Thursday, November 20, 2014

Mitos dan Fakta Seputar Tuberkulosis pada Anak

Hari ini sy mau berbagi ttg MITOS dan FAKTA seputar tuberkulosis (‪#‎TB‬) pada anak.
MITOS #1: Flek paru sama dengan #TB. Faktanya: tidak ada diagnosis yg namanya flek paru! Harus tegas dlm mendiagnosis. TB atau bukan TB?
Tidak jarang sy ketemu orangtua yg anaknya didiagnosis "flek paru", tapi dapatnya obat #TB selama 6 bulan! Ketika sy tanya: diagnosisnya?
Orangtua menjawab: "flek paru, kata dokternya."
"Nggak dibilang #TB? Karena ini obat TB," kata saya.
"Anak sy TB, Dok?" malah ortu bingung.
Inilah pentingnya "kejujuran" dlm memberitahu diagnosis: #TB atau bukan? Jangan khawatir orangtua jd merasa buruk dg "stigma vonis" TB.
Justru dg keterusterangan diagnosis, orangtua jd tahu harus patuh minum obat (jika memang benar #TB) atau second opinion bila ragu diagnosis.

MITOS #2: anak yg tidur di depan kipas angin atau di lantai berisiko kena #TB. Faktanya: hehehe tentu saja tidak. Apa penyebab TB?
#TB disebabkan oleh masuknya bakteri Mycobacterium tuberculosis ke dlm saluran napas anak, bukan dari kipas angin Jd TB adlh Infeksi bakteri
Yg dapat menularkan #TB adlh org dewasa yg membatukkan kuman. Jd kalo ada anak didiagnosis TB, HARUS DICARI siapa dewasa penularnya!

MITOS #3: anak yg batuk >2 minggu dicurigai #TB. Faktanya: batuk bukanlah gejala utama TB pd anak. Beda dg dewasa yg gejala utamanya batuk
Inilah keluhan yg membuat orangtua tidak jarang ke dokter dan minta anaknya langsung dironsen. Padahal belum tentu perlu! #TB.
#TB pd anak lebih sulit didiagnosis, krn tdk ada gejala khas. Utk itu dibuatlah sistem skoring yg menggabungkan gejala, ronsen, dan Mantoux.
Batuk lama pd anak justru sering disebabkan oleh kasus ringan seperti commoncold berulang yg akan sembuh sendiri. Atau asma dan alergi. #TB.
Maka faktor kecurigaan terbesar #TB pd anak adlh: apakah tinggal 1 rumah dg dewasa penderita TB? Bila tidak, jd ragu memang.
Kecuali pd kasus #TB berat seperti meningitis (radang selaput otak), TB milier (kerusakan paru luas), dan spondilitis (tulang belakang).

MITOS #4: anak2 yg berat badannya kurang dan kurus harus dites Mantoux utk deteksi #TB. Faktanya: hehehe, gimana yg kurus bawaan genetik ya?
Berat badan kurang bisa saja dianggap salah satu gejala #TB pd anak, tapi yg sesungguhnya dimaksud adlh gagal tumbuh (failure to thrive).
Di dlm sistem skoring #TB pd anak, berat yg dianggap bermakna adlh gizi buruk. Nilainya pun tidak sebesar adanya kontak dewasa dan Mantoux +.
Untuk itu, sudah bukan saatnya lg "memvonis" anak2 yg tidak gemuk, susah makan dan batuk2 sbg curiga #TB dam harus dironsen dan tes Mantoux.

MITOS #5: Gambaran foto ronsen yg banyak "flek" alias bercak putihnya dicurigai #TB. Faktanya: sudah dijelaskan di twit sebelumnya, Bahwa ronsen dada yg sugestif #TB sekalipun (kecuali TB milier ya), nilainya cuma 1 dlm sistem skoring TB pd anak.
Anak yg sedang batuk pilek alias selesma biasa, ketika dironsen dadanya, bisa lebih "ramai" gambarannya dibandingkan yg sakit TB beneran.
Untuk itu gambaran ronsen tidak terlalu jadi andalan, kecuali #TB milier yg jarang pd anak, tidak seperti dewasa (menambahkan cek dahak).

MITOS #6: anak yg batuk2 > 2 minggu, BB susah naik, dan banyak berKERINGAT MALAM dicurigai #TB. Faktor: kalau pd dewasa, bisa jd curiga TB.
Tapi pd anak: tentu beda. Lihat saja sistem skoring #TB anak: keringat malam tidak dimasukkan ke dalamnya. Mengapa anak banyak berkeringat?
Salah satunya adlh meningkatnya kadar hormon pertumbuhan (growth hormone) khususnya malam hari, shg bbrp anak banyak berkeringat malam.


MITOS #7: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher pd anak mengarah pd kecurigaan #TB. Faktanya: KGB leher dimiliki oleh semua manusia. Ada yg teraba dan ada yg tidak. Pd anak dikatakan membesar jika diameter benjolan > 1 cm. Umumnya KGB leher dapat diraba pd anak sehat. KGB leher dapat membesar akibat berbagai sebab, misalnya pd infeksi virus sehari-hari seperti selesma (common cold) yg sembuh sendiri. #TB. Kadang KGB pd anak yg selesma, rubella dan berbagai infeksi virus lain dapat membesar > 1 cm dan tidak mengecil saat anak sdh sehat. #TB, Kecurigaan pembesaran KGB leher akibat #TB pd anak biasanya jumlahnya bbrp buah dan sebagian menyatu (berkonfluens). Dan disertai tanda lain Yaitu disertai kriteria dlm sistem skoring misalnya ada kontak dg penderita dewasa dan Mantoux +. Kadang biopsi dibutuhkan pd bbrp kasus #TB. Jadi tidak semua pembesaran KGB leher pd anak harus dicurigai #TB kan? Bedakan jg dengan keganasan (kanker) bila teraba keras dan progresif.
MITOS #8: apabila ada anak balita tetangga yg diketahui minum obat ‪#‎TB‬ (berarti sakit kan ya?), hati-hati ia dapat menularkan ke anak kita!
Faktanya: anak-anak, apalagi balita tidak dapat menularkan #TB ke orang lain. Mengapa? (1) anak2 belum pandai membatukkan dahak.
(2) kalaupun dahak dapat dikeluarkan, jumlah kuman di dlm dahaknya sangat sedikit, karena lokasi kuman yg tidak dekat dg reseptor batuk.
Jadi kalau cari sumber kuman #TB, carilah pd orang dewasa, bukan anak2.
(Di sisi lain belum tentu anak yg minum obat itu positif TB, bukan?)


