Showing posts with label palsu. Show all posts
Showing posts with label palsu. Show all posts

Monday, August 08, 2016

Analisis terhadap vaksin palsu

Terkait pemberitaan vaksin palsu yang terus berkembang, dan menjadi bahan diskusi di masyarakat, ada beberapa hal PENTING yang harus saya sampaikan:

1. Pemberitaan yang ada dari semua media, baik televisi, surat kabar, media online, dan bahan berbagi di media sosial, kecenderungannya secara keseluruhan--menurut saya--membuat masyarakat jadi lebih resah, dibandingkan dengan menenangkan masyarakat. Wajar. Sangat wajar bahkan. Kasus ini harus diusut tuntas dan seluruh pelakunya dihukum berat, karena sudah membahayakan banyak nyawa. Agar tidak terulang lagi!

Yang saya sayangkan adalah: pihak berwenang,khususnya kepolisian, belum mengumumkan hasil final dari investigasi mereka, tapi media-media terus mengulang-ulangnya, dan menimbulkan berbagai asumsi dan prasangka di masyarakat.
Adakah korban dari vaksin palsu? Berapa banyak? Mana saja RS dan klinik yang menjadi pelanggan tetap produk berbahaya ini? Berapa perkiraan jumlah dosis vaksin yang sudah beredar? Ke seluruh Indonesia atau hanya beberapa tempat saja?

Apa jawabannya? Belum ada! Belum ada laporan resminya. Lalu bagaimana reaksi masyarakat? Jangan-jangan selama ini anak saya yang dapat vaksin palsu? Perlu diulang tidak imunisasinya? Jangan-jangan anak saya kemarin dirawat di RS karena vaksin palsu? Bahkan sampai: saya tidak mau mengimunisasi anak saya lagi!

Sejak berkecimpung di dunia edukasi kesehatan masyarakat satu dekade terakhir, dan menulis buku bertema vaksin, saya berinteraksi dengan banyak media. Media punya pengaruh dalam membawakan opini terkait isu-isu kesehatan, sedangkan kesehatan menyangkut urusan nyawa. Hidup dan matinya seseorang! Apabila opini yang dibawakannya salah, fatal akibatnya! Dan ini berlaku untuk urusan vaksin. Vaksin berbeda dengan obat pada umumnya. Vaksin diberikan pada orang sehat, bukan untuk orang sakit. Kenapa? Karena vaksin dimasukkan ke dalam tubuh justru untuk mencegah seseorang agar tidak sakit. Agar anak-anak tidak terkena penyakit fatal yang bisa berujung pada kematian, seperti campak, tetanus, difteri, pertusis, dll. Vaksin pun telah terbukti memusnahkan penyakit cacar (bukan cacar air ya) dari muka bumi di tahun 1977, dan disusul oleh polio saat ini.
Maka....berkurangnya jumlah orang yang mendapatkan vaksin, berdampak memunculkan kembali wabah penyakit berbahaya, dan bisa meningkatkan angka kematian!

Ini yang coba digambarkan dalam ilustrasi yang saya ambil dari jurnal Sari Pediatri tahun 2000, dari sebuah tulisan Prof. Dr. dr. Sri Rezeki H, Sp.AK. Sebenarnya yang diceritakan dalam gambar tersebut adalah dampak dari KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) yang umumnya ringan, tapi sering membuat orangtua khawatir. Demam, nyeri di bekas suntikan, dan bengkak sesaat jika teknik menyuntik kurang tepat. Tapi analoginya yang saya ambil, yaitu opini yang meresahkan masyarakat tentang vaksin, sama saja bisa mengurangi jumlah orangtua yang mau anaknya diimunisasi, dan berisiko meningkatkan penyakit. Penyakit akan sulit dimusnahkan!

Lha, tapi kalau vaksinnya palsu, gimana? Malah justru membahayakan anak yang diimunisasi, kan? Benar. Tapi kembali lagi pada banyaknya asumsi dan pertanyaan yang belum terjawab, dari penanganan kasus sejauh ini. Apakah mayoritas vaksin yang beredar palsu? Saya berani menjawabnya: insya Allah tidak. Mayoritas vaksin yang masuk ke tubuh anak-anak Anda, saya yakini asli. Saya sudah menjelaskan di status beberapa hari lalu, bahwa vaksin di Puskesmas dan Posyandu masuk melalui jalur resmi dari pemerintah. Lalu pemasok vaksin di sebagian besar tempat di negeri ini, seharusnya menggunakan distributor resmi. Baik vaksin impor, maupun produk PT Bio Farma.

Kejadian vaksin palsu ini tidak terelakkan mengandung banyak hikmah. Yaitu agar diusut tuntas semua pelakunya, dan tidak boleh terulang lagi di masa depan. Dan masyarakat akan lebih kritis terhadap dokter dan petugas kesehatan lain yang memberikan vaksin pada anak-anaknya. Silakan, itu hak Anda selaku konsumen kesehatan. Orangtua berhak tahu produk vaksin yang didapatkan, nomor batch/lot-nya, tanggal kadaluwarsa, dan VVM-nya.

