Thursday, November 20, 2014

Mitos dan Fakta Seputar Tuberkulosis pada Anak

Hari ini sy mau berbagi ttg MITOS dan FAKTA seputar tuberkulosis (‪#‎TB‬) pada anak.
MITOS #1: Flek paru sama dengan #TB. Faktanya: tidak ada diagnosis yg namanya flek paru! Harus tegas dlm mendiagnosis. TB atau bukan TB?
Tidak jarang sy ketemu orangtua yg anaknya didiagnosis "flek paru", tapi dapatnya obat #TB selama 6 bulan! Ketika sy tanya: diagnosisnya?
Orangtua menjawab: "flek paru, kata dokternya."
"Nggak dibilang #TB? Karena ini obat TB," kata saya.
"Anak sy TB, Dok?" malah ortu bingung.
Inilah pentingnya "kejujuran" dlm memberitahu diagnosis: #TB atau bukan? Jangan khawatir orangtua jd merasa buruk dg "stigma vonis" TB.
Justru dg keterusterangan diagnosis, orangtua jd tahu harus patuh minum obat (jika memang benar #TB) atau second opinion bila ragu diagnosis.

MITOS #2: anak yg tidur di depan kipas angin atau di lantai berisiko kena #TB. Faktanya: hehehe tentu saja tidak. Apa penyebab TB?
#TB disebabkan oleh masuknya bakteri Mycobacterium tuberculosis ke dlm saluran napas anak, bukan dari kipas angin Jd TB adlh Infeksi bakteri
Yg dapat menularkan #TB adlh org dewasa yg membatukkan kuman. Jd kalo ada anak didiagnosis TB, HARUS DICARI siapa dewasa penularnya!

MITOS #3: anak yg batuk >2 minggu dicurigai #TB. Faktanya: batuk bukanlah gejala utama TB pd anak. Beda dg dewasa yg gejala utamanya batuk
Inilah keluhan yg membuat orangtua tidak jarang ke dokter dan minta anaknya langsung dironsen. Padahal belum tentu perlu! #TB.
#TB pd anak lebih sulit didiagnosis, krn tdk ada gejala khas. Utk itu dibuatlah sistem skoring yg menggabungkan gejala, ronsen, dan Mantoux.
Batuk lama pd anak justru sering disebabkan oleh kasus ringan seperti commoncold berulang yg akan sembuh sendiri. Atau asma dan alergi. #TB.
Maka faktor kecurigaan terbesar #TB pd anak adlh: apakah tinggal 1 rumah dg dewasa penderita TB? Bila tidak, jd ragu memang.
Kecuali pd kasus #TB berat seperti meningitis (radang selaput otak), TB milier (kerusakan paru luas), dan spondilitis (tulang belakang).

MITOS #4: anak2 yg berat badannya kurang dan kurus harus dites Mantoux utk deteksi #TB. Faktanya: hehehe, gimana yg kurus bawaan genetik ya?
Berat badan kurang bisa saja dianggap salah satu gejala #TB pd anak, tapi yg sesungguhnya dimaksud adlh gagal tumbuh (failure to thrive).
Di dlm sistem skoring #TB pd anak, berat yg dianggap bermakna adlh gizi buruk. Nilainya pun tidak sebesar adanya kontak dewasa dan Mantoux +.
Untuk itu, sudah bukan saatnya lg "memvonis" anak2 yg tidak gemuk, susah makan dan batuk2 sbg curiga #TB dam harus dironsen dan tes Mantoux.

MITOS #5: Gambaran foto ronsen yg banyak "flek" alias bercak putihnya dicurigai #TB. Faktanya: sudah dijelaskan di twit sebelumnya, Bahwa ronsen dada yg sugestif #TB sekalipun (kecuali TB milier ya), nilainya cuma 1 dlm sistem skoring TB pd anak.
Anak yg sedang batuk pilek alias selesma biasa, ketika dironsen dadanya, bisa lebih "ramai" gambarannya dibandingkan yg sakit TB beneran.
Untuk itu gambaran ronsen tidak terlalu jadi andalan, kecuali #TB milier yg jarang pd anak, tidak seperti dewasa (menambahkan cek dahak).

MITOS #6: anak yg batuk2 > 2 minggu, BB susah naik, dan banyak berKERINGAT MALAM dicurigai #TB. Faktor: kalau pd dewasa, bisa jd curiga TB.
Tapi pd anak: tentu beda. Lihat saja sistem skoring #TB anak: keringat malam tidak dimasukkan ke dalamnya. Mengapa anak banyak berkeringat?
Salah satunya adlh meningkatnya kadar hormon pertumbuhan (growth hormone) khususnya malam hari, shg bbrp anak banyak berkeringat malam.


MITOS #7: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher pd anak mengarah pd kecurigaan #TB. Faktanya: KGB leher dimiliki oleh semua manusia. Ada yg teraba dan ada yg tidak. Pd anak dikatakan membesar jika diameter benjolan > 1 cm. Umumnya KGB leher dapat diraba pd anak sehat. KGB leher dapat membesar akibat berbagai sebab, misalnya pd infeksi virus sehari-hari seperti selesma (common cold) yg sembuh sendiri. #TB. Kadang KGB pd anak yg selesma, rubella dan berbagai infeksi virus lain dapat membesar > 1 cm dan tidak mengecil saat anak sdh sehat. #TB, Kecurigaan pembesaran KGB leher akibat #TB pd anak biasanya jumlahnya bbrp buah dan sebagian menyatu (berkonfluens). Dan disertai tanda lain Yaitu disertai kriteria dlm sistem skoring misalnya ada kontak dg penderita dewasa dan Mantoux +. Kadang biopsi dibutuhkan pd bbrp kasus #TB. Jadi tidak semua pembesaran KGB leher pd anak harus dicurigai #TB kan? Bedakan jg dengan keganasan (kanker) bila teraba keras dan progresif.
MITOS #8: apabila ada anak balita tetangga yg diketahui minum obat ‪#‎TB‬ (berarti sakit kan ya?), hati-hati ia dapat menularkan ke anak kita!
Faktanya: anak-anak, apalagi balita tidak dapat menularkan #TB ke orang lain. Mengapa? (1) anak2 belum pandai membatukkan dahak.
(2) kalaupun dahak dapat dikeluarkan, jumlah kuman di dlm dahaknya sangat sedikit, karena lokasi kuman yg tidak dekat dg reseptor batuk.
Jadi kalau cari sumber kuman #TB, carilah pd orang dewasa, bukan anak2.
(Di sisi lain belum tentu anak yg minum obat itu positif TB, bukan?)


Diambil dari Twitter @dokterapin

Wednesday, November 12, 2014

Flek paru sama dengan tuberkulosis?

“Anak saya sudah tiga minggu batuk dan belum sembuh. Pekan lalu ke dokter dan diminta rontgen paru. Hasilnya dikatakan flek paru. Selama sakit, anak saya tidak mau makan, berat badannya turun, dan sejak bayi keringatnya banyak sekali di malam hari. Dokter tersebut mengatakan anak saya harus minum obat selama enam bulan karena flek parunya. Saya ragu dengan diagnosis ini, karena itu saya datang ke Dokter untuk minta second opinion.”

Kisah-kisah serupa tidak jarang disampaikan di ruang praktik dokter anak. Banyak orangtua yang menghadapi kenyataan anaknya terkena “flek paru” dan harus minum obat tanpa putus dalam waktu tidak sebentar. Gejala-gejala yang diutarakan, seperti batuk yang tak kunjung sembuh, anak tampak kurus dan beratnya turun, nafsu makannya berkurang, dan kadang disertai keringat malam. Apakah ini semua gejala yang mengarah kepada flek paru?