Diambil dari Twitter @dokterapin

Wednesday, November 12, 2014

Flek paru sama dengan tuberkulosis?

“Anak saya sudah tiga minggu batuk dan belum sembuh. Pekan lalu ke dokter dan diminta rontgen paru. Hasilnya dikatakan flek paru. Selama sakit, anak saya tidak mau makan, berat badannya turun, dan sejak bayi keringatnya banyak sekali di malam hari. Dokter tersebut mengatakan anak saya harus minum obat selama enam bulan karena flek parunya. Saya ragu dengan diagnosis ini, karena itu saya datang ke Dokter untuk minta second opinion.”

Kisah-kisah serupa tidak jarang disampaikan di ruang praktik dokter anak. Banyak orangtua yang menghadapi kenyataan anaknya terkena “flek paru” dan harus minum obat tanpa putus dalam waktu tidak sebentar. Gejala-gejala yang diutarakan, seperti batuk yang tak kunjung sembuh, anak tampak kurus dan beratnya turun, nafsu makannya berkurang, dan kadang disertai keringat malam. Apakah ini semua gejala yang mengarah kepada flek paru?



Penegakan Diagnosis

Ada beberapa hal yang perlu kita pahami. Pertama, diagnosis seharusnya dinyatakan dalam bahasa medis kepada siapa pun, termasuk pasien atau konsumen kesehatan yang tidak mempunyai latar belakang kedokteran/kesehatan. Flek paru bukanlah diagnosis, melainkan ungkapan yang sudah lazim digunakan (entah sejak kapan) untuk menunjukkan adanya gambaran foto rontgen dada yang “ramai” akan flek atau bercak putih. Normalkah kondisi foto seperti ini?

Istilah “flek paru” mengesankan kondisi yang tidak normal dan tidak seharusnya ada di hasil rontgen. Padahal paru-paru manusia dipenuhi pembuluh darah dan kelenjar getah bening yang menghasilkan gambaran putih ketika disorot sinar-X. Selain itu, kondisi foto paru yang penuh “flek” bisa terjadi pada banyak hal, mulai dari paru-paru normal, orang yang sedang selesma (common cold), pneumonia, tuberkulosis (TB) paru, sampai kanker paru.

Nah, penggunaan istilah flek paru biasanya dibarengi anjuran minum obat selama enam bulan, yang tidak lain adalah obat TB. Untuk itu, sebaiknya dokter menyampaikan dengan tegas, TB atau bukan. Tidak perlu menyembunyikan diagnosis TB ke dalam ungkapan flek paru.

Kedua, bagaimana diagnosis TB pada anak ditegakkan? Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular melalui saluran napas, yaitu ketika penderita TB batuk dan menyebarkan kuman penyebab TB lewat percikan dahaknya.

Anak dapat terinfeksi TB ketika orang dewasa menularkan kuman TB kepadanya. Ingat: hanya orang dewasa yang dapat menularkan TB kepada anak. Anak-anak tidak dapat menularkan TB kepada anak-anak lainnya, karena mereka belum mampu membuang dahak lewat batuk seperti orang dewasa mengeluarkan dahaknya. Kalaupun dahak dapat dikeluarkan secara “tepat”, jumlah bakteri yang terkandung di dalam dahak anak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kandungan kuman TB dalam dahak orang dewasa. Alasan ini menentukan kemampuan menginfeksinya menjadi sangat berkurang.

Hal penting lainnya, saat anak dicurigai TB, wajib dicari tahu siapa orang dewasa yang menjadi sumber infeksinya. Sulit memercayai diagnosis TB, apabila anak yang dicurigai sakit TB itu tidak pernah mempunyai kontak dengan orang dewasa yang dicurigai TB pula.



Mendiagnosis TB Dewasa dan Anak

Mendiagnosis TB pada anak jauh lebih sulit dibandingkan mendiagnosis penyakit ini pada orang dewasa. Pada orang dewasa, jika ditemukan batuk selama lebih dari dua minggu, disertai atau tidak gejala lain, lalu dahak si penderita diperiksa dan positif mengandung kuman TB (disebut juga basil tahan asam atau BTA), maka terdiagnosislah TB.

Namun pada anak, batuk bukanlah gejala utama TB. Berat badan yang turun dalam waktu singkat dapat terjadi pada kondisi sakit ringan seperti selesma. Keluar keringat pada malam hari merupakan hal wajar yang dialami balita karena tingginya kadar growth hormone yang memacu produksi keringat.

Karena itu para ahli di seluruh dunia telah mengupayakan berbagai metode untuk memudahkan diagnosis TB pada anak. Salah satunya, sistem skoring yang ditampilkan dalam tabel. Jumlah minimal 6 dari poin-poin yang ada menyimpulkan seorang anak terdiagnosis TB dan harus mendapatkan pengobatan selama 6 bulan. Melihat kriteria diagnosis yang ada, adanya kontak TB (dewasa) yang BTA-nya positif dan pemeriksaan Mantoux yang positif menempati nilai tertinggi. Hasil rontgen sugestif TB sekalipun, ternyata nilainya hanya 1.

