Wednesday, December 09, 2015

Cuci tangan dan antibiotik

Pekan kepedulian antibiotik (antibiotic awareness week) memang baru berakhir kemarin. Tapi semangat untuk tetap menjalankan pesan-pesannya jangan sampai padam. Misalnya saja yang sudah dibuatkan oleh WHO, bagi para petugas kesehatan. Meskipun khusus ditujukan bagi para health workers, tapi pesan ini bisa dikerjakan oleh banyak kalangan.

1. Cuci tangan adalah kebiasaan yang sangat penting. Periha...l hand hygiene ini ternyata terbukti ampuh menyelamatkan nyawa. Kok bisa? Satu poin penting yang sering kita bahas terkait antibiotik adalah kuman (bakteri) yang sudah resisten alias kebal terhadap antibiotik jenis tertentu. Tangan yang terkontaminasi bakteri resisten bisa menjadi media perantara pindahnya kuman dari satu orang ke orang lainnya. Misalnya saja sehabis bersentuhan dengan pasien yang di kulitnya terdapat bakteri stafilokokus yang sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik, lalu petugas kesehatan ini tidak mencuci tangannya lalu menangani pasien lainnya, maka pasien lain ini rentan terinfeksi bakteri mutan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seorang Ibu yang sedang membersihkan kotoran (tinja) anaknya yang sedang mengalami diare akibat rotavirus, maka harus memastikan dirinya sudah mencuci tangan dengan bersih, ketika hendak memegang anaknya yang lain. Jangan sampai si Ibu menjadi penular kuman penyebab diare bagi anaknya yang lain.
Apabila tidak tersedia air mengalir dan sabun, maka handrub berbasis alkohol atau klorheksidin dapat digunakan (mohon koreksinya).

2. Ternyata imunisasi terbukti mampu mencegah resistensi antibiotik! Bagaimana ceritanya? Ya iya dong, kan vaksin dapat mencegah seseorang terkena penyakit infeksi akibat virus/bakteri. Maka peluang dirinya menjadi sakit atau menularkan kuman mutan ke orang lain menjadi lebih kecil. Secara tidak langsung, imunisasi dapat mengurangi peluang "menzalimi" orang lain dengan penyakit yang dimiliki oleh seseorang yang sakit.

Nomor 3, 4, 5 lebih spesifik menyentuh penggunaan antibiotik. Mudah-mudahan berkesempatan menjelaskannya di lain waktu

Rubella jangan dianggap biasa saja

Akhir-akhir ini tulisan saya banyak berkisah tentang penolakan terhadap imunisasi. Mudah-mudahan saja yang baca tidak bosan. Alasannya memang 1 bulan terakhir kasus-kasus yang saya temui terkait dengan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Misalnya saja satu kisah seorang ibu dengan 5 anak. Ia dan suaminya yang sudah paruh baya membawa anak kelimanya yang masih batita. Rubella. Itu diagnosisnya ketika saya melihat ruam-ruam merah di kulitnya. Saya jelaskan bahwa penyak...it ini tidak membahayakan si anak.
"Imunisasinya lengkap?" tanya saya. Pertanyaan ini mulai otomatis terlontar ketika berhadapan dengan ibu-ibu berhijab dan bergamis lebar (mohon maaf, tidak bermaksud menggeneralisir).
Si ibu mulai tersenyum salah tingkah, sambil melirik suaminya. "Anak ini tidak diimunisasi sejak lahir." Jawaban yang paling tidak saya harapkan hari itu.
Jadi dari kelima anaknya, empat orang yang teratas sudah menjalani imunisasi rutin. Tapi si batita yang berjarak jauh usianya dari kakak-kakaknya ini justru tidak diimunisasi.
"Ada yang sedang hamil muda di rumah?" tanya saya lagi. Pertanyaan standar tiap kali menghadapi pasien rubella.
"Kebetulan kakaknya yang paling besar sedang hamil beberapa minggu. Dan dia sering membantu mengasuh adiknya ini."
Jawaban kedua yang paling tidak ingin saya dengar hari itu. Saya langsung menyerocos menjelaskan risiko sindrom rubella kongenital yang menyebabkan cacat seumur hidup pada janin yang terinfeksi rubella saat ibunya hamil di tiga bulan pertama.
Respon pasangan suami-istri ini cukup cepat untuk memutuskan mereka akan segera mengejar ketinggalan imunisasi si bontot beberapa saat nanti. Respon akhir yang membuat saya senang. Setidaknya menetralisir dua "kabar buruk" sebelumnya.
Inilah fakta yang cukup banyak. Awalnya orangtua cukup rajin melengkapi imunisasi anak-anaknya. Tapi ketika anak mereka lahir dalam 2 tahun terakhir, kampanye hitam antivaksin masuk ke dalam telinga mereka dan membuatnya tidak masalah untuk tidak memberikan imunisasi bagi sang bayi.
Semoga tidak ada lagi kasus-kasus serupa. Kasus yang berisiko melahirkan bayi-bayi dengan cacat seumur hidup, semata-mata akibat fitnah terhadap imunisasi.

Kehilangan satu nyawa sudah terlalu banyak untuk kami

Buat kami para dokter, kehilangan satu saja nyawa pasien yang diamanahkan kepada kami untuk merawatnya, adalah kehilangan yang besar.
Satu nyawa sudah terlalu banyak untuk kami.
Itu sebabnya kami demikian gigih mengampanyekan upaya pencegahan penyakit bagi masyarakat. Imunisasi adalah salah satunya. Karena kami paham benar bahwa imunisasi sudah mencegah kehilangan banyak nyawa.
...
Kami melihat sendiri betapa menderitanya mereka yang kejang-kejang menahan sakit di sekujur tubuhnya karena tetanus. Padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin. Kami membayangkan penderitaan mereka yang mengalami tetanus berat sampai membutuhkan alat bantu napas (ventilator) atay tak sadarkan diri, ketika kami merawat mereka.
Kami mengetahui penderitaan anak-anak yang mengalami difteri hingga harus dilubangi saluran napas atasnya (lewat bagian bawah leher, yaitu trakeostomi), padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin. Bayangkan juga kesusahan keluarga yang harus menemani anaknya dirawat selama berminggu-minggu, sehingga sang ayah tidak dapat bekerja mencari nafkah. Padahal vaksin DPT diberikan secara gratis di Puskesmas.
Kami juga menyaksikan sendiri anak-anak yang mengalami komplikasi berat akibat campak, berupa pneumonia yang sampai membutuhkan pemasangan ventilator, diare berat yang membuat si anak kehilangan cairan dan elektrolit sampai membutuhkan perawatan ruang intensif, dan kejang yang lama baru berhasil ditangani. Banyak orang berpikir campak adalah penyakit biasa. Padahal ruam-ruam kulit yang bisa dicegah dengan vaksin ini sangat berbahaya.
Kami juga merasakan kepedihan orang-orang dewasa penderita kanker hati dan sirosis akibat hepatitis B. Makanya kami berjuang memberikan vaksin ini sejak bayi baru lahir.
Kami juga melihat beban hidup yang ditanggung penderita polio seumur hidupnya. Kami lalu menjadi tahu anak-anak sekolah harus tertinggal pelajarannya di sekolah akibat hepatitis A. Dan masih banyak derita lain akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi.
Kami para petugas kesehatan mengetahui dan merasakannya. Mungkin sebagian dari Anda tidak mengetahuinya. Mari, saya beritahu kalau begitu. Jangan sampai ketidaktahuan sebagian kecil orang menjadi penghalang kesejahteraan hidup banyak orang.
Kehilangan satu nyawa saja sudah terlalu banyak untuk kami.