Penegakan Diagnosis

Ada beberapa hal yang perlu kita pahami. Pertama, diagnosis seharusnya dinyatakan dalam bahasa medis kepada siapa pun, termasuk pasien atau konsumen kesehatan yang tidak mempunyai latar belakang kedokteran/kesehatan. Flek paru bukanlah diagnosis, melainkan ungkapan yang sudah lazim digunakan (entah sejak kapan) untuk menunjukkan adanya gambaran foto rontgen dada yang “ramai” akan flek atau bercak putih. Normalkah kondisi foto seperti ini?

Istilah “flek paru” mengesankan kondisi yang tidak normal dan tidak seharusnya ada di hasil rontgen. Padahal paru-paru manusia dipenuhi pembuluh darah dan kelenjar getah bening yang menghasilkan gambaran putih ketika disorot sinar-X. Selain itu, kondisi foto paru yang penuh “flek” bisa terjadi pada banyak hal, mulai dari paru-paru normal, orang yang sedang selesma (common cold), pneumonia, tuberkulosis (TB) paru, sampai kanker paru.

Nah, penggunaan istilah flek paru biasanya dibarengi anjuran minum obat selama enam bulan, yang tidak lain adalah obat TB. Untuk itu, sebaiknya dokter menyampaikan dengan tegas, TB atau bukan. Tidak perlu menyembunyikan diagnosis TB ke dalam ungkapan flek paru.

Kedua, bagaimana diagnosis TB pada anak ditegakkan? Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular melalui saluran napas, yaitu ketika penderita TB batuk dan menyebarkan kuman penyebab TB lewat percikan dahaknya.

Anak dapat terinfeksi TB ketika orang dewasa menularkan kuman TB kepadanya. Ingat: hanya orang dewasa yang dapat menularkan TB kepada anak. Anak-anak tidak dapat menularkan TB kepada anak-anak lainnya, karena mereka belum mampu membuang dahak lewat batuk seperti orang dewasa mengeluarkan dahaknya. Kalaupun dahak dapat dikeluarkan secara “tepat”, jumlah bakteri yang terkandung di dalam dahak anak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kandungan kuman TB dalam dahak orang dewasa. Alasan ini menentukan kemampuan menginfeksinya menjadi sangat berkurang.

Hal penting lainnya, saat anak dicurigai TB, wajib dicari tahu siapa orang dewasa yang menjadi sumber infeksinya. Sulit memercayai diagnosis TB, apabila anak yang dicurigai sakit TB itu tidak pernah mempunyai kontak dengan orang dewasa yang dicurigai TB pula.



Mendiagnosis TB Dewasa dan Anak

Mendiagnosis TB pada anak jauh lebih sulit dibandingkan mendiagnosis penyakit ini pada orang dewasa. Pada orang dewasa, jika ditemukan batuk selama lebih dari dua minggu, disertai atau tidak gejala lain, lalu dahak si penderita diperiksa dan positif mengandung kuman TB (disebut juga basil tahan asam atau BTA), maka terdiagnosislah TB.

Namun pada anak, batuk bukanlah gejala utama TB. Berat badan yang turun dalam waktu singkat dapat terjadi pada kondisi sakit ringan seperti selesma. Keluar keringat pada malam hari merupakan hal wajar yang dialami balita karena tingginya kadar growth hormone yang memacu produksi keringat.

Karena itu para ahli di seluruh dunia telah mengupayakan berbagai metode untuk memudahkan diagnosis TB pada anak. Salah satunya, sistem skoring yang ditampilkan dalam tabel. Jumlah minimal 6 dari poin-poin yang ada menyimpulkan seorang anak terdiagnosis TB dan harus mendapatkan pengobatan selama 6 bulan. Melihat kriteria diagnosis yang ada, adanya kontak TB (dewasa) yang BTA-nya positif dan pemeriksaan Mantoux yang positif menempati nilai tertinggi. Hasil rontgen sugestif TB sekalipun, ternyata nilainya hanya 1.

Penting sekali memahami bahwa mendiagnosis TB pada anak tidak sama halnya dengan dewasa. Jangan mudah memberi vonis TB pada anak berdasarkan batuk lama dan berat yang irit naiknya. Jangan pula gunakan kata “flek paru” untuk menyatakan TB. Overdiagnosis TB, yaitu mendiagnosis dan mengobati TB pada anak yang sebenarnya tidak sakit TB, berpotensi menempatkan anak pada risiko efek samping obat TB dan resistensi antibiotik. Sebaliknya, underdiagnosis TB atau tidak mendiagnosis TB pada anak yang sebenarnya sakit TB, memungkinkan timbulnya TB berat, seperti meningitis (radang selaput otak) yang angka kematiannya tinggi.

Benarkah antibiotik yang dikonsumsi HARUS dihabiskan?

Benarkah antibiotik yang dikonsumsi HARUS dihabiskan?

Ya benar, BILA penyebab infeksinya adalah BAKTERI, bukan virus. Contohnya adalah infeksi saluran kemih akibat bakteri Eschericia coli. Antibiotik (AB) harus diminum selama 7 hari. Tetapi baru minum 2 hari keluhan sudah hilang dan AB distop. Padahal tidak semua bakterinya sudah mati. Nah, bakteri yang tersisa ini, meskipun tidak menyebabkan keluhan lagi, berpotensi memperbarui pertahanan dirinya menjadi bakteri "mutan" yang kebal alias resisten terhadap AB sebelumnya. Kelak, bila sekelompok bakteri E.coli generasi baru ini memperbanyak keturunannya dan menyebabkan sakit, mereka tidak akan mempan dengan AB generasi sebelumnya. Cilaka lah...

Contoh lain adalah pada sakit tuberkulosis alias TB yang harus minum kombinasi 2 sampai 4 antibiotik dalam kurun waktu 6 bulan. Kebanyakan setelah minum AB selama 2-4 minggu, penderita merasa sudah sehat, dan ada sebagian kecil yang menghentikan sendiri AB-nya. Padahal...bakteri Mycobacterium tuberculosis masih ada yang tersisa dan memperbanyak diri sebagai kuman yang "multi-drug resistant" atau MDR! Kalau sampai TB-nya kambuh dan MDR, waduh... angka kematiannya tinggi dan susah diobati! Belum kalau kuman-kuman MDR menyebar dan tertular ke orang sehat yang belum pernah sakit TB sebelumnya! Naudzubillah.

Ini adalah akibat dari penggunaan AB yang tidak rasional pada infeksi bakteri.

Nah. Pertanyaannya sekarang: bagaimana bila sakitnya karena infeksi virus seperti selesma/common cold dan diare akut tanpa darah, tapi diobati dengan AB. Haruskah dihabiskan AB-nya?


kita pahami bahwa bakteri yang resisten dan tidak mempan dengan berbagai jenis antibiotik berpotensi membahayakan umat manusia. Kami para dokter melihat ancaman ini salah satunya di ruang rawat intensif (ICU) dan ICU bayi baru lahir (NICU). Pasien yang sudah terbaring lemah karena mengalami sakit berat (makanya dirawat di ICU/NICU) dan menurun daya tahan tubuhnya positif terjangkit dengan bakteri yang resisten dengan antibiotik yang awalnya sudah diberikan. Kondisi pasien tidak kunjung membaik, dokter kebingungan mencari antibiotik yang "mempan", dan angka kematian di ICU/NICU meningkat. Superbug semacam inilah yang menjadi mimpi buruk bagi semua tenaga kesehatan di RS.

Kita kembali dulu ke pertanyaan di awal. Seorang anak mengalami infeksi virus semisal adenovirus, rinovirus, RSV, dan influenza yang menyebabkan infeksi saluran napas atas, atau infeksi rotavirus yang menyebabkan diare. Lalu dokter memberikannya AB. Antibiotik ini masuk ke dalam tubuh dan mencari: mana ya bakteri jahat yang bisa dibunuh? Lah, nggak ketemu. Kan si anak sakit akibat infeksi virus. Sehingga AB bertemulah dengan bakteri baik yang menghuni tubuh kita (silakan baca posting-an saya tentang diare), sang HUMAN MICROBIOME. Dibunuhlah si bakteri baik ini, yang paling sering di usus besar. Awalnya anak hanya batuk-pilek, gara-gara diberi AB, malah ditambah sakitnya menjadi mencret akibat dibunuhnya bakteri baik di usus.
Ini satu hal akibat buruk antibiotik yang digunakan secara tidak rasional.