Penting sekali memahami bahwa mendiagnosis TB pada anak tidak sama halnya dengan dewasa. Jangan mudah memberi vonis TB pada anak berdasarkan batuk lama dan berat yang irit naiknya. Jangan pula gunakan kata “flek paru” untuk menyatakan TB. Overdiagnosis TB, yaitu mendiagnosis dan mengobati TB pada anak yang sebenarnya tidak sakit TB, berpotensi menempatkan anak pada risiko efek samping obat TB dan resistensi antibiotik. Sebaliknya, underdiagnosis TB atau tidak mendiagnosis TB pada anak yang sebenarnya sakit TB, memungkinkan timbulnya TB berat, seperti meningitis (radang selaput otak) yang angka kematiannya tinggi.

Benarkah antibiotik yang dikonsumsi HARUS dihabiskan?

Benarkah antibiotik yang dikonsumsi HARUS dihabiskan?

Ya benar, BILA penyebab infeksinya adalah BAKTERI, bukan virus. Contohnya adalah infeksi saluran kemih akibat bakteri Eschericia coli. Antibiotik (AB) harus diminum selama 7 hari. Tetapi baru minum 2 hari keluhan sudah hilang dan AB distop. Padahal tidak semua bakterinya sudah mati. Nah, bakteri yang tersisa ini, meskipun tidak menyebabkan keluhan lagi, berpotensi memperbarui pertahanan dirinya menjadi bakteri "mutan" yang kebal alias resisten terhadap AB sebelumnya. Kelak, bila sekelompok bakteri E.coli generasi baru ini memperbanyak keturunannya dan menyebabkan sakit, mereka tidak akan mempan dengan AB generasi sebelumnya. Cilaka lah...

Contoh lain adalah pada sakit tuberkulosis alias TB yang harus minum kombinasi 2 sampai 4 antibiotik dalam kurun waktu 6 bulan. Kebanyakan setelah minum AB selama 2-4 minggu, penderita merasa sudah sehat, dan ada sebagian kecil yang menghentikan sendiri AB-nya. Padahal...bakteri Mycobacterium tuberculosis masih ada yang tersisa dan memperbanyak diri sebagai kuman yang "multi-drug resistant" atau MDR! Kalau sampai TB-nya kambuh dan MDR, waduh... angka kematiannya tinggi dan susah diobati! Belum kalau kuman-kuman MDR menyebar dan tertular ke orang sehat yang belum pernah sakit TB sebelumnya! Naudzubillah.

Ini adalah akibat dari penggunaan AB yang tidak rasional pada infeksi bakteri.

Nah. Pertanyaannya sekarang: bagaimana bila sakitnya karena infeksi virus seperti selesma/common cold dan diare akut tanpa darah, tapi diobati dengan AB. Haruskah dihabiskan AB-nya?


kita pahami bahwa bakteri yang resisten dan tidak mempan dengan berbagai jenis antibiotik berpotensi membahayakan umat manusia. Kami para dokter melihat ancaman ini salah satunya di ruang rawat intensif (ICU) dan ICU bayi baru lahir (NICU). Pasien yang sudah terbaring lemah karena mengalami sakit berat (makanya dirawat di ICU/NICU) dan menurun daya tahan tubuhnya positif terjangkit dengan bakteri yang resisten dengan antibiotik yang awalnya sudah diberikan. Kondisi pasien tidak kunjung membaik, dokter kebingungan mencari antibiotik yang "mempan", dan angka kematian di ICU/NICU meningkat. Superbug semacam inilah yang menjadi mimpi buruk bagi semua tenaga kesehatan di RS.

Kita kembali dulu ke pertanyaan di awal. Seorang anak mengalami infeksi virus semisal adenovirus, rinovirus, RSV, dan influenza yang menyebabkan infeksi saluran napas atas, atau infeksi rotavirus yang menyebabkan diare. Lalu dokter memberikannya AB. Antibiotik ini masuk ke dalam tubuh dan mencari: mana ya bakteri jahat yang bisa dibunuh? Lah, nggak ketemu. Kan si anak sakit akibat infeksi virus. Sehingga AB bertemulah dengan bakteri baik yang menghuni tubuh kita (silakan baca posting-an saya tentang diare), sang HUMAN MICROBIOME. Dibunuhlah si bakteri baik ini, yang paling sering di usus besar. Awalnya anak hanya batuk-pilek, gara-gara diberi AB, malah ditambah sakitnya menjadi mencret akibat dibunuhnya bakteri baik di usus.
Ini satu hal akibat buruk antibiotik yang digunakan secara tidak rasional.

Efek lainnya adalah: bakteri merupakan makhluk hidup yang secara alamiah berusaha bertahan hidup (survival of the fittest) dengan mekanisme memperbaiki pertahanan tubuhnya dan membentuk bakteri mutan generasi baru. "Saya kan bakteri baik, kok dibunuh dengan AB. Salah apa saya?" Mekanisme ini dapat mengganggu keseimbangan flora normal tubuh dan dapat menciptakan bakteri jahat. Khawatirnya, bakteri ini adalah salah satu bakteri resisten. Cilaka lagi ya...


Jadi kalau infeksinya karena virus dan diberi AB ya tidak perlu dihabiskan AB-nya. Kan infeksinya virus, AB-nya masuk dan mencari-cari mana ya bakteri jahat yang harus kubasmi? Daripada malah berlanjut membunuh bakteri baik ya dihentikan AB-nya. Tapi kalau karena infeksi bakteri ya harus diminum sesuai anjuran dokter.

