Monday, May 25, 2015

Sekilas Kejang Demam

Akhir pekan lalu, dalam satu hari saya mendapatkan 3 anak berusia 2-4 tahun yang datang ke IGD dengan kejang demam. Semuanya dirujuk untuk dirawat. Berbahayakah kejang demam? Apakah harus dirawat?
1. Secara garis besar, ada 2 kondisi yang ditandai dengan kejang disertai demam, yaitu:
- kejang demam, yang umumnya tidak merusak otak sama sekali, dan
- infeksi susunan saraf pusat (SSP), yang sering saya bahasakan sebagai "infeksi otak", dan sangat potensial merusak otak
2. Apa bedanya? Kejang demam adalah kejang yang disebabkan oleh demamnya (suhu > 38 derajat selsius). Sedangkan infeksi SSP yang ditandai dengan kejang dan demam, penyebab kejangnya adalah infeksi kuman (virus/bakteri/lainnya) di dalam SSP. Infeksi ini juga ditandai dengan gejala demam.
3. Bagaimana membedakannya? Kejang demam paling lama berhenti sendiri dalam 15 menit (jarang sekali sampai selama ini). Setelah kejang anakpun kembali sadar dengan sendirinya.
Pada infeksi SSP seperti meningitis dan ensefalitis, kejang bisa berlangsung lebih dari 15 menit, dan pasca kejang anak cenderung tidak sadar. Kejang juga sering berulang dalam waktu yang berdekatan.
4. Kejang demam yang sebenarnya tidak berpotensi merusak otak ini pun dibagi 2, yaitu kejang demam sederhana (kejang < 15 menit, tidak berulang) dan kejang demam kompleks (kejang > 15 menit, berulang dalam 24 jam).
5. Hal TERPENTING nomor 1 adalah: tahu kapan harus membawa anak ke dokter/RS terdekat. Yaitu ketika: kejang berlangsung lebih dari 5 menit, dan setelah kejang anak tidak sadar. Begitu juga dengan kejang untuk pertama kalinya.
6. Hal TERPENTING nomor 2 adalah: tahu apa yang dilakukan ketika kejang terjadi. Yaitu:
- miringkan posisi badan anak (agar tidak tersedak bila saat kejang anak sedang makan/minum)
- jangan masukkan apapun ke dalam mulut! Apakah itu sendok, kayu, atau jari tangan kita, dengan alasan khawatir lidah tergigit lalu putus! Tidak pernah ada laporan lidah putus karena anak kejang. Bagaimana bila justru jari kita yang terluka karena anak menggigitnya atau sendok yang kita masukkan patah? Bahaya baru. Apalagi yang meminumkan kopi kepada anak yang kejang!
- lihat jam! Bila kejang berhenti dengan sendirinya sebelum 5 menit, umumnya aman. Bila sudah 5 menit tak kunjung usai, segera bawa ke dokter terdekat.
- tetap tenang dan berdoa agar kejang segera berakhir
Lalu apakah perlu pemberian diazepam lewat dubur saat anak kejang? Apakah pemberian obat penurun panas dapat mencegah kejang? Apakah kejang harus dirawat? Dan makin tinggi suhu maka makin tinggi risiko kejang?

Satu hal yang perlu ditekankan adalah: kejang demam terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Apa artinya? Bila kejang disertai demam terjadi pertama kali pada usia sebelum 6 bulan, maka hati-hati, apakah ini memang kejang demam? Atau justru infeksi SSP?
Di sisi lain, anak-anak yang pernah mengalami kejang demam berulang, ketika umurnya sudah mencapai 5 tahun, maka orangtua seharusnya merasa lebih tenang. Karena risiko kejang demam sudah sangaat jauh berkurang. Bahkan jika anak-anak berusia di atas 5 tahun masih mengalami kejang demam, maka konsultasikan segera ke dokter.

Satu kalimat yang hampir selalu saya ulang saat menjelaskan kejang demam pada orangtua adalah: "sampai demamnya reda, apakah dalam 3 atau 5 hari, insya Allah kejang tidak akan berulang lagi. Tapi kapanpun itu sebelum umurnya 5 tahun, ketika 2 bulan atau 5 bulan lagi ia mengalami demam, maka kejang demam bisa saja berulang. Tapi insya Allah tidak merusak otak." Yang penting orangtua tahu kapan harus segera membawa anak ke dokter dan tahu apa yang harus dikerjakan saat anak kejang.
Apakah kejang demam dapat dicegah dengan pemberian obat penurun panas segera? Ketika seorang anak pernah mengalami kejang demam untuk pertama kalinya, maka pada episode-episode demam berikutnya, orangtua hampir pasti segera memberikan penurun panas saat suhu badan anak mencapai 38 derajat selsius. Bahkan tidak jarang yang memberikan obat penurun panas lewat dubur, dengan asumsi demam akan lebih cepat turun dibandingkan dengan obat yang diminum.
Jawabannya adalah: tidak. Obat penurun panas sayangnya tidak dapat mencegah kejang demam, berdasarkan hasil penelitian.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kejang demam? Beberapa penelitian menunjukkan obat anti kejang semacam diazepam dapat mencegah kejang saat demam. Meskipun sebagian ilmuwan lain tidak menyukai pemberian diazepam sebagai obat pencegah kejang demam. Karena diazepam mempunyai efek samping membuat anak mengantuk, sehingga sulit menilai anak mengantuk karena efek samping obat atau karena penyakitnya? Padahal gejala-gejala yang dialami saat anak sakit akan memberi petunjuk kepada diagnosis dan terapinya.

Terakhir: perlukah antibiotik? Jawabannya adalah tergantung penyebab demamnya. Mayoritas kejang demam terjadi di hari pertama demam, ketika diagnosis belum jelas. Mungkin di hari ketiga atau kelima baru akan terjawab: ternyata anak akhirnya mengalami selesma, atau roseola, atau demam Dengue, yang semuanya disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Atau malah demamnya karena infeksi saluran kemih yang membutuhkan antibiotik. Ketenangan orangtua dan kesabaran mengobservasi kondisi anak menjadi kata kuncinya.

Sunday, May 24, 2015

Tiga Alasan Menolak Imunisasi

Bila merunut pada alasan mengapa orangtua tidak mau anaknya diimunisasi, sebenarnya pemikiran "anti-imunisasi" atau "anti-vaksin" bukanlah satu-satunya penyebab. Saya menyimpulkan ada tiga hal utama yang saya jumpai di ruang praktik.
1. Orangtua khawatir anaknya mengalami demam setelah diimunisasi. Faktor ini pula yang masuk dalam analisis survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 oleh Kemenkes, yang saya kutip di buku saya "Pro Kontra Imunisasi". Pada kenyataannya, kadang orangtuanya bersedia anaknya diimunisasi, tetapi sang nenek yang tidak mau dengan alasan ini (mungkin karena si ibu bekerja ya, jadinya si nenek yang harus menghadapi rewelnya cucu ketika demam. Hehe).
Padahal faktanya demam belum tentu terjadi setelah imunisasi (hanya imunisasi DPT yang paling tinggi potensi demam pasca imunisasi, meskipun tidak selalu, dan ini hanya satu dari sekian banyak vaksin lain yang jarang "buat demam"). Demam yang terjadi juga biasanya hanya sesaat, dan jarang terjadi kejang demam yang sebenarnya tidak "merusak otak". Silakan baca pembahasan saya terdahulu tentang demam.
2. Petugas kesehatan tidak mau mengimunisasi anak yang mengalami batuk-pilek dengan/tanpa demam ringan. Ini adalah salah satu salah kaprah tersering yang membuat anak tertunda imunisasinya. Ia sudah datang ke Puskesmas atau dokter/bidan untuk diimunisasi, tetapi karena sedang sakit selesma, ia diminta pulang dan kembali untuk imunisasi bila sudah sehat. Jelas bahwa selesma sama sekali bukan halangan imunisasi. Terlambat diimunisasi justru berisiko membuat anak "keburu" sakit campak dan pertusis beneran.
3. Pemikiran anti-vaksin, yaitu menolak imunisasi karena alasan yang sudah sama-sama kita ketahui dan bahas di media sosial (isu halal-haram, mengandung bahan berbahaya, dan lain-lain)

