Wednesday, May 20, 2015

Di balik kuning, demam, batuk, pilek, diare

Batuk, pilek, mencret, bahkan sampai kuning pada bayi dan "tali lidah" pun ternyata Allah ciptakan bukan tanpa tujuan.
Kadang kita mengeluhkan ketika diri kita atau anak kita sakit. Demam hingga anak rewel dan tak kunjung tidur semalaman. Pilek dan hidung mampet sampai bayi gelisah tidurnya. Batuk sehingga si kecil terjaga semalaman. Sedih sekali. Mengapa Allah ciptakan semua penyakit ini?
Bahkan ketika bayi baru lahir sekalipun, ada sebagian yang mengalami kuning. Saya yakin ada di antara Ibu/Bapak yang pernah bayinya mendapatkan terapi sinar (fototerapi), karena kadar bilirubin darahnya melampaui batas. Jika tidak "disinar", maka bilirubin akan melampaui ambangnya dan masuk menembus sawar darah-otak, menyebabkan kejang alias kern icterus! Bayi berisiko cacat permanen.
Tahukah Anda, ternyata kuning pada bayi baru lahir pun ada tujuannya. Meskipun masih menjadi perdebatan, beberapa pakar menyimpulkan keadaan bilirubin darah yang lebih tinggi dari seharusnya pada bayi baru lahir disinyalir sebagai antioksidan (silakan baca dihttp://www.thematrona.com/…/the-physiologic-role-of-bilirub…). Ya, pada hakikatnya seorang bayi yang baru dilahirkan mengalami "perpindahan dunia". Dari alam rahim yang tenang, penuh perlindungan dari berbagai kuman, dan steril, menuju alam baru yang "penuh tantangan". (Filosofi menangis pada bayi baru lahir adalah sedih atau kaget ketika berpindah dunianya. Tapi kalau bayi lahir tidak menangis, maka dokter atau bidannya yang nangis. Hehe) Kadar bilirubin yang secara alamiah meningkat selama 2 minggu pertama dinilai menjadi antioksidan terhadap stres oksidatif akibat udara panas/dingin, mulainya bernapas (bayi menangis adalah bentuk usaha napas pertamanya), dan mulainya kegiatan baru seperti menyusu.
Tentunya kadar bilirubin darah ada ambang maksimalnya. Bila dibandingkan penelitian dari tahun ke tahun, ambang batas terapi sinar mengalami peningkatan. Jika melihat kebiasaan yang dilakukan oleh dokter-dokter jaman dulu, maka batas toleransi untuk diterapi sinar lebih tinggi saat ini. Apa artinya? Angka belasan yang dulu mungkin sudah langsung dinyatakan untuk diterapi sinar, kini lebih bervariasi (lihat kurva normogram atau grafik terapi sinar dari American Academy of Pediatrics di tahun 2004). Ini pun melihat usia kehamilan/gestasi, dan faktor risiko saat persalinan. Anda bisa mengeceknya dengan mudah di www.bilitool.org
Meskipun bayi terlihat kuning, tapi jika angkanya masih ditolerir, maka tidak buru-buru harus mengerjakan fototerapi. Apakah kebiasaan menjemur dapat mengurangi kuning pada bayi? Ya, menjemur dapat mengubah warna kuning di kulit bayi menjadi hitam! Alias membakar kulit bayi...
Menyusui terbukti dapat mengurangi kejadian breastfeeding jaundice (kuning akibat konsumsi ASI yang kurang). Maka pada usia lebih dari 2 minggu, umumnya kuning berkurang dengan sendirinya.
Bagaimana dengan demam?
Saya justru banyak belajar dari sumber yang kebanyakan ditulis oleh orang-orang "Barat". Bahwa batuk-pilek alias selesma/common cold bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Saya yakin kawan-kawan yang pernah menetap di Australia, Inggris, dan Belanda bisa menceritakan pengalaman serupa. Batuk adalah mekanisme tubuh yang Allah ciptakan untuk membuang kuman dan benda asing yang masuk ke dalam saluran napas. Ingus dan dahak Allah ciptakan keluar dari hidung dan tenggorokan dengan membawa banyak virus dan bakteri mati. Pernahkah Anda menyaksikan orang yang terbaring di ICU dengan alat bantu napas, tidak dapat batuk untuk mengeluarkan dahaknya? Perawat harus rutin menyedot lendirnya. Jika tidak, ia akan sesak napas dan berujung pada kematian. Inilah nikmat batuk yang Allah berikan! Atau lihatlah anak-anak dengan palsi serebral, kelumpuhan otot bawaan, atau fibrosis kistik. Maka batuk dan pilek menjadi nikmat untuk mereka.