Efek lainnya adalah: bakteri merupakan makhluk hidup yang secara alamiah berusaha bertahan hidup (survival of the fittest) dengan mekanisme memperbaiki pertahanan tubuhnya dan membentuk bakteri mutan generasi baru. "Saya kan bakteri baik, kok dibunuh dengan AB. Salah apa saya?" Mekanisme ini dapat mengganggu keseimbangan flora normal tubuh dan dapat menciptakan bakteri jahat. Khawatirnya, bakteri ini adalah salah satu bakteri resisten. Cilaka lagi ya...


Jadi kalau infeksinya karena virus dan diberi AB ya tidak perlu dihabiskan AB-nya. Kan infeksinya virus, AB-nya masuk dan mencari-cari mana ya bakteri jahat yang harus kubasmi? Daripada malah berlanjut membunuh bakteri baik ya dihentikan AB-nya. Tapi kalau karena infeksi bakteri ya harus diminum sesuai anjuran dokter.

So...ujung-ujungnya balik ke diagnosis. Lihat lagi posting saya tentang Tanya 3 Hal. "Dok, apa diagnosis anak saya (dalam bahasa medis, supaya kita juga bisa cross check di internet browser)?"
"Apakah karena infeksi bakteri sehingga harus diberi AB? Berapa lama harus diminum? Kalau masih demam juga setelah 3 hari minum harus diteruskan? Antibiotiknya tergolong spektrum sempit atau luas (apa pula ini ya? Hehe)"

Kalau infeksi saluran kemih ya diobati dengan AB.
Pneumonia berat ya diobati dengan AB.
Sepsis ya wajib dikasih AB.
Tuberkulosis malah harus 6 bulan AB-nya.
Strep throat juga pakai AB.
Difteri dan pertusis juga dikasih AB.

Baca-baca lagi ya...

Mengapa kampanye penggunaan antibiotik yang rasional tidak hanya ditujukan kepada tenaga medis, tetapi juga kepada masyarakat awam?

Saya dan kawan-kawan masuk ke dalam "dunia" edukasi kesehatan untuk masyarakat sejak hampir 10 tahun silam. Sebagai dokter, kami memutuskan untuk memilih masyarakat awam atau konsumen kesehatan sebagai target edukasi kami, khususnya orangtua. Topik-topik yang kami berikan adalah dasar-dasar ilmu kesehatan yang kami tahu dokter pun diajarkan saat masih duduk di bangku kuliah. Tetapi penyajiannya kami buat agar mudah dipahami mereka yang tidak punya latar belakang medis. Sudah ada guru-guru kami para staf pengajar di fakultas Kedokteran yang mendidik para dokter. Maka harus ada pula yang "mendidik" konsumen kesehatan. Nah, antibiotik adalah salah satu hal yang harus dipahami oleh para konsumen kesehatan. Mengapa? Karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat sudah terjadi di seluruh dunia dan sedemikian kompleksnya, sehingga berbalik mengancam kesehatan manusia. Maka semua elemen harus dilibatkan untuk menangani masalah ini. Tidak hanya penyedia layanan kesehatannya saja, tetapi juga konsumennya.

Ini alasannya mengapa penggunaan yang rasional (tepat indikasi dan kegunaan) harus dipahami oleh masyarakat. Mengajari dokter agar dapat meresepkan antibiotik secara rasional saja tidak cukup, konsumen pun harus diajari. Di sinilah kami mengambil peran. Saling melengkapi.

Dan kampanye ini pun berlangsung di seluruh dunia. Pernyataan berikut saya ambil dari film yang menceritakan bahayanya resistensi antibiotik akibat penggunaannya yang tidak rasional: "Resistance".

"Antibiotics were first massed-produced in the 1940s. Their ability to fight and kill bacteria revolutionized medicine and had profound effects on everything from agriculture to war. After less than 80 years, however, these miracle drugs are failing. Resistant infections kill hundreds of thousands of people around the world each year, and there are now dozens of so-called Superbugs each with its own challenges and costs. How did this happen?"

-resistancethefilm [dot] com

Tanyakan TIGA Hal ini ke Dokter Anda!

Satu hal yang seringkali saya tidak bisa jawab adalah ketika orangtua membawa anaknya berobat ke dokter lain, lalu ia bertanya hal-hal seputar kondisi anaknya via SMS/WA/messenger/e-mail:
"Anak saya sakit apa menurut Dokter?"
"Apakah saya perlu meminumkan obatnya?"
"Apakah anak saya perlu dibawa lagi ke Dokter?"

Jawaban saya singkat saja: "mengapa Ibu/Bapak bertanya ke saya? Kenapa tidak bertanya ke dokter yang memeriksa anak Ibu? Saya kan tidak periksa anaknya."
Atau: "maaf saya tidak bisa jawab karena tidak periksa anaknya".

Maaf...

Saya jadi bertanya lagi, kenapa Bapak/Ibu tidak menanyakan hal-hal tersebut ke dokternya saat masih di ruang periksa?

Dokternya tidak ramah? (ah, masa sih?)
Waktu konsultasi terlalu singkat? Atau apa?

Ada satu solusi yang mungkin bisa mengatasinya, yaitu: tanyakan tiga hal ini ke dokter Anda saat di ruang periksa, atau singkatnya " Tanya 3" (T3). Saya terjemahkan dari kampanye "ask 3 questions"

1. Apa diagnosis anak saya?

2. Apa pengobatan yang diberikan?

3. Kapan saya harus khawatir dan segera kembali membawanya ke dokter?


Ini penjelasannya:

1. Mintalah diagnosis dokter dalam BAHASA MEDIS, bukan bahasa semacam "radang tenggorok", "flek", "paru-paru basah", dan "tampek". Apakah: diare akut, selesma, flu, TB, pneumonia, bronkiolitis, dll.
Khawatir pasien tidak paham dengan istilah medis berbahasa latin ini? Ini manfaatnya:
Satu, penjelasan dokter mengenai diagnosis dalam memudahkan pasien mencari informasi lebih lanjut akan penyakitnya di media semacam internet. Pasien dapat menggali sendiri informasi yang tidak didapatkannya di ruang periksa karena keterbatasan waktu.
Kedua, dokter tetap menjelaskan diagnosis ini dalam bahasa yang mudah dipahami pasien tentunya.

2. Dokter tidak sekedar menulis resep, tetapi juga menjelaskan apa saja obat yang diberikan, dosis, cara pakai, dan kemungkinan efek sampingnya. Bahkan, dalam banyak kasus yang saya hadapi sehari-hari dan tidak ada obat yang diresepkan pada akhirnya, NASEHAT MEDIS saja adalah salah satu bentuk TERAPI.

Kunjungan ke dokter tidak harus selalu berakhir dengan peresepan obat, bukan?

3. Nah, ini tidak kalah penting. Kadang hal ini juga terlewat saat konsultasi dengan dokter. Inilah pentingnya orangtua mempelajari dasar-dasar penyakit anak, minimal kondisi-kondisi gawat darurat pada anak. Medianya sudah banyak, bukan? Buku, situs internet, dll.

Semoga bermanfaat.