Alhamdulillah alaa kulli haal

Mungkin saat ini Anda sedang sedih karena anak Anda sedang mengalami demam sudah dua hari. Suhunya mencapai 40 derajat selsius. Ia terbaring lemah, tidak mau makan. Dokter barusan menyatakan harus dirawat inap. Anda pun berpikir "pindahkan saja penyakit anakku ini. Biar aku saja yang mengalaminya". Ya Tuhan, kenapa anakku harus sakit? Mungkin pikiran ini terlintas di dalam benak.
Cobalah mampir ke tempat kami di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Anda dapat menjumpai seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan berat badan hanya 15 kg. Ya, gizi buruk. Awalnya ia mengalami tuberkulosis (TB) paru yang putus pengobatannya. Ibunya telah meninggal beberapa tahun lalu. Ayahnya sibuk mencari nafkah sebagai kuli bangunan, sehingga kadang sulit mencari waktu untuk kontrol berobat anak semata wayangnya. Selama menunggui anaknya dirawat di RS, si ayah tidak bekerja. Sewa kontrakan rumahnya sudah 2 bulan tidak dibayar.
Temui juga seorang gadis berusia 8 tahun dengan gizi buruk lainnya. Ia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya baru saja meninggal. Apa artinya? Ibunya seorang janda beranak 4 tanpa penghasilan tetap. Gadis ini mengalami kelainan katup jantung bawaan sejak lahir, tetapi baru dibawa berobat untuk mengetahui sakitnya setahun silam. Defek septum ventrikel besar namanya. Ibunya harus bolak balik ke RS untuk membawa anaknya kontrol dan mengatur waktu meninggalkan 3 anaknya yang lain.
Anda juga bisa menjumpai seorang bocah laki-laki berusia 4 tahun yang terbaring karena meningitis TB. Awalnya ia adalah seorang anak yang tumbuh dan berkembang normal sesuai usianya. Tiba-tiba demam dialaminya selama kurang lebih seminggu dan berlanjut dengan kejang. Hasil CT scan kepala menunjukkan pengumpulan cairan di sekitar jaringan otak (hidrosefalus). Kini ia hanya terbaring kaku dengan kejang yang masih berusaha dikendalikan. Palsi serebral. Ayahnya seorang tukang permak "Levis" keliling. Ibunya sedang hamil besar sambil menunggui anaknya yang sakit. Kadang saya khawatir si ibu melahirkan tidak lama lagi saat sulungnya masih dirawat. Sebelum ia mempunyai BPJS kesehatan, orangtuanya harus menanggung biaya cukup besar untuk perawatan di ruang rawat intensif. Bayangkan saja kesanggupan mereka dengan penghasilan sebagai penjahit keliling.
Di poliklinik pun tidak jauh berbeda. Seorang gadis berusia 9 tahun yang tampak seperti balita karena kecilnya postur tubuh dan kepala yang besar. Hidrosefalus. Tetapi karena baru datang di usia yang sudah besar, tindakan pembedahan sudah tidak membantu. Upaya mengoptimalkan perkembangannya salah satunya dengan fisioterapi. Ketika disarankan menggunakan kursi roda khusus untuk penyandang palsi serebral yang tidak ditanggung BPJS pembiayaannya, si ibu mencari informasi harganya. Tidak mahal. "Hanya" 2 jutaan. Apa reaksi si ibu? "Saya belum pernah melihat uang sebanyak itu!"
Suaminya bekerja sebagai tukang parkir. Mungkin wajar bila ia belum pernah melihat uang tunai sejumlah itu.
Masih banyak kisah lain yang bisa kami ceritakan. Teman-teman sejawat di RSUD lain dan RSU Pusat pastinya mempunyai segudang kisah yang tidak lain hanya membuat kita mengucap syukur.
Atas segala hal yang kita alami saat ini. Alhamdulillah alaa kulli haal.

Mengapa jangan puyer?

Sepertinya untuk sebagian orangtua puyer masih menjadi obat andalan yang diharapkan bisa diresepkan oleh dokter saat berobat. Kalau obatnya sirup, ngapain musti ke dokter spesialis anak? Kan bisa beli sendiri di apotek. Kadang tanpa resep bahkan. Sudah berobat ke bidan dan dokter di Puskesmas belum sembuh juga, masa' berobat ke dokter spesialis masih dikasih obat sirup juga?
(Diriku yang kadang bingung menghadapi orangtua yang "memaksa" minta obatnya berupa puyer racikan, supaya anaknya cepat sembuh)
Apa pelajaran yang bisa diambil?
1. Edukasi dan kampanye rational use of medicine (RUM) yang pertama kali digulirkan WHO harus terus dikerjakan
2. Edukasi bahwa memang berobat ke dokter pastinya supaya anaknya cepat sembuh (siapa orangtua yang tidak ingin anaknya cepat sembuh), tetapi yang terpenting menjelaskan bahwa tiap penyakit punya "perjalanan alamiah"-nya sendiri-sendiri, sehingga lama sembuhnya bervariasi. Maka bersabarlah...
3. Jangan memiliki pola pikir "pulang dari dokter harus bawa obat". Kalau tidak bawa obat ya tidak sembuh. Tapi mengubah pola pikir jadi "nasihat dan penjelasan dokter mengenai diagnosis dan terapi penyakit adalah bentuk obat juga".

Sedikit tentang diare

Sebagai panduan sesuai guideline WHO dan yg biasa saya praktikkan: bila diarenya akut dan tidak disertai darah (berlendir sekalipun), maka umumnya tidak butuh antibiotik. Tapi bila diare disertai darah (namanya disentri), dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh bakteri/amuba dan antibiotik dipertimbangkan.
Sebenarnya perlu/tidaknya pemberian antibiotik bukanlah hal yg paling urgen, tetapi yg paling urgen adlh: dehidrasi atau tidak? Makanya semua orangtua harus mengenali tanda-tanda dehidrasi dan penanganannya.
Kalau boleh berbagi pengalaman di lapangan, anak-anak yang dirawat di RS dengan dehidrasi sekalipun mayoritas penyebabnya adalah virus yang sama sekali tidak butuh antibiotik dan anak sembuh tanpa antibiotik. Mayoritas hasil pemeriksaan analisis tinja pada pasien-pasien diare anak di RS juga hasilnya tidak dicurigai infeksi bakteri.
Selamat belajar

Mengapa saya masuk ke dunia edukasi kesehatan masyarakat

Salah satu alasan yang membuat saya tertarik untuk masuk ke dunia edukasi konsumen kesehatan (dalam hal ini orangtua pasien) adalah: orangtua yang tidak paham dasar ilmu kesehatan anak berpotensi "menzalimi" anaknya. Lho kok bisa?
Bayangkan ketika anak demam tiga hari, disertai batuk-pilek, dan diagnosis sebenarnya adalah selesma (common cold), yang kita sepakati akan sembuh seiring waktu. Tapi orangtua yang panik, khawatir anaknya mengalami demam berdarah, lalu berinisiatif memeriksakan darah anaknya ke laboratorium, hasilnya? Anak harus ditusuk jarum, disakiti, padahal tidak seharusnya ia diperiksakan darahnya.
Contoh lain adalah salah satu orangtua, misalnya si ibu, sudah cukup paham dasar ilmu kesehatan anak, karena sudah ikut milis kesehatan semacamMilissehat Sehat (http://groups.yahoo.com/group/sehat), rajin bacawww.milissehat.web.id, dan pernah ikut Pesat LimabelasJakarta, sehingga tidak mudah panikan dan tahu kapan harus ke dokter. Tapi sang suami tidak paham hal ini. Tiap kali anak mereka sakit, si Ayah maunya anak cepat sembuh. Pokoknya bawa ke dokter, kasih obat, apapun, kalau perlu antibiotik (padahal bukan infeksi bakteri). Hasilnya? Anak harus mendapatkan obat-obatan yang tidak perlu dan berisiko efek samping serta resistensi antibiotik. Apa sebabnya? Ya semata-mata karena kekurangtahuan orangtua.
Belum paham tidak apa-apa. Yang penting mau tahu dan belajar terus. Agar tidak "menzalimi" anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita.

A note from a journalist

Yang saya tahu, jurnalis atau wartawan itu ada dua: yang meliput langsung ke lapangan dan menuangkan hasil pengamatannya ke dalam tulisan dan yang sekedar "manteng" di depan monitor dan mengutip sana sini hasil bacaannya untuk dijadikan tulisan.
Tipe yang pertama adalah yang saya gunakan saat menulis buku kedua saya: Pro Kontra Imunisasi.
Saya tidak sekedar manteng di depan komputer mencari bahan tulisan, atau baca buku dan jurnal saja, tapi saya harus bertindak sebagai seorang "real journalist". Karena ini yang diajarkan saat saya masih aktif di lembaga jurnalistik mahasiswa saat kuliah kedokteran dulu. Maka saya menyambangi PT Bio Farma di Bandung untuk melihat langsung proses pembuatan vaksin dan mewawancarai vaksinolog senior di situ. Saya mendatangi Badan POM RI di Percetakan Negara untuk mewawancarai seorang Deputinya untuk mendapatkan informasi bagaimana vaksin sampai bisa beredar di Indonesia. Saya mendatangi Subdit Imunisasi Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan informasi langsung pelaksanaan imunisasi selama ini. Saya mengunjungi seorang anggota Tim Ahli LPPOM MUI di kantornya di Ragunan untuk tahu persis bahwa sebenarnya vaksin itu tidak haram.
Lalu saya gabungkan dengan pengalaman keseharian saya sebagai seorang praktisi klinis di bidang imunisasi. Jadilah buku ini akhirnya, dengan taufik dan rahmat Allah.
Saya mencoba bertindak selaku seorang jurnalis apa adanya.
Makanya saya heran, ketika para jurnalis yang memuat tulisan kontra-imunisasi adalah mereka yang mengandalkan pengamatan di depan layar komputer saja, tanpa pernah meliput langsung ke lapangan. Lalu mereka pun dipercayai oleh banyak pembacanya, karena dianggap memiliki reputasi sebagai media yang jujur.
What do you think?

