Sunday, December 09, 2012

Second Opinion: Jangan Segan Bertanya

Saat ini, lumrah saja jika Anda “bertanya” kepada situs kesehatan di internet ketika jatuh sakit. Demikian pula mengambil second opinion . Yuk, pahami lebih dalam supaya tak salah kaprah.

Hampir dua minggu Karina kewalahan mengurus Malik yang tak kunjung sembuh dari diare. Selain lemas, Malik susah makan dan malah muntah-muntah. Padahal ia sudah memeriksakan anak­nya ke dokter dan mematuhi semua anjurannya. Rekan kerja Karina menganjurkan ia mencari second opinion . Meski sempat takut dokter langganannya akan tersinggung, akhirnya ia menuruti nasihat temannya.

Kompetensi Sama
Apa yang dialami Karina mungkin pernah Anda alami. Menurut dr. Arifianto, Sp.A.,  dari Yayasan Orangtua Peduli  (YOP), adalah hak pasien atau konsumen kesehatan untuk mendapatkan pendapat dari dokter lain mengenai masalah kesehatan yang dialami Si Pasien tersebut.

“Bisa juga didefinisikan sebagai seorang pasien datang ke dokter A yang memiliki kompetensi di spesialiasi tertentu. Kemudian, karena satu dan lain hal, dia mengunjungi sendiri dokter B yang kompetensinya sama dengan dokter A,” papar dokter spesialis anak yang aktif “berkicau” di Twitter dengan akun @dokterapin ini.

Meski sedikit, second opinion  juga berlaku untuk kasus yang ditangani beberapa dokter spesialis dengan kompetensi berbeda. “Misalnya hernia pada bayi. Dokter A bilang harus operasi tapi dia tidak memberitahu kapan harus dikerjakan atau tidak merujuk,” ujarnya. Ketika pasien berinisiatif berkonsultasi ke dokter bedah, maka ia dianggap telah melakukan second opinion.

Jangan Takut
Meski termasuk hak, tak jarang pasien atau konsumen kesehatan segan atau takut meminta second opinion . Ternyata, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Survei Harvard di tahun 2010 mengungkapkan sebanyak 70 persen orang Amerika Serikat merasa tidak memerlukan second opinion  atau bahkan mencari tahu penyakitnya.

“Sebenarnya tidak perlu merasa enggak enak karena ini sudah diatur undang-undang,” tegas Arifianto. Apalagi, menurut pria yang biasa dipanggil dokter Apin ini, jika kasus yang didiagnosis adalah penyakit berat seperti kanker yang mengharuskan kemoterapi atau lupus. “Sebaiknya jangan percaya dengan satu dokter. Apalagi penyakit berat itu memiliki konsekuensi menentukan sisa hidup yang ada atau akan melibatkan banyak orang lain untuk mengurus dia.”

Second opinion  juga bisa diambil jika Anda ragu dengan diagnosis dokter. “Atau, dokternya ragu-ragu menjelaskan penyakitnya apa. Kita boleh meminta second opinion  terlepas dari apa pun diagnosisnya.” Lalu, ketika diagnosis dan terapi tidak sesuai. “Bilangnya infeksi virus, tapi dikasih antibiotik. Anak kurus karena turunan tapi dikasih susu formula,” papar Arifianto.

Second opinion juga bisa dilakukan bila, “Penyakit membutuhkan pemeriksaan atau pengobatan yang memakan biaya mahal, dalam waktu singkat, dan kalau tidak kasus emergency (darurat). Baik obat maupun pemeriksaan,” tegasnya.

Terakhir, second opinion  bisa diminta jika pengobatan berlangsung dalam jangka panjang. “Misalnya TBC paru. Kan, belum tentu itu TBC paru, bisa saja batuk pilek biasa. Atau, sindrom nefrotik (ginjal bengkak) yang minum obatnya minimal dua bulan,” papar ayah dua anak ini. Walaupun diagnosis dokter jarang meleset, Arifianto menganjurkan second opinion . “Akan memengaruhi kalau dalam jangka waktu panjang.”
Yang jelas, saat melakukan second opinion , usahakan ke dokter yang memiliki kompetensi yang sama. “Jangan turun pangkat. Misalnya ke spesialis enggak yakin, malah ke dokter umum. Tidak disarankan juga second opinion  ke alternatif karena ilmu dokter tidak bisa dibandingkan dengan alternatif,” tegas Arifianto.