So...ujung-ujungnya balik ke diagnosis. Lihat lagi posting saya tentang Tanya 3 Hal. "Dok, apa diagnosis anak saya (dalam bahasa medis, supaya kita juga bisa cross check di internet browser)?"
"Apakah karena infeksi bakteri sehingga harus diberi AB? Berapa lama harus diminum? Kalau masih demam juga setelah 3 hari minum harus diteruskan? Antibiotiknya tergolong spektrum sempit atau luas (apa pula ini ya? Hehe)"

Kalau infeksi saluran kemih ya diobati dengan AB.
Pneumonia berat ya diobati dengan AB.
Sepsis ya wajib dikasih AB.
Tuberkulosis malah harus 6 bulan AB-nya.
Strep throat juga pakai AB.
Difteri dan pertusis juga dikasih AB.

Baca-baca lagi ya...

Mengapa kampanye penggunaan antibiotik yang rasional tidak hanya ditujukan kepada tenaga medis, tetapi juga kepada masyarakat awam?

Saya dan kawan-kawan masuk ke dalam "dunia" edukasi kesehatan untuk masyarakat sejak hampir 10 tahun silam. Sebagai dokter, kami memutuskan untuk memilih masyarakat awam atau konsumen kesehatan sebagai target edukasi kami, khususnya orangtua. Topik-topik yang kami berikan adalah dasar-dasar ilmu kesehatan yang kami tahu dokter pun diajarkan saat masih duduk di bangku kuliah. Tetapi penyajiannya kami buat agar mudah dipahami mereka yang tidak punya latar belakang medis. Sudah ada guru-guru kami para staf pengajar di fakultas Kedokteran yang mendidik para dokter. Maka harus ada pula yang "mendidik" konsumen kesehatan. Nah, antibiotik adalah salah satu hal yang harus dipahami oleh para konsumen kesehatan. Mengapa? Karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat sudah terjadi di seluruh dunia dan sedemikian kompleksnya, sehingga berbalik mengancam kesehatan manusia. Maka semua elemen harus dilibatkan untuk menangani masalah ini. Tidak hanya penyedia layanan kesehatannya saja, tetapi juga konsumennya.

Ini alasannya mengapa penggunaan yang rasional (tepat indikasi dan kegunaan) harus dipahami oleh masyarakat. Mengajari dokter agar dapat meresepkan antibiotik secara rasional saja tidak cukup, konsumen pun harus diajari. Di sinilah kami mengambil peran. Saling melengkapi.

Dan kampanye ini pun berlangsung di seluruh dunia. Pernyataan berikut saya ambil dari film yang menceritakan bahayanya resistensi antibiotik akibat penggunaannya yang tidak rasional: "Resistance".

"Antibiotics were first massed-produced in the 1940s. Their ability to fight and kill bacteria revolutionized medicine and had profound effects on everything from agriculture to war. After less than 80 years, however, these miracle drugs are failing. Resistant infections kill hundreds of thousands of people around the world each year, and there are now dozens of so-called Superbugs each with its own challenges and costs. How did this happen?"

-resistancethefilm [dot] com

Tanyakan TIGA Hal ini ke Dokter Anda!

Satu hal yang seringkali saya tidak bisa jawab adalah ketika orangtua membawa anaknya berobat ke dokter lain, lalu ia bertanya hal-hal seputar kondisi anaknya via SMS/WA/messenger/e-mail:
"Anak saya sakit apa menurut Dokter?"
"Apakah saya perlu meminumkan obatnya?"
"Apakah anak saya perlu dibawa lagi ke Dokter?"

Jawaban saya singkat saja: "mengapa Ibu/Bapak bertanya ke saya? Kenapa tidak bertanya ke dokter yang memeriksa anak Ibu? Saya kan tidak periksa anaknya."
Atau: "maaf saya tidak bisa jawab karena tidak periksa anaknya".

Maaf...

Saya jadi bertanya lagi, kenapa Bapak/Ibu tidak menanyakan hal-hal tersebut ke dokternya saat masih di ruang periksa?

Dokternya tidak ramah? (ah, masa sih?)
Waktu konsultasi terlalu singkat? Atau apa?

Ada satu solusi yang mungkin bisa mengatasinya, yaitu: tanyakan tiga hal ini ke dokter Anda saat di ruang periksa, atau singkatnya " Tanya 3" (T3). Saya terjemahkan dari kampanye "ask 3 questions"

1. Apa diagnosis anak saya?

2. Apa pengobatan yang diberikan?

3. Kapan saya harus khawatir dan segera kembali membawanya ke dokter?


Ini penjelasannya:

1. Mintalah diagnosis dokter dalam BAHASA MEDIS, bukan bahasa semacam "radang tenggorok", "flek", "paru-paru basah", dan "tampek". Apakah: diare akut, selesma, flu, TB, pneumonia, bronkiolitis, dll.
Khawatir pasien tidak paham dengan istilah medis berbahasa latin ini? Ini manfaatnya:
Satu, penjelasan dokter mengenai diagnosis dalam memudahkan pasien mencari informasi lebih lanjut akan penyakitnya di media semacam internet. Pasien dapat menggali sendiri informasi yang tidak didapatkannya di ruang periksa karena keterbatasan waktu.
Kedua, dokter tetap menjelaskan diagnosis ini dalam bahasa yang mudah dipahami pasien tentunya.

2. Dokter tidak sekedar menulis resep, tetapi juga menjelaskan apa saja obat yang diberikan, dosis, cara pakai, dan kemungkinan efek sampingnya. Bahkan, dalam banyak kasus yang saya hadapi sehari-hari dan tidak ada obat yang diresepkan pada akhirnya, NASEHAT MEDIS saja adalah salah satu bentuk TERAPI.

Kunjungan ke dokter tidak harus selalu berakhir dengan peresepan obat, bukan?

3. Nah, ini tidak kalah penting. Kadang hal ini juga terlewat saat konsultasi dengan dokter. Inilah pentingnya orangtua mempelajari dasar-dasar penyakit anak, minimal kondisi-kondisi gawat darurat pada anak. Medianya sudah banyak, bukan? Buku, situs internet, dll.

