Sunday, January 22, 2006

Complications: A Surgeon's Notes on an Imperfect Science by Atul Gawande

This is the BEST non-fiction book I've ever read!!

Inilah buku yang menjelaskan sisi-sisi manusiawi kehidupan seorang dokter (ya.. Dokter juga Manusia :-) Bahwa dokter adalah manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan, segala keterampilan yang Dokter peroleh adalah melalui pengulangan yang membutuhkan jam terbang, dan 'lahan berlatih' seorang dokter adalah Manusia juga! Inilah yang membedakan profesi dokter dari lainnya. Namun tidak berarti buku yang ditulis oleh seorang dokter ini lantas membenarkan tindakan malpraktik. Enaknya, aku akan mulai mengutip beberapa isi buku yang sangat menarik ini.

Atul Gawande adalah seorang dokter bedah umum (general surgeon) berkebangsaan Amrik, juga seorang penulis di majalah kenamaan "The New Yorker". Jika sempat membuka situs majalah internet Slate.Com, Anda juga akan menemukan beberapa tulisannya. Berbekal pengalaman sehari-harinya, khususnya pada masa-masa residensi (sekolah spesialisasi), ia banyak memaparkan ilustrasi dari kasus-kasus bedah.

Membaca Pendahuluan-nya saja, Anda akan langsung tertarik untuk tidak menghentikan membaca buku ini. Penulis memulai cerita dengan satu kasus bedah yang ia dapatkan di masa residensinya. Dan ia menulis, "Aku sadar, ilmu kedokteran merupakan sesuatu yang aneh yang kadang merisaukan. Taruhannya begitu tinggi, kewenangan yang diambil begitu besar. Kami cekoki orang dengan obat, kami masukkan jarum dan slang ke tubuh mereka, kami kutak-katik mereka secara fisik, biologis, dan kimiawi, kami buat mereka berbaring tak sadar, lalu membukakan tubuhnya untuk dilihat semua orang.... maka akan tampak betapa kacau, tak pasti, dan juga mencengangkannya ilmu kedokteran itu."

Dan Atul Gawande meneruskannya dengan ilutrasi kasus seorang anak dengan massa tumor di daerah dada yang membuatnya sesak napas, dan para dokter menghadapi dilema pilihan tindakan apa yang akan dikerjakannya. Ya: DILEMA. Suatu hal yang jamak dalam dunia mayoritas abu-abu ini (bukan hitam-putih).

Bagian 1 buku ini (judul besarnya: "Kekhilafian") menggambarkan betapa mudah seorang dokter berbuat salah, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, tak lupa kisah nyata yang bisa diambil pelajarannya.

Dr Atul Gawande menceritakan pengalaman pertamanya memasang infus vena sentral pada seorang pasien, mulai dari tidak bisa menemukan bagian ini, sampai ia menjadi demikian mahir dan harus mengajarkan pada orang lain. Ia menulis: "ada yang berbeda di kedokteran: orang berlatih dengan manusia!" Bagi Anda yang kebetulan pernah menjalani masa-masa pendidikan kedokteran, pastinya kadang Anda akan tersenyum sendiri, mengingat-ingat pengalaman pertama mengerjakan suatu tindakan pada pasien, atau bagaimana teknik berbicara dengan mereka.

Pernahkah Anda berobat ke sebuah RS, dan harus menghadapi kenyataan yang melayani Anda adalah seorang ko ass (mahasiswa kedokteran), atau seorang residen (bukannya dang dokter spesialis senior)? Betapa kecewanya Anda. Sudah membayar mahal untuk sebuah layanan kesehatan bermutu, dihadapkan pada sebuah tindakan 'eksperimental'. Apa-apaan ini?

Lagi-lagi Dr Gawande memberikan argumentasinya yang sangat tajam: "Inilah kenyataan yang tidak enak tentang pengajaran... hak pasien untuk mendapatkan layanan yang terbaik harus diutamakan di atas tujuan mendidik para calon ahli. Kita menginginkan layanan yang sempurna tanpa latihan. Tetapi, setiap orang akan menghadapi bahaya bila tak ada seorang pun dilatih untuk jadi ahli di masa depan. Maka, pembelajaran berlangsung secara sembunyi-sembunyi,..."

Masih banyak argumen telak lain yang disampaikan Dokter Spesialis Bedah sekaligus peneliti di Brigham Women Hospital ini. Namun tidak berarti isi buku ini melulu 'membela' dokter. Dr Gawande juga memaparkan kisah beberapa sejawatnya yang tidak boleh ditolerir kesalahannya. Dalam hal ini, pembaca akan melihat dalam proses penulisan buku, Atul Gawande mengadakan interaksi langsung dengan tokoh-tokoh yang disebutkannya, dan mengadakan pembicaraan intim dengan mereka.