Sekian untuk saat ini. Insya Allah akan saya lanjutkan dengan:
2. Bagaimana media melakukan framing berita yang menghubungkan kejadian anak meninggal (diduga karena vaksin, padahal sebenarnya bukan) dengan vaksin palsu saat ini
3. Bagaimana kelompok "antivaksin" berespon terhadap kejadian ini, dan bagaimana menghadapi mereka
4. Bagaimana mengenali kemasan vaksin dan apa yang harus Anda tanyakan kepada petugas kesehatan

Semoga Allah mudahkan.

Arifianto
Dokter spesialis anak, edukator kesehatan di Yayasan Orangtua Peduli (YOP), penulis buku Pro Kontra Imunisasi, dan dokter praktik di Jakarta
---------------------------------------------------------------------

Kausalitas dan Koinsidensi: Bagaimana Framing Media terhadap Pemberitaan Vaksin Palsu

Baik, saya lanjutkan tulisan saya tadi pagi. Kemarin, seusai tayangan talkshow live di Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, saya mendapatkan beberapa informasi adanya media yang menghubungkan antara kejadian seorang anak meninggal setelah sebelumnya diimunisasi DPT di sebuah Puskesmas di Jakarta, dengan kasus vaksin palsu ini. Opini yang saya tangkap setidaknya ada dua: (1) anak tersebut meninggal karena vaksinnya palsu, atau (2) investigasi terhadap vaksin palsu muncul setelah kasus anak meninggal pasca imunisasi.

Ini tanggapan saya:

- Kasus yang terjadi hampir 2 bulan lalu, dan hanya diangkat oleh sebagian kecil media saja, setelah ditelusuri, ternyata tidak terjadi tepat beberapa saat setelah imunisasi. Jadi anak itu sebelumnya diimunisasi DPT, lalu demam, tapi berkepanjangan mencapai sekitar 7 hari. Orangtuanya membawa anaknya ke dokter di Puskesmas, lalu dokter membolehkannya pulang, tetapi minta segera kontrol jika masih demam. Sayangnya anak tersebut tidak kontrol, dan dikabarkan meninggal beberapa hari sesudahnya. Ada media yang memuat keterangan dari pihak orangtua saja (only covering one side), dan orangtua sepertinya yakin anaknya meninggal karena vaksin. Ini asumsi yang diperoleh masyarakat yang membaca berita tersebut. Tapi media yang melakukan "covering both sides" dan mewawancara pihak Puskesmas juga (saya juga mendapatkan broadcast dari kawan dokter, yang didapatkannya langsung dari pihak Puskesmas), menceritakan kronologi lengkap.seperti di atas. Dari urutan kejadiannya, saya jadi makin tidak yakin bahwa vaksin penyebab kematian anak tersebut. Mengapa? Karena KIPI vaksin DPT kombo tidak selama itu. Demam pasca imunisasi DPT tidak lama, paling lama 1-2 hari. Pada kasus anak ini, mencapai berhari-hari (sekitar 7 hari). Maka saya meyakini adanya infeksi penyebab meninggalnya anak ini. Misalnya saja Dengue Shock Syndrome (DBD yang menjadi syok), yang ditandai dengan demam selama itu. Memang pembuktian pastinya adalah dengan otopsi, yang tidak dilakukan. Dan disayangkan orangtua tidak membawa anaknya kontrol ke dokter, padahal sudah diminta, menurut keterangan yang ada.

Loh, anak sakit kok diimunisasi? Anak yang sedang demam, apalagi demamnya tinggi, tentu tidak diimunisasi. Ditunda dulu biasanya. Kemungkinan pada saat imunisasi, si anak belum demam. Jadi dokter bisa saja menilai kondisi anak sedang sehat, maka diimunisasi. Tapi di luar dugaan, ada KOINSIDENSI, alias kebetulan, atau ada hal lain yang terjadi pada saat bersamaan. Yaitu virus Dengue misalnya, sedang berada di dalam tubuh anak, dan dalam perjalanannya menyebabkan demam dan berujung pada kematian. Nah, hal-hal yang sifatnya koinsidensi seperti ini, kadang dianggap sebagai KAUSALITAS, yaitu ada hubungan sebab-akibat. Padahal faktanya tidak.
Kesimpulannya, tidak ada kausalitas antara vaksin dengan kematian, yang ada adalah kausalitas antara virus lain dengan kematian. Dan kausalitas memang harus dibuktikan. Harus diinvestigasi. Biasanya melewati prosedur otopsi, yang seringkali dihindari oleh masyarakat Indonesia.