Tanya-jawab kontroversi vaksin MMR dan autisme

-- Apakah vaksin menyebabkan autisme? Singkatnya: tidak. Karena sudah banyak sekali penelitian yang membuktikannya. Misalnya saja penelitian-penelitian yang dilakukan oleh CDC untuk membuktikan tidak adanya hubungan antara MMR dengan autisme.
1. Penelitian berjudul “A Population-Based Study of Measles, Mumps, and Rubella Vaccination and Autism” oleh Kohort dipublikasikan oleh Jurnal New England Journal of Medicine (Nov 2002; 347:1477-82). Penelitian yang dilakukan di Danish Study, Denmark ini memantau lebih dari 500 ribu anak selama 7 tahun lebih dan tidak menemukan hubungan antara Vaksin MMR dan autisme.
2. Penelitian berjudul “Age at First Measles-Mumps-Rubella Vaccination in Children With Autism and School-Matched Control Subjects: A Population-Based Study in Metropolitan Atlanta” ini dipublikasikan oleh Jurnal Pediatrics (Feb 2004; 113(2):259-66) sebagai studi kasus-kontrol. Dalam penelitian ini, data diambil melalui Metropolitan Atlanta Developmental Disablities Surveillance Program (MADDSP). Penelitian yang dilakukan tahun 1996 ini membandingkan kelompok anak usia 3—10 tahun yang didiagnosis autisme dan mendapatkan imunisasi MMR (berdasarkan kriteria DSM-IV) dengan kelompok kontrol—yaitu kelompok anak yang tidak diimunisasi. Hasilnya, tidak ditemukan adanya perbedaan antara kelompok yang diimunisasi dengan yang tidak diimunisasi.
3. Penelitian berjudul “Lack of Association between Measles Virus Vaccine and Autism with Enteropathy: A Case-Control Study” ini dipublikasikan oleh Jurnal PLoS ONE (Sept 2008; 3(9): e3140. doi:10.1371/journal.pone.0003140 sebagai studi kasus-kontrol. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Columbia University Mailman School of Public Health, Massachusetts General Hospital, Trinity College Dublin, dan CDC. Penelitian dilakukan terhadap sampel jaringan usus besar untuk mencari RNA Virus Campak. Dari 25 anak dengan autisme dan 13 anak non-autisme—sebagai kelompok kontrol, hanya ditemukan satu orang anak dari tiap kelompok dengan RNA Virus Campak. Kesimpulannya, tidak ada hubungan antara Vaksin Campak dengan autisme.
4. Penelitian berjudul “Is There a ‘Regressive Phenotype’ of Autism Spectrum Disorder Associated with the Measles-Mumps-Rubella Vaccine? A CPEA Study” ini dipublikasikan oleh Journal of Autism and Developmental Disorders (April 2006; 36(3):299-316) sebagai studi kasus-kontrol. Penelitian ini merupakan studi kolaborasi antara The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dan CDC yang dilaksanakan oleh Collaborative Programs of Excellence in Autism. Dari penelitian terhadap 351 anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan 31 anak sehat ini, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara regresi (kemunduran perkembangan anak) pada ASD dengan imunisasi MMR.
-- Apakah timerosal itu? Mengapa ia dikaitkan dengan autisme?
Timerosal atau thiomersal adalah pengawet di dalam vaksin yang bermanfaat untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur, khususnya pada vaksin multidosis—yaitu satu vial/botol vaksin sediaannya digunakan untuk menyuntik beberapa orang, dengan jarum berbeda-beda dan sekali pakai. Bahan pengawet ini mengandung merkuri (air raksa). Padahal, seperti yang telah kita ketahui, merkuri dalam jumlah besar bersifat toksik dan dapat meracuni otak. Penggunaan timerosal dalam vaksin sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu.
Di era 1900—1930, perusahaan pembuat vaksin memproduksi vaksin dalam bentuk vial multidosis. Dengan cara ini, vaksin dapat diproduksi dengan harga yang lebih murah. Dokter menggunakan vaksin dengan cara menyuntikkan jarum menembus karet pelindung vial, dan diulang sesuai jumlah orang yang akan disuntik. Saat itu, pengawet belum digunakan dalam vaksin sehingga bakteri dan jamur tanpa disadari dapat mengontaminasi vial vaksin.
Akibatnya, banyak anak mengalami abses (infeksi kulit berisi nanah) lokal hingga infeksi berat, seperti sepsis (infeksi bakteri yang mengalir di dalam darah) yang berujung pada kematian. Penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri stafilokokus dan streptokokus yang mengontaminasi vaksin. Barulah di akhir tahun 1940-an, pengawet—seperti timerosal mulai digunakan pada mayoritas vial vaksin multidosis untuk mencegah terjadinya infeksi berat.
Selama puluhan tahun, timerosal digunakan sebagai pengawet pada vaksin, tanpa menimbulkan masalah. Pada tahun 2001, AAP dan USPHS memutuskan untuk menghilangkan timerosal dari semua vaksin dengan alasan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Keputusan tersebut mengundang reaksi dari sebagian orang tua yang, kemudian, mulai menghubungkannya dengan autisme.
Sebelum mengulas lebih lanjut tentang kandungan merkuri dalam vaksin, sebaiknya, kita mengetahui serba-serbi merkuri terlebih dahulu. Merkuri adalah bagian dari permukaan bumi yang dilepaskan ke lingkungan oleh pembakaran batubara, erosi batu, dan letusan gunung berapi. Kemudian, merkuri yang dilepaskan akan tersebar ke permukaan danau, sungai, dan laut, yang akan diubah menjadi metilmerkuri oleh bakteri.
Metilmerkuri ada di mana-mana: di dalam ikan yang kita makan, air yang kita minum, bahkan ASI dan susu formula yang diminum oleh bayi. Dengan demikian, tubuh manusia tentu mengandung sejumlah kecil metilmerkuri yang diperoleh—misalnya saja dari air yang diminum setiap hari. Kandungan metilmerkuri tersebut bisa ditemukan di dalam darah, air seni, dan rambut. Seorang bayi yang mendapatkan ASI eksklusif menelan 400 mikrogram metilmerkuri selama enam bulan pertama kehidupannya. Ternyata, jumlah ini lebih besar dua kali lipat dibandingkan kandungan merkuri di dalam seluruh jenis vaksin. Apakah ini berarti ASI berbahaya? Tentu saja tidak. Fakta ini menunjukkan bahwa seluruh manusia yang hidup di planet bumi mengonsumsi merkuri dalam jumlah yang sangat sedikit setiap saat dan tidak membahayakan tubuhnya.
Fakta ini pun membantah berbagai pernyataan tentang bahaya vaksin yang mengandung merkuri. Salah satunya adalah pernyataan yang menyebutkan penggunaan merkuri pada vaksin bayi (baru lahir) dalam program vaksinasi 6 bulan pertama kehidupannya, melebihi batas yang ditentukan oleh EPA (Environmental Protection Agency) atau Agen Perlindungan Lingkungan. Pernyataan lainnya, seperti merkuri dapat menjadi racun jika dihirup, dimakan, bahkan jika dioleskan pada kulit. Padahal, bagaimana mungkin manusia di bumi dapat terhindar dari menghirup merkuri, sedangkan bahan ini berada di dalam aliran udara?
Jenis merkuri yang digunakan dalam vaksin pun berbeda, yaitu etilmerkuri, bukan metilmerkuri seperti yang terkandung dalam ASI. Etilmerkuri bersifat lebih cepat dibuang (diekskresikan) keluar dari tubuh dibandingkan metilmerkuri. Para peneliti pun mencoba untuk membuktikan adanya hubungan antara timerosal dengan autisme, seperti beberapa penelitian berikut ini.
1. Penelitian berjudul “Prenatal and Infant Exposure to Thimerosal From Vaccines and Immunoglobulins and Risk of Autism” ini dipublikasikan oleh Jurnal Pediatrics (Oct 2010; 126(4):656-664) dan merupakan studi kasus-kontrol dari VSD. Penelitian ini melibatkan 256 anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan 752 kontrol. Hasilnya disimpulkan bahwa peningkatan paparan etilmerkuri dari timerosal dalam vaksin tidak meningkatkan risiko terjadinya ASD.
2. Penelitian berjudul “Autism and Thimerosal-Containing Vaccines: Lack of Consistent Evidence for an Association” oleh Kohort ini dipublikasikan dalam American Journal of Preventive Medicine, (Aug 2003: 25(2):101-6). Penelitian ini menggunakan data dari Denmark dan Swedia yang telah menghentikan penggunaan timerosal dalam vaksin pada tahun 1992, tepatnya sebelum isu merebak. Ternyata, kasus autisme meningkat dari tahun 1987—1999. Hal tersebut menunjukkan penghilangan timerosal tidak mengurangi kasus autisme.
3. Penelitian berjudul “Safety of Thimerosal-Containing Vaccines: A Two-Phased Study of Computerized Health Maintenance Organization Databases” oleh Kohort ini dipublikasikan dalam Jurnal Pediatrics, (Nov2003;112(5): 1039-48). Data VSD digunakan dalam penelitian ini untuk menilai adanya hubungan antara paparan timerosal dengan berbagai kelainan pada ginjal, saraf, dan perkembangan otak. Penelitian tahap pertama menemukan hubungan yang lemah terhadap kedua faktor ini, sedangkan penelitian tahap kedua tidak menemukan adanya hubungan di antara kedua faktor tersebut.
4. Penelitian berjudul “Neuropsychological Performance 10 Years After Immunization in Infancy With Thimerosal-Containing Vaccines” ini dipublikasikan dalam Jurnal Pediatrics, (Feb 2009; 123(2):475-482) dan merupakan sebuah uji klinik yang dilakukan di Italia. Penelitian ini membandingkan luaran (outcome) kelainan neuropsikologi antara kelompok yang mendapatkan Vaksin DPaT yang mengandung timerosal dengan kelompok yang mendapatkan Vaksin DPaT yang mengandung 2-fenoksietanol. Hasilnya adalah kelompok pertama mempunyai kandungan etilmerkuri lebih tinggi (137,5 mikrogram) dibandingkan dengan kelompok kedua (62,5 mikrogram). Uji neuropsikologis yang dilakukan dalam selang waktu 10 tahun setelah imunisasi tidak menunjukkan adanya kelainan perkembangan otak atau saraf.
Semua penelitian ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa tidak ada hubungan antara timerosal dengan autisme. Penelitian lain yang berjudul “Increasing exposure to antibody-stimulating proteins and polysaccharides in vaccines is not associated with risk of autism” juga pernah dilakukan untuk melihat ada/tidaknya hubungan antara jumlah antigen dalam vaksin yang didapatkan anak selama dua tahun pertama usianya dengan risiko autisme. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama: tidak ada hubungan antara keduanya.
Saat ini, tidak semua vaksin menggunakan timerosal, hanya beberapa vaksin vial multidosis saja yang menggunakannya. Kendati demikian, keberadaan vaksin dengan timerosal, hendaknya tidak perlu menjadi suatu kekhawatiran. Prinsipnya adalah semua manusia di planet ini memiliki kandungan berbagai logam berat di dalam tubuhnya, seperti arsen, kadmium, talium, berilium, dan timbal, tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan logam berat dalam jumlah besar, tentunya, dapat membahayakan tubuh, tetapi kandungan dengan jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh manusia tidak akan menimbulkan masalah kesehatan.
-- Terakhir, saya mau mengomentari kalimat "jangan sampai kita kehilangan satu generasi penerus bangsa" (dengan memberikan vaksin yang mengandung timerosal). Komentar saya adalah: "jangan sampai kita kehilangan banyak generasi penerus bangsa, karena tidak mengimunisasi anak-anak kita!"
Jangan sampai kita kehilangan generasi penerus karena mencerna begitu saja informasi yang tidak benar, lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bayangkan risiko hepatitis B yang berujung pada kanker hati dan/atau sirosis hati, karena tidak memberikan imunisasi hepatitis B.
Ayo belajar terus! Galilah informasi dari sumber yang kredibel dan terpercaya.
(Diambil dengan perubahan seperlunya, dari buku Pro Kontra Imunisasi tulisan dr. Arifianto, Sp.A)

Demam lebih dari 3 hari harus diperiksakan ke laboratorium?

Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. Demam yang didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih dari 38 derajat selsius, adalah salah satu penyebab tersering orangtua membawa anaknya ke dokter. Makanya dalam beberapa tulisan terdahulu, saya menyebutkan istilah "fever phobia".
Nah, lalu bagaimana dengan demam yang cenderung suhunya berkisar di atas 39 derajat selsius dan tidak disertai gejala penyerta lain? Tidak ada batuk, pilek, atau diare. Ya, kalau sejak awal demam disertai batuk dan pilek, kita sudah dapat memperkirakan penyakitnya adalah selesma (common cold) dan seharusnya tidak ada kekhawatiran lebih lanjut (ingat, selama tidak disertai tanda kegawatan ya!). Lalu bagaimana dengan demam yang tidak jelas diagnosisnya ini? Perlukah dibawa segera ke dokter? Kapan? Apakah patokannya " tepat 3 hari" alias 72 jam? Dan haruskah segera diperiksakan laboratorium?
Demam dengan suhu > 39 derajat selsius tanpa gejala penyerta yang jelas, berlangsung kurang dari 7 hari, dan terjadi pada anak berusia 3 - 36 bulan disebut juga dengan fever without source (FWS). Ada juga yang menyebutnya fever without focus atau fever with uncertain source. Umumnya bisa dibagi 2, yaitu anak tampak sakit (cenderung lemah/lesu sepanjang waktu) dan masih relatif aktif (ketika demam anak tampak lemas/rewel, tetapi ketika suhu turun anak kembali aktif bermain/beraktifitas). Kondisi pertama tentunya mengharuskan segera ke dokter. Tidak perlu memikirkan dulu perlu/tidaknya pemeriksaan laboratorium, tetapi segera bawa ke dokter untuk memastikan kemungkinan diagnosisnya). Kondisi kedua membuat orangtua seharusnya lebih tenang dalam mengobservasi kondisi anaknya dalam 3 hari, atau bahkan lebih. Hal terpenting yang harus diperhatikan orangtua adalah: pastikan anak tidak dehidrasi atau kekurangan cairan. Ya, peningkatan suhu tubuh meningkatkan risiko penguapan dan terbuangnya cairan tubuh. Makanya semua anak yang demam harus banyak minum. Pastikan anak tidak dehidrasi.
Bukankah makin tinggi suhu meningkatkan risiko kejang demam? Sudah berkali-kali dibahas, jawabannya adalah: tidak. Dehidrasi justru lebih dikhawatirkan dibandingkan kejang pada anak yang demam.
Lalu makin tinggi suhu bukankah menggambarkan makin beratnya penyakit? Lagi-lagi ini sudah pernah dibahas: jawabannya adalah tidak. Bisa saja demamnya tidak terlalu tinggi tetapi anaknya sakit pneumonia atau meningitis yang mengancam jiwa. Sebaliknya, sangat mungkin demamnya tinggi, tapi sakitnya hanya selesma saja.
Apa yang dikhawatirkan dari kondisi pertama (anak yang cenderung lemah sepanjang hari)?
Bagaimanapun juga, penyebab tersering demam pada anak adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya. Tentunya antibiotik sama sekali tidak diperlukan pada Infeksi virus. Pada kondisi pertama, beberapa diagnosis penyakit yang paling dikhawatirkan adalah meningitis (radang selaput otak) dan pneumonia (radang akibat infeksi di jaringan paru). Makanya orangtua harus paham benar apa saja kondisi gawat darurat pada anak. Pada meningitis, terdapat tanda-tanda kekakuan tubuh (iritasi selaput otak), penurunan kesadaran, sampai kejang dan kematian. Sedangkan pada pneumonia, anak terlihat sesak napas, bisa dinilai dari gerakan dinding dada dan napas cuping hidungnya. Segera bawa anak ke dokter.
Kondisi kedua adalah keadaan yang paling sering terjadi, yaitu sakitnya sebenarnya "ringan saja" dan tidak potensial mengancam nyawa. Perlukah anak dibawa ke dokter pada FWS? Ya, untuk memastikan apakah diagnosisnya saat itu.
Kalaupun dokter belum bisa memastikan diagnosis pastinya, maka sebut saja FWS.
Apakah pemeriksaan laboratorium perlu dikerjakan pada FWS yang sudah lebih dari 3 hari? Sebenarnya dokter lah yang menentukan perlu tidaknya. Satu hal yang ingin saya tegaskan di sini adalah: jangan melulu pemeriksaan darah yang harus dikerjakan. Pemeriksaan air seni alias urinalisis adalah pemeriksaan wajib pada anak FWS. Mengapa? Banyak FWS yang ternyata diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih alias ISK. Padahal gejalanya hanya demam saja, dan ditemukan banyak kuman (bakteri) di pemeriksaan urinalisis. Diagnosis ISK jelas adalah infeksi bakteri yang obatnya adalah antibiotik (diberikan setelah sampel untuk kultur urin diperiksa).
Di sini lagi-lagi saya tegaskan bahwa pemeriksaan urin sangatlah penting dan seharusnya rutin dikerjakan. Pemeriksaan ini sama sekali tidak menyakitkan. Bandingkan saja dengan anak yang ditusuk jarum untuk pemeriksaan laboratorium darah.
Apa saja kira-kira penyakit yang sering terjadi pada FWS?
Penyebabnya sangat bervariasi. Yang cukup serjng terjadk dalam pengalaman sehari-hari adalah:
- Common cold. Ya, batuk-pilek bisa saja demamnya setelah masuk hari keempat atau lebih baru muncul batuk-pilek. Ini adalah infeksi virus yang tidak perlu dikhawatirkan. Kecuali di luar dugaan mencetuskan serangan yang menyebabkan sesak napas.
- Roseola alias "tampak" (bukan campak lho yaa...). Ini pun jelas infeksi virus, tetapi anak yang orangtuanya tidak sabaran tidak jarang yang langsung berinisiatif memeriksakan laboratorium darahnya. Ruam-ruam di tubuh baru muncul setelah melewati hari ke-3, bahkan ke-5 demam. Anak tampak jauh lebih aktif sesuah ruam memenuhi seluruh tubuh.
- Demam Dengue atau DBD. Ini yang hampir selalu terlintas di benak orangtua untuk selanjutnya segera memeriksakan sendiri laboratorium darah anaknya. Pelajari ciri-ciri DD dan DBD.
- Infeksi saluran kemih. Ingat, gejala ISK pada anak tidak sama dengan orang dewasa. Bisa saja anak demam tanpa gejala lain, ternyata sakitnya adalah ISK. Maka jangan lupa mintakan pemeriksaan urin rutin, bahkan kultur urin jika perlu, untuk pasien-pasien semacam ini.
Demam tifoid tidak dipikirkan dalam FWS, karena demamnya berlangsung selama minimal 7 hari.
Segini dulu.