Penulis juga memaparkan mengenai malpraktik. Ia punya argumentasi menarik akan dampak tuntutan malpraktik: "Masalah yang lebih berat tentang tuntutan malpraktik adalah bahwa dengan memerkarakan kesalahan ini, para dokter menjadi enggan membuka diri kepada publik. Sistem yang menyimpang ini membuat pasien dan dokter berada pada sisi yang berlawanan, dan mendorong kedua pihak untuk mengajukan pandangan yang semakin saling menjauh tentang suatu kejadian. Dengan demikian, bila terjadi sesuatu yang buruk, hampir mustahil dokter akan bicara kepada pasien dengan jujur tentang kesalahannya."

Buku ini juga menyimpulkan penulis seorang dokter yang cerdas dan banyak membaca. Banyak sekali kutipan dari jurnal-jurnal kedokteran bergengsi, dipaparkan dengan bahasa yang memudahkan semua orang memahaminya. Referensinya sangat kuat dan mampu membuat hubungan antara satu sumber dengan sumber lainnya dalam membahas sesuatu. Tidak sedikit hal baru yang aku dapatkan setelah membaca buku ini. Misalnya teknik kolesistektomi (tidak penting bagi seorang dokter (umum) untuk mengetahui teknik ini, lagipula aku tidak pernah ikut operasinya di masa ko asistensi dulu), ilmu terkini mengenai nyeri (pain), rasa mual (nausea), wajah merona (blushing), dan operasi pintas lambung (mungkin teknik ini sampai sekarang belum dilakukan di Indonesia). Beberapa yang kusebutkan terakhir terdapat di Bagian 2: Misteri. Di sini penulis menjelaskan beberapa hal yang sampai saat ini masih menjadi misteri dalam ilmu kedokteran, namun upaya mengatasinya dan penelitiannya masih terus berlangsung. Inilah kehebatan ilmu pengetahuan yang tak pernah berhenti mencari dan mencari. Dan kita akan dihadapkan dengan susunan kalimat yang sangat enak dibaca, menceritakan keterbatasan dokter dalam mengatasi misteri-misteri ini. Pembaca pun akan menjadi maklum dengan keterbatasan dokter, sekaligus menghargai upaya mereka.

Bagian ketiga (terakhir) berjudul: Ketidakpastian. Pembaca akan mendapatkan kisah sesungguhnya akan autopsi mayat (membuatku ingin menuliskan blog tentang autopsi di Indonesia), pilihan akan suatu tindakan yang diserahkan pada pasien (baca: informed consent--maksudnya pasien diberikan penjelasan akan suatu tindakan medis yang akan dilakukan, dan setelah pasien paham, ia punya kebebasan untuk menerima atau menolaknya), dan kasus fasiitis nekrotikans yang tidak pernah terlintas di pikiranku (sebagai diagnosis banding selulitis). Dan membuatku ingin membaca bukunya Jay Katz: "The Silent World of Doctor and Patient" (kalau pasien berhadapan denganku, mereka akan menemukan dokter yang sama sekali tidak silent, alias cerewet! Hehehe

Inilah bagian penutup yang cantik. Betapa penulis sangat piawai dalam menentukan urutan-urutan isi bukunya. Bagian ini membuatku--sebagai seorang dokter--berpikir, bahwa di jaman perlindungan hak konsumen, mudahnya tuntutan malpraktik, tidak sedikitnya dokter yang belum memahami pentingnya komunikasi dengan pasien, serta pasien yang diberi kebebasan untuk memilih, Dokter tetap punya hak untuk 'memaksa' pasien, memilihkan tindakan yang terbaik baginya, pada kasus-kasus yang sangat dilematis dan dapat mengancam hidup pasien, meskipun pasien mempunyai pilihan yang lain.

Masih banyak hal menarik lain yang bisa diungkapkan, namun tidak akan utuh jika tidak membaca langsung buku ini dari awal sampai akhir.

Image hosting by Photobucket

Bahasa yang digunakan dalam buku ini sangat indah. Pilihan katanya baik, enak dibaca, mudah dipahami, meskipun harus menjelaskan permasalahan dalam kedokteran yang mengandung banyak istilah asing. Tampak sekali Dr. Gawande adalah seorang penulis piawai. Meskipun buku yang kubaca ini adalah edisi terjemahan berjudul: "Komplikasi, Drama di Ujung Pisau Bedah: Sebuah Catatan tentang Ilmu yang tak Sempurna", terbitan Penerbit Serambi (www.serambi.co.id).

Sebuah buku terjemahan yang enak dibaca memang tak lepas dari kemahiran penerjemahnya, ialah dr. Zunilda Sadikin Bustami, MS, SpFK, dosen Farmakologi-ku di FKUI.

Tidak sabar rasanya menunggu Atul Gawande menuliskan buku lanjutannya (meskipun ini bukan buku yang dirancang berseri). Atau kapan akan terbit buku serupa yang relevan dengan kondisi Indonesia. Ada yang mau mulai menulisnya?