Kisah Rokok

Satu hal yang tidak saya suka dari angkutan umum adalah potensi adanya orang merokok di dalamnya. Tapi seringkali saya tidak punya pilihan, sehingga menjadikan kendaraan ini sebagai sarana transportasi sehari-hari. Berbagai upaya sudah saya lakukan ketika menjumpai para perokok di dalam angkutan ini, mulai dari membuka seluruh jendela di bagian belakang secara mendadak untuk menunjukkan ketidaksukaan saya, menegurnya langsung, sampai turun dari angkot. Alhamdulillah tidak sampai terjadi kekerasan fisik sejauh ini.
Dari komentar status yang saya unggah beberapa waktu lalu, kaum ibu ternyata kesulitan mendapatkan tanggapan mematikan rokok dari orang-orang yang ditegurnya. Mungkin para pria perokok ini meremehkan para wanita yang menegurnya? Di sisi lain saya sering mendapatkab ibu-ibu yang membawa anak-anaknya di dalam angkot tampak cuek saja duduk bersama para penumpang pria perokok lain. Saya menilai mereka sudah terbiasa dengan asap rokok di rumahnya, mungkin dari suaminya sendiri atau ayah/mertuanya. Jadi mereka tidak sensitif dengan asap mematikan yang sangat potensial membunuh orang-orang yang menghisap asapnya. Bukankah kasus kanker paru lebih banyak terjadi pada perokok pasif dibandingkan dengan perokok aktif?
Di ruang praktik pun saya menjumpai keadaan serupa. Bayi-bayi yang sejak usia sangat muda sudah mengalami batuk kronik karena perokok di rumahnya. Siapakah dia? Tidak lain ayahnya sendiri. Sang ibu hanya menjawab dengan pandangan lesu ketika saya memintanya untuk menegur suaminya agar berhenti merokok.
"Susah Dok, padahal udah saya bilangin."
"Ayolah Pak, berhenti merokok. Udah punya anak sekarang. Sudah jadi ayah...." bujuk saya bila si bapak kebetulan menemani anak dan istrinya. Dan si bapak hanya tersenyum simpul.
Mengingat sulitnya menghadapi perusahaan rokok yang sudah menggurita di negara ini, baik lewat peraturan perundangan yang ada dan iklan-iklannya yang masif, ditambah sangat banyaknya jumlah penduduk perokok, maka sebagai perokok pasif, lakukan apapun yang kita bisa. Bukankah merokok adalah suatu kezaliman, baik terhadap dirinya sendiri yang merusak kesehatannya dan bagi orang lain di sekitarnya? Dan tidakkah seharusnya kezaliman dihentikan semampu kita?

Wednesday, May 20, 2015

Di balik kuning, demam, batuk, pilek, diare

Batuk, pilek, mencret, bahkan sampai kuning pada bayi dan "tali lidah" pun ternyata Allah ciptakan bukan tanpa tujuan.
Kadang kita mengeluhkan ketika diri kita atau anak kita sakit. Demam hingga anak rewel dan tak kunjung tidur semalaman. Pilek dan hidung mampet sampai bayi gelisah tidurnya. Batuk sehingga si kecil terjaga semalaman. Sedih sekali. Mengapa Allah ciptakan semua penyakit ini?
Bahkan ketika bayi baru lahir sekalipun, ada sebagian yang mengalami kuning. Saya yakin ada di antara Ibu/Bapak yang pernah bayinya mendapatkan terapi sinar (fototerapi), karena kadar bilirubin darahnya melampaui batas. Jika tidak "disinar", maka bilirubin akan melampaui ambangnya dan masuk menembus sawar darah-otak, menyebabkan kejang alias kern icterus! Bayi berisiko cacat permanen.
Tahukah Anda, ternyata kuning pada bayi baru lahir pun ada tujuannya. Meskipun masih menjadi perdebatan, beberapa pakar menyimpulkan keadaan bilirubin darah yang lebih tinggi dari seharusnya pada bayi baru lahir disinyalir sebagai antioksidan (silakan baca dihttp://www.thematrona.com/…/the-physiologic-role-of-bilirub…). Ya, pada hakikatnya seorang bayi yang baru dilahirkan mengalami "perpindahan dunia". Dari alam rahim yang tenang, penuh perlindungan dari berbagai kuman, dan steril, menuju alam baru yang "penuh tantangan". (Filosofi menangis pada bayi baru lahir adalah sedih atau kaget ketika berpindah dunianya. Tapi kalau bayi lahir tidak menangis, maka dokter atau bidannya yang nangis. Hehe) Kadar bilirubin yang secara alamiah meningkat selama 2 minggu pertama dinilai menjadi antioksidan terhadap stres oksidatif akibat udara panas/dingin, mulainya bernapas (bayi menangis adalah bentuk usaha napas pertamanya), dan mulainya kegiatan baru seperti menyusu.
Tentunya kadar bilirubin darah ada ambang maksimalnya. Bila dibandingkan penelitian dari tahun ke tahun, ambang batas terapi sinar mengalami peningkatan. Jika melihat kebiasaan yang dilakukan oleh dokter-dokter jaman dulu, maka batas toleransi untuk diterapi sinar lebih tinggi saat ini. Apa artinya? Angka belasan yang dulu mungkin sudah langsung dinyatakan untuk diterapi sinar, kini lebih bervariasi (lihat kurva normogram atau grafik terapi sinar dari American Academy of Pediatrics di tahun 2004). Ini pun melihat usia kehamilan/gestasi, dan faktor risiko saat persalinan. Anda bisa mengeceknya dengan mudah di www.bilitool.org
Meskipun bayi terlihat kuning, tapi jika angkanya masih ditolerir, maka tidak buru-buru harus mengerjakan fototerapi. Apakah kebiasaan menjemur dapat mengurangi kuning pada bayi? Ya, menjemur dapat mengubah warna kuning di kulit bayi menjadi hitam! Alias membakar kulit bayi...
Menyusui terbukti dapat mengurangi kejadian breastfeeding jaundice (kuning akibat konsumsi ASI yang kurang). Maka pada usia lebih dari 2 minggu, umumnya kuning berkurang dengan sendirinya.
Bagaimana dengan demam?
Saya justru banyak belajar dari sumber yang kebanyakan ditulis oleh orang-orang "Barat". Bahwa batuk-pilek alias selesma/common cold bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Saya yakin kawan-kawan yang pernah menetap di Australia, Inggris, dan Belanda bisa menceritakan pengalaman serupa. Batuk adalah mekanisme tubuh yang Allah ciptakan untuk membuang kuman dan benda asing yang masuk ke dalam saluran napas. Ingus dan dahak Allah ciptakan keluar dari hidung dan tenggorokan dengan membawa banyak virus dan bakteri mati. Pernahkah Anda menyaksikan orang yang terbaring di ICU dengan alat bantu napas, tidak dapat batuk untuk mengeluarkan dahaknya? Perawat harus rutin menyedot lendirnya. Jika tidak, ia akan sesak napas dan berujung pada kematian. Inilah nikmat batuk yang Allah berikan! Atau lihatlah anak-anak dengan palsi serebral, kelumpuhan otot bawaan, atau fibrosis kistik. Maka batuk dan pilek menjadi nikmat untuk mereka.
Lalu menghadapi diare. Panduan penanganan diare yang dikeluarkan oleh WHO dan berbagai guidelines menyebutkan: tidak perlu obat untuk menghentikan diare. Biarkan diare terjadi, yang penting ganti terus dengan cairan (minum) agar tidak dehidrasi. Diare adalah upaya tubuh yang Allah ciptakan untuk membuang virus dan bakteri keluar tubuh. Sama halnya dengan muntah.
Bagaimana dengan demam? Sudah berkali-kali saya bahas, virus dan bakteri tidak dapat berkembang biak pada kondisi demam. Sel-sel darah putih (lekosit) yang memerangi kuman pun bekerja optimal pada suhu demam. Apa yang diajarkan "orang-orang bule" ini dalam literatur mereka? Ya, banyak minum, kompres hangat, dan obat penurun panas HANYA diberikan jika anak rewel.
Kesannya malah seperti kedokteran "alamiah" yang lalu diidentikkan dengan pengobatan "Timur" dan thibbun nabawi. Ya, saya sebut pengobatan Timur, karena ada yang membuat definisi kedokteran Barat. Dan segala sesuatu yang sifatnya "alamiah" diidentikkan dengan "Thibbun Nabawi" atau kedokteran "Timur". Barat identik dengan kimia, barang haram, dan membahayakan tubuh. (Dan tentunya "tidak sesuai dengan Sunnah Rasul". Hehe).
Padahal referensi-referensi Barat yang kesannya alamiah ini disimpulkan berdasarkan penelitian. Evidence based medicine. Malah, mohon maaf, saran-saran dari " thibbun nabawi" (saya kasih tanda kutip), kadang lebih "repot". Kasih herbal A, ramuan B, dsb.
Saya tegaskan, saya tidak mempertentangkan atau membenturkan thibbun nabawi dengan kedokteran Barat. Saya beri tanda kutip untuk kata thibbun nabawi, karena saya menilai beberapa praktisi thibbun nabawi (menurut saya pribadi ya, maaf jika saya salah) tidak memahami hakikat thibbun nabawi, dan terkesan memaksakan thibbun nabawi ya "seperti itu". Padahal formulasi yang ada, bila melihat pada masa Rasulullah, sifatnya umum.
Kemarin saya menulis tentang "kontroversi" tindakan insisi pada tongue tie. Banyak komentar yang berdatangan. Saya coba mencari, apakah orang Bule pun melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan bayinya memiliki tongue tie dan mengalami nyeri saat menyusui? Tidak banyak memang tulisan yang bisa didapatkan, tapi lagi-lagi, saya mendapatkan kesan bahwa mereka lebih "sabar" dalam menghadapi kondisi ini. Bersungguh-sungguh dulu memperbaiki manajemen laktasi, baru sampai pada tahapan memutuskan: perlu tidaknya insisi. Berkebalikan dengan beberapa kasus yang saya dapatkan di ibukota negeri ini: memudahkan tindakan insisi (hanya pada sebagian kasus ya).
Orang-orang bule ini tampaknya terbiasa lebih sabar, dibandingkan kita, saat menghadapi anak sakit. Lebih sabar menghadapi batuk dan pilek dengan hanya memberikan banyak minum. Lebih sabar menghadapi demam dengan memberikan banyak minum. Lebih sabar menghadapi diare dengan memberikan banyak minum.
Lebih sabar, atau lebih paham?
Menjadi ayah dari 3 balita, saya pun mengalami hal serupa. Menghadapi putra-putri yang tidak mau minum obat padahal suhunya tinggi. Menyabarkan mendengarkan batuk dan tidur gelisah dengan menggendong berlama-lama. Menyaksikan ada yang muntah dan menawarkannya minum.
Kita orangtua bagi anak-anak kita. Dan kita terus belajar.