Resume Medis
Second opinion , lanjut Arifianto, berbeda dengan rujukan atau merujuk. “Dalam hal ini, justru dokter umum yang merujuk ke dokter spesialis atau dokter spesialis merujuk ke dokter sub spesialis.” Rujukan juga mengharuskan pernyataan tertulis dari dokter pertama kepada dokter kedua.

Contohnya kasus di mana dokter anak umum mendapatkan kasus jantung. “Jantung anak harus di-echo , saya rujuk ke spesialis jantung. Atau, kasus-kasus yang memang butuh pemeriksaan lanjutan seperti USG , CT-scan  atau butuh tindakan intervensif, pembedahan, katerisasi.”

Bagi Anda yang masih awam, Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) dan Undang-Undang Kedokteran sudah mengatur penggunaan rekam medis. “Berkas rekam medis milik layanan kesehatan dan isinya milik pasien Tapi, rekam medis secara utuh tidak boleh dibawa dari rumah sakit atau tempat praktik pribadi,” papar Arifianto.

Berkas yang merupakan hak pasien atau konsumen kesehatan adalah resume medis. “Pasien boleh minta resume medis dan diberikan saat pulang dari perawatan. Tapi, kenyataannya enggak semua diberikan karena berasumsi pasien akan kontrol di tempat yang sama,” ucap Arifianto. Resume medis sendiri berisi ringkasan rekam medis. Nah, saat meminta resume medis, pastikan dokter atau rumah sakit sudah menandatangani.

Bertanya ke Internet
Fenomena lain yang tak kalah menarik berkaitan dengan second opinion  adalah googling your symptoms . “Ini namanya menjadikan internet sebagai first opinion dan dokter sebagai second opinion  dan ini adalah hal positif,” cetus Arifianto.

Menurutnya, berkat informasi yang bertebaran di dunia maya, hubungan dokter dan pasien sudah setara. “Pertama, dunia sepakat bahwa pasien diposisikan bukan sebagai objek tapi sebagai subjek. Kedua, sekarang pasien itu dianggap sebagai konsumen jadi dokter adalah pemberi jasa,” paparnya.
Ketiga, lanjut Arifianto, fenomena ini menuntut dokter untuk terbuka dan jujur dalam memberikan informasi apa adanya. “Bahkan termasuk bila dokter enggak update  sama ilmunya, dia harus mengakuinya, ‘Saya belum punya ilmunya, saya harus baca, atau mungkin kita bisa berbagi.’ Keempat, dokter mau enggak mau harus update  ilmu,” tegasnya.

Akan tetapi, Arifianto mengingatkan supaya pasien atau konsumen kesehatan memilah dan memilih sumber informasi yang kredibel. Jika keliru, ada dua kerugian. Pertama, underestimate  kondisi kesehatan. Misalnya, ada benjolan di payudara, setelah dicocokkan dengan situs kanker di internet diperkirakan jinak padahal ternyata ganas.

Sedangkan overestimate  bisa juga terjadi gara-gara mendapatkan informasi yang salah. Misalnya, berat badan anak tidak kunjung naik dan makannya susah. Si Ibu ketakutan anaknya TBC lalu dikasih obat padahal bukan TBC.

Diskusi dengan Dokter
Supaya tak terjebak di dua masalah tadi, “Solusinya, ketika dia tidak yakin, ya dia perlu ke dokter. Dokter akan menjelaskan apakah yang selama ini dipahami dari internet benar atau tidak?” jelas Arifianto. Untuk kasus tertentu, pasien atau konsumen kesehatan disarankan terlebih dulu membaca, mengumpulkan, dan mencerna informasi sesuai yang ia mampu.