PS: Penerbit sama sekali tidak membayarku untuk menulis resensi ini

Friday, January 06, 2006

Voltus V dan Kecepatan Warp

Tatoe arashi ga futou tomo.. Tatoe oo nami ateru tomo.. Kogida sou tatakai no umi he.. Tobikomou tatakaino uzu he..

Belum mengenal potongan syair lagu di atas? Bagaimana dengan ini:

“Voltus Lima sahabat kita semua.. Lima pemuda yang gagah perkasa.. Sangat disukai anak-anak semua.. Dengan robot tempur perkasa Voltus Lima..”

Beberapa dari kita pasti pernah familiar dengan kalimat-kalimat tersebut. Lets say.. sekitar 20 tahun yang lalu. Dinyanyikan oleh Sanggar Cerita Shangrila dalam kaset-kaset cerita anak-anaknya. Dan kita lebih ingat lagi dengan tokoh yang dimaksudkan: Voltus V (baca: voltus five). Robot raksasa bentukan dari lima pesawat tempur, dengan lima orang jagoan berkostum merah-biru-hijau-kuning-pink. Khas Jepang banget deh.

Image hosted by Photobucket.com

Bukan itu yang demikian berkesan buatku. Tapi kenangan masa kecilnya. Inilah sesuatu yang berharga. Kadang manusia membayar harga mahal untuk sebuah kenangan.

Sebagai seorang anak kecil yang dibesarkan di sebuah sudut Jakarta di awal tahun ’80-an, menonton film-film kartun Jepang adalah kebiasaan sehari-hari. Pulang sekolah (baca: TK), ganti baju, pergi ke rumah teman, putar video-nya. Hari ini episode 1, besok episode 2, dan seterusnya sampai habis. Voltus Five adalah salah satu yang paling berkesan buatku. Mengapa? Karena ia termasuk yang paling awal kulihat, paling banyak episodenya, ditonton beramai-ramai, dan warna-warni kostum serta imajinasinya itu yang membuatku sedemikian membekas. Aku bahkan masih menyimpan poster kertasnya, bonus dari majalah Bobo.

Kini dua puluh tahun berselang, aku membangkitkan kenangan masa kecilku ini. Aku membeli satu keping DVD yang berisi 40 episodenya sekitar enam bulan lalu (thanks to DivX technology that compressed all the episodes to one single DVD) via internet seharga Rp 40 ribu. Perasaan yang membuncah ketika mendengar Kenichi berseru: “V TOGETHER.. LET’S VOLT IN,” sambil menekankan telunjuknya pada tombol panel, dan seketika itu kelima pesawat tempur membentuk formasi, dan siap menyatu menjadi tubuh raksasa mecha Voltus V.

Film yang diputar di stasiun TV Jepang pada 1977-78 ini banyak dipuji karena isi ceritanya yang ‘agak’ berbobot. Bukan melulu perang-perangan antara robot jagoan dan monster, terus si jagoan mengeluarkan senjata pamungkas ‘TENKUU KEN’, dan monsternya hancur berkeping-keping. Tapi ada kisah persahabatan dan kasih ayah pada anak-anaknya yang mengharukan. Pada episode-episode awal, kita bisa melihat konflik yang terjadi antara dua tokoh utama, kemudian episode-episode yang menceritakan masing-masing karakter, sampai pada episode-episode akhir yang menunjukkan film ini dibuat dengan pengetahuan teknik cukup memadai. Inilah yang sedikit aku tekankan dalam resensi ini.

Image hosted by Photobucket.com

Voltus V menceritakan planet rekaan bernama Boazan dengan jarak 14 ribu tahun cahaya dari bumi (bayangkan saja, sudah dipikirkan sampai sini). Dengan kecepatan maksimal Mach 20, tentu saja Voltus V tidak akan mencapai planet ini di akhir episodenya. Untungnya ada Solar Bird yang bisa melakukan kecepatan Warp untuk mencapai Boazan. Aha, pastinya pencipta kisah ini penggemar berat Star Trek juga. Menggunakan konsep Einstein mengenai kesatuan ruang-waktu, dengan cara menyatukan dua titik yang terpisah di dalam kesatuan dimensi ini, melalui lubang cacing (wormhole) Voltus V bisa mencapai Boazan dalam hitungan menit dengan selamat. Tidak hancur berkeping-keping setelah melewati Lubang Hitam (Black Hole). Meski konsep milik Stephen Hawking ini sudah dibantah tahun lalu melalui penelitian terbaru. Andaikan pengarang buku The Physics of Star Trek menyaksikan anime ini, pastinya dia akan menambahkan daftar kritikan atas kesalahan-kesalahan teknis konsep fisika yang dibuat.

Yaa… tentu saja, Prof. Lawrence M. Krauss tidak setuju laser yang ditembakkan oleh phaser milik Kenichi dkk bisa terlihat mata, kecuali melalui medium ruang gelap tanpa cahaya.

Bagaimanapun, tayangan yang membangkitkan kenangan masa kecil ini tetap tidak tertandingi untukku.

Image hosted by Photobucket.com

Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...