Showing posts with label anak. Show all posts
Showing posts with label anak. Show all posts

Friday, August 12, 2016

A Boy Who is Special

"Do you like football?"
Pria India warga negara Singapura itu bertanya pada bocah laki-laki di hadapannya. Anak itu memandangku.
"Kamu suka sepakbola?" Aku membantu menerjemahkannya.
"Iya." Jawabnya malu-malu.
"What club do you like?" Tanya pria itu dengan logat Hindi yang kental.
"eM-yU," jawab si bocah singkat, setelah kuterjemahkan lagi maksud pertanyaannya.
"Who's your favorite player?" Pria berambut tipis ini melanjutkan pertanyaannya.
Bocah ini menatapku lama. Seolah-olah ia minta jawaban dariku. Siapa pemain bola favoritmu di Manchester United?
"Semuanya..." Ia menjawab sebisanya.
"All of them." Aku menerjemahkan kembali ke pria India ini. Seorang dokter ahli perawatan paliatif di negerinya.
Pria ini tertawa terbahak-bahak mendengarkan jawaban anak kecil yang duduk di tempat tidurnya. Sebuah bed perawatan di ruang isolasi.
Umurnya 10 tahun. Beratnya hanya 15 kilogram. Kulitnya penuh dengan bekas cacar air yang mengering. Ia baru saja terdiagnosis HIV. Tidak hanya itu, pemeriksaan CT Scan kepalanya menunjukkan adanya gambaran abses (kumpulan nanah) dan sebaran bercak mencurigai infeksi jamur. Ia merasakan sakit kepala berminggu-minggu. Bola mata kanannya juga tidak bisa melirik ke kanan. Tidak enak rasanya. Sepanjang pembicaraanku dengannya, ia berkali-kali menggaruk kulitnya. Gatal sekali rupanya.

"Kamu mau apa sekarang?" tanyaku singkat.
Ia terdiam lagi beberapa saat. Tiba-tiba raut mukanya berubah. Kedua alisnya turun dan bibirnya terangkat. Butiran air mata mulai mengalir jatuh membasahi pipinya.
"Mau....pulang...." Ia terisak.
Tangan kanannya mengusap pipinya. Tangisannya makin keras. Kami yang mengelilinginya diam menatapnya.
"Kenapa?" suara seorang wanita memecah suasana. Ia seorang psikiater.
"Udah lama." Bocah ini menangisi lama perawatannya yang sudah mencapai 1 bulan. Siswa kelas 4 SD yang belum merasakan bangku sekolahnya di tahun ajaran baru. Sang psikiater mengusap punggungnya sambil menghiburnya. Layaknya seorang psikiater berpengalaman yang melakukan psikoterapi.

"Kata nenek, aku spesial." Bocah ini tersenyum. Ia mulai tenang.
"Iya, kamu memang spesial. Kamu spesial dengan keadaanmu saat ini." Psikiater di sebelahku ini ikut menimpali, sambil tersenyum juga.

"Dokter udah cerita apa tentang sakit kamu?" tanyaku membuka topik baru.
"Kata dokter..." ia menghela napasnya "aku harus minum obat seumur hidup." Sepertinya ia akan menangis kembali.

Seorang bocah polos yang mungkin tak pernah menyangka ia akan mendapatkan ujian berat untuk sisa hidupnya. Tertular virus HIV dari orangtuanya.

Monday, August 08, 2016

Tanya Jawab Diare pada Anak

Tanya: apakah antibiotik obat untuk diare?
Jawab: tergantung diagnosisnya. Mayoritas penyebab diare adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya, dan tentu sama sekali tidak butuh antibiotik. Bahkan sebagian diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri pun tidak butuh antibiotik.

Tanya: lalu apa obat diare?
Jawab: prinsipnya diare dan muntah adalah upaya tubuh untuk membuang apa yang harus dibuang, baik bakteri maupun virus. Maka biarkan tubuh membuangnya, yang penting selama proses pembuangan ini dehidrasi (kekurangan cairan) bisa dicegah.
Caranya gimana? Ya minum, minum, dan minum. Oralit atau cairan elektrolit lainnya lebih baik.

Tanya: tapi anak saya selalu muntah setiap dikasih minum
Jawab: berikan minum sedikit tapi sering. Dengan sendok. Supaya kalau mual, bisa dihentikan sementara.

Tanya: kalau masih muntah terus dan diare berlanjut?
Jawab: kembali ke prinsip apakah sudah terjadi dehidrasi? Kalau dehidrasi tak dapat dicegah dan anak makin lemas, tidak buang air kecil lebih dari 6-8 jam, dan cenderung tidur terus menerus, segera bawa ke dokter.

Tanya: bagaimana membedakan infeksi virus dengan bakteri pada diare?
Jawab: paling ideal adalah dengan pemeriksaan tinja di laboratorium. Tetapi secara umum dapat dibedakan dengan ada tidaknya darah di tinja. Selama tidak ada darah, dan anak tidak dehidrasi, maka tidak perlu buru buru membawa ke dokter, apalagi memberikan antibiotik. Bisa saja diare tanpa darah disebabkan oleh infeksi bakteri, dan sebaliknya diare berdarah disebabkan oleh virus. Jadi sebelum bisa membedakan apakah diarenya akibat virus atau bakteri, maka kembali ke prinsip:
- ada dehidrasi atau tidak?
- tahu cara pencegahan dan penanganan dehidrasi
- dianggap sebagai infeksi virus sebagai penyebab tersering

Sunday, August 07, 2016

Apakah Rumah Sakit tempat yang aman buat anak?