Semoga bermanfaat.

Mengenal sosok di dalam badut yang kita temui di pinggir jalan

Bekerja di sebuah RSUD memungkinkan saya menemui banyak orang dari berbagai kalangan, yaitu para orangtua yang membawa anak-anaknya berobat. Kadang sambil menulis status dan resep, saya mengobrolkan hal-hal yang tidak terkait dengan kondisi penyakit anak mereka.
"Ini anak ke berapa, Bu?"
"Anak kedua. Anak pertama saya sudah kuliah." Sang Ibu menyebutkan nama sebuah sekolah tinggi yang cukup diminati di Jakarta. Anak pertamanya masih menempuh pendidikan diploma 3 di institusi pendidikan itu.
"Nggak apa-apa ibunya jadi badut, yang penting anaknya bisa kuliah," si Ibu menambahkan.
"Ah, Ibu bisa aja," saya menanggapi. Apa pula maksudnya ibu ini menyebutkan dirinya badut. Ia mempunyai sifat dan perilaku seperti badut?
Mungkin merasa saya tidak mengerti maksudnya, ia meneruskan, "Iya, saya bekerja sebagai badut di Taman Mini."
Saya memandangnya lagi. Seorang ibu berusia paruh paya yang mengenakan jilbab. Saya menggali ceritanya lagi. Ia dan beberapa temannya bekerja dalam beberapa shift. Kostumnya pun ada beberapa macam. Tugasnya adalah menghibur anak-anak. Penghasilan mereka berasal dari orang-orang yang sukarela memberikan uangnya. Apabila sedang tidak bekerja sebagai badut, ia berdagang asongan minuman. Alhamdulillah, anak pertamanya bisa menempuh pendidikan hingga bangku kuliah.
Kemarin kami sekeluarga berkendaraan melewati jalan-jalan di seputaran Taman Mini. Kebetulan kami tinggal tidak jauh dari tempat wisata ini. Di sekitar lampu merah dekat terowongan, tidak jauh dari pintu masuk Taman Mini, beberapa orang yang mengenakan kostum boneka Winnie the Pooh, Doraemon, Angry Birds, dan Hello Kitty melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara yang terhenti sejenak menunggu lampu hijau menyala. Mereka hanya menyapa dari sisi jalan, tidak berusaha menghampiri kendaraan untuk meminta uang layaknya pengemis. Mungkin sebagian orang berpikir badut-badut ini hanyalah ingin menghibur anak-anak yang berada di dalam mobil saja, tetapi mereka sebenarnya sedang mencari nafkah.
Anak bungsu saya kebetulan sangat menyukai Doraemon. Ketika jendela mobil dibuka dan selembar uang disodorkan kepada badut berkostum Doraemon, tampaklah sesosok ibu berjilbab dari balik lubang angin kostum tersebut mengucapkan terima kasih. Mungkin saja ini ibu dari pasien yang pernah saya temui di RS. Atau bisa jadi sosok-sosok lain di dalam kostum badut ini sesungguhnya adalah para ibu, bukan kaum pria saja.
Terima kasih sudah menghibur anak-anak kami, ibu-ibu berkostum badut.

Anak diare tidak boleh makan sayur? Kapan harus pakai antibiotik?

Benarkah bila anak diare tidak boleh makan sayur dan susunya harus diencerkan?

Beberapa hari terakhir kasus diare lebih sering saya jumpai di poliklinik. Di IGD dan ruang rawat pun, rasanya tiada hari tanpa diare. Bila seluruh orangtua yang datang membawa anaknya yang diare dan ditanyakan: apa yang paling mereka inginkan, jawaban utamanya kemungkinan cuma satu: agar diarenya cepat mampet! Bagaimana cara mempercepat penyembuhan pada diare? Jujur, saya tidak tahu jawabannya. Jadi apabila orangtua bertanya pada saya: apa obatnya agar diare cepat berhenti? Maka jawab saya: tidak tahu.

Diare atau mencret alias muntaber (muntah dan berak-berak) adalah ketika konsistensi tinja lebih cair dan lebih banyak air dibandingkan dengan ampasnya. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari infeksi, keracunan makanan, alergi makanan, hingga intoleransi laktosa. Jadi tidak semua penyebab diare adalah sama. Tetapi, PENYEBAB TERSERING diare pada anak adalah INFEKSI VIRUS.

Apa saja hal-hal yang harus orangtua kenali dari diare?

1. Pada hakekatnya, diare (dengan atau tanpa muntah) adalah upaya tubuh untuk mengeluarkan hal-hal yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuh, misalnya virus dan bakteri. Ini pula mungkin sebabnya tidak ada obat yang efektif menghentikan diare, dan memang diare tidak perlu distop! Karena diare adalah bentuk pertahanan tubuh mengeluarkan kuman. TETAPI, dalam proses mengeluarkan kuman inilah anak dapat mengalami DEHIDRASI alias kekurangan cairan tubuh, bahkan bisa berujung pada kematian. Maka, pada diare, hal TERPENTING adalah mencegah dan mengatasi dehidrasi. Bukan menyetop diare atau muntahnya. Caranya: ya kasih minum, minum, dan minum. Bila tidak terkejar dari minum dan anak sangat sulit diberi minum, pemberian cairan lewat selang lambung (NGT) dan infus mungkin diperlukan.