“Ketika dia pergi ke dokter, dia boleh menceritakan hasil penelusurannya dengan bahasanya sendiri. Kalau perlu dia bawa print out -nya, bahan-bahannya, jadi pasien ke dokter enggak blank .” Atau, pasien hanya menjawab “Ya” dan “Tidak” saat dokter bertanya keluhannya. “Tapi sebaliknya, dua arah. ‘Dok, saya baca gini.’ Fenomena ini adalah salah satu upaya membuat penyetaraan kedudukan antara dokter dan pasien,” papar Arifianto.

Jadi, bolehkah pasien bertanya? “Boleh, itu hak pasien. Cuma supaya konsultasi kesehatan berjalan efektif, ke dokter bukan cuma nunjukin print out  artikel tapi kita udah mengolahnya menjadi sekian pertanyaan yang kira-kira kalau ditanyakan tidak memakan waktu lebih dari lima belas menit,” urainya. Dalam waktu lima belas menit, menurut Arifianto, seorang dokter biasanya sudah bisa mencapai kesimpulan penyakit apa yang diderita hingga terapi, termasuk menjelaskan cara minum obat dan efek samping.
Astrid Isnawati

dimuat di Tabloid Nova edisi 5-11 November 2012
http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Umum/Second-Opinion-Jangan-Segan-Bertanya 

Saturday, August 25, 2012

Welcome to The "Batuk-Pilek" Season

Selepas lebaran, pulang dari mudik, bertemu dengan banyak orang, anak-anak pun rentan jatuh sakit. Batuk-pilek menjadi penyakit langganan pasca liburan. Awalnya sehat-sehat saja, bertemulah anak-anak dengan sepupu-sepupunya atau orang dewasa yang sedang batuk-pilek. Sesampainya di rumah, gejala yang muncul akibat tertular mulai tampak. Batuk grok-grok, terkadang sampai muntah, hidung yang mampet atau bahkan meler, sampai gelisah dan sudah tidur yang berlanjut susah makan, menjadi fakta yang harus dihadapi orangtua. Persis dengan yang saya alami saat ini di rumah dan yang saya temui sehari-hari di ruang praktik. Selamat datang di musim batuk-pilek!

Batuk-pileknya anak pertama pun ternyata berbeda dengan anak kedua. Seingat saya, pertama kalinya si sulung sakit common cold yang disertai demam ketika selepas dari ASI eksklusifnya, yaitu saat berumur lebih dari 6 bulan. Tetapi adiknya lebih dini terkena batuk-pilek untuk pertama kalinya, yaitu ketika berumur sekitar 3 bulan. Mengapa begini? Ya, tidak lain sebabnya karena si adik tertular kakaknya yang lebih dulu mengalami common cold. Anak kedua, ketiga, dan seterusnya memang lebih rentan sakit, karena sudah punya saudara yang bisa jadi teman berbagi infeksi.

Apa yang dilakukan kemudian menghadapi anak batuk-pilek? Anak-anak ini bisa jadi mengalami demam, rewel, kesulitan bernapas lega karena banyaknya ingus atau lendir, dan minta digendong terus. Orangtua yang baik ingin menghilangkan semua keluhan ini bukan? Berikan obat penurun panas, obat batuk-pilek, tetes hidung, diuap, dan digendong tentunya.

Dari semua pilihan yang ada, yang bisa saya lakukan adalah memberikan antipiretik bila demam dan... menggendongnya sampai tertidur. Bagaimana dengan terapi yang lain?

Ada beberapa fakta yang ingin saya sampaikan:

1. Batuk pilek alias common cold atau selesma adalah infeksi virus yang akan sembuh sendiri seiring waktu. Pilek dengan ingus yang berubah warna menjadi kuning-hijau-coklat adalah akibat bakteri normal saluran napas atas yang sama sekali tidak membutuhkan antibiotik. Batuk grok-grok hingga muntah tanpa disertai sesak napas juga tidak mengindikasikan pneumonia, sehingga lagi-lagi tidak membutuhkan antibiotik.