Sayangnya, ketika kausalitas tidak terbukti, dan yang lebih mungkin adalah koinsidensi, media justru malah "menghakimi". Masyarakat pun menjadi panik. Sebagiannya malah menyebarkannya di media sosial. Di saat kasus vaksin palsu sedang berkembang, kasus lama ini menyeruak kembali, dan malah dicoba dihubung-hubungkan. Akhirnya bisa kembali pada kekhawatiran saya di tulisan pertama pagi ini: banyak orang jadi enggan mengimunisasi anak-anaknya, lalu terjadi wabah, dan--naudzubillah--angka kematian meningkat.

Mari lebih bijak menyikapi berita. Media pun jangan makin buat resah masyarakat.

Insya Allah bersambung dengan "menyikapi para antivaksin" dan "agar lebih tenang dan yakin diimunisasi".

Arifianto

Kelompok Antivaksin dan Vaksin Palsu


Beberapa hari lalu, seorang kawan menuliskan di dalam statusnya, bahwa kelompok antivaksin ikut "bertepuk tangan" dengan kasus vaksin palsu yang menjadi pemberitaan utama media saat ini. Kurang-lebih itu opini yang saya tangkap. Ketika saya mengaminkan pendapat ini dan ikut membagikannya, beberapa reaksi dari kawan-kawan saya yang "antivaksin" bermunculan. Mereka menyatakan tidak menyukai adanya kasus vaksin palsu ini, dan berharap kasus ini juga dituntaskan. Mereka tidak menginginkan adanya anak-anak yang menjadi korban dari vaksin palsu. Saya lalu menyadari bisa jadi melakukan kesalahan, yaitu: menggeneralisasi kelompok antivaksin. Tidak semuanya lantas merasa "tuh kan, mending nggak usah diimunisasi". Mereka juga berempati terhadap kegelisahan orangtua yang anak-anaknya rutin diimunisasi. Tetapi saya tidak memungkiri, ada juga kawan-kawan antivaksin yang terus mengumbar berita menyeramkan tentang vaksin palsu ini. Sayangnya berdasarkan asumsi. Yang jika dikaitkan dengan fakta, belum tentu benar. Makanya saya maklum teman-teman "provaksin" merasa geram dengan kelompok antivaksin, dan generalisasi pun tak terhindarkan.

Saya membagi kelompok antivaksin menjadi dua: yang memilih tidak mengimunisasi anak-anaknya, tetapi mereka tidak memengaruhi kawan-kawan lain agar mengikuti pilihan mereka; dan yang memilih tidak mau memberikan vaksin pada anak-anaknya, serta secara aktif terus menyebarkan pemahaman bahwa vaksin itu berbahaya, tidak aman, haram,syubhat, dan hal-hal negatif lainnya. Alhamdulillah saya tetap berusaha menjaga pertemanan dengan mereka, termasuk pada kelompok kedua, meskipun dalam diskusi-diskusi (saya kadang dikatakan berdebat, bukan berdiskusi) di media sosial, saya menangkap kegeraman mereka pada komentar-komentar saya. Saking panasnya diskusi, sampai ada yang melontarkan "tuduhan" bahwa kelompok provaksin (saya tentu dianggap mewakilinya) menganggap masalah perbedaan pendapat dalam hal vaksin ini adalah persoalan ushul, alias pokok (dalam bidang agama). Saya geli membacanya. Kok bisa berpikir seperti itu? Perbedaan pandangan ini adalah hal yang sifatnya "cabang" atau furu'. Maka sedih sekali saya, jika sesama umat Islam "berkelahi" di media sosial karena urusan berbeda pendapat tentang vaksin.

Woles aja lagi.... Saya tetap berusaha memberikan argumentasi ilmiah pentingnya vaksin, keamanan, dan kehalalannya. Berdiskusi seru di dunia maya boleh saja. Tapi saat bertemu di dunia nyata, ukhuwwah tetap terjaga. Saya pribadi tak pernah membedakan pasien-pasien saya, lalu lantas menolak mereka yang tidak mau diimunisasi. Saya tetap harus berlaku profesional dan adil sebagai dokter, dan sebagai muslim. Tapi satu hal memang yang saya selalu berusaha keras menyampaikannya: saya tidak tinggal diam melihat para antivaksin memengaruhi orang-orang lain agar mengikuti sikap mereka. Saya tidak menginginkan angka kematian bertambah. Sudah cukup buat saya sehari hari melihat anak terbaring lemah karena campak, dan mengalami cacat permanen karena meningitis tuberkulosis. Selama kelompok antivaksin berusaha memengaruhi orang orang lain agar tidak mau diimunisasi, maka insya Allah saya akan terus mengampanyekan pentingnya imunisasi, demi kemaslahatan umat manusia.

Dan di saat kasus vaksin palsu ini merebak, jika ada kelompok antivaksin yang memanfaatkannya untuk menakut-nakuti masyarakat, maka kelompok provaksin akan terus menjelaskan "keep calm, and get vaccinated!"

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...