Wednesday, May 20, 2015

Susu dan Sembelit

Hari ini saja saya sudah mendapatkan dua anak yang mengalami kesulitan buang air besar sejak berbulan-bulan lamanya. Menanggapi kasus-kasus semacam ini, yang kerap kali dihadapi dokter anak, pertanyaan pertama saya biasanya adalah: berapa banyak anaknya minum susu dalam sehari?
Tidak mengejutkan sebenarnya, jawabannya adalah: rata-rata lebih dari 1 liter dalam sehari. Anak-anak ini tidak jarang memiliki status gizi yang baik. Bukankah asumsi sebagian orangtua adalah berikan susu yang banyak agar kebutuhan nutrisi anak tercapai? Bukankah iklan-iklan di TV menunjukkan anak-anak yang rajin minum susu menjadi sehat dan cerdas? Tapi pernahkah mereka menjumpai fakta yang kami hadapi: anak-anak yang selalu kesakitan tiap buang air besar. Anak-anak ini kadang bahkan cukup konsumsi sayur dan buahnya. Minum air putih pun banyak. Tapi buang air besar hanya 2 - 3 kali seminggu dengan perjuangan keras. Mengedan dan menangis. Mereka pun menjadi takut pup dan makin menahan pup karena tidak ingin kesakitan. Alhasil tinja menjadi makin keras. Lingkaran setan. Mereka mengalami sembelit alias konstipasi fungsional.
Lalu apa hubungannya dengan konsumsi susu? Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari jawabannya. Ada yang mengaitkan konstipasi dengan intoleransi laktosa. Beberapa menghubungkannya dengan alergi terhadap protein susu sapi, sehingga ada yang menyarankan susu kedelai. Tapi susu kedelai pun masih bisa membuat alergi.
Di balik semua ini: apakah susu merupakan sumber nutrisi wajib bagi anak? Bukankah susu justru dibatasi konsumsinya pada anak di atas 1 tahun?
Susu sebagai salah satu produk nutrisi yang dulu dianggap sebagai penyempurna makanan sehat (ingat 4 sehat 5 sempurna?) kini mengalami pergeseran paradigma. Mayoritas susu yang dikonsumsi di dunia berasal dari sapi, padahal tidak semua negara memiliki kantong-kantong peternakan sapi yang digunakan sebagai hewan perah. Konsep nutrisi seimbang yang kini dianut mayoritas negara maju adalah piramida makanan (food pyramid) yang menempatkan susu di bagian yang mendapatkan porsi kecil saja. Amerika Serikat mempunyai konsep food plate yang menempatkan susu di luar "plate"-nya. Padahal AS diketahui sebagai negara yang tampak kental kultur minum susunya. Apa artinya? Susu sebagai pelengkap. Bahkan yang ada adalah batasan maksimal konsumsi susu, yaitu 500 ml pada anak. Bolehkah anak berusia di atas 1 tahun tidak minum susu sama sekali? Mengapa tidak. (O iya, susu yang saya bicarakan di sini sejak kemarin bukan ASI ya)
Kembali kepada tujuan utama: mengapa harus minum susu? Untuk mendapatkan kalsium-nya terutama. Ingat ya, kalsium bisa didapatkan dari berbagai sumber makanan. Susu juga mengandung lemak dan sebagian diperkaya zat besi. Tapi tetap saja bukan sumber utamanya.
Dalam bahasan terdahulu dijelaskan bahwa penyebab sembelit akibat konsumsi susu dihubungkan dengan intoleransi laktosa atau alergi protein susu sapi.
Tidak sedikit anak yang dikurangi volume susunya langsung mengalami perbaikan konsistensi tinja menjadi tidak keras. Sembelit alias konstipasi teratasi! Tentunya dibarengi dengan makanan tinggi serat, banyak minum air, dan toilet training sedini mungkin. Bagaimana bila konstipasi tidak langsung teratasi? Kasihan kan lihat anak menderita kesakitan dan menangis saat BAB. Pencahar seperti laktulosa dapat diberikan untuk melunakkan tinja. Buat anak agar tidak trauma saat BAB dengan bantuan obat ini. Sambil mengurangi susu dan menjalankan saran lainnya. Setelah pup lancar, pencahar dihentikan bertahap.
Dampak buruk kelebihan susu lainnya adalah membuat anak kenyang dan malas makan. Anak boleh saja tampak gemuk, tapi tidak mau makan sayur dan buah yang tinggi serat, sehingga tinjanya keras. Terlalu banyak susu yang mengandung kalsium juga mengikat zat besi sehingga kurang optimal diserap di usus. Anak mengalami anemia defisiensi besi.
Belum lagi masalah gigi yang berkaries. Anak minum susu dengan dot sambil tidur, tidak gosok gigi, dan gula terus mengaliri gigi membentuk media yang kondusif bagi bakteri rongga mulut menghasilkan karies.
Orangtua tidak kalah pentingnya menjadi role model bagi anak-anaknya dalam hal gemar makan sayur dan buah. Prinsipnya: minumlah susu dengan bijak.

4 comments:

Mamahasnahanan said...

Alhamdulillah, ini yg dicari2 dari kemarin, di FB dibagi 2 , part 2 nya ga ketemu

Barakallah dok..makasih

Fajar Utomo said...

Halo, Dok. Saya pria berumur 21 tahun yang menderita sembelit setelah mengonsumsi bubuk whey protein yang tinggi laktosa. Apakah sembelit saya bisa disembuhkan dengan konsumsi whey protein yang berasal dari kedelai? Saya mengonsumsi bubuk ini karena ketidakmampuan saya memenuhi kebutuhan protein harian yang lebih banyak demi menaikan berat badan dan membangun otot.

Nurul said...

Perlu dikasih obat ga yaa .. nama obatnya apa yaa

Carisahabat said...

Mau punya banyak uang?? Ayo Segera Daftar-Deposit-Main-Withdraw Datang segera jangan sampai tidak kebagian ya. Link resmi klik saja ya
>>JOIN<<
>>DAFTAR<<

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...