Posts

Showing posts from June, 2015

Dokter Mengobati Pasien, Tidak Mengobati Hasil Laboratorium

Katanya Demam Berdarah Dengue alias DBD sedang mewabah ya? Bagaimana dengan "tipes" alias demam tifoid? Karena kabarnya ada beberapa yang dirawat akibat DBD dan demam tifoid bersamaan. Mungkinkah? Ini pertanyaan favorit saya buat para Koas yang sedang menjalankan rotasi di bagian Anak. Apa pasalnya? Beberapa orang bercerita dirinya didiagnosis DBD dan tifoid bersamaan gara-gara: tes Widal! Banyak orang familiar dengan pemeriksaan laboratorium satu ini. Katanya kalau Widal-nya positif, berarti sakitnya tipes. Ketahuilah bahwa diagnosis demam tifoid dipastikan dengan beberapa hal: 1. Gejala. Ya, namanya saja demam tifoid, jadi yang sedang sakit pasti bergejala demam. Nah, demamnya seperti apa? Ada yang bilang seperti "step ladder", jadi makin lama hari sakitnya, maka ambang suhunya makin tinggi. Tapi ternyata tidak harus seperti ini. Yang menjadi kata kunci demam tifoid adalah: demamnya mininal 7 hari! Beda kan dengan DBD yang sudah bisa dicurigai

Lagi-lagi tentang RUM

Berhubung sejak pagi kepala saya dipenuhi dengan kata "RUM" alias rational use of medicine, saya jadi ingin menyampaikan suatu hal (mohon maaf bila ada yang tidak berkenan). Let's say....there's a hospital that many people labeled it as a "RUM"-hospital. Well that might be. But now....hmmm Saya lagi-lagi hanya ingin bilang: teruslah belajar, sebagai orangtua, bagi anak-anak kita khususnya. Orangtua adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap kesehatan anak-anaknya. Mu ngkin banyak orangtua yang ingin mendapatkan dokter yang "RUM" buat anaknya. Kalaupun harus dirawat, orangtua ingin anaknya dirawat di RS yang "katanya" dikenal RUM. Tapi faktanya: tidak. Kondisi di lapangan tidak selalu seperti apa yang diharapkan. Fakta yang ada tidak selalu ideal. Maka salah satu solusi yang tersisa adalah: jadilah orangtua yang "RUM" dulu bagi anak-anaknya. Pelajari apa kondisi yang mengharuskan segera ke dokter, kapan

Tinja Steril

Seorang Ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke seorang dokter, karena sudah 3 hari diare. Sebelum menemui dokter untuk konsultasi, si ibu berinisiatif memeriksakan tinja anak ke laboratorium. Saat berhadapan dengan dokter, ia menunjukkan hasil lab tersebut. "Wah, ada bakteri di tinja anak Ibu. Saya berikan antibiotik ya..." kata dokter. "Kenapa dikasih antibiotik, Dok?" tanya si Ibu. "Karena ada infeksi bakteri. Kalau infeksi bakteri kan obatnya antibiotik." jawab dokte r. Merasa tidak puas, si Ibu mendatangi dokter anak yang lain keesokan harinya untuk second opinion. Ia menceritakan hasil pemeriksaan dengan dokter sebelumnya. "Bu, kalau tinja steril, tidak ada bakterinya, barangkali sudah jadi suguhan di meja makan." tanggap dokter ini sambil tersenyum. Saya yang menulis kisah ini pun ikut tersenyum. (Thanks to my friend who gave me this "fictious" story wink emoticon )

Radang Tenggorokan

Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke dokter karena sudah demam 3 hari disertai batuk dan pilek. Suhunya mencapai 39 derajat selsius, sehingga ia khawatir. Saat dokter memeriksa, si anak menangis kuat dan meronta. "Ada radang tenggorokan Bu. Tenggorokan anaknya merah. Saya kasih antibiotik ya," jelas dokter setelah selesai memeriksa si anak. Karena tidak yakin dengan diagnosis dokter, si ibu mencari second opinion ke dokter lain. "Bu, selama manusia hidup, ya tenggorokannya pasti merah," jelas dokter lain ini setelah memeriksa si anak.

Being Mortal

"Dokter kadang merasa telah melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Dokter melakukan pemeriksaan selengkap mungkin dan memberikan terapi yang terbaik. Tapi belum tentu pasiennya merasakan hal yang sama. Bisa jadi pasiennya justru merasakan sebaliknya. Ia malah merasakan tidak "happy" dengan tindakan dokternya. Di sisi lain, dokter malah "tidak melakukan apa-apa" dan pasiennya malah merasa puas dengan apa yang sudah dokter "lakukan"." Kira-kira itu pernyataan yang saya simpulk an dari pembicaraan dr. Akhilles, seorang konsultan senior di bidang perawatan paliatif dari Singapura. Apa maksudnya? Di dalam bidang perawatan paliatif, yang identik dengan merawat pasien-pasien stadium terminal (seringnya kanker) yang "tidak bisa diapa-apakan lagi", dokter sudah tidak lagi memberikan pengobatan kemoterapi atau radioterapi, atau pembedahan, atau tindakan lain yang sekiranya dikerjakan ataupun tidak, maka tidak akan mengembalikan ko