Lalu menghadapi diare. Panduan penanganan diare yang dikeluarkan oleh WHO dan berbagai guidelines menyebutkan: tidak perlu obat untuk menghentikan diare. Biarkan diare terjadi, yang penting ganti terus dengan cairan (minum) agar tidak dehidrasi. Diare adalah upaya tubuh yang Allah ciptakan untuk membuang virus dan bakteri keluar tubuh. Sama halnya dengan muntah.
Bagaimana dengan demam? Sudah berkali-kali saya bahas, virus dan bakteri tidak dapat berkembang biak pada kondisi demam. Sel-sel darah putih (lekosit) yang memerangi kuman pun bekerja optimal pada suhu demam. Apa yang diajarkan "orang-orang bule" ini dalam literatur mereka? Ya, banyak minum, kompres hangat, dan obat penurun panas HANYA diberikan jika anak rewel.
Kesannya malah seperti kedokteran "alamiah" yang lalu diidentikkan dengan pengobatan "Timur" dan thibbun nabawi. Ya, saya sebut pengobatan Timur, karena ada yang membuat definisi kedokteran Barat. Dan segala sesuatu yang sifatnya "alamiah" diidentikkan dengan "Thibbun Nabawi" atau kedokteran "Timur". Barat identik dengan kimia, barang haram, dan membahayakan tubuh. (Dan tentunya "tidak sesuai dengan Sunnah Rasul". Hehe).
Padahal referensi-referensi Barat yang kesannya alamiah ini disimpulkan berdasarkan penelitian. Evidence based medicine. Malah, mohon maaf, saran-saran dari " thibbun nabawi" (saya kasih tanda kutip), kadang lebih "repot". Kasih herbal A, ramuan B, dsb.
Saya tegaskan, saya tidak mempertentangkan atau membenturkan thibbun nabawi dengan kedokteran Barat. Saya beri tanda kutip untuk kata thibbun nabawi, karena saya menilai beberapa praktisi thibbun nabawi (menurut saya pribadi ya, maaf jika saya salah) tidak memahami hakikat thibbun nabawi, dan terkesan memaksakan thibbun nabawi ya "seperti itu". Padahal formulasi yang ada, bila melihat pada masa Rasulullah, sifatnya umum.
Kemarin saya menulis tentang "kontroversi" tindakan insisi pada tongue tie. Banyak komentar yang berdatangan. Saya coba mencari, apakah orang Bule pun melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan bayinya memiliki tongue tie dan mengalami nyeri saat menyusui? Tidak banyak memang tulisan yang bisa didapatkan, tapi lagi-lagi, saya mendapatkan kesan bahwa mereka lebih "sabar" dalam menghadapi kondisi ini. Bersungguh-sungguh dulu memperbaiki manajemen laktasi, baru sampai pada tahapan memutuskan: perlu tidaknya insisi. Berkebalikan dengan beberapa kasus yang saya dapatkan di ibukota negeri ini: memudahkan tindakan insisi (hanya pada sebagian kasus ya).
Orang-orang bule ini tampaknya terbiasa lebih sabar, dibandingkan kita, saat menghadapi anak sakit. Lebih sabar menghadapi batuk dan pilek dengan hanya memberikan banyak minum. Lebih sabar menghadapi demam dengan memberikan banyak minum. Lebih sabar menghadapi diare dengan memberikan banyak minum.
Lebih sabar, atau lebih paham?
Menjadi ayah dari 3 balita, saya pun mengalami hal serupa. Menghadapi putra-putri yang tidak mau minum obat padahal suhunya tinggi. Menyabarkan mendengarkan batuk dan tidur gelisah dengan menggendong berlama-lama. Menyaksikan ada yang muntah dan menawarkannya minum.
Kita orangtua bagi anak-anak kita. Dan kita terus belajar.

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...