Perlukah pemberian obat cacing sebagai pencegahan cacingan pada anak?

Ya, mungkin kita teringat saat masih SD dulu, ada slogan yang menyebutkan "minumlah obat cacing tiap 6 bulan untuk mencegah cacingan". Lalu saya juga teringat suatu saat ketika guru menyuruh kami mengumpulkan contoh tinja yang diambil di rumah, untuk dibawa ke sekolah, sebagai bentuk pendataan angka kecacingan (infeksi cacing pada anak) saat itu.
Masih berlakukah slogan itu untuk anak-anak kita saat ini? Pe...rlukah kita rutin memberikan obat cacing bagi anak-anak kita yang masih belum mengenal pentingnya kebersihan? Anak-anak yang cenderung memasukkan tangannya ke dalam mulut saat bermain, tanpa mencuci tangan terlebih dulu?
Saya lalu melakukan penelusuran ke beberapa sumber. Kesimpulannya:
- Saat ini masih ada daerah-daerah di Indonesia yang dianggap endemis kecacingan (angka penderita cacingan nya tinggi), dan ada yang sudah tidak endemis lagi. Silakan tanyakan ke Puskesmas setempat, masuk ke dalam kategori apa daerah Anda. Jakarta sendiri, tempat saya tinggal, tidak lagi masuk ke dalam daerah endemis).
- Perlakuan antara daerah endemis dan non endemis memang berbeda. Pada daerah non endemis, obat cacing hanya diberikan kepada mereka yang terbukti cacingan dari pemeriksaan tinja. Sedangkan di daerah endemis, masih ada pembagian obat cacing sebagai pencegahan.
- Banyak hasil penelitian yang berasal dari Indonesia pun tidak menyebutkan pemberian obat cacing sebagai upaya mencegah cacingan pada anak. Yang ada adalah: edukasi kesehatan bagi anak-anak SD agar senantiasa menjaga kebersihan tangan dan jajanannya, buang air pada tempatnya, dan menggunakan alas kaki. Hal ini menunjukkan upaya pencegahan sebagai pilar utama mengatasi infeksi kecacingan.
- Referensi yang berasal dari UNICEF dan WHO pun (yang banyak meneliti negara-negara berkembang lainnya) menyebutkan hal serupa. Upaya edukasi kesehatan masyarakat dan pola hidup sehat adalah hal terpenting pencegahan cacingan.
- Obat cacing seperti pirantel pamoat (yang banyak diiklankan sebagai pencegahan) dan albendazol/mebendazol pada dasarnya adalah untuk mengobati mereka yang sudah terbukti sakit cacingan, yaitu ditemukan adanya cacing atau telur cacing di tinjanya.
Pada kondisi tertentu, misalnya di suatu daerah dengan angka kecacingan sangat tinggi (jumlah anak yang positif terdiagnosis cacingan diperkirakan melebihi anak-anak yang sehat), yaitu di daerah endemis, maka pemberian obat cacingan sebagai pencegahan dapat diberikan di daerah tersebut
- Cacing yang dimaksud adalah: cacing gelang, cacing tambang, cacing kremi, cacing pita, dan cacing cambuk
- Untuk penyakit kaki gajah (filariasis), pemberian obat sebagai pencegahan masih diberikan di banyak daerah sesuai angka kasus (prevalens)
Terima kasih banyak kepada dr. Aprilianto Eddy Wiria, Ph.D atas masukan dan koreksinya.

Inilah 3 kesalahan yang bisa terjadi ketika membaca petunjuk penggunaan parasetamol bagi anak!

Hampir semua orangtua tahu apa yang namanya obat penurun panas alias antipiretik bagi anaknya. Salah satunya adalah parasetamol atau asetaminofen. Bisa dikatakan, antipiretik adalah adalah satu "obat wajib" yang harus tersedia di rak obat di rumah. Orang dewasa pun menggunakannya. Siapa yang anaknya tidak pernah mengalami demam? Parasetamol dalam sediaan cair pun menjadi bekal tiap orangtua di rumah.
Tapi apakah semua orangtua tahu cara pakainya? Cukup dengan membaca saja petunjuk penggunaan di kemasan karton atau botol kaca/plastik yang ada? Warung serba ada di pinggir jalan pun menjual bebas obat ini, tanpa membutuhkan resep dokter.
Coba simak botol atau karton kemasan parasetamol di rak obat Anda. Benarkah aturan pakai parasetamol seperti di bawah ini?
Di bawah 2 tahun: gunakan parasetamol drops
2-6 tahun: gunakan parasetamol syrup
Di atas 6 tahun: gunakan parasetamol forte
Ada tiga (3) hal yang harus dipahami semua orangtua sebelum menggunakan parasetamol.
1. Kemasan obat mencantumkan sediaan parasetamol cair dalam bentuk mililiter (mL), bukan miligram (mg)! Padahal dosis obat ditentukan berdasarkan miligram per kilogram berat badan anak, bukan mililiter per kilogram BB.
Berapa dosis parasetamol? Ya, 10 - 15 mg/kg BB. Kita akan bahas cara pakainya kemudian.
2. Kemasan obat memberikan aturan pakai berdasarkan usia, bukan berat badan (BB)! Apabila Anda punya beberapa merek dagang parasetamol, baca baik-baik semua cara pakainya. Adakah yang memberikan informasi berdasarkan BB? Hmm, sepanjang pengamatan saya: tidak ada. Yang ada adalah: (contoh) usia < 1 tahun sekian mL, lalu 1 - 3 tahun sekian mL, dan > 3 tahun sekian mL.
Mungkinkan seorang anak yang berusia 1 tahun ada yang BB-nya 6 kg dan ada yang 10 kg, bahkan 15 kg? Apakah bisa disamakan dosisnya dalam mL?
3. Petunjuk yang saya jelaskan di atas "mematok"" sediaan drops adalah untuk usia sekian, sirup sekian, dan forte sekian. Bolehkah kita sebagai orang dewasa minum parasetamol sirup, bahkan drops? Atau bayi berusia 4 bulan minum parasetamol sirup?
Saya kenal orang dewasa yang sulit sekali menelan obat. Jadi jika diberikan pilihan parasetamol sirup dan parasetamol tablet untuk dikonsumsi saat ia demam, saya yakin ia akan memilih parasetamol sirup smile emoticon
Lalu apa yang membedakan sediaan drops, sirup, dan forte? Ini yang selalu kami bahas saat kerja kelompok dalam PESAT, seperti hari Ahad kemarin.
- Drops lebih pekat, makanya dalam jumlah mL yang kecil sudah mengandung mg yang cukup banyak. Hampir semua sediaan parasetamol drops seragam konsentrasinya, yaitu 80 mg/0,8 mL atau mudahnya 100 mg/1 ml.
- Sirup lebih encer, umumnya terdiri dari dua macam konsentrasi, yaitu 120 mg/5 mL dan 160 mg/5 mL, tergantung merek dagangnya
- Forte lebih pekat dibandingkan sirup, yaitu 250 mg/5 mL. Sebenarnya sediaannya sirup juga, hanya saja untuk anak yang lebih berat badannya.
Bagaimana penerapannya dalam kasus sehari-hari? Saya juga sudah bahas di buku "Orangtua Cermat Anak Sehat". Misalnya seorang anak berusia
tahun dengan BB 12 kg.
Pertama, tentukan dulu berapa dosis yang dibutuhkan anak ini. Yaitu 120 - 180 mg, sesuai rumus yang sudah dituliskan di atas.
Kedua, konversikan ke dalam mL. Nah, ini tergantung dengan sediaan parasetamol yang kita miliki di rumah. Jika menggunakan drops, maka Anda butuh 1,2 mL - 1,8 mL parasetamol. Dengan sirup 120 mg/5 mL. maka berikan 5 mL - 7,5 mL parasetamol, dan dengan sirup 160 mg/5 mL, maka 5 mL juga boleh (bukankah 160 mg berada dalam kisaran 120 - 180 mg?).
Sudah paham?
Nah, jika yang dimiliki parasetamol forte, boleh digunakan? Silakan saja, 125 mg setara dengan 2,5 mL parasetamol forte kan? Angka ini pun berada dalam kisaran dosis 120 - 180 mg. Maka silakan gunakan.
Apa kesimpulannya? Ya, asalkan Anda paham cara menghitung dosis dan berapa mL yang dibutuhkan, maka apapun sediaannya, silakan gunakan. Maka anak berusia 3 tahun masih boleh menggunakan parasetamol drops, bahkan forte.
Cobalah berlatih dengan anak Anda sesuai berat badannya.
Segini dulu ya. Mungkin kapan-kapan bisa kita bahas: mengapa harganya bisa berbeda-beda, mulai dari 3000 perak sampai 40 ribu rupiah? Padahal sama saja isinya: parasetamol grin emoticon
Selamat istirahat...
(gambar-gambar foto milik panitia Pesat Jakarta yang saya ambil dari Twitter @dokterapin)




Thursday, August 20, 2015

Bolehkah terlambat memberikan antibiotik pada infeksi bakteri?

"Dok, saya mau minta second opinion." Seorang ibu menyampaikan maksudnya. Ia ditemani suaminya, membawa anaknya yang masih batita. "Anak saya sudah dua minggu diare. Saya sudah membawanya ke dokter, dan diberi antibiotik. Saya kurang sreg memberikan antibiotik tersebut. Makanya saya bertanya ke Dokter. Ini hasil laboratoriumnya."

Kertas yang disodorkannya di hadapan saya menunjukkan tidak ada yang abnormal. Lekosit dan eritrosit pada tinja masih dalam batas normal. Amuba juga tidak ditemukan. Si Ibu menceritakan bahwa obat mentronidazol yang didapatkannya belum diminumkan. Antibiotik ini memang ditujukan untuk mengobati disentri amuba. Padahal hasil lab tidak menunjukkan hal serupa.


Setelah memeriksa anaknya dan berdiskusi beberapa hal, saya menyampaikan beberapa poin yang cukup sering saya katakan pada orangtua.
"Bu, anak yang mengalami diare dan muntah, hal terpenting adalah: orangtua dapat mengenali anaknya DEHIDRASI atau tidak. Sebenarnya di awal perjalanan penyakit, tidak terlalu penting mengetahui ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Tidak terlalu penting untuk mengetahui: perlu tidak ya diberikan antibiotik? Lagi-lagi, yang penting adalah: anak saya dehidrasi atau tidak??

Bisa saja diarenya karena infeksi bakteri yang sebenarnya butuh antibiotik, tapi anaknya tidak dehidrasi sama sekali. Lalu kita tidak langsung memberikan antibiotik. Sebaliknya, anak mengalami diare akibat infeksi virus yang sebenarnya akan sembuh dengan sendirinya, tetapi anak ini mengalami DEHIDRASI BERAT. Maka anak yang mengalami diare akibat infeksi virus berisiko meninggal, dan anak yang mengalami diare akibat infeksi bakteri masih terselamatkan!"

Jika pada akhirnya kita kenali bahwa diare ini sebenarnya adalah disentri basiler (akibat infeksi bakteri) atau disentri amuba, setelah dilakukan pemeriksaan tinja atau memang ditemukan darah pada tinja, maka kita harus memberikan antibiotik. Tapi pada kondisi awal, yang menentukan nyawa seorang anak akan selamat atau tidak, maka harus diketahui apakah diare sudah menyebabkan dehidrasi atau belum? Jadi langkah terpenting mengatasi diare adalah: berikan cairan agar anak tidak dehidrasi! Berikan minum sesering mungkin. Pantau produksi kencing anak. Lalu kenali, apakah ada darah atau tidak pada tinja. Tinja tidak berdarah hampir selalu disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Jika ada darah pada tinja, maka periksakan ke laboratorium untuk menentukan kemungkinan infeksi bakteri yang butuh antibiotik.

