Posts

Showing posts from April, 2015

Pemberian Suplemen dan Antibiotik

Dok, anak saya usianya hampir 5 tahun, tapi malas mengunyah sehingga setiap kali makan bisa sampai satu jam. Dia pun enggan minum susu. Padahal saya sudah berusaha telaten menyuapi dan rajin mengingatkan untuk minum susu. Untuk meningkatkan staminanya, saya berikan dia biofos, madu, dan sari kurma. Benarkah tindakan saya ini? Sejak kecil anak saya juga sering batuk, Dok. Mungkinkah ini pengaruh dari asma yang saya idap? Jika batuknya agak berat, dokter selalu memberi antibiotik. Apa pemberian antibiotik suatu keharusan atau adakah cara lain? Terima kasih. Retno, Bojonegoro Ibu Retno, ada empat hal yang akan saya jawab. Pertama, anak Ibu sudah cukup besar, bukan bayi lagi. Coba amati mengapa ia membutuhkan waktu makan yang lama dan mengunyah lambat. Kondisi tersering adalah anak bosan makan nasi. Orangtua pun cenderung memberi label anak “susah makan” karena tidak mau makan nasi (mengingat nasi adalah makanan utama kebanyakan orang Indonesia). Sebagian anak adal

Belajar dari Orangtua Shalih

Menjadi seorang dokter anak adalah sebuah nikmat untuk saya. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari saya bertemu dengan anak-anak yang sakit dalam berbagai bentuk. Mulai dari yang paling ringan, sekedar batuk-pilek saja, sampai dengan yang berat, semacam infeksi susunan saraf pusat atau radang paru-paru berat yang membutuhkan perawatan di ruang rawat intensif. Tidak hanya ini, kondisi keseharian anak-anak ini pun bermacam-macam. Tidak sedikit yang berasal dari keluarga miskin papa, sehingga ketika menghadapi anaknya yang harus dirawat, orangtuanya harus meninggalkan pekerjaannya untuk sementara dan otomatis kehilangan sumber penghasilannya, yang sebenarnya dalam kondisi sehari-harinya pun belum tentu mencukupi untuk hidup esok hari. Kondisi ini kadang diperumit dengan anak-anak mereka yang mengalami keterlambatan perkembangan atau palsi serebral. Mereka harus disuapi, dimandikan, diawasi sepanjang waktu, kadang mengalami episode kejang berulang, yang semuanya membutuhkan ba

Bagaimana membentuk habit agar tidak mudah memberikan antibiotik?

Saya terinspirasi untuk menulis ini selagi membaca buku How to Master Your Habits tulisan Ustadz Felix Y. Siauw. Habits alias kebiasaan, ternyata memegang peran penting dalam kehidupan kita. Bahkan habits, yg dibentuk oleh latihan (exercise) dan pengulangan (repetition), dapat mengendalikan hidup kita. Salah satunya adalah habit dalam peresepan obat oleh dokter. Kita tahu mayoritas dokter di Indonesia masih mudah meresepkan antibiotik (AB), meskipun bisa jadi tidak ada indikasinya. Batuk pilek karena infeksi virus diberi AB. Diare tanpa darah karena infeksi virus diberikan AB. Demam lebih dari 3 hari karena infeksi virus, diresepkan AB juga. Apa kira-kira alasan dokter yg meresepkan? "Kuman di Indonesia sebagai negara berkembang berbeda dengan kuman di negara maju. Di sini banyak infeksi bakteri, jadi harus diberi AB." "Waduh, Indonesia beda dengan luar negeri. Sudah banyak kuman yg kebal karena pemberian AB selama ini, nanti tidak sembuh kalau tidak

Tulisan yang tak saya masukkan ke dalam buku Pro Kontra Imunisasi

Pada bulan Januari 1925, wabah difteri merebak di Alaska. Beberapa anak suku Inuit di Nome, Alaska terdiagnosis difteri, penyakit mematikan yang masih cukup banyak menjangkiti warga di berbagai belahan dunia. Satu-satunya upaya mengatasi difteri adalah menyuntikkan anti-toksin kepada seluruh penderitanya. Tanpa obat ini, difteri akan makin menyebar luas dan menginfeksi lebih banyak orang, membahayakan seluruh penduduk Nome. Telegraf permohonan bantuan dikirimkan ke berbagai kota di sekitar yang mungkin menyediakan anti-toksin, tetapi hanya satu RS di Anchorage, berjarak 1.000 mil dari Nome, yang menyediakan obat ini. Kendala terbesar adalah transportasi. Kereta api hanya mampu membawa obat-obatan sampai kota Nenana. Perjalanan udara yang seharusnya menjadi andalan selanjutnya harus terhenti di hanggar pesawat, akibat cuaca ganas di musim dingin. Jalan keluarpenyaluran anti-toksin dari Nenana ke Nome (sejauh 674 mil) harus segera ditemukan. Tersebutlah nama Balto, seek

Korban Serangan Iklan

Orang Indonesia tidak bisa lepas dari kudapan. Bahkan, kita orang dewasa, menggemari jajanan, apa pun jenisnya. Hidup tanpa jajan, rasanya seperti misi yang mustahil. Kita kerap menilai jajanan kemasan pabrikan lebih aman dan sehat. Padahal, menurut dokter spesialis anak, dr. Arifianto SpA, tidak demikian. Kalaupun jenis makanan itu aman, menggunakan gula, garam, pewarna, dan pengawet sesuai dengan batas yang ditentukan, makanan itu bisa disebut ‘safe’, tapi belum tentu ‘healthy’. Untuk itu, kita perlu menelisik lebih jauh, apa sebetulnya yang disebut jajanan sehat. Para praktisi kedokteran merujuk pola makan yang baik menurut food plate (di situs choosemyplate dot gov), yaitu makanan yang seimbang karbohidrat kompleks, protein, sayuran, dan buah. Buat anak-anak, ada meal time dan snack time. “Snack time sehat itu berupa jajanan rendah kalori dan tinggi serat. Ujung-ujungnya banyak sayur dan buah juga. Memang itu diet yang benar,” jelas dr. Arifianto, yang mengatakan