Kertas yang disodorkannya di hadapan saya menunjukkan tidak ada yang abnormal. Lekosit dan eritrosit pada tinja masih dalam batas normal. Amuba juga tidak ditemukan. Si Ibu menceritakan bahwa obat mentronidazol yang didapatkannya belum diminumkan. Antibiotik ini memang ditujukan untuk mengobati disentri amuba. Padahal hasil lab tidak menunjukkan hal serupa.
Setelah memeriksa anaknya dan berdiskusi beberapa hal, saya menyampaikan beberapa poin yang cukup sering saya katakan pada orangtua.
"Bu, anak yang mengalami diare dan muntah, hal terpenting adalah: orangtua dapat mengenali anaknya DEHIDRASI atau tidak. Sebenarnya di awal perjalanan penyakit, tidak terlalu penting mengetahui ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Tidak terlalu penting untuk mengetahui: perlu tidak ya diberikan antibiotik? Lagi-lagi, yang penting adalah: anak saya dehidrasi atau tidak??
Bisa saja diarenya karena infeksi bakteri yang sebenarnya butuh antibiotik, tapi anaknya tidak dehidrasi sama sekali. Lalu kita tidak langsung memberikan antibiotik. Sebaliknya, anak mengalami diare akibat infeksi virus yang sebenarnya akan sembuh dengan sendirinya, tetapi anak ini mengalami DEHIDRASI BERAT. Maka anak yang mengalami diare akibat infeksi virus berisiko meninggal, dan anak yang mengalami diare akibat infeksi bakteri masih terselamatkan!"
Jika pada akhirnya kita kenali bahwa diare ini sebenarnya adalah disentri basiler (akibat infeksi bakteri) atau disentri amuba, setelah dilakukan pemeriksaan tinja atau memang ditemukan darah pada tinja, maka kita harus memberikan antibiotik. Tapi pada kondisi awal, yang menentukan nyawa seorang anak akan selamat atau tidak, maka harus diketahui apakah diare sudah menyebabkan dehidrasi atau belum? Jadi langkah terpenting mengatasi diare adalah: berikan cairan agar anak tidak dehidrasi! Berikan minum sesering mungkin. Pantau produksi kencing anak. Lalu kenali, apakah ada darah atau tidak pada tinja. Tinja tidak berdarah hampir selalu disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Jika ada darah pada tinja, maka periksakan ke laboratorium untuk menentukan kemungkinan infeksi bakteri yang butuh antibiotik.
Kasus lain adalah seorang anak yang demam sudah mencapai lima hari. Tidak ada batuk-pilek sama sekali. Hasil laboratorium juga tidak menunjukkan demam berdarah. Orangtua khawatir anaknya sakit tifoid. Perlukah pemberian antibiotik kloramfenikol? Bagaimana jika antibiotik tidak segera diberikan? Bukankah tifoid dicurigai jika demam setidaknya tujuh hari?
Kasus lain yang lebih sering adalah: curiga tuberkulosis (TB) paru.
Anak kurus, batuk tak kunjung reda sudah satu bulan, dan nafsu makan
turun. Bagaimana jika diberikan saja obat anti TB selama 6 bulan jika
foto ronsennya menunjukkan "flek paru"? Atau pastikan dulu dengan sistem
skoring, apakah anak saya sakit TB? Lakukan dulu uji tuberkulin (tes
Mantoux). Jika perlu second opinion ke dokter lain untuk memastikan
diagnosis TB, baru antibiotik diberikan. Bagaimana jika terlambat?
Saat ini penggunaan antibiotik berlebihan sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan banyak pihak (silakan lihat postings pekan lalu), meskipun di tahun 2011 sudah keluar Permenkes (peraturan menteri kesehatan) mengenai panduan umum penggunaan antibiotik. Maka diagnosis harus dipastikan benar untuk dapat memberikan antibiotik. Tapi bagaimana jika antibiotik terlambat diberikan dan mengancam nyawa anak? Bakteri akan berkembang meluas mengalir ke seluruh tubuh.
Ya, ada kondisi-kondisi tertentu antibiotik tidak boleh terlambat diberikan. Pada dua contoh kasus di atas adalah: ketika yang dicurigai adalah meningitis (radang selaput otak) dan perforasi (berlubangnya) usus akibat tifoid, dan meningitis akibat TB. Tentu saja gejala-gejalanya jelas. Anak tampak lemah, terjadi penurunan kesadaran, dehidrasi, dan tanda-tanda kegawatan lainnya.
Atau pada diagnosis lain apapun, ketika anak dicurigai mengalami sepsis, yaitu ketika bakteri sudah mengalir lewat aliran darah menuju seluruh organ, dan risiko kematian tinggi. Ini pun ada proses perjalanan penyakit dan gejala-gejalanya. Begitu juga pada bayi baru lahir yang tanda infeksi bakterinya tidak khas dan sewaktu-waktu dapat mengalami perburukan cepat. Maka antibiotik harus segera diberikan. Dan semua tentu ada panduannya. Inilah kondisi-kondisi ketika antibiotik tidak boleh terlambat diberikan! Pada kondisi kebanyakan ketika anak masih tampak aktif? Baca-baca lagi ya tentang tifoid, TB, ISK, disentri, dan strep throat yang butuh antibiotik.
Saat ini penggunaan antibiotik berlebihan sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan banyak pihak (silakan lihat postings pekan lalu), meskipun di tahun 2011 sudah keluar Permenkes (peraturan menteri kesehatan) mengenai panduan umum penggunaan antibiotik. Maka diagnosis harus dipastikan benar untuk dapat memberikan antibiotik. Tapi bagaimana jika antibiotik terlambat diberikan dan mengancam nyawa anak? Bakteri akan berkembang meluas mengalir ke seluruh tubuh.
Ya, ada kondisi-kondisi tertentu antibiotik tidak boleh terlambat diberikan. Pada dua contoh kasus di atas adalah: ketika yang dicurigai adalah meningitis (radang selaput otak) dan perforasi (berlubangnya) usus akibat tifoid, dan meningitis akibat TB. Tentu saja gejala-gejalanya jelas. Anak tampak lemah, terjadi penurunan kesadaran, dehidrasi, dan tanda-tanda kegawatan lainnya.
Atau pada diagnosis lain apapun, ketika anak dicurigai mengalami sepsis, yaitu ketika bakteri sudah mengalir lewat aliran darah menuju seluruh organ, dan risiko kematian tinggi. Ini pun ada proses perjalanan penyakit dan gejala-gejalanya. Begitu juga pada bayi baru lahir yang tanda infeksi bakterinya tidak khas dan sewaktu-waktu dapat mengalami perburukan cepat. Maka antibiotik harus segera diberikan. Dan semua tentu ada panduannya. Inilah kondisi-kondisi ketika antibiotik tidak boleh terlambat diberikan! Pada kondisi kebanyakan ketika anak masih tampak aktif? Baca-baca lagi ya tentang tifoid, TB, ISK, disentri, dan strep throat yang butuh antibiotik.
1 comment:
Waah baru saya kalo dokter punya blog.
#melongokdaftartulisan
~Bunda Syifana~
Post a Comment