Mengenal sosok di dalam badut yang kita temui di pinggir jalan

Bekerja di sebuah RSUD memungkinkan saya menemui banyak orang dari berbagai kalangan, yaitu para orangtua yang membawa anak-anaknya berobat. Kadang sambil menulis status dan resep, saya mengobrolkan hal-hal yang tidak terkait dengan kondisi penyakit anak mereka.
"Ini anak ke berapa, Bu?"
"Anak kedua. Anak pertama saya sudah kuliah." Sang Ibu menyebutkan nama sebuah sekolah tinggi yang cukup diminati di Jakarta. Anak pertamanya masih menempuh pendidikan diploma 3 di institusi pendidikan itu.
"Nggak apa-apa ibunya jadi badut, yang penting anaknya bisa kuliah," si Ibu menambahkan.
"Ah, Ibu bisa aja," saya menanggapi. Apa pula maksudnya ibu ini menyebutkan dirinya badut. Ia mempunyai sifat dan perilaku seperti badut?
Mungkin merasa saya tidak mengerti maksudnya, ia meneruskan, "Iya, saya bekerja sebagai badut di Taman Mini."
Saya memandangnya lagi. Seorang ibu berusia paruh paya yang mengenakan jilbab. Saya menggali ceritanya lagi. Ia dan beberapa temannya bekerja dalam beberapa shift. Kostumnya pun ada beberapa macam. Tugasnya adalah menghibur anak-anak. Penghasilan mereka berasal dari orang-orang yang sukarela memberikan uangnya. Apabila sedang tidak bekerja sebagai badut, ia berdagang asongan minuman. Alhamdulillah, anak pertamanya bisa menempuh pendidikan hingga bangku kuliah.
Kemarin kami sekeluarga berkendaraan melewati jalan-jalan di seputaran Taman Mini. Kebetulan kami tinggal tidak jauh dari tempat wisata ini. Di sekitar lampu merah dekat terowongan, tidak jauh dari pintu masuk Taman Mini, beberapa orang yang mengenakan kostum boneka Winnie the Pooh, Doraemon, Angry Birds, dan Hello Kitty melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara yang terhenti sejenak menunggu lampu hijau menyala. Mereka hanya menyapa dari sisi jalan, tidak berusaha menghampiri kendaraan untuk meminta uang layaknya pengemis. Mungkin sebagian orang berpikir badut-badut ini hanyalah ingin menghibur anak-anak yang berada di dalam mobil saja, tetapi mereka sebenarnya sedang mencari nafkah.
Anak bungsu saya kebetulan sangat menyukai Doraemon. Ketika jendela mobil dibuka dan selembar uang disodorkan kepada badut berkostum Doraemon, tampaklah sesosok ibu berjilbab dari balik lubang angin kostum tersebut mengucapkan terima kasih. Mungkin saja ini ibu dari pasien yang pernah saya temui di RS. Atau bisa jadi sosok-sosok lain di dalam kostum badut ini sesungguhnya adalah para ibu, bukan kaum pria saja.
Terima kasih sudah menghibur anak-anak kami, ibu-ibu berkostum badut.

Anak diare tidak boleh makan sayur? Kapan harus pakai antibiotik?

Benarkah bila anak diare tidak boleh makan sayur dan susunya harus diencerkan?

Beberapa hari terakhir kasus diare lebih sering saya jumpai di poliklinik. Di IGD dan ruang rawat pun, rasanya tiada hari tanpa diare. Bila seluruh orangtua yang datang membawa anaknya yang diare dan ditanyakan: apa yang paling mereka inginkan, jawaban utamanya kemungkinan cuma satu: agar diarenya cepat mampet! Bagaimana cara mempercepat penyembuhan pada diare? Jujur, saya tidak tahu jawabannya. Jadi apabila orangtua bertanya pada saya: apa obatnya agar diare cepat berhenti? Maka jawab saya: tidak tahu.

Diare atau mencret alias muntaber (muntah dan berak-berak) adalah ketika konsistensi tinja lebih cair dan lebih banyak air dibandingkan dengan ampasnya. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari infeksi, keracunan makanan, alergi makanan, hingga intoleransi laktosa. Jadi tidak semua penyebab diare adalah sama. Tetapi, PENYEBAB TERSERING diare pada anak adalah INFEKSI VIRUS.

Apa saja hal-hal yang harus orangtua kenali dari diare?

1. Pada hakekatnya, diare (dengan atau tanpa muntah) adalah upaya tubuh untuk mengeluarkan hal-hal yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuh, misalnya virus dan bakteri. Ini pula mungkin sebabnya tidak ada obat yang efektif menghentikan diare, dan memang diare tidak perlu distop! Karena diare adalah bentuk pertahanan tubuh mengeluarkan kuman. TETAPI, dalam proses mengeluarkan kuman inilah anak dapat mengalami DEHIDRASI alias kekurangan cairan tubuh, bahkan bisa berujung pada kematian. Maka, pada diare, hal TERPENTING adalah mencegah dan mengatasi dehidrasi. Bukan menyetop diare atau muntahnya. Caranya: ya kasih minum, minum, dan minum. Bila tidak terkejar dari minum dan anak sangat sulit diberi minum, pemberian cairan lewat selang lambung (NGT) dan infus mungkin diperlukan.

2. Bolehkah memberi obat penghenti diare pada anak, semisal: kaolin dan pektin, atapulgit, dihidrosmektin, dan loperamid? Jawabannya: mulai dari tidak perlu (karena tidak bermanfaat) sampai tidak boleh (karena efek samping yang membahayakan). Lalu apa obatnya? Cairan, utamanya larutan gula-garam semisal oralit dan cairan rehidrasi oral (CRO) lain yang ujung-ujungnya berakhiran "lyte". Bukankah anak tidak suka karena rasanya aneh? Ya berikan sedikit-sedikit dengan sendok. Tidak suka juga! Perbanyak terus minumnya, yang masih dapat ASI diteruskan ASI-nya.
Tapi anaknya tidak mau makan karena muntah dan mual? Kalaupun menolak makanan sesuap pun, perbanyak terus minumnya. Karena anak yang dehidrasi cenderung lebih haus. Kecuali dehidrasi berat yang sudah sulit minum dan harus dirawat di RS.
Perlukah pemberian probiotik? Sampai saat ini, selain CRO, terapi yang direkomendasikan oleh WHO adalah suplementasi zinc (seng) untuk diare akut. Probiotik belum masuk rekomendasi WHO untuk pengobatan diare akut yang utamanya disebabkan oleh infeksi virus. Probiotik mungkin bermanfaat untuk diare yang disebabkan oleh pemberian antibiotik (antibiotic associated diarrhea).

2. Kata nenek, kalau diare tidak boleh makan sayur. Dan kalau minum susu harus diganti dg yang low lactose milk (LLM) atau free lactose (FL). Kalau masih diberikan susu dan sayurnya diteruskan, maka diarenya berkepanjangan. Padahal anaknya maunya minum susu dan masih mau makan sayur.

Ada yang pernah dengar pernyataan di atas?


Jadi... kalau anak sedang diare itu... tetap boleh diberikan makan sayur dan diteruskan pemberian susunya.

Loh, bukannya nanti tambah mencret? Ingat, di awal posting sebelumnya, saya sampaikan bahwa mayoritas diare akut pada anak disebabkan oleh infeksi virus, bukan intoleransi laktosa atau malabsorpsi karbohidrat/lemak/protein. Bahasan tentang intoleransi, malabsorpsi, dan alergi makanan tidak saya sampaikan di sini, secara umum diarenya melanjut (bukan akut).

Perhatikan, pada anak yang diare, bukan sekedar risiko dehidrasi yang terjadi, tetapi juga malnutrisi (kekurangan zat gizi). Kita perhatikan anak-anak yang diare susah sekali makannya. Bisa karena mual, atau nafsu makan memang turun. Apabila anak-anak ini sudah susah makan/minum dan masih ditambah adanya pantangan makan dari orangtua, bayangkan makin sedikit nutrisi yang mereka dapatkan. Maunya makan nasi, dipaksa makan bubur. Maunya minum susu dan tidak mau air putih, dilarang minum susu. Maunya makan sayur dan sop, dipantang. Jadi, ubahlah paradigma lama ini.
Tentu halnya berbeda ya bila anaknya diare karena intoleransi laktosa. Tapi ciri-cirinya kan beda dengan diare akibat rotavirus.


