Hamil dan melahirkan merupakan pengalaman paling berkesan yang dialami setiap ibu. Bayi yang terlahir merah, menangis kuat, bergerak aktif adalah penghapus seluruh keletihan yang dialami selama 9 bulan mengandung.
Tetapi bagaimana bila bayi terlahir prematur? Bayi yang harus terlahir dengan usia kehamilan belum genap 37 minggu ini umumnya memiliki paru-paru yang belum “matang” untuk menghirup oksigen secara sempurna di dunia luar rahim. Bisa jadi, bayi lahir tidak menangis, sesak napas, dan segera membutuhkan alat bantu napas canggih. Apakah kondisi ini selalu terjadi pada bayi prematur? Adakah masalah-masalah kesehatan lain yang bisa timbul?
Definisi Bayi Prematur
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran seorang bayi yang usia gestasinya (kandungan ibu) belum mencapai 37 minggu. Sedangkan bayi cukup bulan adalah bayi yang terlahir pada usia gestasi 37 sampai 42 minggu, dengan mayoritas persalinan cukup bulan pada usia gestasi rata-rata 40 minggu.
Definisi prematur seharusnya dibedakan dengan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir di bawah 2.500 gram. Namun, nyatanya, bayi BBLR kerap pula disebut bayi prematur, karena memang kebetulan bayi-bayi BBLR sering terlahir kurang bulan/prematur. Sebagian bayi terlahir dengan BBLR, meskipun usia gestasinya cukup bulan. Bayi-bayi ini dinamakan kecil masa kehamilan (KMK) atau small for gestational age (SGA). Pembahasan bayi prematur dalam tulisan ini dibatasi untuk yang lahir kurang bulan (sebelum 37 minggu) dengan berat lahir sesuai usia gestasinya.
Prematuritas dan Masalah Fungsi Organ Tubuh
Allah menciptakan manusia, yang idealnya baru keluar dari kandungan setelah 37 minggu, bukan tanpa alasan. Rentang waktu tersebut dibutuhkan untuk mematangkan seluruh organ tubuhnya sehingga ketika terlahir nanti ia siap menghadapi dunia barunya. Bayi yang terlahir prematur tidak memiliki semua kematangan organ ini, tergantung seberapa muda bayi saat dilahirkan. Makin muda usia gestasinya, maka makin tidak siap fungsi optimal organ tersebut.
Karena kondisi tersebut, sering kali bayi-bayi prematur mengalami masalah-masalah berikut.
> Penyakit membran hialin/PMH (hyaline membrane disease atau respiratory distress syndrome)
Kondisi ini disebabkan oleh ketiadaan atau kekurangan surfaktan, yaitu senyawa yang dimiliki oleh paru-paru manusia yang berfungsi menjaga paru-paru agar tidak kolaps (menutup seluruhnya) saat membuang udara (buang napas atau ekspirasi). Bayi yang mengalami PMH akan tampak bernapas teratur dan normal selama beberapa saat setelah lahir, tetapi tidak lama kemudian akan makin sesak, terlihat tarikan kuat di antara sela-sela iga, dan bahkan bisa sampai biru karena kekurangan oksigen lanjut.
Bayi seperti ini harus mendapatkan penanganan alat bantu napas dari ventilator dan pemberian oksigen yang disesuaikan jumlahnya agar fungsi napasnya dialihkan kepada bantuan mesin (ventilator). Kondisi ini rentan dialami bayi prematur yang terlahir pada usia gestasi sebelum 32 minggu. Penanganannya adalah memberikan terapi surfaktan sintetis lewat selang bantu napas ketika bayi terbukti mengalami PMH. Angka kematian akibat PMH masih cukup tinggi karena sulit dan mahalnya harga surfaktan, dan tidak semua RS mempunyai ventilator khusus bayi dan tenaga yang terlatih merawatnya.
> Apnea dan bradikardia
Apnea adalah henti napas spontan yang dialami bayi prematur selama 20 detik atau lebih, dan kerap disertai dengan bradikardia, yaitu frekuensi nadi bayi menjadi lebih lambat dibandingkan sebelumnya (biasanya di bawah 100 kali per menit). Kondisi ini dikaitkan dengan kurang matangnya fungsi pernapasan di batang otak (susunan saraf pusat/SSP) sehingga kadang-kadang bayi “lupa” bernapas.
Apnea pada prematuritas harus dipastikan bukan merupakan kejang karena sebab tertentu; kekurangan gula darah/hipoglikemia, gangguan elektrolit, infeksi SSP (meningitis, ensefalitis), dan perdarahan otak. Penanganan terhadap apnea biasanya dengan memberikan kafein atau aminofilin/teofilin, dan pemantauan tanda-tanda vital bayi di NICU dengan monitor elektronik.