2. Bolehkah memberi obat penghenti diare pada anak, semisal: kaolin dan pektin, atapulgit, dihidrosmektin, dan loperamid? Jawabannya: mulai dari tidak perlu (karena tidak bermanfaat) sampai tidak boleh (karena efek samping yang membahayakan). Lalu apa obatnya? Cairan, utamanya larutan gula-garam semisal oralit dan cairan rehidrasi oral (CRO) lain yang ujung-ujungnya berakhiran "lyte". Bukankah anak tidak suka karena rasanya aneh? Ya berikan sedikit-sedikit dengan sendok. Tidak suka juga! Perbanyak terus minumnya, yang masih dapat ASI diteruskan ASI-nya.
Tapi anaknya tidak mau makan karena muntah dan mual? Kalaupun menolak makanan sesuap pun, perbanyak terus minumnya. Karena anak yang dehidrasi cenderung lebih haus. Kecuali dehidrasi berat yang sudah sulit minum dan harus dirawat di RS.
Perlukah pemberian probiotik? Sampai saat ini, selain CRO, terapi yang direkomendasikan oleh WHO adalah suplementasi zinc (seng) untuk diare akut. Probiotik belum masuk rekomendasi WHO untuk pengobatan diare akut yang utamanya disebabkan oleh infeksi virus. Probiotik mungkin bermanfaat untuk diare yang disebabkan oleh pemberian antibiotik (antibiotic associated diarrhea).

2. Kata nenek, kalau diare tidak boleh makan sayur. Dan kalau minum susu harus diganti dg yang low lactose milk (LLM) atau free lactose (FL). Kalau masih diberikan susu dan sayurnya diteruskan, maka diarenya berkepanjangan. Padahal anaknya maunya minum susu dan masih mau makan sayur.

Ada yang pernah dengar pernyataan di atas?


Jadi... kalau anak sedang diare itu... tetap boleh diberikan makan sayur dan diteruskan pemberian susunya.

Loh, bukannya nanti tambah mencret? Ingat, di awal posting sebelumnya, saya sampaikan bahwa mayoritas diare akut pada anak disebabkan oleh infeksi virus, bukan intoleransi laktosa atau malabsorpsi karbohidrat/lemak/protein. Bahasan tentang intoleransi, malabsorpsi, dan alergi makanan tidak saya sampaikan di sini, secara umum diarenya melanjut (bukan akut).

Perhatikan, pada anak yang diare, bukan sekedar risiko dehidrasi yang terjadi, tetapi juga malnutrisi (kekurangan zat gizi). Kita perhatikan anak-anak yang diare susah sekali makannya. Bisa karena mual, atau nafsu makan memang turun. Apabila anak-anak ini sudah susah makan/minum dan masih ditambah adanya pantangan makan dari orangtua, bayangkan makin sedikit nutrisi yang mereka dapatkan. Maunya makan nasi, dipaksa makan bubur. Maunya minum susu dan tidak mau air putih, dilarang minum susu. Maunya makan sayur dan sop, dipantang. Jadi, ubahlah paradigma lama ini.
Tentu halnya berbeda ya bila anaknya diare karena intoleransi laktosa. Tapi ciri-cirinya kan beda dengan diare akibat rotavirus.


Kapan diare diberikan antibiotik?

Salah satu yg kadang membuat saya sedih adalah beberapa kali saya mendapatkan anak yang mengalami diare akut, apapun penyebabnya, langsung diresepkan antibiotik oleh dokter. Biasanya jenisnya cotrimoksasol.

Apa kira-kira alasannya?

Perlu ditegaskan lagi bahwa mayoritas diare akut pada anak (dewasa sebenarnya juga kurang lebih sama) yang disebabkan oleh infeksi adalah karena infeksi virus, bukan bakteri. Mayoritas penyebab diare akut pada anak adalah rotavirus, dan sebagian kecil lain seperti norovirus dan adenovirus. Tentunya antibiotik tidak diperlukan. Justru pemberian antibiotik pada diare akibat infeksi virus dapat mematikan bakteri baik di dalam usus besar kita.

Analogi yang diajarkan guru saya adalah: antibiotiknya masuk dan mencari-cari mana bakteri yang bisa dibunuh? Eh, ketemunya bakteri baik. Jadi dibunuhlah si bakteri baik ini dan yang terjadi adalah: diare berkepanjangan. Maka dikenal istilah: antibiotic associated diarrhea (AAD).

Tubuh kita ternyata adalab kebun binatang raksasa. Jumlah bakteri baik penghuni tubuh kita bahkan lebih banyak 10 kali lipat dari jumlah sel penyusun tubuh! Ilmuwan menyebutnya sebagai HUMAN MICROBIOME. Dan sebagian besar bakteri baik penghuni tubuh kita ini bersemayam di usus.

Allah memang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan. Termasuk kenapa bakteri baik ini harus ada. Kita sudah belajar biologi sejak SMP dan tahu bakteri Eschericia coli penghuni usus kita ini berfungsi membantu produksi vitamin K dan menjaga pencernaan tetap sehat.

Lalu bagaimana mengetahui diarenya karena infeksi bakteri, bukan infeksi virus?


(bersambung?)

Tanya jawab seputar pemberian obat penurun panas (antipiretik)

1. Benarkah antipiretik diberikan bila suhu badan anak di atas 38 derajat selsius?
Ya, obat pereda demam atau antipiretik semacam parasetamol dapat diberikan ketika anak demam, yaitu suhunya di atas 38. Tetapi banyak ahli bersepakat saat ini pemberian antipiretik sebenarnya lebih bertujuan untuk membuat anak merasa nyaman (tidak rewel), bukan segera menurunkan suhu badan. Artinya: katakanlah suhu anak 39 derajat selsius, tetapi masih bisa bermain dan berjalan-jalan, tidak rewel, maka tidak perlu buru-buru memberikan antipiretik. Toh demam diciptakan untuk memerangi infeksi agar cepat sembuh.