Kasus lain adalah seorang anak yang demam sudah mencapai lima hari. Tidak ada batuk-pilek sama sekali. Hasil laboratorium juga tidak menunjukkan demam berdarah. Orangtua khawatir anaknya sakit tifoid. Perlukah pemberian antibiotik kloramfenikol? Bagaimana jika antibiotik tidak segera diberikan? Bukankah tifoid dicurigai jika demam setidaknya tujuh hari?

Kasus lain yang lebih sering adalah: curiga tuberkulosis (TB) paru. Anak kurus, batuk tak kunjung reda sudah satu bulan, dan nafsu makan turun. Bagaimana jika diberikan saja obat anti TB selama 6 bulan jika foto ronsennya menunjukkan "flek paru"? Atau pastikan dulu dengan sistem skoring, apakah anak saya sakit TB? Lakukan dulu uji tuberkulin (tes Mantoux). Jika perlu second opinion ke dokter lain untuk memastikan diagnosis TB, baru antibiotik diberikan. Bagaimana jika terlambat?

Saat ini penggunaan antibiotik berlebihan sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan banyak pihak (silakan lihat postings pekan lalu), meskipun di tahun 2011 sudah keluar Permenkes (peraturan menteri kesehatan) mengenai panduan umum penggunaan antibiotik. Maka diagnosis harus dipastikan benar untuk dapat memberikan antibiotik. Tapi bagaimana jika antibiotik terlambat diberikan dan mengancam nyawa anak? Bakteri akan berkembang meluas mengalir ke seluruh tubuh.
Ya, ada kondisi-kondisi tertentu antibiotik tidak boleh terlambat diberikan. Pada dua contoh kasus di atas adalah: ketika yang dicurigai adalah meningitis (radang selaput otak) dan perforasi (berlubangnya) usus akibat tifoid, dan meningitis akibat TB. Tentu saja gejala-gejalanya jelas. Anak tampak lemah, terjadi penurunan kesadaran, dehidrasi, dan tanda-tanda kegawatan lainnya.

Atau pada diagnosis lain apapun, ketika anak dicurigai mengalami sepsis, yaitu ketika bakteri sudah mengalir lewat aliran darah menuju seluruh organ, dan risiko kematian tinggi. Ini pun ada proses perjalanan penyakit dan gejala-gejalanya. Begitu juga pada bayi baru lahir yang tanda infeksi bakterinya tidak khas dan sewaktu-waktu dapat mengalami perburukan cepat. Maka antibiotik harus segera diberikan. Dan semua tentu ada panduannya. Inilah kondisi-kondisi ketika antibiotik tidak boleh terlambat diberikan! Pada kondisi kebanyakan ketika anak masih tampak aktif? Baca-baca lagi ya tentang tifoid, TB, ISK, disentri, dan strep throat yang butuh antibiotik.

Pembesaran kelenjar getah bening, normalkah?

Ibu muda beranak satu ini tampak cemas. Putranya yang berusia 2 tahun asyik bermain di ruang periksa. Tidak tampak sakit sama sekali.
"Seminggu ini saya meraba benjolan di leher anak saya. Ada beberapa, sekitar empat buah, tersebar di kanan-kiri. Bahaya tidak?" Si Ibu bertanya.
"Sedang batuk-pilek?" tanya saya lagi.
"Sudah sembuh. Sekitar 2 minggu yang lalu."
Pertanyaan saya sudah terjawab, batin saya dalam hati.

Saya yakin mayoritas Anda sudah bisa menjawab, apa benjolan yang dikeluhkan sang Ibu. Ya, benar. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Lalu apakah pembesaran KGB ini wajar? Bukankah kanker KGB ditandai dengan pembesaran di awal? Begitu juga kemungkinan tuberkulosis (TB) kelenjar? Haruskah dicek laboratorium? Periksa ronsen dada? Tes Mantoux? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mungkin muncul.

Semua orang memiliki KGB. Pada anak-anak, pembesaran KGB lebih mudah teraba, bahkan sampai terlihat. Apa penyebabnya? Macam-macam. Tapi yang tersering adalah infeksi virus maupun bakteri di saluran napas atas. Misalnya ketika anak mengalami selesma alias batuk-pilek, maka KGB-KGB leher bisa membesar, sebagai bentuk reaksi tubuh melawan kuman. Kita pahami bahwa KGB penuh dengan sel-sel darah putih yang berusaha menghancurkan virus dan bakteri yang masuk. Ketika selesma sembuh, tidak jarang KGB yang sudah terlanjur membesar ini tidak kembali ke ukuran semula yang awalnya tidak teraba. Umumnya diameter sampai 12 mm masih dianggap wajar untuk pembesaran KGB pada anak.

Lalu kapan kita khawatir pembesaran KGB dicurigai sebagai penyakit yang tidak wajar?

Yang harus saya tekankan lagi adalah: semua orang hidup punya KGB! Tetapi ada yang membesar, dan ada yang tidak. Pada anak-anak, pembesaran KGB mayoritas adalah kondisi yang wajar (akibat infeksi sebelumnya). Pada dewasa sebaliknya, jika ada pembesaran KGB, maka harus segera dicaritahu apa penyebabnya?

Kapan pembesaran KGB pada anak harus dianggap mengkhawatirkan?

1. Ketika dicurigai TB Kelenjar. Sebenarnya memastikan diagnosis TB pada anak, termasuk TB kelenjar, tidaklah mudah. Jika ingin dipastikan hampir 100%, maka pemeriksaan yang ideal adalah biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/FNAB) untuk mengambil jaringan KGB dan melihatnya di bawah mikroskop. Tetapi ada beberapa ciri yang bisa mengarahkan kecurigaan ini, seperti:
- benjolan berjumlah lebih dari satu dan saling menempel (berkonfluens). Ada yang menyebutnya menyerupai "kalung mutiara". Meskipun tidak harus sama persis seperti ini.
- diameter benjolan cukup besar, lebih dari 10-12 mm
- ada ciri-ciri lain yang mengarah pada TB (silakan cari tulisan lama saya tentang TB pada anak, dan sistem skoring TB)

2. Jika dicurigai kanker KGB, misalnya limfoma, atau penyebaran dari kanker di organ tubuh lain (leukemia, tumor padat lain). Ciri-cirinya antara lain:
- perabaannya keras (KGB pada keadaan normal teraba lunak) dan seringkali tidak tegas batasnya
- pembesarannya bersifat progresif, artinya makin lama makin membesar, bahkan beberapa ukurannya cukup ekstrem (lebih dari 24 mm) dan "menyeramkan". Jumlahnya juga cenderung bertambah
- disertai dengan tanda-tanda keganasan (kanker) lain, seperti pucat (anemia), berat badan makin turun, dan demam berkepanjangan

Ada beberapa kondisi pembesaran KGB yang sebenarnya tidak mengkhawatirkan, tetapi jumlah KGN yang teraba cukup banyak dan bisa mencapai 12 mm, misalnya pada mononukleosis infeksiosa akibat infeksi virus, yang akan sembuh sendiri.

Apakah pembesaran KGB butuh diberikan antibiotik? Ya jika infeksinya bakteri, dan TIDAK jika infeksinya virus (silakan baca threads sebelumnya tentang beda infeksi virus dengan bakteri). Dan faktanya adalah: mayoritas infeksi pada anak adalah akibat infeksi virus.

Kapan curiga pembesaran KGB akibat infeksi bakteri? Misalnya pada strep throat (sudah pernah saya bahas juga) dan adanya infeksi di rongga mulut seperti abses di gusi.

Sekian dulu. Semoga bermanfaat

Overdiagnosis alergi dan dermatitis atopi pada anak

Posting tadi pagi tentang baby acne dan milia ternyata memunculkan beberapa pertanyaan terkait alergi. Ternyata sulit ya membedakan kedua hal yang wajar itu pada bayi dengan alergi? Atau dalam pengalaman sehari-hari, tidak sedikit yang didiagnosis dokter sebagai alergi. Alergi itu sangat luas. Dan ada satu alergi yang secara spesifik saya tangkap dari semua komentar: alergi makanan. Lebih spesifik lagi: alergi susu. Hmmm, ternyata kurang spesifik: alergi protein susu sapi!

Yaa, alergi makanan itu sangat luas. Bagaimana mendiagnosisnya? Dengan "skin test" (Prick) alias uji kulit? Atau pemeriksaan darah (kadar IgE RAST)? Ternyata jawabannya adalah: kedua tes tersebut bukanlah uji yang paling akurat untuk menentukan diagnosis alergi makanan! Lalu apa tes alergi terbaik? Ialah uji "eliminasi-provokasi". Apa maksudnya? Ketika seorang anak "dieliminasi" makanan yang dicurigai mencetuskan alergi (misalnya saja makanan yang mengandung protein susu sapi) maka gejala-gejala yang nampak hilang. Dan ketika "diprovokasi" dengan bahan makanan serupa, maka gejala-gejalanya muncul kembali.

Ada beberapa artikel yang saya "capture" di bawah (ada di Facebook saya). Salah satunya menjelaskan bahwa anak-anak yang sudah didiagnosis alergi berdasarkan pemeriksaan laboratorium ataupun tes kulit, ketika dilakukan "eliminasi-provokasi", ternyata hasilnya berbeda. Anak tidak menunjukkan adanya alergi makanan. Fakta ini lalu memunculkan beberapa penelitian yang menyimpulkan: kemungkinan sudah terjadi overdiagnosis alergi pada anak.

(Lebih detil lagi harus dijelaskan perbedaan alergi yang IgE-mediated dan non-IgE-mediated, tapi saya putuskan untuk tidak saya bahas sekarang)
Lalu bagaimana jika alergi makanan ini bermanifestasi di kulit sebagai dermatitis atopi? Ingat, reaksi alergi makanan tidak "melulu" di kulit, tetapi bisa di saluran cerna (diare, muntah, BAB bercampur darah) dan saluran napas (ini salah satu yang paling ditakutkan: sesak napas!). Bagaimana membedakannya dengan baby acne dan milia yang sudah dibahas?

Nama lain dermatitis adalah eksim/eksema. Penyebab dermatitis atopi seringkali tidak diketahui, dan ini dapat menyulitkan, karena prinsip terpenting penanganan alergi adalah: hindari pencetusnya. Bagaimana pencetus dapat dihindari, jika dikenali pun tidak? Dalam banyak kasus, alergi makanan adalah tersangka utamanya. Sehingga orangtua memantang banyak jenis makanan bagi anaknya. Meskipun pada akhirnya disimpulkan alergi makanan ternyata bukan pencetus dermatitis atopinya.

Bagaimana membedakan dengan baby acne dan milia? Dermatitis atopi dapat terjadi di banyak lokasi, mulai dari wajah, lengan, tungkai, sampai perut dan punggung. Usia termuda adalah beberapa minggu sejak lahir. Jarang dipikirkan muncul sejak baru lahir. Dermatitis atopi juga cenderung gatal, sehingga pada anak yang lebih besar akan terlihat menggaruk.

Prinsip penanganan nomor 1 adalah sebisa mungkin mencari pencetusnya. Lalu pelembab dapat diberikan pada kulit yang kering, lokasi mudah terjadi dermatitis. Pada kondisi meradang dan membuat gatal, krim steroid dapat diberikan, misalnya hidrokotison. Anak yang senantiasa menggaruk dan berpotensi menjadi luka boleh diberikan antihistamin minum. Penanganan lain bisa dibaca di situs-situs kesehatan terpercaya.

"Saraf" atau "sawan"?

Familiar dengan istilah di atas? Di Jakarta, sebagian orangtua yang datang membawa bayinya untuk kontrol menanyakan apakah bayinya mengalami "saraf" atau "sawan". Hehe, serem ya istilahnya? Sebutan ini ditujukan untuk "bruntusan" yang sering dijumpai pada bayi baru lahir. Saya tidak tahu apa istilahnya bagi orang Jawa, Sunda, dan lainnya. Mereka bertanya: apakah ini kondisi yang wajar? Bolehkah memberikan bedak atau losion bayi?

Dalam bahasa Inggris, ada beberapa istilah yang bisa mewakili.

1. Baby acne. Biasa dijumpai pada bayi usia beberapa minggu sampai bulan. Bentuknya adalah beruntusan, seperti di gambar, dan menuju pada istilah "saraf" atau "sawan", biasanya dijumpai di pipi, sekitar hidung, sampai sepanjang sisi dahi. Warnanya cenderung dominan kemerahan, dan kadang sangat banyak, sehingga Orangtua khawatir. Penyebabnya dipikirkan karena kadar hormonal ibu yang ditransfer lewat plasenta selama kehamilan yang jumlahnya masih cukup tinggi pada bayi baru lahir. Sumbatan pada kelenjar minyak akibat lepasan kulit mati bisa menyebabkan munculnya baby acne. Seiring waktu, jerawat bayi ini akan menghilang dengan sendirinya.

