Sunday, May 24, 2015

A note from a journalist

Yang saya tahu, jurnalis atau wartawan itu ada dua: yang meliput langsung ke lapangan dan menuangkan hasil pengamatannya ke dalam tulisan dan yang sekedar "manteng" di depan monitor dan mengutip sana sini hasil bacaannya untuk dijadikan tulisan.
Tipe yang pertama adalah yang saya gunakan saat menulis buku kedua saya: Pro Kontra Imunisasi.
Saya tidak sekedar manteng di depan komputer mencari bahan tulisan, atau baca buku dan jurnal saja, tapi saya harus bertindak sebagai seorang "real journalist". Karena ini yang diajarkan saat saya masih aktif di lembaga jurnalistik mahasiswa saat kuliah kedokteran dulu. Maka saya menyambangi PT Bio Farma di Bandung untuk melihat langsung proses pembuatan vaksin dan mewawancarai vaksinolog senior di situ. Saya mendatangi Badan POM RI di Percetakan Negara untuk mewawancarai seorang Deputinya untuk mendapatkan informasi bagaimana vaksin sampai bisa beredar di Indonesia. Saya mendatangi Subdit Imunisasi Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan informasi langsung pelaksanaan imunisasi selama ini. Saya mengunjungi seorang anggota Tim Ahli LPPOM MUI di kantornya di Ragunan untuk tahu persis bahwa sebenarnya vaksin itu tidak haram.
Lalu saya gabungkan dengan pengalaman keseharian saya sebagai seorang praktisi klinis di bidang imunisasi. Jadilah buku ini akhirnya, dengan taufik dan rahmat Allah.
Saya mencoba bertindak selaku seorang jurnalis apa adanya.
Makanya saya heran, ketika para jurnalis yang memuat tulisan kontra-imunisasi adalah mereka yang mengandalkan pengamatan di depan layar komputer saja, tanpa pernah meliput langsung ke lapangan. Lalu mereka pun dipercayai oleh banyak pembacanya, karena dianggap memiliki reputasi sebagai media yang jujur.
What do you think?

1 comment:

Viki Arist said...

dokter. saya izin share

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...