Kadang saya menjumpai orangtua yang membawa anaknya berobat dan minta anaknya segera dirawat. Pendorong utamanya, menurut penilaian saya, adalah kepanikan orangtua. Padahal pemeriksaan saya menyimpulkan anaknya belum perlu dirawat. Tidak ada indikasi rawat, istilahnya. (Kalau pasien memang indikasi rawat, pasti dirawat. Kalau tidak indikasi rawat, perlukah dirawat?) Belum lagi, pasien-pasien yang masuk dari IGD, dan dokter jaga menjelaskan sebenarnya tidak perlu dirawat, tetapi orangtua tetap memaksa minta rawat.

Apa bahayanya RS? Bukankah justru anak menjadi aman dirawat di RS. Untuk apa RS diciptakan jika justru membahayakan?

Mungkin ini pertanyaan yang akan menyusul. Coba lihat, apa yang terjadi ketika seorang anak dirawat? Diambil darahnya, dipasang infus, dan diberikan obat-obatan secara rutin. Semua bermanfaat kan? Demi kesembuhan anak.
Dalam ilmu kedokteran, semua berbasis pada prinsip benefit versus risk, alias manfaat versus risiko (mudharat). Tidak ada yang 100% benefit, atau sebaliknya 100% risk. Semua selalu ditimbang. Ketika benefit melebihi (outweigh) risk, maka itu yang diambil. Tetapi ketika risk melebihi benefit, maka ya ditinggalkan.
Seorang anak yang masuk dengan syok DBD, atau kecelakaan lalu lintas dengan perdarahan hebat, atau meningitis/ensefalitis, dan ibu hamil dengan perdarahan, tentu harus dilakukan tindakan segera dan dilanjutkan dengan rawat inap. Diambil darahnya, diinfus, dan diberikan obat-obatan, termasuk kemungkinan antibiotik. Karena benefit nya jauh melebihi risikonya. Dan ini adalah tindakan menyelamatkan nyawa manusia, menghindarkan kematian.
Tetapi ketika seorang anak dengan demam 40 derajat selsius yang ternyata hanya common cold saja (tanpa pneumonia), atau muntah dan mencret yang tidak sampai dehidrasi, apakah tindakan rawat inap mempunyai benefit outweigh the risk?

Apa risiko yang bisa terjadi di ruang rawat inap? Sejak jarum infus masuk menembus kulit, maka saat itulah risiko kuman (bakteri) tak diinginkan bisa masuk ke dalam aliran darah. Lalu ketika seseorang masuk ke ruang rawat (bangsal), sekalipun di kelas VVIP, maka risiko terpapar dengan kuman (bakteri) RS yang bisa jadi sebagian sudah kebal antibiotik dan lebih "ganas" dibandingkan dengan kuman-kuman "rumahan" terjadi. Welcome to the jungle! Mungkin bisa diistilahkan seperti ini. Namanya infeksi nosokomial. Makanya jika Anda perhatikan, saat ini hampir di tiap ruangan RS tersedia handrub yang bisa digunakan oleh siapa saja termasuk pengunjung, agar tidak terjadi penyebaran kuman nosokomial dari satu tangan ke tangan lainnya. Pengunjung yang menjenguk keluarga atau kerabatnya yang sedang dirawat di RS pun belum berarti bebas dari terkena kuman RS ini. Termasuk saat mengantri panggilan dokter di ruang periksa, bisa saja terjadi penularan virus dari satu anak dengan penyakit tertentu, ke anak lain yang sebelumnya tidak mengalami penyakit tersebut. Jadi pulang dari RS bawa "oleh-oleh".

Lalu apa yang harus dilakukan? Berhenti mengunjungi RS? Tidak berobat ke dokter lagi? Menolak semua tindakan rawat inap? Tentu saja tidak. Semua kembali ke diagnosis. Apa diagnosis yang dialami anak kita? Jika memang terindikasi rawat, ya dirawat. Jika tidak perlu, ya tidak dirawat. Nah, nanti pas dirawat, bakal kena infeksi nosokomial dong? Kembalikan lagi ke prinsip benefit versus risk. RS pun punya komite infeksi RS yang berupaya seoptimal mungkin menghindari kejadian ini. Semua harm alias bahaya tambahan bagi pasien selalu diminimalisir. Jadi, kalau memang tidak perlu dirawat, bahkan tidak perlu ke RS, ya tidak udah minta dirawat.

Jadi orangtua yang rajin belajar. Tahu kapan harus ke dokter. Tahu apa saja tanda kegawatan pada anak. Bisa baca-baca di www.kidshealth.org, www.healthychildren.org, www.idai.or.id, www.cdc.gov, www.who.int, dan www.milissehat.web.id

Selamat belajar dan jadi smart patient :-)

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...