> Retinopathy of prematurity (ROP)
Kondisi ini disebabkan oleh retina (jaringan saraf mata yang berfungsi untuk melihat) belum terbentuk secara utuh/sempurna. Kondisi ROP dapat makin berat akibat penggunaan oksigen yang berlebihan melalui ventilator, atau konsentrasi oksigen tinggi lewat selang oksigen. Perkembangan terkini sangat menekankan kehati-hatian dalam memberikan oksigen, termasuk saat menolong bayi baru lahir yang tidak prematur sekalipun.
Pemantauan terhadap ROP dilakukan secara berkala hingga bayi melewati usia koreksi 40 minggu, sampai retina dinyatakan matur (matang). Upaya pemantauan dilakukan oleh dokter spesialis mata menggunakan alat khusus.
> Penyakit paru kronik (chronic lung disease atau bronchopulmonary dysplasia)
Yaitu bayi bergantung kepada terapi oksigen hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Bayi-bayi ini mengalami kesulitan bernapas ketika oksigen dilepas, atau nilai saturasi oksigen (kelarutan oksigen dalam darah) langsung turun saat terapi oksigen dihentikan. Padahal bayi-bayi ini sering kali dinyatakan sudah tidak perlu dirawat di RS sehingga mereka dipulangkan dengan oksigen yang masih terpasang dan dapat dibawa ke rumah.
Kondisi ini terjadi akibat perubahan struktur jaringan paru yang selama berminggu-minggu butuh beradaptasi dan mendapatkan terapi oksigen. Seiring bertambahnya usia bayi dan kematangan fungsi paru, diharapkan penggunaan oksigen dapat “disapih”.
> Gagal Tumbuh
Sejak lahir, pemantauan pertumbuhan bayi prematur (berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala) dilakukan menggunakan kurva Fenton atau kurva standar dari WHO, dengan memerhatikan usia koreksi (bukan usia aktual/kronologis). Misalnya, bayi yang terlahir prematur dengan usia gestasi 32 minggu, berarti “kurang” 8 minggu menuju usia cukup bulan (40 minggu). Maka, tiap kali dilakukan pemantauan pertumbuhan, usia yang diplot adalah usia koreksi (selalu dikurangi 8 minggu atau 2 bulan). Jika usia kronologis bayi 3 bulan, maka usia koreksinya 1 bulan. Jadi, berat badan, panjang badan, dan lingkar kepalanya diplot pada bayi usia 1 bulan.
Apabila berat dan/atau panjang badannya masih masuk ke dalam kurva (minimal persentil 3 atau minus 2 SD), disimpulkan kemungkinan pertumbuhannya normal. Artinya, nutrisi yang diberikan sudah mencukupi. Namun, bila tidak pernah memasuki tren pola pertumbuhan normal, perhatikan, apakah memang bayi prematur belum memasuki pola pertumbuhan sama dengan bayi yang tidak prematur (tetap dengan usia koreksi).
Evaluasi nutrisi harus dilakukan berkala pada bayi-bayi prematur ini agar tidak mengalami kondisi gagal tumbuh yang dapat berdampak pada perkembangan otak dan kemampuan tubuh mengatasi infeksi (sistem imun). Dengan berbagai keuntungannya, air susu ibu (ASI) tetap menjadi pilihan utama, meski sering kali perlu ditambah human milk fortifier (HMF) atau suplemen lainnya.
> Gangguan Pendengaran
Meski lahir prematur, bayi memiliki pendengaran sempurna. Itu sebabnya, ibu disarankan sering mengajak bicara bayi sejak masih dalam kandungan, karena janin sudah dapat mendengar.
Akan tetapi, bayi prematur berisiko terkena infeksi di dalam ruang rawat sehingga kerap diberi antibiotik yang terkadang berefek merusak fungsi pendengaran. Ia juga rentan mengalami hiperbilirubinemia (kadar bilirubin darah melebihi normal dan berisiko menembus sawar darah-otak) yang tampak sebagai gejala kuning sehingga membutuhkan terapi sinar. Kondisi hiperbilirubinemia juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran kelak. Untuk itu, bayi prematur disarankan rutin menjalani pemeriksaan fungsi pendengaran dengan uji otoacoustic emission (OAE) dan brainstem auditory evoked potentials (BAEP/BERA).
