. Ketika saya mengaminkan pendapat ini dan ikut membagikannya, beberapa reaksi dari kawan-kawan saya yang "antivaksin" bermunculan. Mereka menyatakan tidak menyukai adanya kasus vaksin palsu ini, dan berharap kasus ini juga dituntaskan. Mereka tidak menginginkan adanya anak-anak yang menjadi korban dari vaksin palsu. Saya lalu menyadari bisa jadi melakukan kesalahan, yaitu: menggeneralisasi kelompok antivaksin. Tidak semuanya lantas merasa "tuh kan, mending nggak usah diimunisasi". Mereka juga berempati terhadap kegelisahan orangtua yang anak-anaknya rutin diimunisasi. Tetapi saya tidak memungkiri, ada juga kawan-kawan antivaksin yang terus mengumbar berita menyeramkan tentang vaksin palsu ini. Sayangnya berdasarkan asumsi. Yang jika dikaitkan dengan fakta, belum tentu benar. Makanya saya maklum teman-teman "provaksin" merasa geram dengan kelompok antivaksin, dan generalisasi pun tak terhindarkan.

Saya membagi kelompok antivaksin menjadi dua: yang memilih tidak mengimunisasi anak-anaknya, tetapi mereka tidak memengaruhi kawan-kawan lain agar mengikuti pilihan mereka; dan yang memilih tidak mau memberikan vaksin pada anak-anaknya, serta secara aktif terus menyebarkan pemahaman bahwa vaksin itu berbahaya, tidak aman, haram,syubhat, dan hal-hal negatif lainnya. Alhamdulillah saya tetap berusaha menjaga pertemanan dengan mereka, termasuk pada kelompok kedua, meskipun dalam diskusi-diskusi (saya kadang dikatakan berdebat, bukan berdiskusi) di media sosial, saya menangkap kegeraman mereka pada komentar-komentar saya. Saking panasnya diskusi, sampai ada yang melontarkan "tuduhan" bahwa kelompok provaksin (saya tentu dianggap mewakilinya) menganggap masalah perbedaan pendapat dalam hal vaksin ini adalah persoalan ushul, alias pokok (dalam bidang agama). Saya geli membacanya. Kok bisa berpikir seperti itu? Perbedaan pandangan ini adalah hal yang sifatnya "cabang" atau furu'. Maka sedih sekali saya, jika sesama umat Islam "berkelahi" di media sosial karena urusan berbeda pendapat tentang vaksin.

Woles aja lagi.... Saya tetap berusaha memberikan argumentasi ilmiah pentingnya vaksin, keamanan, dan kehalalannya. Berdiskusi seru di dunia maya boleh saja. Tapi saat bertemu di dunia nyata, ukhuwwah tetap terjaga. Saya pribadi tak pernah membedakan pasien-pasien saya, lalu lantas menolak mereka yang tidak mau diimunisasi. Saya tetap harus berlaku profesional dan adil sebagai dokter, dan sebagai muslim. Tapi satu hal memang yang saya selalu berusaha keras menyampaikannya: saya tidak tinggal diam melihat para antivaksin memengaruhi orang-orang lain agar mengikuti sikap mereka. Saya tidak menginginkan angka kematian bertambah. Sudah cukup buat saya sehari hari melihat anak terbaring lemah karena campak, dan mengalami cacat permanen karena meningitis tuberkulosis. Selama kelompok antivaksin berusaha memengaruhi orang orang lain agar tidak mau diimunisasi, maka insya Allah saya akan terus mengampanyekan pentingnya imunisasi, demi kemaslahatan umat manusia.

Dan di saat kasus vaksin palsu ini merebak, jika ada kelompok antivaksin yang memanfaatkannya untuk menakut-nakuti masyarakat, maka kelompok provaksin akan terus menjelaskan "keep calm, and get vaccinated!"

1 comment:

Mayaza said...

Bismillah,

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, Dokter.

Izin bertanya. Lalu bagaimana untuk vaksin yang di labelnya ada tulisan "Mengandung Babi,"
Seperti pada label vaksin Varivax dan MMR II, saya baru ngeh ketika cek buku kontrol anak saya.
Untuk yg Hexaxim tulisannya "Pada Proses Pembuatannya Bersinggungan dengan Bahan Bersumber Babi".

Mohon infonya Dok.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...