Susu dan Sembelit

Hari ini saja saya sudah mendapatkan dua anak yang mengalami kesulitan buang air besar sejak berbulan-bulan lamanya. Menanggapi kasus-kasus semacam ini, yang kerap kali dihadapi dokter anak, pertanyaan pertama saya biasanya adalah: berapa banyak anaknya minum susu dalam sehari?
Tidak mengejutkan sebenarnya, jawabannya adalah: rata-rata lebih dari 1 liter dalam sehari. Anak-anak ini tidak jarang memiliki status gizi yang baik. Bukankah asumsi sebagian orangtua adalah berikan susu yang banyak agar kebutuhan nutrisi anak tercapai? Bukankah iklan-iklan di TV menunjukkan anak-anak yang rajin minum susu menjadi sehat dan cerdas? Tapi pernahkah mereka menjumpai fakta yang kami hadapi: anak-anak yang selalu kesakitan tiap buang air besar. Anak-anak ini kadang bahkan cukup konsumsi sayur dan buahnya. Minum air putih pun banyak. Tapi buang air besar hanya 2 - 3 kali seminggu dengan perjuangan keras. Mengedan dan menangis. Mereka pun menjadi takut pup dan makin menahan pup karena tidak ingin kesakitan. Alhasil tinja menjadi makin keras. Lingkaran setan. Mereka mengalami sembelit alias konstipasi fungsional.
Lalu apa hubungannya dengan konsumsi susu? Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari jawabannya. Ada yang mengaitkan konstipasi dengan intoleransi laktosa. Beberapa menghubungkannya dengan alergi terhadap protein susu sapi, sehingga ada yang menyarankan susu kedelai. Tapi susu kedelai pun masih bisa membuat alergi.
Di balik semua ini: apakah susu merupakan sumber nutrisi wajib bagi anak? Bukankah susu justru dibatasi konsumsinya pada anak di atas 1 tahun?
Susu sebagai salah satu produk nutrisi yang dulu dianggap sebagai penyempurna makanan sehat (ingat 4 sehat 5 sempurna?) kini mengalami pergeseran paradigma. Mayoritas susu yang dikonsumsi di dunia berasal dari sapi, padahal tidak semua negara memiliki kantong-kantong peternakan sapi yang digunakan sebagai hewan perah. Konsep nutrisi seimbang yang kini dianut mayoritas negara maju adalah piramida makanan (food pyramid) yang menempatkan susu di bagian yang mendapatkan porsi kecil saja. Amerika Serikat mempunyai konsep food plate yang menempatkan susu di luar "plate"-nya. Padahal AS diketahui sebagai negara yang tampak kental kultur minum susunya. Apa artinya? Susu sebagai pelengkap. Bahkan yang ada adalah batasan maksimal konsumsi susu, yaitu 500 ml pada anak. Bolehkah anak berusia di atas 1 tahun tidak minum susu sama sekali? Mengapa tidak. (O iya, susu yang saya bicarakan di sini sejak kemarin bukan ASI ya)
Kembali kepada tujuan utama: mengapa harus minum susu? Untuk mendapatkan kalsium-nya terutama. Ingat ya, kalsium bisa didapatkan dari berbagai sumber makanan. Susu juga mengandung lemak dan sebagian diperkaya zat besi. Tapi tetap saja bukan sumber utamanya.
Dalam bahasan terdahulu dijelaskan bahwa penyebab sembelit akibat konsumsi susu dihubungkan dengan intoleransi laktosa atau alergi protein susu sapi.
Tidak sedikit anak yang dikurangi volume susunya langsung mengalami perbaikan konsistensi tinja menjadi tidak keras. Sembelit alias konstipasi teratasi! Tentunya dibarengi dengan makanan tinggi serat, banyak minum air, dan toilet training sedini mungkin. Bagaimana bila konstipasi tidak langsung teratasi? Kasihan kan lihat anak menderita kesakitan dan menangis saat BAB. Pencahar seperti laktulosa dapat diberikan untuk melunakkan tinja. Buat anak agar tidak trauma saat BAB dengan bantuan obat ini. Sambil mengurangi susu dan menjalankan saran lainnya. Setelah pup lancar, pencahar dihentikan bertahap.
Dampak buruk kelebihan susu lainnya adalah membuat anak kenyang dan malas makan. Anak boleh saja tampak gemuk, tapi tidak mau makan sayur dan buah yang tinggi serat, sehingga tinjanya keras. Terlalu banyak susu yang mengandung kalsium juga mengikat zat besi sehingga kurang optimal diserap di usus. Anak mengalami anemia defisiensi besi.
Belum lagi masalah gigi yang berkaries. Anak minum susu dengan dot sambil tidur, tidak gosok gigi, dan gula terus mengaliri gigi membentuk media yang kondusif bagi bakteri rongga mulut menghasilkan karies.
Orangtua tidak kalah pentingnya menjadi role model bagi anak-anaknya dalam hal gemar makan sayur dan buah. Prinsipnya: minumlah susu dengan bijak.