> Anemia Prematuritas
Kemampuan sumsum tulang bayi prematur dalam memproduksi sel darah merah (eritrosit) juga belum sebaik bayi cukup bulan, karena itu ia rentan mengalami anemia. Kondisi ini diperberat dengan adanya pengambilan darah berulang, infeksi, dan peningkatan kebutuhan oksigen. Untuk itu, perlu dilakukan pemantauan berkala terhadap kadar hemoglobin bayi dan pemberian suplemen zat besi saat usianya satu bulan.
Pentingnya Ketelatenan Orangtua
Semua bayi prematur yang pernah mengalami minimal salah satu kondisi di atas disebut bayi risiko tinggi. Setelah dirawat, baik pernah melewati NICU atau tidak, bayi-bayi berisiko tinggi harus mendapatkan pemantauan berkala di praktik dokter anak, klinik khusus bayi risiko tinggi, atau di pelayanan primer seperti puskesmas. Orangtua dari bayi prematur yang paham semua risiko tersebut dapat membantu dokter membuat “daftar tilik” atas hal-hal yang harus dipantau pada bayinya ketika kontrol.
Bayi-bayi prematur juga berisiko mengalami gangguan (keterlambatan) perkembangan dan kecerdasan di kemudian hari. Karena itu, pemantauan tidak hanya dilakukan terhadap fungsi organ dan pertumbuhan (berat dan panjang badan), tapi juga pada tahapan-tahapan perkembangan yang seharusnya dapat dilalui sesuai usia koreksinya. Apabila telah melewati usia 6 bulan, 12 bulan, dan 18 bulan masih ada milestone perkembangan yang terlambat, maka harus dievaluasi penyebabnya.
Prematuritas dan berat lahir rendah juga dihubungkan dengan risiko darah tinggi (hipertensi) dan obesitas (kelebihan berat badan) di usia remaja dan dewasa, yang terkait dengan berbagai penyakit degeneratif. Ini artinya, pemantauan terhadap bayi prematur tak hanya dilakukan dalam beberapa tahun pertama, melainkan hingga belasan bahkan puluhan tahun kemudian.
Mengenali faktor risiko penting bagi seorang ibu agar dapat mencegah persalinan prematur. Apa saja?
Usia ibu hamil yang terlalu muda, atau sebaliknya terlalu tua. Usia optimal untuk hamil adalah 20 – 30 tahun.
Kehamilan kembar, baik kembar dua atau lebih. Ibu yang mengandung lebih dari satu bayi berisiko melahirkan bayi-bayi prematur.
Infeksi saat kehamilan, misalnya infeksi oleh sitomegalovirus (CMV), toksoplasma, infeksi menular seksual (HIV, hepatitis B), cacar air, rubella, dan radang tenggorok akibat streptokokus beta hemolitikus grup B. inilah pentingnya senantiasa mencuci tangan dan memasak makanan hingga matang (mencegah CMV), menghindari kontak dengan hewan piaraan yang kotor (toksoplasma), dan melengkapi imunisasi (cacar air, MMR) sebelum kehamilan.
Konsumsi alkohol dan merokok saat hamil.
Penyakit kronik, seperti hipertensi (tekanan darah tinggi) dan diabetes pada kehamilan. Inilah pentingnya memeriksakan kesehatan secara teratur saat hamil dan menjaga pola hidup sehat serta olahraga.
Riwayat persalinan prematur pada kehamilan sebelumnya.
Stres psikologis.
Kehamilan kembar, baik kembar dua atau lebih. Ibu yang mengandung lebih dari satu bayi berisiko melahirkan bayi-bayi prematur.
Infeksi saat kehamilan, misalnya infeksi oleh sitomegalovirus (CMV), toksoplasma, infeksi menular seksual (HIV, hepatitis B), cacar air, rubella, dan radang tenggorok akibat streptokokus beta hemolitikus grup B. inilah pentingnya senantiasa mencuci tangan dan memasak makanan hingga matang (mencegah CMV), menghindari kontak dengan hewan piaraan yang kotor (toksoplasma), dan melengkapi imunisasi (cacar air, MMR) sebelum kehamilan.
Konsumsi alkohol dan merokok saat hamil.
Penyakit kronik, seperti hipertensi (tekanan darah tinggi) dan diabetes pada kehamilan. Inilah pentingnya memeriksakan kesehatan secara teratur saat hamil dan menjaga pola hidup sehat serta olahraga.
Riwayat persalinan prematur pada kehamilan sebelumnya.
Stres psikologis.
*Rubrik ini diasuh oleh dr. Arifianto, SpA atau akrab dipanggil Dokter Apin. Selain aktif berpraktik di RSUD Pasar Rebo, beliau juga menulis buku Orangtua Cermat, Anak Sehat" dan Buku Pro Kontra Imunisasi
No comments:
Post a Comment