Kapan diare diberikan antibiotik?

Salah satu yg kadang membuat saya sedih adalah beberapa kali saya mendapatkan anak yang mengalami diare akut, apapun penyebabnya, langsung diresepkan antibiotik oleh dokter. Biasanya jenisnya cotrimoksasol.

Apa kira-kira alasannya?

Perlu ditegaskan lagi bahwa mayoritas diare akut pada anak (dewasa sebenarnya juga kurang lebih sama) yang disebabkan oleh infeksi adalah karena infeksi virus, bukan bakteri. Mayoritas penyebab diare akut pada anak adalah rotavirus, dan sebagian kecil lain seperti norovirus dan adenovirus. Tentunya antibiotik tidak diperlukan. Justru pemberian antibiotik pada diare akibat infeksi virus dapat mematikan bakteri baik di dalam usus besar kita.

Analogi yang diajarkan guru saya adalah: antibiotiknya masuk dan mencari-cari mana bakteri yang bisa dibunuh? Eh, ketemunya bakteri baik. Jadi dibunuhlah si bakteri baik ini dan yang terjadi adalah: diare berkepanjangan. Maka dikenal istilah: antibiotic associated diarrhea (AAD).

Tubuh kita ternyata adalab kebun binatang raksasa. Jumlah bakteri baik penghuni tubuh kita bahkan lebih banyak 10 kali lipat dari jumlah sel penyusun tubuh! Ilmuwan menyebutnya sebagai HUMAN MICROBIOME. Dan sebagian besar bakteri baik penghuni tubuh kita ini bersemayam di usus.

Allah memang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan. Termasuk kenapa bakteri baik ini harus ada. Kita sudah belajar biologi sejak SMP dan tahu bakteri Eschericia coli penghuni usus kita ini berfungsi membantu produksi vitamin K dan menjaga pencernaan tetap sehat.

Lalu bagaimana mengetahui diarenya karena infeksi bakteri, bukan infeksi virus?


(bersambung?)

Tanya jawab seputar pemberian obat penurun panas (antipiretik)

1. Benarkah antipiretik diberikan bila suhu badan anak di atas 38 derajat selsius?
Ya, obat pereda demam atau antipiretik semacam parasetamol dapat diberikan ketika anak demam, yaitu suhunya di atas 38. Tetapi banyak ahli bersepakat saat ini pemberian antipiretik sebenarnya lebih bertujuan untuk membuat anak merasa nyaman (tidak rewel), bukan segera menurunkan suhu badan. Artinya: katakanlah suhu anak 39 derajat selsius, tetapi masih bisa bermain dan berjalan-jalan, tidak rewel, maka tidak perlu buru-buru memberikan antipiretik. Toh demam diciptakan untuk memerangi infeksi agar cepat sembuh.

2. Bukankah bila tidak segera diberikan antipiretik, anak akan berisiko mengalami kejang demam?
Untungnya tidak. Tidak ada hubungan antara tingginya suhu tubuh dengan risiko kejang demam. Kejang demam (KD) hanya dialami oleh mereka yg memiliki "bakat" untuk terjadi KD. Bila tidak punya "bakat", suhu di atas 40 derajat selsius pun tidak menjadi KD. Lagipula, kejang demam (bukan meningitis/ensefalitis ya) tidak merusak otak.
Fakta lainnya adalah: antipiretik tidak dapat mencegah terjadinya KD pd mereka yg mempunyai bakat.

3. Bagaimana bila anak tidak mau minum antipiretik saat demam? Haruskah kita memaksanya?
Wah, hal yg serupa ternyata juga terjadi pada anak-anak saya. Jika dipaksa minum, malah dimuntahkan. Lalu ia menangis karena kesal. Terjadilah perang kecil. Hehe. Buat saya, filosofi anak menolak minum obat penurun panas adalah: ia menolak (tanpa disadarinya) tubuhnya segera dinyamankan dengan minum obat. Meskipun seringkali juga antipiretik tidak berhasil menurunkan suhu dan menyamankan anak. Toh, tanpa diberikan antipiretik apapun, tubuh akan menurunkan sendiri suhu tubuhnya. Kita memiliki termostat di hipotalamus yg mengatur suhu tubuh tidak " bablas" ketinggian. Pada suhu maksimal tertentu, tubuh akan menurunkan sendiri demamnya.
Yah...akhirnya selama demam dan ia tidak nyaman plus tidak mau minum obat, kita nyamankan dengan cara menggendongnya, memeluknya, membacakannya cerita, dan memastikan cukup minum. Karena yg dikhawatirkan pd demam sesungguhnya adalah dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) karena terbuang oleh panas.


4. Benarkah pemberian antipiretik dari dubur dibolehkan, apabila anak tidak mau minum obat? Dan benarkah pemberian antipiretik supositoria ini lebih cepat meredakan demam?
Inilah yg namanya FEVER PHOBIA! Takut ya sama demam? Hehe.
Seingat saya, penelitian menunjukkan pemberian antipiretik lewat dubur (supositoria) tidak lebih efektif dibandingkan dengan obat minum dalam meredakan demam. Selain itu, kebanyakan anak tidak suka dan mengalami trauma psikologis bila diberikan obat lewat dubur. Lalu kapan obat seperti ini dapat diberikan? Misalnya pd anak-anak dengan hiperpireksia yg dirawat di RS, dengan kecurigaan infeksi susunan saraf pusat, dan/atau ada kontraindikasi pemberian obat minum, padahal tingginya suhu harus diatasi.


5. Saat anak saya tidur, saya meraba dahinya panas sekali. Lalu saya ukur suhunya 40°C! Bolehkah saya membangunkannya supaya dia minum obat? Atau saya masukkan obat dr dubur saja? Saya takut anak saya kejng saat tidur...
Sudah kita bahas alasan-alasan sebelumnya ya  Anak yg sedang demam karena sakit cenderung kurang istirahat karena tidak nyaman badannya. Maka ketika ia sedang tidur, jangan dibangunkan hanya "sekedar" untuk memaksanya minum obat. Biarkan ia beristirahat. Toh artinya ia sedang tidak rewel juga kan.

6. Benarkah pemberian ibuprofen lebih baik dlm meredakan demam dibandingkan dengan parasetamol?
Ternyata tidak juga. Malah ibuprofen lebih cenderung memberikan efek samping mengiritasi lambung. Parasetamol juga bukannya tanpa risiko. Pemberian yg overdosis dapat merusak hati (liver).

7. Benarkah dosis obat parasetamol diberikan sesuai usia yg tertera di kemasan obat?
Ternyata seharusnya tidak seperti ini! Dosis obat, termasuk parasetamol, diberikan sesuai berat badan, bukan usia. Bisa saja seorang anak mengalami overweight atau sebaliknya underweight, sehingga beratnya tidak sama dengan anak-anak sebayanya. Bisa saja obat yg diberikan malah underdosis atau bahkan overdosis. Sepatutnya orangtua tahu cara menghitung dosis obat secara sederhana, misalnya saja dosis parasetamol adalah 10 sampai 15 miligram per kilogram berat badan per kali pemberian. Lalu tinggal dikonversi kepada mililiter yg berlaku di sediaan obat.
Semoga bermanfaat.

Leukosit tinggi! Apa yang ditakutkan?