2. Tidak ada satupun obat pereda gejala batuk-pilek yang efektif untuk anak. Obat penekan refleks batuk seperti kodein dilarang digunakan, karena menghalangi keluarnya lendir yang berpotensi menyebabkan sesak napas. Obat pilek berisi pseudoefedrin berpotensi menyebabkan jantung berdebar-debar dan anak menjadi gelisah. Obat pengencer dahak semacam ambroksol atau bromheksin percuma saja diberikan, karena sekalipun dahak menjadi encer, anak di bawah 6 tahun umumnya belum bisa membuang dahak secara sengaja. Mereka akan menelan dahak atau kemudian memuntahkannya. Seringkali anak menjadi setelah muntah.
Badan pengawas obat di Amerika (FDA) menekankan penggunaan obat pereda gejala batuk-pilek harus sangat berhati-hati dan diijinkan khususnya di atas usia 6 tahun, meskipun anak usia ini juga tidak terlalu membutuhkan obat batuk-pilek.

3. Penggunaan obat tetes hidung untuk mengencerkan ingus boleh saja diberikan, meskipun tidak lama kemudian anak bisa kembali mampet, dan... tidak ada anak yang merasa nyaman ditetesi/disemprot hidungnya.

4. Tidak jarang anak batuk-pilek pergi ke dokter dan diuap (inhalasi). Niatnya untuk membantu mengencerkan dahak. Bisa jadi beberapa saat setelah diinhalasi, anak merasa nyaman. Tapi sesampainya di rumah, lendir kembali mengumpul dan batuk grok-grok terdengar nyaring. Apakah dengan demikian anak batuk-pilek harus diinhalasi sekian kali per hari. Fakta yang saya punya: terapi inhalasi ditujukan untuk serangan asma, bukan common cold. Saya juga berpendapat anak-anak yang diinhalasi mudah mengeluarkan dahaknya karena muntah akibat menangis ketakutan tidak suka mendengarkan suara bising mesin inhalasi dan asap yang dikeluarkannya. Jadi... buatlah anak menangis supaya muntah dan mengeluarkan dahaknya. Hehe...
Tidak ada anak yang meninggal karena common cold, karena sebanyak-banyaknya lendir, anak tidak sesak. Yang ada adalah anak meninggal karena pneumonia. Terapi pneumonia bukan diinhalasi, tetapi dirawat dan mendapatkan oksigen.

5. Boleh saja memberikan balsam untuk menghangatkan dada, air madu hangat, jeruk nipis atau ramuan rumahan lainnya. Semuanya membantu membuat anak nyaman, tetapi tidak menyembuhkan penyebabnya.

6. Antipiretik sejenis parasetamol sebenarnya lebih bertujuan membuat anak nyaman, bukan menurunkan suhu tubuhnya semata. Jadi jangan panik bila anak memuntahkan parasetamol setelah diberikan. Tubuh akan menurunkan sendiri suhu tubuh, karena punya termostat canggih.

Di balik semua ini, semua gejala yang ada tentunya Alloh ciptakan dengan tujuan. Demam timbul sebagai reaksi tubuh menghadapi infeksi virus agar tidak mudah berkembang biak. Bila saatnya turun, tubuh akan menurunkan sendiri suhunya. Demam baik kan?
Batuk bertujuan mengeluarkan dahak berisi kuman agar tidak menumpuk dan membuat sesak. Ingus berisi kuman yang seharusnya dikeluarkan tubuh juga. Muntah membuang bahan yang tidak seharusnya berada dalam tubuh. Segala sesuatu memang diadakan dengan tujuannya.

Bagi saya pribadi di ruang praktik, batuk-pilek termasuk penyakit yang paling sulit. Tidak jarang saya butuh 30 menit untuk meyakinkan orangtua bahwa common cold akan sembuh sendiri dan tidak butuh obat apapun. Batuk-pilek juga bisa berlangsung lebih dari 2 minggu, terutama bila ada orang lain di rumah yang sakit serupa. Ping-pong istilahnya. Kadang-kadang saya menangkap ekspresi kecewa di wajah orangtua. But the truth must be told. It's my opinion.

Kembali ke kenyataan, saya harus menghadapi si sulung yang batuk dan muntah berulang-ulang, sehingga asupannya sangat berkurang. But it's just a common cold anyway. It's self-limiting. Sembuh sendiri akhirnya, insyaAlloh. Dan... jangan lupa berdoa untuk kesembuhan anak kita. Kesembuhan hanya datang dari Sang Maha Penyembuh.

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...