2. Milia, bentuknya mirip dengan baby acne, dengan distribusi lokasi serupa, hanya saja warnanya lebih putih dan bisa muncul beberapa saat setelah bayi lahir, sampai beberapa minggu kemudian. Penyebabnya belum jelas, kemungkinan sama dengan baby acne. Tidak diperlukan pengobatan apapun, karena akan menghilang seiring waktu.

3. Cradle cap, berupa sisik-sisik menyerupai ketombe berwarna kekuningan di kulit kepala. Kadang orangtua khawatir dengan bentuknya, jika jumlahnya cukup banyak. Seiring waktu pun akan menghilang.

4. Dermatitis alias eksim. Warnanya kemerahan, cukup sering muncul di kedua pipi, kadang sampai tebal. Orangtua berpikir penyebabnya adalah percikan air susu (ASI). Di awal, kadang sulit dibedakan dengan baby acne, tetapi biasanya muncul setelah usia beberapa minggu/bulan, dan bisa diberikan krim steroid jika mengganggu bayinya.

5. Eritema toksikum neonatorum. Bentuknya paling menyeramkan, karena kulit yang beruntusan atau terkelupas bisa sampai ke bagian badan/lengan/tungkai. Padahal seiring waktu akan hilang.
Perlukah diberikan bedak atau krim/losion bayi untuk semua keluhan ini? Umumnya tidak. Bahkan pemberian kosmetik bayi ini bisa memperberat masalah kulitnya, karena kulit justru menjadi sensitif dan hiperreaktif terhadap paparan kosmetik bayi. Cukup memandikan bayi dan menggunakan sabun yang lembut. Tidak perlu pewangi pakaian bayi yang berisiko membuat kulit menjadi hipersensitif.

Silakan browsing lebih lanjut untuk mencari gambar-gambar terkait.

Telinga perlu dibersihkan?

"Dok, telinga anak saya bau. Saya khawatir ada infeksi. Bagaimana cara membersihkannya?"
"Saya sudah rutin membersihkan telinga anak saya dengan "korek kuping" (cotton bud). Tapi anak masih tetap saja menggaruk-garuk telinganya. Perlukah saya bawa ke dokter THT?"

Inilah beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan orangtua terkait kondisi telinga anaknya. Jika dirangkum, ini pertanyaan besarnya: perlukah telinga anak dibersihkan? Jawabannya adalah: tidak.
Haahh, benar? Nanti malah jadi bau dan berpotensi infeksi dong. Mari kita kembali kepada filosofi: mengapa Allah menciptakan kotoran kuping alias serumen?

Dalam banyak tulisan sebelumnya, saya menjelaskan hal-hal semacam lendir, ingus, batuk, pilek, mencret, muntah, dan demam yang sering dianggap musuh sebenarnya diciptakan dengan tujuan baik. Begitu juga dengan kotoran telinga. Serumen berfungsi menjaga telinga kita dari berbagai serangan kuman, sehingga organ ini tetap sehat. Bahkan ketika telinga sering-sering dibersihkan, justru yang terasa adalah gatal. Saya memperhatikan salah satu penyebab anak sering menggaruk-garuk liang telinganya yang justru berisiko menjadi luka adalah akibat terlalu sering dibersihkan.

Nanti kalau tidak dibersihkan, malah telinga anak jadi bau! Apakah yakin makin banyak kotoran telinga akan berarti telinga akan makin bau? Tidak juga. Telinga berbau adalah hal yang wajar. Bau telinga seringkali tidak menandakan adanya kondisi yang membahayakan dan harus segera ditangani. Kondisi yang tidak wajar adalah: ketika telinga menghasilkan cairan atau bahkan darah. Terlepas disertai bau atau tidak.

Lalu, perlukah membersihkan telinga? Tidak, telinga tidak perlu dibersihkan dengan rutin. Bahkan kebiasaan membersihkan telinga dengan cotton bud berisiko melukai telinga dan menyebabkan gangguan pendengaran. Apa sebabnya? Karena cotton bud justru mendorong serumen makin jauh ke dalam dan menghalangi hantaran suara/bunyi di depan gendang telinga. Kotoran telinga, khususnya yang tipe kering, secara alamiah akan terdorong keluar sedikit demi sedikit. Allah sudah menciptakan serumen dengan tujuan baik, maka akumulasinya pun sudah diatur agar tidak menimbulkan masalah pada kebanyakan kondisi.

Kapan kita harus khawatir dengan kotoran telinga yang menyebabkan masalah kesehatan?
Yaitu ketika:
1. Anak tampak sangat kesakitan telinganya
2. Keluar cairan dari telinga (otitis media)
3. Anak mengalami gangguan pendengaran (tampak terganggu pendengarannya)
4. Anak mengeluh bunyi denging atau dengung yang terus-menerus
Inilah saatnya Anda membawa anak ke dokter THT.

Semoga bermanfaat

Seputar Penis Bayi dan Balita

Anda baru saja memiliki bayi laki-laki, padahal tiga anak sebelumnya adalah perempuan. Bingung dengan organ pembeda di kemaluan kakak-kakaknya? Bertanya saja pada sang ayah. Hehehe, belum tentu ia pun fasih merawat penis bayinya.

Berikut adalah beberapa hal yang sering ditanyakan dan jawabannya.

1. Menyunat bayi saat baru lahir? Ah tidak! Tidak tega. Kakek-neneknya pun tidak setuju. Kasihan, masih kecil, kata mereka. Ayahnya saja disunat saat kelas 4 SD. (Ngomong-ngomong, pada usia berapa Anda dikhitan?) Nanti saja saat sudah mengerti dan bisa memutuskan sendiri. Sekaligus bisa diadakan "selametan", kata Ayahnya.
Mana yang lebih baik sebenarnya, menyunat saat masih bayi kecil atau menunggu besar saja?
Khitan atau sunat alias sirkumsisi tidak hanya sekedar tindakan medis yang memiliki manfaat pada laki-laki. Tapi ada latar belakang budaya (siapa yang disunat menjelang SMP, orang Padang, Sunda, atau Jawa?  ), agama, dan tentunya indikasi medis. Penelitian yang cukup kuat menunjukkan sirkumsisi pada usia bayi (sebelum satu tahun) terbukti mengurangi risiko infeksi saluran kemih (ISK). Saya menjelaskan lebih detil di buku saya "Orangtua Cermat, Anak Sehat". Ya, salah satu faktor risiko ISK adalah mengumpulnya bakteri di bawah kulit kulup penis, ditambah faktor lainnya seperti penggunaan popok sekali pakai, yang masuk melalui uretra ke dalam kandung kemih. Nah, sirkumsisi atau khitan membuang kulit kulup penis (foreskin) ini, sehingga risiko ISK menjadi jauh lebih minimal.
Ada kawan yang mengkhitan bayinya sebelum meninggalkan tempat bersalin saat baru lahir, ada yang mengkhitan pada usia bayinya beberapa bulan setelah si bayi mengalami ISK dan diobati, dan anak laki-laki saya sendiri dikhitan saat usianya belum genap 2 bulan.

2. Apakah harus dengan bius umum (tindakan sirkumsisi pada bayi), atau boleh dengan bius lokal? Ada dokter yang tidak mengijinkan bius/anestesi lokal ketika mengkhitan bayi, karena alasannya masih kecil.
Hmmm, sebenarnya tidak ada masalah dengan menyunat bayi, bahkan sejak baru lahir, dengan tindakan bius lokal. Bahkan berdasarkan pengalaman, tindakan pembiusan umum lebih "ribet", karena harus memeriksakan laboratorium lengkap sebelum obat-obat anestesi dimasukkan, ada juga yang meminta pemeriksaan ronsen dada (terjadi paparan radiasi sinar X), dan tentunya biaya yang lebih mahal.

3. Penis bayi kan cenderung sempit kulupnya, sehingga tidak bisa ditarik dan terlihat "kepala"-nya (glans penis). Apakah ini tergolong fimosis? Lalu haruskan rutin ditarik kulupnya saat membersihkannya sambil mandi atau ketika mencebokinya?
Jawaban yang pertama adalah: kalau begitu semua penis bayi fimosis dong?? Padahal seiring bertambahnya usia, foreskin akan melebar dan makin longgar, sehingga bisa ditarik dengan relatif mudah (bagi yang belum disunat).

Bagaimana membedakannya dengan fimosis?

Mari kita lanjutkan.. Umumnya bayi laki-laki terlahir dengan kulup penis (foreskin) yang relatif sempit, sehingga tidak dapat ditarik sampai terlihat seluruh "kepala"-nya (glans penis). Kecuali bayi yang terlahir dengan kelainan seperti hipospadia.
Nah, tentunya tidak semudah itu menyimpulkan seorang bayi fimosis, bukan? Ada yang menyebutkan fimosis jika seiring usia foreskin tetap sulit untuk ditarik sampai membebaskan glans. Ada juga yang mengatakan fimosis ketika ujung penis sering menggelembung terlebih dulu ketika bayi pipis, karena sempitnya ruang untuk memancarkan air seni secara langsung. Dan diagnosis fimosis makin menguat ketika bayi mengalami ISK, apalagi sampai berulang.


Apakah orangtua harus rutin membersihkan glans penis, dengan cara menarik foreskin semaksimal mungkin, untuk mengurangi risiko berkumpulnya bakteri dalam jangka panjang? Ini yang ditanyakan mereka yang belum mau mengkhitan bayinya.
Tidak, jawabannya adalah tidak. Membersihkan penis bayi ya biasa saja, dengan mengalirkan air. Menceboki saat baru pipis dan selagi mandi. Tidak perlu menarik-narik foreskin. Tindakan ini berisiko melukai glans dan foreskin, karena memaksanya meregang. Gesekan dan iritasi bisa terjadi, dan infeksi justru makin mungkin timbul akibat luka. Salah satunya adalah balanitis (peradangan di foreskin dan berpotensi menjadi infeksi bakteri).

Ada yang menanyakan: ia melihat butiran seperti lemak putih/kekuningan di bawah foreskin, dan terjadi berulang-ulang. Apakah ini smegma?
Betul, produk alamiah foreskin ini adalah suatu hal yang wajar ditemui. Pada tindakan sirkumsisi, sebelum memotong foreskin, smegma harus dibersihkan sampai bersih benar, baru foreskin dipotong.