Telaten Memantau Bayi Prematur

Hamil dan melahirkan merupakan pengalaman paling berkesan yang dialami setiap ibu. Bayi yang terlahir merah, menangis kuat, bergerak aktif adalah penghapus seluruh keletihan yang dialami selama 9 bulan mengandung.
Tetapi bagaimana bila bayi terlahir prematur? Bayi yang harus terlahir dengan usia kehamilan belum genap 37 minggu ini umumnya memiliki paru-paru yang belum “matang” untuk menghirup oksigen secara sempurna di dunia luar rahim. Bisa jadi, bayi lahir tidak menangis, sesak napas, dan segera membutuhkan alat bantu napas canggih. Apakah kondisi ini selalu terjadi pada bayi prematur? Adakah masalah-masalah kesehatan lain yang bisa timbul?
Definisi Bayi Prematur
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran seorang bayi yang usia gestasinya (kandungan ibu) belum mencapai 37 minggu. Sedangkan bayi cukup bulan adalah bayi yang terlahir pada usia gestasi 37 sampai 42 minggu, dengan mayoritas persalinan cukup bulan pada usia gestasi rata-rata 40 minggu.
Definisi prematur seharusnya dibedakan dengan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir di bawah 2.500 gram. Namun, nyatanya, bayi BBLR kerap pula disebut bayi prematur, karena memang kebetulan bayi-bayi BBLR sering terlahir kurang bulan/prematur. Sebagian bayi terlahir dengan BBLR, meskipun usia gestasinya cukup bulan. Bayi-bayi ini dinamakan kecil masa kehamilan (KMK) atau small for gestational age (SGA). Pembahasan bayi prematur dalam tulisan ini dibatasi untuk yang lahir kurang bulan (sebelum 37 minggu) dengan berat lahir sesuai usia gestasinya.
Prematuritas dan Masalah Fungsi Organ Tubuh
Allah menciptakan manusia, yang idealnya baru keluar dari kandungan setelah 37 minggu, bukan tanpa alasan. Rentang waktu tersebut dibutuhkan untuk mematangkan seluruh organ tubuhnya sehingga ketika terlahir nanti ia siap menghadapi dunia barunya. Bayi yang terlahir prematur tidak memiliki semua kematangan organ ini, tergantung seberapa muda bayi saat dilahirkan. Makin muda usia gestasinya, maka makin tidak siap fungsi optimal organ tersebut.
Karena kondisi tersebut, sering kali bayi-bayi prematur mengalami masalah-masalah berikut.
> Penyakit membran hialin/PMH (hyaline membrane disease atau respiratory distress syndrome)
Kondisi ini disebabkan oleh ketiadaan atau kekurangan surfaktan, yaitu senyawa yang dimiliki oleh paru-paru manusia yang berfungsi menjaga paru-paru agar tidak kolaps (menutup seluruhnya) saat membuang udara (buang napas atau ekspirasi). Bayi yang mengalami PMH akan tampak bernapas teratur dan normal selama beberapa saat setelah lahir, tetapi tidak lama kemudian akan makin sesak, terlihat tarikan kuat di antara sela-sela iga, dan bahkan bisa sampai biru karena kekurangan oksigen lanjut.
Bayi seperti ini harus mendapatkan penanganan alat bantu napas dari ventilator dan pemberian oksigen yang disesuaikan jumlahnya agar fungsi napasnya dialihkan kepada bantuan mesin (ventilator). Kondisi ini rentan dialami bayi prematur yang terlahir pada usia gestasi sebelum 32 minggu. Penanganannya adalah memberikan terapi surfaktan sintetis lewat selang bantu napas ketika bayi terbukti mengalami PMH. Angka kematian akibat PMH masih cukup tinggi karena sulit dan mahalnya harga surfaktan, dan tidak semua RS mempunyai ventilator khusus bayi dan tenaga yang terlatih merawatnya.
> Apnea dan bradikardia
Apnea adalah henti napas spontan yang dialami bayi prematur selama 20 detik atau lebih, dan kerap disertai dengan bradikardia, yaitu frekuensi nadi bayi menjadi lebih lambat dibandingkan sebelumnya (biasanya di bawah 100 kali per menit). Kondisi ini dikaitkan dengan kurang matangnya fungsi pernapasan di batang otak (susunan saraf pusat/SSP) sehingga kadang-kadang bayi “lupa” bernapas.
Apnea pada prematuritas harus dipastikan bukan merupakan kejang karena sebab tertentu; kekurangan gula darah/hipoglikemia, gangguan elektrolit, infeksi SSP (meningitis, ensefalitis), dan perdarahan otak. Penanganan terhadap apnea biasanya dengan memberikan kafein atau aminofilin/teofilin, dan pemantauan tanda-tanda vital bayi di NICU dengan monitor elektronik.
> Retinopathy of prematurity (ROP)
Kondisi ini disebabkan oleh retina (jaringan saraf mata yang berfungsi untuk melihat) belum terbentuk secara utuh/sempurna. Kondisi ROP dapat makin berat akibat penggunaan oksigen yang berlebihan melalui ventilator, atau konsentrasi oksigen tinggi lewat selang oksigen. Perkembangan terkini sangat menekankan kehati-hatian dalam memberikan oksigen, termasuk saat menolong bayi baru lahir yang tidak prematur sekalipun.
Pemantauan terhadap ROP dilakukan secara berkala hingga bayi melewati usia koreksi 40 minggu, sampai retina dinyatakan matur (matang). Upaya pemantauan dilakukan oleh dokter spesialis mata menggunakan alat khusus.
> Penyakit paru kronik (chronic lung disease atau bronchopulmonary dysplasia)
Yaitu bayi bergantung kepada terapi oksigen hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Bayi-bayi ini mengalami kesulitan bernapas ketika oksigen dilepas, atau nilai saturasi oksigen (kelarutan oksigen dalam darah) langsung turun saat terapi oksigen dihentikan. Padahal bayi-bayi ini sering kali dinyatakan sudah tidak perlu dirawat di RS sehingga mereka dipulangkan dengan oksigen yang masih terpasang dan dapat dibawa ke rumah.
Kondisi ini terjadi akibat perubahan struktur jaringan paru yang selama berminggu-minggu butuh beradaptasi dan mendapatkan terapi oksigen. Seiring bertambahnya usia bayi dan kematangan fungsi paru, diharapkan penggunaan oksigen dapat “disapih”.
> Gagal Tumbuh
Sejak lahir, pemantauan pertumbuhan bayi prematur (berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala) dilakukan menggunakan kurva Fenton atau kurva standar dari WHO, dengan memerhatikan usia koreksi (bukan usia aktual/kronologis). Misalnya, bayi yang terlahir prematur dengan usia gestasi 32 minggu, berarti “kurang” 8 minggu menuju usia cukup bulan (40 minggu). Maka, tiap kali dilakukan pemantauan pertumbuhan, usia yang diplot adalah usia koreksi (selalu dikurangi 8 minggu atau 2 bulan). Jika usia kronologis bayi 3 bulan, maka usia koreksinya 1 bulan. Jadi, berat badan, panjang badan, dan lingkar kepalanya diplot pada bayi usia 1 bulan.
Apabila berat dan/atau panjang badannya masih masuk ke dalam kurva (minimal persentil 3 atau minus 2 SD), disimpulkan kemungkinan pertumbuhannya normal. Artinya, nutrisi yang diberikan sudah mencukupi. Namun, bila tidak pernah memasuki tren pola pertumbuhan normal, perhatikan, apakah memang bayi prematur belum memasuki pola pertumbuhan sama dengan bayi yang tidak prematur (tetap dengan usia koreksi).
Evaluasi nutrisi harus dilakukan berkala pada bayi-bayi prematur ini agar tidak mengalami kondisi gagal tumbuh yang dapat berdampak pada perkembangan otak dan kemampuan tubuh mengatasi infeksi (sistem imun). Dengan berbagai keuntungannya, air susu ibu (ASI) tetap menjadi pilihan utama, meski sering kali perlu ditambah human milk fortifier (HMF) atau suplemen lainnya.
> Gangguan Pendengaran
Meski lahir prematur, bayi memiliki pendengaran sempurna. Itu sebabnya, ibu disarankan sering mengajak bicara bayi sejak masih dalam kandungan, karena janin sudah dapat mendengar.
Akan tetapi, bayi prematur berisiko terkena infeksi di dalam ruang rawat sehingga kerap diberi antibiotik yang terkadang berefek merusak fungsi pendengaran. Ia juga rentan mengalami hiperbilirubinemia (kadar bilirubin darah melebihi normal dan berisiko menembus sawar darah-otak) yang tampak sebagai gejala kuning sehingga membutuhkan terapi sinar. Kondisi hiperbilirubinemia juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran kelak. Untuk itu, bayi prematur disarankan rutin menjalani pemeriksaan fungsi pendengaran dengan uji otoacoustic emission (OAE) dan brainstem auditory evoked potentials (BAEP/BERA).
> Anemia Prematuritas
Kemampuan sumsum tulang bayi prematur dalam memproduksi sel darah merah (eritrosit) juga belum sebaik bayi cukup bulan, karena itu ia rentan mengalami anemia. Kondisi ini diperberat dengan adanya pengambilan darah berulang, infeksi, dan peningkatan kebutuhan oksigen. Untuk itu, perlu dilakukan pemantauan berkala terhadap kadar hemoglobin bayi dan pemberian suplemen zat besi saat usianya satu bulan.
Pentingnya Ketelatenan Orangtua
Semua bayi prematur yang pernah mengalami minimal salah satu kondisi di atas disebut bayi risiko tinggi. Setelah dirawat, baik pernah melewati NICU atau tidak, bayi-bayi berisiko tinggi harus mendapatkan pemantauan berkala di praktik dokter anak, klinik khusus bayi risiko tinggi, atau di pelayanan primer seperti puskesmas. Orangtua dari bayi prematur yang paham semua risiko tersebut dapat membantu dokter membuat “daftar tilik” atas hal-hal yang harus dipantau pada bayinya ketika kontrol.
Bayi-bayi prematur juga berisiko mengalami gangguan (keterlambatan) perkembangan dan kecerdasan di kemudian hari. Karena itu, pemantauan tidak hanya dilakukan terhadap fungsi organ dan pertumbuhan (berat dan panjang badan), tapi juga pada tahapan-tahapan perkembangan yang seharusnya dapat dilalui sesuai usia koreksinya. Apabila telah melewati usia 6 bulan, 12 bulan, dan 18 bulan masih ada milestone perkembangan yang terlambat, maka harus dievaluasi penyebabnya.
Prematuritas dan berat lahir rendah juga dihubungkan dengan risiko darah tinggi (hipertensi) dan obesitas (kelebihan berat badan) di usia remaja dan dewasa, yang terkait dengan berbagai penyakit degeneratif. Ini artinya, pemantauan terhadap bayi prematur tak hanya dilakukan dalam beberapa tahun pertama, melainkan hingga belasan bahkan puluhan tahun kemudian.
Mengenali faktor risiko penting bagi seorang ibu agar dapat mencegah persalinan prematur. Apa saja?
Usia ibu hamil yang terlalu muda, atau sebaliknya terlalu tua. Usia optimal untuk hamil adalah 20 – 30 tahun.
Kehamilan kembar, baik kembar dua atau lebih. Ibu yang mengandung lebih dari satu bayi berisiko melahirkan bayi-bayi prematur.
Infeksi saat kehamilan, misalnya infeksi oleh sitomegalovirus (CMV), toksoplasma, infeksi menular seksual (HIV, hepatitis B), cacar air, rubella, dan radang tenggorok akibat streptokokus beta hemolitikus grup B. inilah pentingnya senantiasa mencuci tangan dan memasak makanan hingga matang (mencegah CMV), menghindari kontak dengan hewan piaraan yang kotor (toksoplasma), dan melengkapi imunisasi (cacar air, MMR) sebelum kehamilan.
Konsumsi alkohol dan merokok saat hamil.
Penyakit kronik, seperti hipertensi (tekanan darah tinggi) dan diabetes pada kehamilan. Inilah pentingnya memeriksakan kesehatan secara teratur saat hamil dan menjaga pola hidup sehat serta olahraga.
Riwayat persalinan prematur pada kehamilan sebelumnya.
Stres psikologis.
*Rubrik ini diasuh oleh dr. Arifianto, SpA atau akrab dipanggil Dokter Apin. Selain aktif berpraktik di RSUD Pasar Rebo, beliau juga menulis buku Orangtua Cermat, Anak Sehat" dan Buku Pro Kontra Imunisasi

Saturday, May 16, 2015

How I practice

Sebagai seorang tenaga medis yg memiliki praktik mandiri, saya menyediakan layanan kesehatan sesuai spesialisasi yg dimiliki. Tak terkecuali layanan imunisasi. Memang saya tidak mem-"posting" daftar harga vaksin yg kami sediakan. Karena buat kami, layanan kesehatan spesialis anak adalah layanan integral: mencakup penegakan diagnosis dan terapi anak sakit, penilaian pertumbuhan dan perkembangan, nutrisi sejak lahir, dan kelengkapan imunisasi. Maka kalaupun kami "jualan", yg kami jual adalah layanan kesehatannya. Bukan "jualan" spesifik produk tertentu, misal produk vaksin, atau suplementasi zat besi, sebagai contoh.
Sekalipun harga produk vaksin yg kami jual sama murahnya, bahkan lebih murah dibandingkan tempat lain, tetap saja kami memilih untuk tidak mem-posting hal ini. Biarlah konsumen kesehatan sendiri yg menilainya.
Maka tidak heran banyak orangtua yg memang memilih untuk mendatangi bila ingin berkonsultasi panjang lebar kondisi anaknya. Tapi untuk hal imunisasi, silakan. Posyandu dan Puskesmas pun menyediakan vaksin dengan kualitas yg baik.
Seandainya ini bisa dianggap sebagai suatu bentuk idealisme, maka inilah yg kami pilih.