"Dok, anak saya tinggi lekositnya. 22 ribu. Saya sudah ke dokter anak lain sebelumnya dan diresepkan antibiotik. Apakah harus diminum?" Ibu di hadapan saya bertanya dengan wajah yang panik.
"Ngomong-ngomong, apa keluhan anaknya Bu?" tanyaku. Ia lalu menjelaskan bahwa anaknya sudah demam 3 hari dan batuk-batuk. Anaknya masih relatif aktif. Tetapi karena demamnya belum pernah selama ini, ia lalu membawa anaknya ke dokter dekat rumah dan diperiksakan darahnya. Hasilnya: lekosit tinggi dan diresepkan antibiotik.
"Ibu sudah bertanya ke dokter sebelumnya, apa alasannya diberikan antibiotik?" tanyaku lagi.
"Sudah, karena lekositnya tinggi." jawabnya

Di lain cerita, ada lagi yang mengeluhkan: "Dok, anak saya demam dan diare sudah 4 hari. Lekositnya 40 ribu. Saya sudah ke dokter di RS dan disarankan untuk dirawat, untuk mendapatkan infus antibiotik. Kata dokter, lekosit setinggi ini harus mendapatkan antibiotik suntik."

Benarkah demikian? Lekosit tinggi berarti infeksi bakteri, dan bakteri harus dibunuh dengan antibiotik? Lalu makin tinggi nilai lekosit, maka makin membahayakan tubuh, sehingga harus dirawat dan mendapat antibiotik suntik?

Ada beberapa hal yang ingin saya komentari.

Pertama, dokter mengobati pasien (baca: orang alias manusia), bukan mengobati hasil laboratorium. Maka yang harus dinilai pertama kali dan yang paling utama adalah: bagaimana keadaan klinis pasien? Tampak sakit berat? Masih aktif, walau lebih lemah? Masih bisa minum? Frekuensi pipis masih normal? Nah, pemeriksaan laboratorium dibutuhkan sebagai penunjang. Untuk makin meyakinkan apa sebenarnya diagnosis pasien. Bahkan, apabila wawancara terhadap pasien ditambah dengan pemeriksaan fisiknya sudah cukup untuk menyimpulkan diagnosis, maka pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan. Satu lagi, apabila ada ketidakcocokan antara kondisi klinis pasien dengan hasil laboratorium, maka yang lebih dipercaya adalah orangnya, bukan labnya. Ini yang saya pelajari dari guru-guru saya. Diagnosis adalah formulasi dari anamnesis (wawancara medis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang). Terapi ditentukan oleh diagnosis. Apabila infeksi bakteri, maka membutuhkan antibiotik, dan bila infeksi virus, maka tidak butuh.

Kedua, sayangnya nilai leukosit seringkali tidak mampu membedakan antara infeksi virus dengan bakteri. Nilai lekosit tinggi yang mencapai puluhan ribu bisa disebabkan oleh baik infeksi virus maupun bakteri.
Beberapa pemeriksaan tambahan memang bisa dilakukan untuk membantu membedakan, misalnya hitung jenis yang segmenter, c-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin (PCT). Tapi tetap saja masing-masing mempunyai keterbatasannya dan klinis adalah nomor 1.

Ketiga, kembali lagi kepada prinsip mengapa lekosit naik pada infeksi? Leukosit atau sel darah putih dibentuk sebagai tentara pertahanan tubuh kita. Jadi bila tubuh kita diserang kuman, maka sangat wajar tentaranya keluar dalam jumlah banyak untuk memerangi musuh. Lekosit yang naik justru menandakan sistem imun kita masih bekerja.

Terakhir, ada kondisi-kondisi tertentu lekosit yang tinggi menandakan kegawatdaruratan. Namanya: hiperlekositosis. Nilai lekosit naik melebihi 100 ribu sel per mikroliter. Klinis pasiennya dicurigai mengalami leukemia atau kanker sel darah putih. Maka jumlah lekosit yang sangat tinggi ini sesungguhnya didominasi oleh lekosit muda (blast) yang abnormal, alias sel kanker. Tentunya kondisi pasien tidak semata dengan lekosit tinggi saja, tetapi ada pucat disertai hemoglobin yang turun, pembesaran hati dan/atau limpa, dan trombosit turun juga. Ada penekanan terhadap sumsum tulang yang membuat semua fungsi produksi sel darah menurun. Kondisi hiperlekositosis adalah keadaan gawat darurat yang harus segera ditangani.

Jadi, tidak semua lekosit yang tinggi harus dianggap infeksi bakteri kan?

Catatan: ada pula yang mendefisinikan hiperlekositosis sebagai nilai lekosit di atas 50 ribu. Lagi-lagi, yang terpenting adalah: bagaimana kondisi klinis pasien

Croup: Apakah Itu?

Kemarin, untuk kedua kalinya saya mendapatkan kasus croup. Apa pula itu? Saya belum mendapatkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun datang dengan batuk yang terdengar "menggonggong" dan terlihat lebih sesak sejak malam sebelumnya. Anaknya masih aktif, mau makan dan minum, dan mengalami batuk pilek sejak tiga hari sebelumnya. Kebetulan tidak ada demam, tetapi napasnya terlihat cepat.

Bronkiolitis. Diagnosis ini yang terlintas di "snap judgement" saya. Memeriksa anak tidak semudah orang dewasa yang kooperatif. Kadang urutan pemeriksaan dari anamnesis, lalu pemeriksaan fisik di tempat tidur tidak selalu berjalan mulus. Anak yang sesak jangan sampai dibuat menangis, karena akan mengacaukan penilaian hitung frekuensi napasnya dan melihat tarikan dinding dadanya. Apabila direbahkan di tempat pemeriksaan, anak hampir dipastikan akan menangis.

Untuk itu, sambil bertanya-tanya kepada orangtuanya, anak diminta untuk dibukakan bajunya, agar dapat dilihat gerakan napasnya. Mendengarkan bunyi napas dengan stetoskop pun dilakukan sambil menghampiri anak yang masih digendong. Ternyata rapid assessment saya salah. Saya tidak mendengarkan bunyi mengi (wheezing) ataupun ronki. Anak mulai terbatuk-batuk sambil menangis, karena takut diperiksa. Barking cough. Ini croup.

Pemeriksaan lain tidak menunjukkan adanya masalah. Rongga mulutnya lapang, tidak ada "radang tenggorokan". Kelenjar getah bening leher tidak teraba membesar. Tidak ada alasan untuk menyimpulkan ini adalah infeksi bakteri yang membutuhkan antibiotik.

Edukasi kepada orangtua dilakukan sambil sama-sama membacahttp://m.kidshealth.org/parent/infections/lung/croup.html dari ponsel. Artikel ini meyakinkan kepada orangtua bahwa croup murni disebabkan oleh virus (parainfluenza/RSV) dan tidak butuh antibiotik. Karena croup yang dialami anak ini ringan, maka tidak membutuhkan obat tambahan seperti steroid atau inhalasi adrenalin. Gejala diharapkan mereda dalam 3-7 hari mendatang.


diambil dari Fanpage Orangtua Cermat, Anak Sehat di https://www.facebook.com/pages/Orangtua-Cermat-Anak-Sehat/

Wednesday, September 24, 2014

Stop Merokok Demi Anak

Ingin tahu apa lagi kejahatan rokok? Simak tulisan berikut yang memuat wawancara dengan saya di http://health.detik.com/read/2014/03/24/105635/2534413/763/terpapar-residu-asap-rokok-ayahnya-bayi-ini-meninggal-kena-pneumonia