Segini dulu ya

Monday, June 01, 2015

Dokter Mengobati Pasien, Tidak Mengobati Hasil Laboratorium

Katanya Demam Berdarah Dengue alias DBD sedang mewabah ya? Bagaimana dengan "tipes" alias demam tifoid? Karena kabarnya ada beberapa yang dirawat akibat DBD dan demam tifoid bersamaan. Mungkinkah?
Ini pertanyaan favorit saya buat para Koas yang sedang menjalankan rotasi di bagian Anak. Apa pasalnya? Beberapa orang bercerita dirinya didiagnosis DBD dan tifoid bersamaan gara-gara: tes Widal!
Banyak orang familiar dengan pemeriksaan laboratorium satu ini. Katanya kalau Widal-nya positif, berarti sakitnya tipes. Ketahuilah bahwa diagnosis demam tifoid dipastikan dengan beberapa hal:
1. Gejala. Ya, namanya saja demam tifoid, jadi yang sedang sakit pasti bergejala demam. Nah, demamnya seperti apa? Ada yang bilang seperti "step ladder", jadi makin lama hari sakitnya, maka ambang suhunya makin tinggi. Tapi ternyata tidak harus seperti ini. Yang menjadi kata kunci demam tifoid adalah: demamnya mininal 7 hari! Beda kan dengan DBD yang sudah bisa dicurigai sejak demam 2 hari bahkan.
2. Penyakit tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Kita sudah paham bahwa yang namanya infeksi bakteri butuh antibiotik (DBD disebabkan oleh infeksi virus Dengue yang tentunya tidak butuh antibiotik). Bakteri Salmonella ini masuk ke tubuh lewat makanan/minuman yang terkontaminasi Salmonella. Dan umumnya makanan pinggir jalan yang higienenya buruk yang berisiko menyebabkan tipes. Siapa yang biasa jajan makanan seperti ini? Anda dan saya tentunya. Hehe. Maksud saya, mungkinkah anak berumur 2 tahun atau lebih muda yang belum pernah jajan makanan seperti ini terkena demam tifoid? Inilah sebabnya tifoid umumnya menginfeksi anak besar udia SD ke atas. Evaluasi ulang bila seorang anak balita sampai didiagnosis tifoid.
3. Lalu bagaimana bisa memastikan diagnosis tifoid berdasarkan pemeriksaan darah? Dengan pemeriksaan Widal? Hmmm...
Jadi pemeriksaan laboratorium yang bertujuan menentukan kuman penyebab penyakit ada 2 cara: secara langsung menemukan kumannya dan yang secara tidak langsung.
Cara pertama adalah dengan pemeriksaan kultur (biakan) baik dari darah, air seni (urin), dan tinja (feses), maupun cairan tubuh lainnya. Jadi kuman dibiakkan dalam suatu media, dan ditunggu hingga beberapa hari untuk mendapatkan hasil apa sebenarnya bakteri penyebab penyakitnya. Inilah yang dilakukan pada kecurigaan demam tifoid, yaitu dengan pemeriksaan kultur darah/tinja/urin untuk mendapatkan si kuman Salmonella typhi. Sayangnya tidak semua RS punya fasilitas ini. Dan harganya juga tidak murah (tapi ditanggung BPJS Kesehatan lho...).
Cara kedua adalah dengan mendeteksi "jejak" keberadaan si kuman, yaitu dengan mengetahui adanya antibodi yang dihasilkan si antigen (kuman). Inilah Prinsip pemeriksaan seperti Widal, Tubex, TORCH, dan IgG-IgM Anti Dengue. Jadi ada risiko yang terdeteksi sebenarnya adalah "jejak" si kuman masa lampau, yang pernah masuk ke tubuh berbulan-bulan lalu. Bukan yang menyebabkan sakit saat ini.
Paham tidak sejauh ini? Mudah-mudahan tidak bingung.
Jadi bisa saja Widal-nya "positif", tapi sebenarnya tidak sakit tipes! Karena Widal ini menandakan berbulan-bulan lalu ia pernah kemasukan kuman tifoid, dan saat itu ia tidak sampai sakit. Sedangkan saat ini sakitnya bukan tifoid dari gejala-gejala yang ada.
Pelajarannya adalah: selalu berhati-hati dalam menginterpretasi pemeriksaan laboratorium yang menilai keberadaan kuman secara tidak langsung, termasuk Tubex (IgM Anti Salmonella) yang katanya lebih sensitif dan spesifik dari Widal. Pemeriksaan semacam TORCH pun juga.
Saya kadang mengajak kawan-kawan berdialog seperti ini: " dari kita semua yang ada di sini dalam kondisi sehat wal afiat, bila "iseng-iseng" dicek Widal-nya, bisa saja mayoritas "positif", padahal tidak satu pun yang demam tifoid. Mengapa? Karena kita semua pernah makan jajanan pinggir jalan yang terkontaminasi Salmonella, tetapi alhamdulillah tidak sakit, karena adanya antibodi yang melawan kuman. Dan "jejak" inilah yang terbaca sebagai Widal positif.
Sebagai kesimpulan, lessons learned-nya adalah:
1. Kembalikan kepada diagnosis berdasarkan tanda dan gejala yang dialami. Kalau demamnya baru 3 atau 5 hari, ya kemungkinan kecil, bahkan jangan pikirkan dulu, demam tifoid. Berpikir demam tifoid ya kalau demamnya sudah lebih dari 7 hari.
Bahkan kalau demam sudah 3 hari tapi jelas ada batuk pilek ya tidak usah juga berpikir DBD dan cek darah, karena diagnosisnya adalah selesma.
2. Setiap pemeriksaan laboratorium pastilah memiliki keterbatasan. Maka selalu kembalikan kepada diagnosis. Dokter tidak mengobati hasil laboratorium, tetapi dokter mengobati pasien.
Semoga bermanfaat

Lagi-lagi tentang RUM

Berhubung sejak pagi kepala saya dipenuhi dengan kata "RUM" alias rational use of medicine, saya jadi ingin menyampaikan suatu hal (mohon maaf bila ada yang tidak berkenan).
Let's say....there's a hospital that many people labeled it as a "RUM"-hospital. Well that might be. But now....hmmm
Saya lagi-lagi hanya ingin bilang: teruslah belajar, sebagai orangtua, bagi anak-anak kita khususnya. Orangtua adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap kesehatan anak-anaknya. Mungkin banyak orangtua yang ingin mendapatkan dokter yang "RUM" buat anaknya. Kalaupun harus dirawat, orangtua ingin anaknya dirawat di RS yang "katanya" dikenal RUM. Tapi faktanya: tidak. Kondisi di lapangan tidak selalu seperti apa yang diharapkan. Fakta yang ada tidak selalu ideal. Maka salah satu solusi yang tersisa adalah: jadilah orangtua yang "RUM" dulu bagi anak-anaknya.
Pelajari apa kondisi yang mengharuskan segera ke dokter, kapan tidak. Pelajari bagaimana sesak napas dan dehidrasi itu.
Pahami bahwa demam itu tidak mematikan, tapi dehidrasi lah yang mematikan. Tidak punya parasetamol di rumah? Tidak perlu panik. Lebih penting punya oralit di rumah.
Bacalah artikel-artikel penyakit tersering pada anak. Tentunya dari situs-situs kesehatan yang reliable. Bukalah www.milissehat.web.id, www.kidshealth.org, dan www.mayoclinic.com.
Jika orangtua harus berkonsultasi dengan dokter, jadi tahu bahwa hak yang harus diperoleh adalah: mendapatkan diagnosis dalam bahasa medis, mendapatkan penjelasan terapi, dan diberitahu kapan kondisi yang mengharuskan kembali ke dokter.
Terima kasih buat guru-guru yang sudah mengajari kami para dokter apa "RUM" itu. Maka kami pun punya tanggung jawab menyebarkan ilmu ini kepada para orangtua.

Tinja Steril

Seorang Ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke seorang dokter, karena sudah 3 hari diare. Sebelum menemui dokter untuk konsultasi, si ibu berinisiatif memeriksakan tinja anak ke laboratorium. Saat berhadapan dengan dokter, ia menunjukkan hasil lab tersebut.
"Wah, ada bakteri di tinja anak Ibu. Saya berikan antibiotik ya..." kata dokter.
"Kenapa dikasih antibiotik, Dok?" tanya si Ibu.
"Karena ada infeksi bakteri. Kalau infeksi bakteri kan obatnya antibiotik." jawab dokter.
Merasa tidak puas, si Ibu mendatangi dokter anak yang lain keesokan harinya untuk second opinion. Ia menceritakan hasil pemeriksaan dengan dokter sebelumnya.
"Bu, kalau tinja steril, tidak ada bakterinya, barangkali sudah jadi suguhan di meja makan." tanggap dokter ini sambil tersenyum.
Saya yang menulis kisah ini pun ikut tersenyum.
(Thanks to my friend who gave me this "fictious" story wink emoticon )

Radang Tenggorokan

Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke dokter karena sudah demam 3 hari disertai batuk dan pilek. Suhunya mencapai 39 derajat selsius, sehingga ia khawatir. Saat dokter memeriksa, si anak menangis kuat dan meronta.
"Ada radang tenggorokan Bu. Tenggorokan anaknya merah. Saya kasih antibiotik ya," jelas dokter setelah selesai memeriksa si anak.
Karena tidak yakin dengan diagnosis dokter, si ibu mencari second opinion ke dokter lain.
"Bu, selama manusia hidup, ya tenggorokannya pasti merah," jelas dokter lain ini setelah memeriksa si anak.

Being Mortal

"Dokter kadang merasa telah melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Dokter melakukan pemeriksaan selengkap mungkin dan memberikan terapi yang terbaik. Tapi belum tentu pasiennya merasakan hal yang sama. Bisa jadi pasiennya justru merasakan sebaliknya. Ia malah merasakan tidak "happy" dengan tindakan dokternya.
Di sisi lain, dokter malah "tidak melakukan apa-apa" dan pasiennya malah merasa puas dengan apa yang sudah dokter "lakukan"."
Kira-kira itu pernyataan yang saya simpulkan dari pembicaraan dr. Akhilles, seorang konsultan senior di bidang perawatan paliatif dari Singapura. Apa maksudnya? Di dalam bidang perawatan paliatif, yang identik dengan merawat pasien-pasien stadium terminal (seringnya kanker) yang "tidak bisa diapa-apakan lagi", dokter sudah tidak lagi memberikan pengobatan kemoterapi atau radioterapi, atau pembedahan, atau tindakan lain yang sekiranya dikerjakan ataupun tidak, maka tidak akan mengembalikan kondisi pasien seperti sediakala. Justru tindakan pengambilan darah berulang, pemasangan infus di berbagai tempat, hingga kemo atau radioterapi yang seyogyanya bertujuan mengobati pasien agar membaik keadaannya, malah menyakiti pasien tersebut. Padahal dengan perkiraan usianya yang tidak lama lagi (secara statistik), pasien pastinya ingin menikmati saat-saat akhir hidupnya dengan tenang. Bisa berada di tengah-tengah keluarga di rumah, bukan di ruang rawat intensif (ICU) RS. Ini yang mungkin bisa disebut dengan "tidak melakukan apa-apa". Pasien merasa lebih bahagia diperlakukan seperti ini.
Saya lalu membuat analogi dengan kondisi sehari-hari, meskipun mungkin tidak tepat. Saya membayangkan kadang dokter melakukan pemeriksaan darah, memberikan beberapa macam obat, termasuk antibiotik, padahal anak yang sakit hanya mengalami selesma (common cold). Atau anak mengalami diare dan muntah, padahal tidak dehidrasi, tetapi karena ingin melakukan tindakan semaksimal mungkin, maka si anak dirawat, diinfus, dan mendapatkan berbagai obat. Tidak bisa dipungkiri orangtualah yang seringkali panik dan secara tidak langsung "meminta" anaknya dirawat (inilah pentingnya mengetahui gejala dehidrasi dan penanganannya di rumah). Bagaimana sebenarnya perasaan si anak yang bisa menerima saja? Apakah ia "happy" dengan semua tindakan itu?
Mohon maaf bila analoginya salah. Pada hakikatnya pelajaran untuk saya sendiri agar mengasah terus kemampuan klinis.

Monday, May 25, 2015

Sekilas Kejang Demam

Akhir pekan lalu, dalam satu hari saya mendapatkan 3 anak berusia 2-4 tahun yang datang ke IGD dengan kejang demam. Semuanya dirujuk untuk dirawat. Berbahayakah kejang demam? Apakah harus dirawat?
1. Secara garis besar, ada 2 kondisi yang ditandai dengan kejang disertai demam, yaitu:
- kejang demam, yang umumnya tidak merusak otak sama sekali, dan
- infeksi susunan saraf pusat (SSP), yang sering saya bahasakan sebagai "infeksi otak", dan sangat potensial merusak otak
2. Apa bedanya? Kejang demam adalah kejang yang disebabkan oleh demamnya (suhu > 38 derajat selsius). Sedangkan infeksi SSP yang ditandai dengan kejang dan demam, penyebab kejangnya adalah infeksi kuman (virus/bakteri/lainnya) di dalam SSP. Infeksi ini juga ditandai dengan gejala demam.
3. Bagaimana membedakannya? Kejang demam paling lama berhenti sendiri dalam 15 menit (jarang sekali sampai selama ini). Setelah kejang anakpun kembali sadar dengan sendirinya.
Pada infeksi SSP seperti meningitis dan ensefalitis, kejang bisa berlangsung lebih dari 15 menit, dan pasca kejang anak cenderung tidak sadar. Kejang juga sering berulang dalam waktu yang berdekatan.
4. Kejang demam yang sebenarnya tidak berpotensi merusak otak ini pun dibagi 2, yaitu kejang demam sederhana (kejang < 15 menit, tidak berulang) dan kejang demam kompleks (kejang > 15 menit, berulang dalam 24 jam).
5. Hal TERPENTING nomor 1 adalah: tahu kapan harus membawa anak ke dokter/RS terdekat. Yaitu ketika: kejang berlangsung lebih dari 5 menit, dan setelah kejang anak tidak sadar. Begitu juga dengan kejang untuk pertama kalinya.
6. Hal TERPENTING nomor 2 adalah: tahu apa yang dilakukan ketika kejang terjadi. Yaitu:
- miringkan posisi badan anak (agar tidak tersedak bila saat kejang anak sedang makan/minum)
- jangan masukkan apapun ke dalam mulut! Apakah itu sendok, kayu, atau jari tangan kita, dengan alasan khawatir lidah tergigit lalu putus! Tidak pernah ada laporan lidah putus karena anak kejang. Bagaimana bila justru jari kita yang terluka karena anak menggigitnya atau sendok yang kita masukkan patah? Bahaya baru. Apalagi yang meminumkan kopi kepada anak yang kejang!
- lihat jam! Bila kejang berhenti dengan sendirinya sebelum 5 menit, umumnya aman. Bila sudah 5 menit tak kunjung usai, segera bawa ke dokter terdekat.
- tetap tenang dan berdoa agar kejang segera berakhir
Lalu apakah perlu pemberian diazepam lewat dubur saat anak kejang? Apakah pemberian obat penurun panas dapat mencegah kejang? Apakah kejang harus dirawat? Dan makin tinggi suhu maka makin tinggi risiko kejang?