2. Bukankah bila tidak segera diberikan antipiretik, anak akan berisiko mengalami kejang demam?
Untungnya tidak. Tidak ada hubungan antara tingginya suhu tubuh dengan risiko kejang demam. Kejang demam (KD) hanya dialami oleh mereka yg memiliki "bakat" untuk terjadi KD. Bila tidak punya "bakat", suhu di atas 40 derajat selsius pun tidak menjadi KD. Lagipula, kejang demam (bukan meningitis/ensefalitis ya) tidak merusak otak.
Fakta lainnya adalah: antipiretik tidak dapat mencegah terjadinya KD pd mereka yg mempunyai bakat.

3. Bagaimana bila anak tidak mau minum antipiretik saat demam? Haruskah kita memaksanya?
Wah, hal yg serupa ternyata juga terjadi pada anak-anak saya. Jika dipaksa minum, malah dimuntahkan. Lalu ia menangis karena kesal. Terjadilah perang kecil. Hehe. Buat saya, filosofi anak menolak minum obat penurun panas adalah: ia menolak (tanpa disadarinya) tubuhnya segera dinyamankan dengan minum obat. Meskipun seringkali juga antipiretik tidak berhasil menurunkan suhu dan menyamankan anak. Toh, tanpa diberikan antipiretik apapun, tubuh akan menurunkan sendiri suhu tubuhnya. Kita memiliki termostat di hipotalamus yg mengatur suhu tubuh tidak " bablas" ketinggian. Pada suhu maksimal tertentu, tubuh akan menurunkan sendiri demamnya.
Yah...akhirnya selama demam dan ia tidak nyaman plus tidak mau minum obat, kita nyamankan dengan cara menggendongnya, memeluknya, membacakannya cerita, dan memastikan cukup minum. Karena yg dikhawatirkan pd demam sesungguhnya adalah dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) karena terbuang oleh panas.


4. Benarkah pemberian antipiretik dari dubur dibolehkan, apabila anak tidak mau minum obat? Dan benarkah pemberian antipiretik supositoria ini lebih cepat meredakan demam?
Inilah yg namanya FEVER PHOBIA! Takut ya sama demam? Hehe.
Seingat saya, penelitian menunjukkan pemberian antipiretik lewat dubur (supositoria) tidak lebih efektif dibandingkan dengan obat minum dalam meredakan demam. Selain itu, kebanyakan anak tidak suka dan mengalami trauma psikologis bila diberikan obat lewat dubur. Lalu kapan obat seperti ini dapat diberikan? Misalnya pd anak-anak dengan hiperpireksia yg dirawat di RS, dengan kecurigaan infeksi susunan saraf pusat, dan/atau ada kontraindikasi pemberian obat minum, padahal tingginya suhu harus diatasi.


5. Saat anak saya tidur, saya meraba dahinya panas sekali. Lalu saya ukur suhunya 40°C! Bolehkah saya membangunkannya supaya dia minum obat? Atau saya masukkan obat dr dubur saja? Saya takut anak saya kejng saat tidur...
Sudah kita bahas alasan-alasan sebelumnya ya  Anak yg sedang demam karena sakit cenderung kurang istirahat karena tidak nyaman badannya. Maka ketika ia sedang tidur, jangan dibangunkan hanya "sekedar" untuk memaksanya minum obat. Biarkan ia beristirahat. Toh artinya ia sedang tidak rewel juga kan.

6. Benarkah pemberian ibuprofen lebih baik dlm meredakan demam dibandingkan dengan parasetamol?
Ternyata tidak juga. Malah ibuprofen lebih cenderung memberikan efek samping mengiritasi lambung. Parasetamol juga bukannya tanpa risiko. Pemberian yg overdosis dapat merusak hati (liver).

7. Benarkah dosis obat parasetamol diberikan sesuai usia yg tertera di kemasan obat?
Ternyata seharusnya tidak seperti ini! Dosis obat, termasuk parasetamol, diberikan sesuai berat badan, bukan usia. Bisa saja seorang anak mengalami overweight atau sebaliknya underweight, sehingga beratnya tidak sama dengan anak-anak sebayanya. Bisa saja obat yg diberikan malah underdosis atau bahkan overdosis. Sepatutnya orangtua tahu cara menghitung dosis obat secara sederhana, misalnya saja dosis parasetamol adalah 10 sampai 15 miligram per kilogram berat badan per kali pemberian. Lalu tinggal dikonversi kepada mililiter yg berlaku di sediaan obat.
Semoga bermanfaat.

Leukosit tinggi! Apa yang ditakutkan?

"Dok, anak saya tinggi lekositnya. 22 ribu. Saya sudah ke dokter anak lain sebelumnya dan diresepkan antibiotik. Apakah harus diminum?" Ibu di hadapan saya bertanya dengan wajah yang panik.
"Ngomong-ngomong, apa keluhan anaknya Bu?" tanyaku. Ia lalu menjelaskan bahwa anaknya sudah demam 3 hari dan batuk-batuk. Anaknya masih relatif aktif. Tetapi karena demamnya belum pernah selama ini, ia lalu membawa anaknya ke dokter dekat rumah dan diperiksakan darahnya. Hasilnya: lekosit tinggi dan diresepkan antibiotik.
"Ibu sudah bertanya ke dokter sebelumnya, apa alasannya diberikan antibiotik?" tanyaku lagi.
"Sudah, karena lekositnya tinggi." jawabnya

Di lain cerita, ada lagi yang mengeluhkan: "Dok, anak saya demam dan diare sudah 4 hari. Lekositnya 40 ribu. Saya sudah ke dokter di RS dan disarankan untuk dirawat, untuk mendapatkan infus antibiotik. Kata dokter, lekosit setinggi ini harus mendapatkan antibiotik suntik."

Benarkah demikian? Lekosit tinggi berarti infeksi bakteri, dan bakteri harus dibunuh dengan antibiotik? Lalu makin tinggi nilai lekosit, maka makin membahayakan tubuh, sehingga harus dirawat dan mendapat antibiotik suntik?