Terpapar Residu Asap Rokok Ayahnya, Bayi Ini Meninggal Kena Pneumonia
M Reza Sulaiman - detikHealth
Senin, 24/03/2014 11:07 WIB
Jakarta, Jangankan menghirup asap rokok, menghirup residu atau endapan racun dari asap rokok juga berbahaya bagi anak. Seorang mantan perokok aktif mengaku telah mengalaminya sendiri, sang anak meninggal meski ia selalu merokok di luar rumah.
Pengakuan tersebut disampaikan seorang pria di sebuah forum online. Pria yang menggunakan akun 05072013 tersebut mengisahkan, anaknya meninggal akibat pneumonia atau radang paru-paru akut di usia yang masih sangat muda, yakni 1 tahun. Sama seperti kisah tentang Keanu, pengakuan pria ini juga tersebar luas di jejaring sosial.
"Gua mantan perokok gan (perokok aktif selama 18 thn). Anak gua cewek hanya bisa genap usianya 1 tahun 10 hari, wafat di vonis radang paru-paru akut (pneumonia) krn ayahnya ngerokok. bukan ngerokok di sebelah anaknya (gua klo ngerokok pasti keluar rumah), tetapi menghirup racun-racun nikotin dari baju ayahnya saat kondisi menggendongnya setelah barusan merokok :sedih," demikian kutipan pengakuan sang ayah, yang kepada detikHealth tidak bersedia mengungkapkan identitas aslinya.
Kisah-kisah semacam ini dinilai tidak terlalu mengejutkan bagi dokter yang juga penulis buku kesehatan anak, dr Arifianto, SpA. Menurut dokter yang akrab disapa dr Apin ini, orang tua yang merokok tetap membuat anak berisiko terkena penyakit paru-paru meski sudah membatasi untuk tidak merokok di dalam rumah.
"Asap rokok itu efeknya sampai 10 meter. Jadi walaupun di luar rumah tetap ada risiko asap masuk ke dalam," kata dr Apin saat dihubungi detikHealth, seperti ditulis Senin (24/3/2014).
Risiko tersebut merupakan efek dari residu racun rokok, yang menempel di baju maupun benda, gorden, seprai, dan sebagainya. Seseorang yang terpapar racun rokok dengan cara demikian disebut sebagai third hand smoker. Bahayanya sama seperti second hand smoker, yang oleh orang awam sering disebut perokok pasif.
"Tetap saja (berisiko) biar merokok di kantor atau di perjalanan tetapi baru masuk rumah langsung peluk, gendong, atau cium anak tanpa mandi, bersih-bersih dan sikat gigi dahulu," ungkap dokter lulusan Universitas Indonesia tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi perokok pada tahun 2007, 2010, dan 2013 berturut-turut meningkat dari 34,2%; 34,7% dan akhirnya 36,3%. Tak hanya itu, dari 92 juta orang perokok pasif, 43 juta di antaranya anak-anak dan yang paling menyedihkan dan memprihatinkan adalah 11,4 juta dari anak-anak ini masih berusia balita.

Sebuah kisah tentang campak

Setelah beberapa bulan tidak menjumpai kasus campak, kemarin saya mendapatinya lagi. Seorang anak berusia 15 bulan yang memeluk ibunya erat. Ia tampak lemah, dengan ruam merah di sekujur tubuhnya. Anak ini memang belum diimunisasi campak saat berusia 9 bulan, bukan karena menolak, tapi ibunya beralasan si ayah mengalami stroke sehingga ia sibuk mengurus ayah dan kurang memperhatikan imunisasi anaknya.
Namun bagaimanapun juga, tidak sepatutnya virus campak menjangkiti anak ini. Apabila cakupan imunisasi campak sudah tinggi, herd immunity yg terbentuk seharusnya melindungi anak-anak yang belum diimunisasi.
Banyak orangtua juga menganggap campak sebagai penyakit ringan. Mereka mengira semua anak akan terkena campak dengan sendirinya. Ketika seorang anak mengalami demam yang berakhir dengan ruam di seluruh badan, orangtua menyimpulkan ini adalah campak. Penyakit ringan. Toh anaknya justru makin aktif setelah ruam muncul dan demam reda. Mereka salah. Ini bukan campak. Kemungkinan ini roseola (eksantema subitum) yang merupakan penyakit ringan dan tanpa komplikasi. Virusnya berbeda dengan campak. Sebagian orang menyebutnya dengan "tampek". Atau mungkin anak-anak ini mengalani rubella, yang jarang menimbulkan komplikasi pada anak.
Ketahuilah bahwa campak penyakit berat. Campak sering menimbulkan komplikasi pneumonia dan ensefalitis, yang berakhir dengan kematian. Kadang-kadang sebagian penderitanya juga mengalami ketulian dan kebutaan (akibat keratitis) sebagai "oleh-olehnya". Dan pada kondisi yang sangat jarang, campak menimbulkan subacute sclerosing panencephalitis atau SSPE. Simaklah kisah di sini:http://www.vaccinestoday.eu/vaccines/how-measles-can-change-a-life/Orangtua ini mengisahkan anaknya yang mengalami SSPE, lebih dari 10 tahun setelah sang anak terkena campak di usia yang sangat muda: 6 bulan, ketika belum masuk usia untuk diimunisasi campak. Selama bertahun-tahun anak ini hidup sehat dan normal, tiba-tiba di suatu saat ia mengalami kejang berulang dan kini hidup dalam kondisi vegetatif: seperti tumbuhan.
Orangtua harus mempelajari gejala-gejala campak. Bagaimanapun juga, program imunisasi campak yang dilakukan sejak tahun 1982 telah berhasil menurunkan kasus campak, sehingga campak sudah jarang ditemui. Riskesdas 2013 menunjukkan cakupan imunisasi campak sebesar 82,1%. Angka yang harus dinaikkan hingga melebihi 90%. Data WHO di bulan November 2013 mencatat lebih dari 6.300 kasus campak sepanjang 2013. Angka yang masih sangat tinggi di Indonesia.
Maka jangan makin bebani penderitaan masyarakat dengan menolak imunisasi dan mengampanyekan penolakannya. Jangan mengajak-ajak orang lain untuk tidak mengimunisasi anaknya. Jangan menjadi beban, jadilah pemecah masalah. Tidak mengimunisasi anak bukan saja merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan orang-orang di sekitarnya.

diambil dari wall Facebook saya beberapa bulan silam

Tuesday, April 15, 2014

Fever Phobia!

Apa keluhan tersering yg membuat orangtua membawa anaknya ke dokter? Demam. Ya, kebanyakan kita takut dengan yg namanya DEMAM. Takut kejang alias "step" lah, takut "kenapa-kenapa" dengan anaknya (anyway, apa pula kenapa-kenapa itu, harus didefinisikan, hehe), takut Demam Berdarah, dsb.

Ini fakta yg harus diketahui tentang demam:

Segala sesuatu diciptakan dg tujuan, termasuk demam. Nah, demam salah satunya diciptakan sbg respon tubuh menghadapi serangan kuman (virus/bakteri). Sel-sel darah putih selaku tentara pertahanan tubuh kita bekerja optimal pd suhu demam.
Kesimpulannya: DEMAM itu BAIK.

Lalu, apa saja mitos yg sering dibahas ttg demam?

1. Mitos: makin tinggi suhu badan, maka makin berat penyakitnya
Fakta: tidak, belum tentu. Tingginya derajat suhu tidak menggambarkan beratnya penyakit. Bisa saja demamnya tidak tinggi tapi anaknya ternyata kena meningitis lalu meninggal, dan sangat mungkin demamnya tinggi tapi anak hanya kena common cold alias batuk pilek yg sembuh sendiri.

2. Mitos: makin tinggi suhu badan meningkatkan risiko kejang demam.
Fakta: tidak. Kejang demam hanya terjadi pada mereka yg scr genetik mempunyai "gen kejang" dlm dirinya (meskipun kadang tidak dapat diprediksi). Kejang demam hanya terjadi pada 4 dari 100 anak. Bisa saja seorang anak cenderung demam sampai 40-41 derajat selsius tapi seumur umur tidak pernah kejang, dan sangat mungkin seorang anak mengalami kejang dg suhu hanya 38-an karena mempunyai "bakat" kejang.
Toh kejang demam tidak merusak otak.

3. Mitos: demam yg berlangsung lebih dr 3 hari berarti butuh antibiotik.
Fakta: kita sudah pelajari bhw antibiotik HANYA diberikan pd infeksi bakteri. Infeksi virus bisa berlangsung sampai lebih dr 3 hari, bahkan 7 hari dan tentunya tidak butuh antibiotik.