Satu hal yang perlu ditekankan adalah: kejang demam terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Apa artinya? Bila kejang disertai demam terjadi pertama kali pada usia sebelum 6 bulan, maka hati-hati, apakah ini memang kejang demam? Atau justru infeksi SSP?
Di sisi lain, anak-anak yang pernah mengalami kejang demam berulang, ketika umurnya sudah mencapai 5 tahun, maka orangtua seharusnya merasa lebih tenang. Karena risiko kejang demam sudah sangaat jauh berkurang. Bahkan jika anak-anak berusia di atas 5 tahun masih mengalami kejang demam, maka konsultasikan segera ke dokter.

Satu kalimat yang hampir selalu saya ulang saat menjelaskan kejang demam pada orangtua adalah: "sampai demamnya reda, apakah dalam 3 atau 5 hari, insya Allah kejang tidak akan berulang lagi. Tapi kapanpun itu sebelum umurnya 5 tahun, ketika 2 bulan atau 5 bulan lagi ia mengalami demam, maka kejang demam bisa saja berulang. Tapi insya Allah tidak merusak otak." Yang penting orangtua tahu kapan harus segera membawa anak ke dokter dan tahu apa yang harus dikerjakan saat anak kejang.
Apakah kejang demam dapat dicegah dengan pemberian obat penurun panas segera? Ketika seorang anak pernah mengalami kejang demam untuk pertama kalinya, maka pada episode-episode demam berikutnya, orangtua hampir pasti segera memberikan penurun panas saat suhu badan anak mencapai 38 derajat selsius. Bahkan tidak jarang yang memberikan obat penurun panas lewat dubur, dengan asumsi demam akan lebih cepat turun dibandingkan dengan obat yang diminum.
Jawabannya adalah: tidak. Obat penurun panas sayangnya tidak dapat mencegah kejang demam, berdasarkan hasil penelitian.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kejang demam? Beberapa penelitian menunjukkan obat anti kejang semacam diazepam dapat mencegah kejang saat demam. Meskipun sebagian ilmuwan lain tidak menyukai pemberian diazepam sebagai obat pencegah kejang demam. Karena diazepam mempunyai efek samping membuat anak mengantuk, sehingga sulit menilai anak mengantuk karena efek samping obat atau karena penyakitnya? Padahal gejala-gejala yang dialami saat anak sakit akan memberi petunjuk kepada diagnosis dan terapinya.

Terakhir: perlukah antibiotik? Jawabannya adalah tergantung penyebab demamnya. Mayoritas kejang demam terjadi di hari pertama demam, ketika diagnosis belum jelas. Mungkin di hari ketiga atau kelima baru akan terjawab: ternyata anak akhirnya mengalami selesma, atau roseola, atau demam Dengue, yang semuanya disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Atau malah demamnya karena infeksi saluran kemih yang membutuhkan antibiotik. Ketenangan orangtua dan kesabaran mengobservasi kondisi anak menjadi kata kuncinya.

Sunday, May 24, 2015

Tiga Alasan Menolak Imunisasi

Bila merunut pada alasan mengapa orangtua tidak mau anaknya diimunisasi, sebenarnya pemikiran "anti-imunisasi" atau "anti-vaksin" bukanlah satu-satunya penyebab. Saya menyimpulkan ada tiga hal utama yang saya jumpai di ruang praktik.
1. Orangtua khawatir anaknya mengalami demam setelah diimunisasi. Faktor ini pula yang masuk dalam analisis survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 oleh Kemenkes, yang saya kutip di buku saya "Pro Kontra Imunisasi". Pada kenyataannya, kadang orangtuanya bersedia anaknya diimunisasi, tetapi sang nenek yang tidak mau dengan alasan ini (mungkin karena si ibu bekerja ya, jadinya si nenek yang harus menghadapi rewelnya cucu ketika demam. Hehe).
Padahal faktanya demam belum tentu terjadi setelah imunisasi (hanya imunisasi DPT yang paling tinggi potensi demam pasca imunisasi, meskipun tidak selalu, dan ini hanya satu dari sekian banyak vaksin lain yang jarang "buat demam"). Demam yang terjadi juga biasanya hanya sesaat, dan jarang terjadi kejang demam yang sebenarnya tidak "merusak otak". Silakan baca pembahasan saya terdahulu tentang demam.
2. Petugas kesehatan tidak mau mengimunisasi anak yang mengalami batuk-pilek dengan/tanpa demam ringan. Ini adalah salah satu salah kaprah tersering yang membuat anak tertunda imunisasinya. Ia sudah datang ke Puskesmas atau dokter/bidan untuk diimunisasi, tetapi karena sedang sakit selesma, ia diminta pulang dan kembali untuk imunisasi bila sudah sehat. Jelas bahwa selesma sama sekali bukan halangan imunisasi. Terlambat diimunisasi justru berisiko membuat anak "keburu" sakit campak dan pertusis beneran.
3. Pemikiran anti-vaksin, yaitu menolak imunisasi karena alasan yang sudah sama-sama kita ketahui dan bahas di media sosial (isu halal-haram, mengandung bahan berbahaya, dan lain-lain)

Alhamdulillah alaa kulli haal

Mungkin saat ini Anda sedang sedih karena anak Anda sedang mengalami demam sudah dua hari. Suhunya mencapai 40 derajat selsius. Ia terbaring lemah, tidak mau makan. Dokter barusan menyatakan harus dirawat inap. Anda pun berpikir "pindahkan saja penyakit anakku ini. Biar aku saja yang mengalaminya". Ya Tuhan, kenapa anakku harus sakit? Mungkin pikiran ini terlintas di dalam benak.
Cobalah mampir ke tempat kami di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Anda dapat menjumpai seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan berat badan hanya 15 kg. Ya, gizi buruk. Awalnya ia mengalami tuberkulosis (TB) paru yang putus pengobatannya. Ibunya telah meninggal beberapa tahun lalu. Ayahnya sibuk mencari nafkah sebagai kuli bangunan, sehingga kadang sulit mencari waktu untuk kontrol berobat anak semata wayangnya. Selama menunggui anaknya dirawat di RS, si ayah tidak bekerja. Sewa kontrakan rumahnya sudah 2 bulan tidak dibayar.
Temui juga seorang gadis berusia 8 tahun dengan gizi buruk lainnya. Ia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya baru saja meninggal. Apa artinya? Ibunya seorang janda beranak 4 tanpa penghasilan tetap. Gadis ini mengalami kelainan katup jantung bawaan sejak lahir, tetapi baru dibawa berobat untuk mengetahui sakitnya setahun silam. Defek septum ventrikel besar namanya. Ibunya harus bolak balik ke RS untuk membawa anaknya kontrol dan mengatur waktu meninggalkan 3 anaknya yang lain.
Anda juga bisa menjumpai seorang bocah laki-laki berusia 4 tahun yang terbaring karena meningitis TB. Awalnya ia adalah seorang anak yang tumbuh dan berkembang normal sesuai usianya. Tiba-tiba demam dialaminya selama kurang lebih seminggu dan berlanjut dengan kejang. Hasil CT scan kepala menunjukkan pengumpulan cairan di sekitar jaringan otak (hidrosefalus). Kini ia hanya terbaring kaku dengan kejang yang masih berusaha dikendalikan. Palsi serebral. Ayahnya seorang tukang permak "Levis" keliling. Ibunya sedang hamil besar sambil menunggui anaknya yang sakit. Kadang saya khawatir si ibu melahirkan tidak lama lagi saat sulungnya masih dirawat. Sebelum ia mempunyai BPJS kesehatan, orangtuanya harus menanggung biaya cukup besar untuk perawatan di ruang rawat intensif. Bayangkan saja kesanggupan mereka dengan penghasilan sebagai penjahit keliling.
Di poliklinik pun tidak jauh berbeda. Seorang gadis berusia 9 tahun yang tampak seperti balita karena kecilnya postur tubuh dan kepala yang besar. Hidrosefalus. Tetapi karena baru datang di usia yang sudah besar, tindakan pembedahan sudah tidak membantu. Upaya mengoptimalkan perkembangannya salah satunya dengan fisioterapi. Ketika disarankan menggunakan kursi roda khusus untuk penyandang palsi serebral yang tidak ditanggung BPJS pembiayaannya, si ibu mencari informasi harganya. Tidak mahal. "Hanya" 2 jutaan. Apa reaksi si ibu? "Saya belum pernah melihat uang sebanyak itu!"
Suaminya bekerja sebagai tukang parkir. Mungkin wajar bila ia belum pernah melihat uang tunai sejumlah itu.
Masih banyak kisah lain yang bisa kami ceritakan. Teman-teman sejawat di RSUD lain dan RSU Pusat pastinya mempunyai segudang kisah yang tidak lain hanya membuat kita mengucap syukur.
Atas segala hal yang kita alami saat ini. Alhamdulillah alaa kulli haal.

Mengapa jangan puyer?

Sepertinya untuk sebagian orangtua puyer masih menjadi obat andalan yang diharapkan bisa diresepkan oleh dokter saat berobat. Kalau obatnya sirup, ngapain musti ke dokter spesialis anak? Kan bisa beli sendiri di apotek. Kadang tanpa resep bahkan. Sudah berobat ke bidan dan dokter di Puskesmas belum sembuh juga, masa' berobat ke dokter spesialis masih dikasih obat sirup juga?
(Diriku yang kadang bingung menghadapi orangtua yang "memaksa" minta obatnya berupa puyer racikan, supaya anaknya cepat sembuh)
Apa pelajaran yang bisa diambil?
1. Edukasi dan kampanye rational use of medicine (RUM) yang pertama kali digulirkan WHO harus terus dikerjakan
2. Edukasi bahwa memang berobat ke dokter pastinya supaya anaknya cepat sembuh (siapa orangtua yang tidak ingin anaknya cepat sembuh), tetapi yang terpenting menjelaskan bahwa tiap penyakit punya "perjalanan alamiah"-nya sendiri-sendiri, sehingga lama sembuhnya bervariasi. Maka bersabarlah...
3. Jangan memiliki pola pikir "pulang dari dokter harus bawa obat". Kalau tidak bawa obat ya tidak sembuh. Tapi mengubah pola pikir jadi "nasihat dan penjelasan dokter mengenai diagnosis dan terapi penyakit adalah bentuk obat juga".

Sedikit tentang diare

Sebagai panduan sesuai guideline WHO dan yg biasa saya praktikkan: bila diarenya akut dan tidak disertai darah (berlendir sekalipun), maka umumnya tidak butuh antibiotik. Tapi bila diare disertai darah (namanya disentri), dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh bakteri/amuba dan antibiotik dipertimbangkan.
Sebenarnya perlu/tidaknya pemberian antibiotik bukanlah hal yg paling urgen, tetapi yg paling urgen adlh: dehidrasi atau tidak? Makanya semua orangtua harus mengenali tanda-tanda dehidrasi dan penanganannya.
Kalau boleh berbagi pengalaman di lapangan, anak-anak yang dirawat di RS dengan dehidrasi sekalipun mayoritas penyebabnya adalah virus yang sama sekali tidak butuh antibiotik dan anak sembuh tanpa antibiotik. Mayoritas hasil pemeriksaan analisis tinja pada pasien-pasien diare anak di RS juga hasilnya tidak dicurigai infeksi bakteri.
Selamat belajar

Mengapa saya masuk ke dunia edukasi kesehatan masyarakat

Salah satu alasan yang membuat saya tertarik untuk masuk ke dunia edukasi konsumen kesehatan (dalam hal ini orangtua pasien) adalah: orangtua yang tidak paham dasar ilmu kesehatan anak berpotensi "menzalimi" anaknya. Lho kok bisa?
Bayangkan ketika anak demam tiga hari, disertai batuk-pilek, dan diagnosis sebenarnya adalah selesma (common cold), yang kita sepakati akan sembuh seiring waktu. Tapi orangtua yang panik, khawatir anaknya mengalami demam berdarah, lalu berinisiatif memeriksakan darah anaknya ke laboratorium, hasilnya? Anak harus ditusuk jarum, disakiti, padahal tidak seharusnya ia diperiksakan darahnya.
Contoh lain adalah salah satu orangtua, misalnya si ibu, sudah cukup paham dasar ilmu kesehatan anak, karena sudah ikut milis kesehatan semacamMilissehat Sehat (http://groups.yahoo.com/group/sehat), rajin bacawww.milissehat.web.id, dan pernah ikut Pesat LimabelasJakarta, sehingga tidak mudah panikan dan tahu kapan harus ke dokter. Tapi sang suami tidak paham hal ini. Tiap kali anak mereka sakit, si Ayah maunya anak cepat sembuh. Pokoknya bawa ke dokter, kasih obat, apapun, kalau perlu antibiotik (padahal bukan infeksi bakteri). Hasilnya? Anak harus mendapatkan obat-obatan yang tidak perlu dan berisiko efek samping serta resistensi antibiotik. Apa sebabnya? Ya semata-mata karena kekurangtahuan orangtua.
Belum paham tidak apa-apa. Yang penting mau tahu dan belajar terus. Agar tidak "menzalimi" anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita.

