"Papaa! Papa manaa??"
Anak kecil itu berteriak-teriak di lantai. Ia menangis meraung-raung. Mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Termasuk diriku, yang kebetulan memang berjalan menuju kamarnya.
"Kenapa?" tanyaku. "Loh, papanya mana?"
"Papanya barusan berangkat kerja, Dok. Neneknya sedang menuju kemari." Orangtua pasien di kamar sebelahnya menjawab pertanyaanku.
Di hadapanku adalah seorang gadis berusia 6 tahun dengan berat badan hanya 12 kg. Tulang berbalut kulit. Gizi buruk. Wajahnya yang tirus menampakkan sosok lebih tua dari usianya.
"Udah, jangan nangis. Yuk, naik ke atas," bimbingku menuju tempat tidurnya. Ia tampak enggan, tetapi pasrah.
Kuminta seorang koasisten menemaninya bermain. Gadis ini mengalami penyakit yang pastinya membuat kening berkerut orang yang mendengarnya. Ya, HIV positif. Awalnya ia seorang anak perempuan yang tumbuh dan berkembang secara wajar layaknya kawan-kawan sebayanya. Tapi setahun terakhir berat badannya alih-alih naik atau menetap, justru makin turun. Demam bolak-balik dialaminya. Lidahnya putih penuh dengan sariawan akibat infeksi jamur. Buang air besarnya kadang cair. Dan nafsu makannya jauh berkurang. Gambaran ronsen parunya penuh dengan perselubungan. Gizi buruk, pneumonia, curiga TB, dan tentunya... HIV positif.
Ibunya sudah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya. Kisah yang menjadi "petunjuk" khas buat kami yang mengarahkan pada diagnosis HIV. Tidak jelas sakitnya apa, dari keterangan ayahnya. Tapi pastinya HIV, karena inilah yang dialami si anak saat ini.
Kini gadis kecil tak tahu apa-apa ini harus berjuang melawan penyakitnya. Antiretroviral belum bisa segera dimulai. Semoga Allah memberikan kemenangan untuknya. Lalu hidupnya harus terus berjalan, jika ternyata ia bertahan.
---------------------------------------------------------------------
"Kontrol bayinya ya Bu?" tanyaku kepada seorang Ibu, sambil menatap bayi di atas meja periksa. "Ada keluhan?" Aku bertanya karena bayi ini lahir di RS luar. Pastinya ada sesuatu sampai dirujuk kemari.
"Iya, kata dokter saya sakit HIV. Trus bayinya disuruh kontrol." Ibu ini tampak polos. Sepertinya ia tidak terlalu paham apa HIV itu.
"Baru ketahuan pas mau lahiran ya?" aku menebaknya.
Si Ibu mengangguk.
"Suaminya mana, Bu?" tanyaku lagi.
"Sudah meninggal." jawabnya, lagi-lagi sesuai perkiraan.
"Ini anaknya, Bu?" tanyaku menatap seorang gadis remaja.
"Iya, ini anak pertama saya. Tapi Bapaknya beda."
Singkat cerita, ibu ini menikah 2 kali. Dari pernikahannya yang kedua, ia memperoleh 2 anak, termasuk bayi di hadapanku. Suami keduanya sudah meninggal. Tak perlu digali dalam apa penyebab kematiannya. Ia mantan pengguna narkoba. Pastinya HIV, dan ia menularkan ke istrinya, lalu si istri hamil dengan virus HIV memenuhi tubuhnya.
"Berapa umurmu?" tanyaku pada anak tertua Ibu ini.
"16 tahun", jawabnya.
"Suami Ibu sudah tidak ada, lalu Ibu dapat nafkah dari mana?" tanyaku lagi pada Ibu.
"Saya kerja, Dok," tiba-tiba anak gadisnya menjawab. "Saya kerja rumah tangga. Uangnya buat Ibu dan adik-adik saya. Adik bayi saya kan tidak boleh minum ASI. Jadi saya yang belikan susu untuk dia."
Gadis ini hanya menyelesaikan pendidikannya hingga SMP, lalu bekerja menjadi tulang punggung keluarganya. Ditambah lagi dengan kondisi Ibunya yang baru terdiagnosis HIV dan adiknya yang baru lahir. Adik lainnya bersekolah SD.
"Ibunya kerja juga, waktu belum melahirkan?"
"Saya kerja rumah tangga juga," jawab si Ibu.
"Sebulan dapat berapa?"
"600 ribu."
"Nggak nginap ya? Nyuci gosok aja?" tanyaku.
"Iya, kadang ngupas juga." jawabnya
Banyak kisah dari pasien-pasien dengan penyakit serupa. Kawan-kawan dan senior-senior saya di bidang ini memiliki jauh lebih banyak cerita. Yang bisa membuat kita senantiasa bersyukur. Dan lebih memaknai hidup ini.
No comments:
Post a Comment