A cancer story

Saat praktik sore kemarin, seorang Ibu bertanya: apa gejala neuroblastoma? Mengapa ia tiba-tiba bertanya seperti itu? Ternyata ada seorang anak yang sedang sakit neuroblastoma dan kisahnya banyak dibicarakan di media sosial. Saya sendiri belum pernah dengar kisahnya. Kabarnya orangtua si anak membawanya hingga ke Guangzhou (koreksi bila saya salah) untuk pengobatan. Saat membuka laman Facebook semalam, saya mendapatkan berita gadis kecil ini ternyata sudah meninggal karena sakitnya.
Mendengar kata neuroblastoma dari Ibu kemarin, yang terlintas di pikiran saya adalah: ini adalah salah satu keganasan (kanker) pada anak yang umum kami jumpai sehari-hari, khususnya saat masih menjalankan pendidikan spesialisasi anak dan bertugas di divisi hematologi anak. Ternyata, buat masyarakat umum, mungkin penyakit ini dianggap langka dan unik, sedangkan bagi para dokter anak, neuroblastoma dan beberapa jenis kanker anak lain adalah kasus yang biasa.
Pikiran saya lalu melayang pada pasien-pasien cilik dari kalangan ekonomi tidak mampu yang kami tangani di sebuah RS rujukan pusat di negeri ini. Kebanyakan datang dengan kondisi lanjut. Benjolan yang membesar di wajah, sekitar leher, dan perut yang membesar. Anak-anak ini lalu memburuk gizinya, dan kesulitan makan akibat besarnya tumor. Angka kematian pun tinggi, meskipun kemoterapi sudah dilakukan.
Saya pun jadi merenung, anak-anak penderita neuroblastoma yang kebanyakan miskin dan dari keluarga berlatar pendidikan rendah ini seringkali terlambat berobat ke fasilitas yang tepat karena tidak punya biaya. Jangankan berobat ke luat negeri, mereka yang tinggal di luar Jakarta apalagi luar Jawa, untuk mengakses RS Umum Daerahnya saja kesulitan. Belum lagi adanya mitos-mitos seputar sakit kanker ini.
Alangkah beruntungnya mereka bila sudah mendapatkan penanganan sedini mungkin, sehingga tidak datang dengan stadium lanjut, karena tidak khawatir dengan biayanya. Alangkah terbantunya mereka, bila mempunyai pengetahuan sedini mungkin tentang penyakit ini. Kendala lain adalah fasilitas kesehatan yang mampu menangani anak-anak dengan kanker masih sangat terbatas. Di Pulau Jawa saja terbatas di ibukota propinsi, apalagi di luar Jawa.
Saya lalu teringat dengan kawan-kawan saya di Komunitas Taufan , yang rutin menyambangi anak-anak penderita kanker pada anak di RS, dan tulus membantu mereka dari sisi-sisi yang belum terpenuhi dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pernahkah berpikir orangtua yabg harus menemani anaknya berobat ke luar pulau, sehingga harus meninggalkan pekerjaannya? Siapa lalu yang mencari nafkah? Pernahkah memikirkan makanan sehari-hari keluarga yang menunggui anaknya yang sakit ini? Mereka tetap harus makan dengan segala keterbatasan uang transpor yang dimiliki. Bagaimana dengan tempat tinggal mereka di Jakarta? Bagaimana dengan popok anaknya yang harus diganti tiap saat, susu dan makanan tambahan lainnya? Ini adalah sekelumit hal-hal non obat yang tidak menjadi tanggungan JKN.
Mbak NaNa Andriana dan Ibu Yanie Dewi adalah sedikit orang-orang yang memikirkannya, sehingga mereka membentuk Komunitas Taufan.
Tidak hanya mereka, masih ada yayasan-yayasan peduli kanker anak lain seperti: Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI), Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), dan YKAKI yang besar perannya selama bertahun-tahun dalam membantu keluarga yang anaknya sakit kanker. Bahkan rumah singgah pun disediakan. Lalu ada Rumah Sehat Terpadu dan Lkc Dompet Dhuafa yang sudah lama ikut membantu anak-anak ini, mulai dari mendeteksi kasus sampai mendampingi penanganan dan perawatan di RS rujukan.
Pelajaran lain yang saya dapatkan adalah: peran media sosial cukup besar dalam memberi informasi terkait kanker pada anak bagi masyarakat. Mungkin apabila anak-anak dengan neuroblastoma yang berasal dari kalangan kurang mampu terekspos oleh media, mereka akan mendapatkan simpati besar dan bantuan dana dari masyarakat. Banyak di antara mereka yang kasusnya lebih berat, dan pastinya sangat layak untuk dibantu dari segi dana dan dukungan semangat.
Ayo kita bantu anak-anak penderita kanker yang berasal dari ekonomi tidak mampu.

A blogger

Sekitar 7 tahun yang lalu, ketika Facebook dan Twitter belum ada, saya sudah menggeluti blogspot. Tepatnya sejak 10 tahun silam (ini blog pertama saya: http://spaceodyssey.blogspot.com/). Saat itu isu kontroversi imunisasi belum seramai sekarang. Pada tahun 2007, sebuah majalah Islam mengangkat topik ini dan membuat saya bereaksi dengan mengirimkan surat pembaca (sayangnya saya belum membuat salinan pemindaian edisi tersebut). Saya pun lalu menulis tanggapan terhadap kontroversi imunisasi saat itu di blog awal tahun 2008: http://arifianto.blogspot.com/…/mengapa-tidak-mau-memberika…
Sekarang sudah cukup banyak dokter yang dikenal masyarakat sebagai pakar dalam hal ini. Alhamdulillah...

Wednesday, May 13, 2015

Bayi Grok-grok

Sambil menatap wajah si bungsu yang baru tertidur, saya mendengar bunyi napasnya yang agak mendengkur "grok-grok". Lalu teringatlah saya pada satu pertanyaan yang sangat sering diajukan orangtua. Bahkan kadang mereka membawa bayinya menemui saya hanya untuk menanyakan hal ini.
"Napas anak saya berbunyi "grok-grok". Apakah ini?"
Orangtua kadang menganggap bayinya dengan kondisi ini sebagai sakit pilek, sehingga mereka datang ke dokter untuk minta obat, bahkan "diuap". Benarkah ini?
Jika di dekat saya buku hijau "Orangtua Cermat Anak Sehat" tergeletak, maka saya akan membukakan salah satu halamannya dan membacakan "senjata andalan" saya.
"Bu, bayinya tidak sakit sama sekali. Ia tidak sedang pilek. Maka tidak perlu obat, disedot ingusnya dengan mulut Ibu (ada lho yang seperti ini, dan walhasil tidak ada ingus yang keluar), apalagi diuap (diterapi inhalasi). Saya juga tidak curiga bayinya alergi susu sapi, sehingga Ibu harus memantang makanan. Yang bayi Ibu alami adalah kondisi yang namanya "noisy baby"."
Apa pula itu?
Sambil menunjukkan halaman buku yang dimaksud, saya jelaskan.
1. Diameter saluran napas bayi saat baru lahir sampai usianya 6 bulan masih relatif sempit, sehingga udara yang melewati saluran napas ini, apalagi ditambah dengan adanya lendir, meskipun tidak banyak, akan menghasilkan suara nyaring, umumnya "grok-grok". Seiring bertambahnya usia, diameter saluran napas akan makin lebar dan bunyi ribut ini menghilang dengan sendirinya.
2. Bayi cenderung bernapas dengan hidung alias "nose breather". Kondisi ini makin memperjelas bunyi "grok-grok" yang ada, apalagi bila ada lendir.
3. Saluran napas bayi mudah bereaksi dengan benda asing yang ada, misalnya debu, asap rokok, dan alergen lainnya. Lendir adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh.
4. Ibu hanya perlu khawatir bila "grok-grok" ini disertai sesak napas yang ditandai dengan otot-otot dinding dada bayi yang bekerja keras.
Jadi....masih ada yang dikhawatirkan dari bayi Anda yang napasnya berbunyi "grok-grok"?