A note from a journalist

Yang saya tahu, jurnalis atau wartawan itu ada dua: yang meliput langsung ke lapangan dan menuangkan hasil pengamatannya ke dalam tulisan dan yang sekedar "manteng" di depan monitor dan mengutip sana sini hasil bacaannya untuk dijadikan tulisan.
Tipe yang pertama adalah yang saya gunakan saat menulis buku kedua saya: Pro Kontra Imunisasi.
Saya tidak sekedar manteng di depan komputer mencari bahan tulisan, atau baca buku dan jurnal saja, tapi saya harus bertindak sebagai seorang "real journalist". Karena ini yang diajarkan saat saya masih aktif di lembaga jurnalistik mahasiswa saat kuliah kedokteran dulu. Maka saya menyambangi PT Bio Farma di Bandung untuk melihat langsung proses pembuatan vaksin dan mewawancarai vaksinolog senior di situ. Saya mendatangi Badan POM RI di Percetakan Negara untuk mewawancarai seorang Deputinya untuk mendapatkan informasi bagaimana vaksin sampai bisa beredar di Indonesia. Saya mendatangi Subdit Imunisasi Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan informasi langsung pelaksanaan imunisasi selama ini. Saya mengunjungi seorang anggota Tim Ahli LPPOM MUI di kantornya di Ragunan untuk tahu persis bahwa sebenarnya vaksin itu tidak haram.
Lalu saya gabungkan dengan pengalaman keseharian saya sebagai seorang praktisi klinis di bidang imunisasi. Jadilah buku ini akhirnya, dengan taufik dan rahmat Allah.
Saya mencoba bertindak selaku seorang jurnalis apa adanya.
Makanya saya heran, ketika para jurnalis yang memuat tulisan kontra-imunisasi adalah mereka yang mengandalkan pengamatan di depan layar komputer saja, tanpa pernah meliput langsung ke lapangan. Lalu mereka pun dipercayai oleh banyak pembacanya, karena dianggap memiliki reputasi sebagai media yang jujur.
What do you think?

Kisah Rokok

Satu hal yang tidak saya suka dari angkutan umum adalah potensi adanya orang merokok di dalamnya. Tapi seringkali saya tidak punya pilihan, sehingga menjadikan kendaraan ini sebagai sarana transportasi sehari-hari. Berbagai upaya sudah saya lakukan ketika menjumpai para perokok di dalam angkutan ini, mulai dari membuka seluruh jendela di bagian belakang secara mendadak untuk menunjukkan ketidaksukaan saya, menegurnya langsung, sampai turun dari angkot. Alhamdulillah tidak sampai terjadi kekerasan fisik sejauh ini.
Dari komentar status yang saya unggah beberapa waktu lalu, kaum ibu ternyata kesulitan mendapatkan tanggapan mematikan rokok dari orang-orang yang ditegurnya. Mungkin para pria perokok ini meremehkan para wanita yang menegurnya? Di sisi lain saya sering mendapatkab ibu-ibu yang membawa anak-anaknya di dalam angkot tampak cuek saja duduk bersama para penumpang pria perokok lain. Saya menilai mereka sudah terbiasa dengan asap rokok di rumahnya, mungkin dari suaminya sendiri atau ayah/mertuanya. Jadi mereka tidak sensitif dengan asap mematikan yang sangat potensial membunuh orang-orang yang menghisap asapnya. Bukankah kasus kanker paru lebih banyak terjadi pada perokok pasif dibandingkan dengan perokok aktif?
Di ruang praktik pun saya menjumpai keadaan serupa. Bayi-bayi yang sejak usia sangat muda sudah mengalami batuk kronik karena perokok di rumahnya. Siapakah dia? Tidak lain ayahnya sendiri. Sang ibu hanya menjawab dengan pandangan lesu ketika saya memintanya untuk menegur suaminya agar berhenti merokok.
"Susah Dok, padahal udah saya bilangin."
"Ayolah Pak, berhenti merokok. Udah punya anak sekarang. Sudah jadi ayah...." bujuk saya bila si bapak kebetulan menemani anak dan istrinya. Dan si bapak hanya tersenyum simpul.
Mengingat sulitnya menghadapi perusahaan rokok yang sudah menggurita di negara ini, baik lewat peraturan perundangan yang ada dan iklan-iklannya yang masif, ditambah sangat banyaknya jumlah penduduk perokok, maka sebagai perokok pasif, lakukan apapun yang kita bisa. Bukankah merokok adalah suatu kezaliman, baik terhadap dirinya sendiri yang merusak kesehatannya dan bagi orang lain di sekitarnya? Dan tidakkah seharusnya kezaliman dihentikan semampu kita?

Wednesday, May 20, 2015

Di balik kuning, demam, batuk, pilek, diare

Batuk, pilek, mencret, bahkan sampai kuning pada bayi dan "tali lidah" pun ternyata Allah ciptakan bukan tanpa tujuan.
Kadang kita mengeluhkan ketika diri kita atau anak kita sakit. Demam hingga anak rewel dan tak kunjung tidur semalaman. Pilek dan hidung mampet sampai bayi gelisah tidurnya. Batuk sehingga si kecil terjaga semalaman. Sedih sekali. Mengapa Allah ciptakan semua penyakit ini?
Bahkan ketika bayi baru lahir sekalipun, ada sebagian yang mengalami kuning. Saya yakin ada di antara Ibu/Bapak yang pernah bayinya mendapatkan terapi sinar (fototerapi), karena kadar bilirubin darahnya melampaui batas. Jika tidak "disinar", maka bilirubin akan melampaui ambangnya dan masuk menembus sawar darah-otak, menyebabkan kejang alias kern icterus! Bayi berisiko cacat permanen.
Tahukah Anda, ternyata kuning pada bayi baru lahir pun ada tujuannya. Meskipun masih menjadi perdebatan, beberapa pakar menyimpulkan keadaan bilirubin darah yang lebih tinggi dari seharusnya pada bayi baru lahir disinyalir sebagai antioksidan (silakan baca dihttp://www.thematrona.com/…/the-physiologic-role-of-bilirub…). Ya, pada hakikatnya seorang bayi yang baru dilahirkan mengalami "perpindahan dunia". Dari alam rahim yang tenang, penuh perlindungan dari berbagai kuman, dan steril, menuju alam baru yang "penuh tantangan". (Filosofi menangis pada bayi baru lahir adalah sedih atau kaget ketika berpindah dunianya. Tapi kalau bayi lahir tidak menangis, maka dokter atau bidannya yang nangis. Hehe) Kadar bilirubin yang secara alamiah meningkat selama 2 minggu pertama dinilai menjadi antioksidan terhadap stres oksidatif akibat udara panas/dingin, mulainya bernapas (bayi menangis adalah bentuk usaha napas pertamanya), dan mulainya kegiatan baru seperti menyusu.
Tentunya kadar bilirubin darah ada ambang maksimalnya. Bila dibandingkan penelitian dari tahun ke tahun, ambang batas terapi sinar mengalami peningkatan. Jika melihat kebiasaan yang dilakukan oleh dokter-dokter jaman dulu, maka batas toleransi untuk diterapi sinar lebih tinggi saat ini. Apa artinya? Angka belasan yang dulu mungkin sudah langsung dinyatakan untuk diterapi sinar, kini lebih bervariasi (lihat kurva normogram atau grafik terapi sinar dari American Academy of Pediatrics di tahun 2004). Ini pun melihat usia kehamilan/gestasi, dan faktor risiko saat persalinan. Anda bisa mengeceknya dengan mudah di www.bilitool.org
Meskipun bayi terlihat kuning, tapi jika angkanya masih ditolerir, maka tidak buru-buru harus mengerjakan fototerapi. Apakah kebiasaan menjemur dapat mengurangi kuning pada bayi? Ya, menjemur dapat mengubah warna kuning di kulit bayi menjadi hitam! Alias membakar kulit bayi...
Menyusui terbukti dapat mengurangi kejadian breastfeeding jaundice (kuning akibat konsumsi ASI yang kurang). Maka pada usia lebih dari 2 minggu, umumnya kuning berkurang dengan sendirinya.
Bagaimana dengan demam?
Saya justru banyak belajar dari sumber yang kebanyakan ditulis oleh orang-orang "Barat". Bahwa batuk-pilek alias selesma/common cold bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Saya yakin kawan-kawan yang pernah menetap di Australia, Inggris, dan Belanda bisa menceritakan pengalaman serupa. Batuk adalah mekanisme tubuh yang Allah ciptakan untuk membuang kuman dan benda asing yang masuk ke dalam saluran napas. Ingus dan dahak Allah ciptakan keluar dari hidung dan tenggorokan dengan membawa banyak virus dan bakteri mati. Pernahkah Anda menyaksikan orang yang terbaring di ICU dengan alat bantu napas, tidak dapat batuk untuk mengeluarkan dahaknya? Perawat harus rutin menyedot lendirnya. Jika tidak, ia akan sesak napas dan berujung pada kematian. Inilah nikmat batuk yang Allah berikan! Atau lihatlah anak-anak dengan palsi serebral, kelumpuhan otot bawaan, atau fibrosis kistik. Maka batuk dan pilek menjadi nikmat untuk mereka.
Lalu menghadapi diare. Panduan penanganan diare yang dikeluarkan oleh WHO dan berbagai guidelines menyebutkan: tidak perlu obat untuk menghentikan diare. Biarkan diare terjadi, yang penting ganti terus dengan cairan (minum) agar tidak dehidrasi. Diare adalah upaya tubuh yang Allah ciptakan untuk membuang virus dan bakteri keluar tubuh. Sama halnya dengan muntah.
Bagaimana dengan demam? Sudah berkali-kali saya bahas, virus dan bakteri tidak dapat berkembang biak pada kondisi demam. Sel-sel darah putih (lekosit) yang memerangi kuman pun bekerja optimal pada suhu demam. Apa yang diajarkan "orang-orang bule" ini dalam literatur mereka? Ya, banyak minum, kompres hangat, dan obat penurun panas HANYA diberikan jika anak rewel.
Kesannya malah seperti kedokteran "alamiah" yang lalu diidentikkan dengan pengobatan "Timur" dan thibbun nabawi. Ya, saya sebut pengobatan Timur, karena ada yang membuat definisi kedokteran Barat. Dan segala sesuatu yang sifatnya "alamiah" diidentikkan dengan "Thibbun Nabawi" atau kedokteran "Timur". Barat identik dengan kimia, barang haram, dan membahayakan tubuh. (Dan tentunya "tidak sesuai dengan Sunnah Rasul". Hehe).
Padahal referensi-referensi Barat yang kesannya alamiah ini disimpulkan berdasarkan penelitian. Evidence based medicine. Malah, mohon maaf, saran-saran dari " thibbun nabawi" (saya kasih tanda kutip), kadang lebih "repot". Kasih herbal A, ramuan B, dsb.
Saya tegaskan, saya tidak mempertentangkan atau membenturkan thibbun nabawi dengan kedokteran Barat. Saya beri tanda kutip untuk kata thibbun nabawi, karena saya menilai beberapa praktisi thibbun nabawi (menurut saya pribadi ya, maaf jika saya salah) tidak memahami hakikat thibbun nabawi, dan terkesan memaksakan thibbun nabawi ya "seperti itu". Padahal formulasi yang ada, bila melihat pada masa Rasulullah, sifatnya umum.
Kemarin saya menulis tentang "kontroversi" tindakan insisi pada tongue tie. Banyak komentar yang berdatangan. Saya coba mencari, apakah orang Bule pun melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan bayinya memiliki tongue tie dan mengalami nyeri saat menyusui? Tidak banyak memang tulisan yang bisa didapatkan, tapi lagi-lagi, saya mendapatkan kesan bahwa mereka lebih "sabar" dalam menghadapi kondisi ini. Bersungguh-sungguh dulu memperbaiki manajemen laktasi, baru sampai pada tahapan memutuskan: perlu tidaknya insisi. Berkebalikan dengan beberapa kasus yang saya dapatkan di ibukota negeri ini: memudahkan tindakan insisi (hanya pada sebagian kasus ya).
Orang-orang bule ini tampaknya terbiasa lebih sabar, dibandingkan kita, saat menghadapi anak sakit. Lebih sabar menghadapi batuk dan pilek dengan hanya memberikan banyak minum. Lebih sabar menghadapi demam dengan memberikan banyak minum. Lebih sabar menghadapi diare dengan memberikan banyak minum.
Lebih sabar, atau lebih paham?
Menjadi ayah dari 3 balita, saya pun mengalami hal serupa. Menghadapi putra-putri yang tidak mau minum obat padahal suhunya tinggi. Menyabarkan mendengarkan batuk dan tidur gelisah dengan menggendong berlama-lama. Menyaksikan ada yang muntah dan menawarkannya minum.
Kita orangtua bagi anak-anak kita. Dan kita terus belajar.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...