Ada beberapa hal yang ingin saya komentari.

Pertama, dokter mengobati pasien (baca: orang alias manusia), bukan mengobati hasil laboratorium. Maka yang harus dinilai pertama kali dan yang paling utama adalah: bagaimana keadaan klinis pasien? Tampak sakit berat? Masih aktif, walau lebih lemah? Masih bisa minum? Frekuensi pipis masih normal? Nah, pemeriksaan laboratorium dibutuhkan sebagai penunjang. Untuk makin meyakinkan apa sebenarnya diagnosis pasien. Bahkan, apabila wawancara terhadap pasien ditambah dengan pemeriksaan fisiknya sudah cukup untuk menyimpulkan diagnosis, maka pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan. Satu lagi, apabila ada ketidakcocokan antara kondisi klinis pasien dengan hasil laboratorium, maka yang lebih dipercaya adalah orangnya, bukan labnya. Ini yang saya pelajari dari guru-guru saya. Diagnosis adalah formulasi dari anamnesis (wawancara medis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang). Terapi ditentukan oleh diagnosis. Apabila infeksi bakteri, maka membutuhkan antibiotik, dan bila infeksi virus, maka tidak butuh.

Kedua, sayangnya nilai leukosit seringkali tidak mampu membedakan antara infeksi virus dengan bakteri. Nilai lekosit tinggi yang mencapai puluhan ribu bisa disebabkan oleh baik infeksi virus maupun bakteri.
Beberapa pemeriksaan tambahan memang bisa dilakukan untuk membantu membedakan, misalnya hitung jenis yang segmenter, c-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin (PCT). Tapi tetap saja masing-masing mempunyai keterbatasannya dan klinis adalah nomor 1.

Ketiga, kembali lagi kepada prinsip mengapa lekosit naik pada infeksi? Leukosit atau sel darah putih dibentuk sebagai tentara pertahanan tubuh kita. Jadi bila tubuh kita diserang kuman, maka sangat wajar tentaranya keluar dalam jumlah banyak untuk memerangi musuh. Lekosit yang naik justru menandakan sistem imun kita masih bekerja.

Terakhir, ada kondisi-kondisi tertentu lekosit yang tinggi menandakan kegawatdaruratan. Namanya: hiperlekositosis. Nilai lekosit naik melebihi 100 ribu sel per mikroliter. Klinis pasiennya dicurigai mengalami leukemia atau kanker sel darah putih. Maka jumlah lekosit yang sangat tinggi ini sesungguhnya didominasi oleh lekosit muda (blast) yang abnormal, alias sel kanker. Tentunya kondisi pasien tidak semata dengan lekosit tinggi saja, tetapi ada pucat disertai hemoglobin yang turun, pembesaran hati dan/atau limpa, dan trombosit turun juga. Ada penekanan terhadap sumsum tulang yang membuat semua fungsi produksi sel darah menurun. Kondisi hiperlekositosis adalah keadaan gawat darurat yang harus segera ditangani.

Jadi, tidak semua lekosit yang tinggi harus dianggap infeksi bakteri kan?

Catatan: ada pula yang mendefisinikan hiperlekositosis sebagai nilai lekosit di atas 50 ribu. Lagi-lagi, yang terpenting adalah: bagaimana kondisi klinis pasien

Croup: Apakah Itu?

Kemarin, untuk kedua kalinya saya mendapatkan kasus croup. Apa pula itu? Saya belum mendapatkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun datang dengan batuk yang terdengar "menggonggong" dan terlihat lebih sesak sejak malam sebelumnya. Anaknya masih aktif, mau makan dan minum, dan mengalami batuk pilek sejak tiga hari sebelumnya. Kebetulan tidak ada demam, tetapi napasnya terlihat cepat.

Bronkiolitis. Diagnosis ini yang terlintas di "snap judgement" saya. Memeriksa anak tidak semudah orang dewasa yang kooperatif. Kadang urutan pemeriksaan dari anamnesis, lalu pemeriksaan fisik di tempat tidur tidak selalu berjalan mulus. Anak yang sesak jangan sampai dibuat menangis, karena akan mengacaukan penilaian hitung frekuensi napasnya dan melihat tarikan dinding dadanya. Apabila direbahkan di tempat pemeriksaan, anak hampir dipastikan akan menangis.

Untuk itu, sambil bertanya-tanya kepada orangtuanya, anak diminta untuk dibukakan bajunya, agar dapat dilihat gerakan napasnya. Mendengarkan bunyi napas dengan stetoskop pun dilakukan sambil menghampiri anak yang masih digendong. Ternyata rapid assessment saya salah. Saya tidak mendengarkan bunyi mengi (wheezing) ataupun ronki. Anak mulai terbatuk-batuk sambil menangis, karena takut diperiksa. Barking cough. Ini croup.

Pemeriksaan lain tidak menunjukkan adanya masalah. Rongga mulutnya lapang, tidak ada "radang tenggorokan". Kelenjar getah bening leher tidak teraba membesar. Tidak ada alasan untuk menyimpulkan ini adalah infeksi bakteri yang membutuhkan antibiotik.

Edukasi kepada orangtua dilakukan sambil sama-sama membacahttp://m.kidshealth.org/parent/infections/lung/croup.html dari ponsel. Artikel ini meyakinkan kepada orangtua bahwa croup murni disebabkan oleh virus (parainfluenza/RSV) dan tidak butuh antibiotik. Karena croup yang dialami anak ini ringan, maka tidak membutuhkan obat tambahan seperti steroid atau inhalasi adrenalin. Gejala diharapkan mereda dalam 3-7 hari mendatang.


diambil dari Fanpage Orangtua Cermat, Anak Sehat di https://www.facebook.com/pages/Orangtua-Cermat-Anak-Sehat/

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...