DeBeDe atau Tipes?

Katanya Demam Berdarah Dengue alias DBD sedang mewabah ya? Bagaimana dengan "tipes" alias demam tifoid? Karena kabarnya ada beberapa yang dirawat akibat DBD dan demam tifoid bersamaan. Mungkinkah?
Ini pertanyaan favorit saya buat para Koas yang sedang menjalankan rotasi di bagian Anak. Apa pasalnya? Beberapa orang bercerita dirinya didiagnosis DBD dan tifoid bersamaan gara-gara: tes Widal!
Banyak orang familiar dengan pemeriksaan laboratorium satu ini. Katanya kalau Widal-nya positif, berarti sakitnya tipes. Ketahuilah bahwa diagnosis demam tifoid dipastikan dengan beberapa hal:
1. Gejala. Ya, namanya saja demam tifoid, jadi yang sedang sakit pasti bergejala demam. Nah, demamnya seperti apa? Ada yang bilang seperti "step ladder", jadi makin lama hari sakitnya, maka ambang suhunya makin tinggi. Tapi ternyata tidak harus seperti ini. Yang menjadi kata kunci demam tifoid adalah: demamnya mininal 7 hari! Beda kan dengan DBD yang sudah bisa dicurigai sejak demam 2 hari bahkan.
2. Penyakit tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Kita sudah paham bahwa yang namanya infeksi bakteri butuh antibiotik (DBD disebabkan oleh infeksi virus Dengue yang tentunya tidak butuh antibiotik). Bakteri Salmonella ini masuk ke tubuh lewat makanan/minuman yang terkontaminasi Salmonella. Dan umumnya makanan pinggir jalan yang higienenya buruk yang berisiko menyebabkan tipes. Siapa yang biasa jajan makanan seperti ini? Anda dan saya tentunya. Hehe. Maksud saya, mungkinkah anak berumur 2 tahun atau lebih muda yang belum pernah jajan makanan seperti ini terkena demam tifoid? Inilah sebabnya tifoid umumnya menginfeksi anak besar udia SD ke atas. Evaluasi ulang bila seorang anak balita sampai didiagnosis tifoid.
3. Lalu bagaimana bisa memastikan diagnosis tifoid berdasarkan pemeriksaan darah? Dengan pemeriksaan Widal? Hmmm...
Jadi pemeriksaan laboratorium yang bertujuan menentukan kuman penyebab penyakit ada 2 cara: secara langsung menemukan kumannya dan yang secara tidak langsung.
Cara pertama adalah dengan pemeriksaan kultur (biakan) baik dari darah, air seni (urin), dan tinja (feses), maupun cairan tubuh lainnya. Jadi kuman dibiakkan dalam suatu media, dan ditunggu hingga beberapa hari untuk mendapatkan hasil apa sebenarnya bakteri penyebab penyakitnya. Inilah yang dilakukan pada kecurigaan demam tifoid, yaitu dengan pemeriksaan kultur darah/tinja/urin untuk mendapatkan si kuman Salmonella typhi. Sayangnya tidak semua RS punya fasilitas ini. Dan harganya juga tidak murah (tapi ditanggung BPJS Kesehatan lho...).
Cara kedua adalah dengan mendeteksi "jejak" keberadaan si kuman, yaitu dengan mengetahui adanya antibodi yang dihasilkan si antigen (kuman). Inilah Prinsip pemeriksaan seperti Widal, Tubex, TORCH, dan IgG-IgM Anti Dengue. Jadi ada risiko yang terdeteksi sebenarnya adalah "jejak" si kuman masa lampau, yang pernah masuk ke tubuh berbulan-bulan lalu. Bukan yang menyebabkan sakit saat ini.
Paham tidak sejauh ini? Mudah-mudahan tidak bingung.
Jadi bisa saja Widal-nya "positif", tapi sebenarnya tidak sakit tipes! Karena Widal ini menandakan berbulan-bulan lalu ia pernah kemasukan kuman tifoid, dan saat itu ia tidak sampai sakit. Sedangkan saat ini sakitnya bukan tifoid dari gejala-gejala yang ada.
Pelajarannya adalah: selalu berhati-hati dalam menginterpretasi pemeriksaan laboratorium yang menilai keberadaan kuman secara tidak langsung, termasuk Tubex (IgM Anti Salmonella) yang katanya lebih sensitif dan spesifik dari Widal. Pemeriksaan semacam TORCH pun juga.
Saya kadang mengajak kawan-kawan berdialog seperti ini: " dari kita semua yang ada di sini dalam kondisi sehat wal afiat, bila "iseng-iseng" dicek Widal-nya, bisa saja mayoritas "positif", padahal tidak satu pun yang demam tifoid. Mengapa? Karena kita semua pernah makan jajanan pinggir jalan yang terkontaminasi Salmonella, tetapi alhamdulillah tidak sakit, karena adanya antibodi yang melawan kuman. Dan "jejak" inilah yang terbaca sebagai Widal positif.
Sebagai kesimpulan, lessons learned-nya adalah:
1. Kembalikan kepada diagnosis berdasarkan tanda dan gejala yang dialami. Kalau demamnya baru 3 atau 5 hari, ya kemungkinan kecil, bahkan jangan pikirkan dulu, demam tifoid. Berpikir demam tifoid ya kalau demamnya sudah lebih dari 7 hari.
Bahkan kalau demam sudah 3 hari tapi jelas ada batuk pilek ya tidak usah juga berpikir DBD dan cek darah, karena diagnosisnya adalah selesma.
2. Setiap pemeriksaan laboratorium pastilah memiliki keterbatasan. Maka selalu kembalikan kepada diagnosis. Dokter tidak mengobati hasil laboratorium, tetapi dokter mengobati pasien.
Semoga bermanfaat

Sabar dan Gendong, Obatnya Batuk-Pilek pada Anak

Semua orangtua pernah mendapatkan anaknya mengalami selesma alias batuk pilek. Mayoritas berakhir dalam waktu yang tidak lama, sekitar semingguan. Tapi sebagian lainnya bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan melampaui angka 1 bulan. Orangtua yang awalnya paham bahwa selesma dibiarkan saja dan akan sembuh dengan sendirinya, tidak perlu minum obat apapun, toh infeksi virus yang ringan, menjadi khawatir. Apalagi kata orang, batuk yang dibiarkan lama bisa jadi "paru-paru basah", flek, pneumonia, dan bronkitis.
Mulailah mereka membawa anaknya ke dokter. Sebagian khawatir akan kemungkinan TB, sehingga dilakukan foto ronsen dan tes Mantoux. Sebagian lagi curiga alergi atau asma, maka diberikanlah obat-obatan asma dan alergi. Masih tak kunjung sembuh juga. TB bukan, alergi bukan, asma juga tidak. Lalu apa? Infeksi virus ping-pong ternyata. Ya, awalnya si anak sakit, lalu bapak-ibunya tertular, lalu di sekolah teman-temannya juga sakit. Lengkap sudah.
"Ibu mau anaknya sembuh? Gampang Bu. Ibu taruh anaknya di suatu tempat yang tidak ada orang lain yang sakit batuk-pilek juga. Satu minggu aja. Nanti juga insya Allah sembuh sendiri." Kata dokter sambil tersenyum.
Ujung-ujungnya pasti orangtua bertanya, "Lalu apa obatnya??"
"Sabar," jawab dokter. "Obatnya adalah: sabar menunggu anak sembuh sendiri. Toh ini infeksi virus ringan yang hilang seiring waktu. Tapi ya harus sabar. Karena banyak orang di sekelilingnya yang sakit serupa dan bolak-balik menularkan."
Satu lagi. Anak seringkali mengalami demam saat selesma. Suhunya bisa mencapai 40 derajat selsius. Ia menjadi rewel. Sudah diberi obat penurun panas, hanya turun sedikit jadi 38,5. Itupun kalau mau diminum obatnya. Banyak yang langsung muntah saat ia dipaksa orangtuanya minum parasetamol. Makin stres si ayah-ibu. Semalaman tidak tidur. Maunya digendong saja. Ditaruh sebentar di kasur, langsung nangis lagi. Hidungnya mampet. Batuknya grok-grok.
"Jadi saya harus kasih obat apa?" tanya orangtua lagi.
"Anaknya nyaman dan anteng kalau digendong kan?" tanya dokter.
"Iya...."
"Ya itu obatnya: gendong!"
Ya, semalaman menggendong anak tentunya melelahkan. Harus masuk kerja pula pagi-pagi.
Nikmatilah! Tidak akan lama masa-masa ini Anda alami. Anda akan segera merindukannya ketika anak-anak besar

Fakta Batuk dan Penanganannya



Fakta Demam dan Penanganannya



Mengenal Demam


Mengenal Diare


Mengenal Batuk-Pilek


Kisah Batuk

"Dok, anak saya sudah 2 bulan batuk. Saya sudah membawanya ke 2 dokter anak, diberi puyer racikan, sirup antibiotik, dan diuap. Tapi kok masih belum sembuh juga?"
"Katanya batuk yang lama dan tidak diobati bisa jadi flek ya?"
"Anak saya keluar cairan dari telinganya. Saya ditegur. Katanya gara-gara saya tidak mengobati batuk-pilek anak saya."
"Anak saya muntah tiap habis batuk. Saya tidak tega melihatnya. Apakah tidak ada obat untuk mengatasi hal ini?"
Tidak bisa dipungkiri, batuk adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seorang anak. Keluhan ini juga yang membuat orangtua sering membawa anaknya ke dokter. Apa yang seharusnya dilakukan?
Sebelum kita membahas berbagai jenis batuk pada anak, pahamilah dulu bahwa BATUK bukanlah PENYAKIT. Batuk adalah gejala yang diciptakan oleh tubuh untuk mengeluarkan benda asing berupa virus/bakteri/debu dalam lendir/dahak dari dalam tubuh. Apa artinya? Ya, batuk adalah bagian dari sistem PERTAHANAN tubuh kita.
Lalu pahami juga bahwa obat-obatan yang ditujukan untuk meredakan batuk pada anak ternyata tidak terbukti efektif! Bahkan cenderung memiliki efek samping. Apa obat batuk paling manjur? Banyak minum jawabannya.
Apa penyebab tersering batuk pada anak?
Anda memiliki dua orang balita. Minggu lalu si sulung pulang sekolah membawa oleh-oleh batuk. Pekan ini si bungsu mulai batuk juga. Tidak berhenti di sini, Anda pun mulai merasakan tidak nyaman di tenggorokan. Apa penyebab batuk ping-pong yang hampir tiap bulan dialami anak-anak ini? Tidak lain dan tidak bukan: infeksi VIRUS yang akan SEMBUH SENDIRI seiring waktu. Ya. Infeksi virus jelas sama sekali tidak membutuhkan antibiotik.
Lalu bagaimana mengobatinya?
Jika dibuat daftar, berikut adalah penyebab batuk pada anak:
1. Selesma/common cold (rinovirus, adenovirus, RSV, dll)
2. Flu (virus influenza)
3. Alergi
4. Asma
5. Post-viral cough
6. Aspirasi benda asing
7. Pneumonia (virus/bakteri/jamur)
8. Bronkiolitis (RSV)
9. Pertusis (bakteri)
10. Croup
11. Tuberkulosis/TB (bakteri)
12. Psikogenik/stres psikologis
13. Dan lain-lain
Saya tidak akan membahas semua itu, tapi yang sering terjadi saja.
Pertama, selesma. Ya ternyata penyebab tersering batuk pada anak adalah selesma yang MURNI disebabkan oleh infeksi virus. Ada sekitar lebih dari 100 jenis virus yang dapat menyebabkan selesma. Sayangnya: selesma tidak ada obat anti-virus-nya. Ya, tidak ada satupun obat yang efektif dapat menyembuhkan selesma, padahal ini adalah penyebab tersering batuk pada anak. Kabar baiknya adalah: penyakit ini ringan dan sembuh sendiri seiring daya tahan tubuh (waktu).
Dulu pernah diusahakan menciptakan suatu vaksin yang dapat mencegah penyakit ini. Sayangnya tidak berhasil. Apa sebabnya? Terlalu banyak virus yang dapat menyebabkan common cold, dan uji klinisnya selalu gagal.
Apakah vaksin flu yang masuk dalam jadwal rutin imunisasi pada anak dapat membantu mengurangi terjadinya selesma? Ternyata tidak. Ya, jelas saja, vaksin flu membantu mencegah sakit influenza (penyebabnya HANYA VIRUS influenza saja) berat yang bisa menjadi pneumonia, tapi tidak mencegah selesma, karena virusnya beda.
Apakah obat-obatan pereda gejala seperti antitusif (penekan refleks batuk) dan pengencer dahak (mukolitik) dapat membantu meredakan gejala? Silakan baca tulisan terdahulu saya tentang batuk-pilek.
Sampai kapan selesma dapat berlangsung? Kalau sudah batuk dan pilek lebih dari seminggu, bukankah harus ke dokter?
Ya, umumnya selesma sembuh sendiri dalam 1-2 minggu. Dengan syarat: TIDAK ADA orang lain di sekitarnya yang sakit selesma juga. Masalahnya adalah, pada kebanyakan kasus tidak seperti ini. Ambil contoh, anak kita yang berusia 4 tahun mendapatkan selesma dari kawannya di sekolah. Tidak lama kemudian, adiknya yang berumur 2 tahun tertular juga. Si kakak sudah hilang demamnya dan mulai mereda batuk-pileknya, eh si adik mulai mengalami demam. Lusanya si ayah dan ibu yang ikutan selesma. Satu rumah sakit selesma! Ketika si kakak seharusnya sudah sembuh, jadi berkepanjangan karena virus dari adik dan ayah-ibu kembali menyerang dirinya. Batuk pun berkepanjangan menjadi 2-3 minggu, bahkan 1 bulan. Kedua orangtua sudah bolak-balik ke dokter dengan sekian obat yang saya ceritakan di awal kisah 3 hari yang lalu. Tapi kok tidak sembuh juga? Jelas saja, virusnya masih ada dan berputar-putar di rumah. Antibiotik yang diberikan tidak mempan, karena yang seharusnya dibunuh adalah virus, bukan bakteri. Malahan anak mendapatkan antibiotik yang seharusnya tidak ia dapatkan. Inhalasi alias terapi uap yang isinya obat asma pun tidak manjur, karena memang si anak tidak sakit asma.
Lalu apa obatnya? Sabar. Ini obatnya.
Benarkah bila batuk yang berkepanjangan ini bisa jadi pneumonia? Atau "flek" paru?
Apakah selesma alias batuk pilek infeksi saluran napas akut atas akibat infeksi virus yang tidak diobati dapat berlanjut menjadi pneumonia?
Kita kenali dulu, apa itu pneumonia? Yaitu peradangan di jaringan paru-paru, tepatnya di alveoli (kantong-kantong udara kecil tempat bertukarnya gas oksigen masuk ke pembuluh darah), sehingga alveoli terisi cairan.
(Anyway, mungkin ini asal muasal istilah paru-paru basah. Padahal paru-paru kering enak dimakan rasanya).
Akibatnya pertukaran oksigen terganggu dan anak mengalami sesak napas. Ya, jadi beberapa kesimpulan:
- Selesma adalah ISPA atas, dan pneumonia adalah ISPA bawah
- Gejala pneumonia adalah sesak napas. Terlihat dari tarikan dalam di sela-sela iga, napas cepat, dan napas cuping hidung. Kondisi ini tidak dijumpai pada selesma/common cold
Pneumonia memang berawal dari ISPA atas. Anak mengalami selesma terlebih dahulu. Dalam 1-2 hari atau bisa juga lebih dari 1 minggu kemudian, anak mengalami sesak napas. Saat inilah anak dicurigai terkena pneumonia.
Jadi...selesma memang bisa berlanjut menjadi pneumonia. Tapi tidak semua selesma akan menjadi pneumonia. Dan ini tidak ada hubungannya dengan "diobati" atau tidak. (Lagipula apa obatnya selesma yang merupakan infeksi virus yang sembuh sendiri?)
Selesma yang berlangsung berminggu-minggu bisa saja tidak akan pernah menjadi pneumonia. Dan selesma yang berlangsung 1-2 hari bisa saja menjadi pneumonia.
Kesimpulannya: kenali gejala pneumonia. Kalau jelas selesma ya ditangani sebagai selesma. Kalau diagnosisnya pneumonia ya diobati sebagai pneumonia.
Badan kesehatan dunia alias WHO memang menganjurkan pemberian antibiotik pada pneumonia, meskipun tidak semua penyebab pneumonia adalah infeksi bakteri. Tetapi karena pada kondisi fasilitas kesehatan terbatas sulit membedakan pneumonia virus dengan bakteri, dan angka kematian akibat pneumonia cukup tinggi, maka pemberian antibiotik dibenarkan.
Apa saja memangnya kuman tersering penyebab pneumonia?
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pneumonia seringkali berawal dari infeksi saluran napas akut seperti selesma. Maka virusnya pun sama: rinovirus, adenovirus, dan RSV. Kita pahami bahwa infeksi virus, pneumonia sekalipun, sembuh dengan sendirinya dan tanpa antibiotik. Nah, pada kasus pneumonia berat yang merenggut banyak nyawa, antibiotik diberikan karena kemungkinan infeksi bakteri sebagai penyebab. Kuman terseringnya adalah Haemophilus influenzae tipe b (Hib) dan streptokokus pneumoniae alias pneumokokus. Obatnya tentu pemberian antibiotik. Menyadari pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyebabkan kematian paling sering pada balita (bersama dengan diare), maka upaya pencegahan harus dilakukan. Salah satunya adalah pemberian imunisasi Hib yang alhamdulillah sudah tercakup dalam program imunisasi cuma-cuma dari pemerintah (kombinasi dengan vaksin DPT dan hepatitis B). Vaksin lainnya adalah pneumokokus konjugat (PCV) yang sayangnya masih mahal harganya (belum disubsidi pemerintah) dan serotipe kuman yang terkandung di dalam vaksin masih kadang diperdebatkan efektivitasnya.
Penyebab lain yang patut dipertimbangkan di masa ketika jumlah orangtua yang menolak anak-anaknya diimunisasi adalah pertusis. Ya pertusis alias batuk rejan kini diduga mengalami peningkatan kasus dan komplikasinya adalah pneumonia yang berujung kematian. Padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin DPT. Obat pertusis adalah antibiotik golongan makrolid.
Lalu bagaimana dengan kecurigaan batuk kronik lain akibat asma dan alergi? Apa petunjuk yang dapat mengarahkannya?

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...