4. Mitos: demam lebih dari 72 jam atau 3 hari harus dibawa ke dokter.
Fakta: demam lebih dr 3 hari yg dibawa ke dokter adalah yg tidak jelas gejala-gejala penyerta lainnya. Misalnya tidak ada batuk pilek, anak cenderung lemah terus menerus. Makanya orangtua harus mempelajari prinsip prinsip penyakit langganan anak.

5. Mitos: pemberian obat penurun panas dapat mencegah kejang demam. Makanya bila suhu di atas 38 harus segera memberikan penurun panas.
Fakta: sayangnya tidak. Pemberian obat penurun panas tidak dapat mencegah kejang demam pd mereka yg "berbakat" mengalaminya. Bahkan terlalu mudah memberi penurun panas pd anak demam yg tidak rewel berarti mengurangi kesempatan tubuh utk memerangi sendiri penyakitnya. Sakit justri berpotensi menjadi lebih lama.
Pemberian obat penurun panas hanya bila anak rewel saja, ketika demam.

Masih ada mitos lain seputar demam?

Monday, March 24, 2014

Apakah Batuk Pilek Perlu Diobati?

"Dok, anak saya batuk grok-grok dan napasnya susah. Saya minta anak saya "diuap"."
"Dok, minta obat untuk batuk dan obat untuk pilek ya. Anak saya sudah seminggu sakit, tapi belum minum obat."
"Dok, saya minta puyer racikan ya. Sudah berobat ke Puskesmas dan diberi obat sirup, tapi belum sembuh."

Pernyataan-pernyataan yang kurang lebih bernada di atas beberapa kali disampaikan kepadaku, langsung oleh orangtua. Dalam hati aku merasa geli, karena mereka sudah menentukan sendiri terapi untuk anak-anaknya. Dokter diminta dapat memenuhi keinginan mereka.

Lalu apa diagnosisnya? Selesma atau common cold. Apa lagi? Pertanyaan berikutnya adalah:
- Perlukah terapi inhalasi atau uap untuk mengatasi selesma? Apalagi jika si anak masih berusia di bawah 1 tahun. Batuknya grok-grok, banyak dahak, dan sukar dikeluarkan. Tidurnya pun terganggu, terutama di malam hari.
- Perlukah pemberian obat batuk pilek untuk mengurangi atau meredakan gejala-gejala seperti sudah disebutkan?

Sebuah artikel yang cukup informatif dari American Academy of Family Physician (AAFP) menjelaskannya di: www.aafp.org/afp/2012/0715/p153.html

Data di Amerika menyatakan obat-obatan pereda gejala batuk-pilek berada di dalam daftar 20 obat tersering yg menyebabkan kematian pd anak balita. Pada tahun 2008, Badan Pengawas Obat dan Makanan di AS (FDA) menyatakan obat-obatan jenis ini yg dijual bebas (OTC) dihindari penggunaannya pada anak berusia di bawah 2 tahun. Para produsen farmasi mengikutinya. Hasilnya adalah: angka kunjungan ke IGD akibat efek samping obat-obatan jenis ini berkurang. Para produsen lalu melabel ulang OTC untuk obat batuk pilek anak tidak boleh digunakan untuk anak berusia di bawah 2 tahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Belum ada upaya ke sini sepertinya.

Tetapi terlepas dari potensi efek samping obat batuk pilek utk anak, sebenarnya adakah manfaat obat obatan ini dalam membantu penyembuhan common cold?


1. Antihistamin, ditujukan untuk meredakan bersin-bersin dan ingus meler. Antihistamin lazimnya diberikan untuk menghambat reseptor histamin yang berperan dalam reaksi alergi (gejala alergi memang bisa berupa bersin dan hidung meler, tetapi common cold disebabkan oleh infeksi virus, bukan reaksi alergi). Contohnya adalah: klorfeniramin (CTM), difenhidramin, dan hidroksizin. Satu penelitian yang dimuat di jurnal bergengsi Pediatrics tahun 2004 menyimpulkan difenhidramin tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo (pembanding, digunakan dalam penelitian dan tidak memiliki khasiat apapun) dalam mengurangi batuk di malam hari dan gangguan tidur (akibat common cold) pada anak.
Dua review (ikhtisar berbagai penelitian) dari Cochrane juga menyimpulkan antihistamin tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo dalam mengatasi batuk.
Perlu diketahui, Cochrane Database adalah meta-analisis yang menempati tingkat kesahihan tertinggi di dalam penelitian kedokteran.
Lebih lanjut, kita mengetahui CTM mempunyai efek samping mengantuk, yang dapat merancukan kondisi anak: apakah anak mengantuk karena obat atau karena adanya penyakit yang membuat penurunan kesadaran? Antihistamin juga berefek samping mengurangi produksi lendir (sehingga menjadi lebih kental?) dan membuat mulut kering, yang tentunya menjadikan anak makin tidak nyaman.
Kesimpulannya: antihistamin tidak efektif dalam meredakan gejala common cold.

2. Antitusif, ditujukan untuk menekan refleks batuk, sehingga anak berkurang batuknya. Contohnya adalah dekstrometorfan (DMP). Satu penelitian, masih dari jurnal yang sama, menyimpulkan DMP tidak lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi gejala batuk di malam hari yang mengganggu tidur pada anak.
Batuk pada dasarnya adalah upaya tubuh untuk membuang lendir dari saluran napas. Lendir berisi antara lain virus yang justru memang berusaha dibuang ke luar tubuh. Artinya, batuk bertujuan baik, karena merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Logikanya, upaya untuk menekan batuk justru berpotensi membahayakan tubuh, karena menghalangi dahak untuk dibuang keluar. Meskipun demikian, toh penelitian menunjukkan DMP tidak berkhasiat dalam mengurangi gejala common cold. Obat ini juga mempunyai efek samping mengantuk dan limbung.

3. Dekongestan, ditujukan untuk melegakan hidung tersumbat. Contohnya adalah: pseudoefedrin, fenilpropanolamin (PPA), dan fenilefrin. Sayangnya dekongestan mempunyai efek samping penyempitan pembuluh darah (vasokonstriksi) yang bisa mengakibatkan peningkatan tekanan darah, dan dampak lain seperti sakit kepala, jantung berdebar-debar, dan gangguan irama jantung. Jurnal Pediatrics in Review di tahun 2011 menyatakan tidak ada bukti yang menyokong efektivitas dekongestan dalam meredakan gejala common cold. Bahkan pernah dilaporkan adanya kematian akibat penggunaan obat jenis ini.

4. Ekspektoran, ditujukan untuk mengencerkan dahak, misalnya: guaifenesin. Pada orang dewasa, penelitian yang ada menunjukkan kegagalannya dalam mengurangi gejala batuk. Penelitian yang menunjukkan efektivitasnya pada anak belum ada.

Lalu apa obat-obatan yang bisa digunakan untuk meredakan gejala batuk-pilek pada anak?


Apa obat yang bisa diberikan untuk mengatasi gejala batuk-pilek pada anak?
Berbagai penelitian telah dilakukan dengan rangkuman sebagai berikut:

- Jurnal AAFP yang pernah saya sebutkan di tulisan pertama membagi beberapa obat yang dikategorikan "mungkin efektif" dalam mengatasi common cold pada anak. Apa artinya? Semua jenis terapi ini tidak secara tegas dinyatakan "pasti" efektif. Apa saja macamnya?

- Produk yang dikategorikan suplemen dan alternatif, misalnya:
-- balsam "vapor rub": dapat mengurangi batuk malam hari, tetapi baunya mungkin tidak disukai anak dan ada risiko alergi kulit pada anak-anak tertentu;
-- zinc sulfate: dapat mengurangi lamanya sakit bila diminum dalam 24 jam pertama sakit, tetapi penelitian lain tidak menunjukkan manfaatnya, sehingga sampai sekarang tidak direkomendasikan;
-- madu: beberapa penelitian menunjukkan khasiatnya dalam meredakan batuk, meskipun Cochrane menunjukkan belum cukup bukti untuk mendukung/menolak penggunaannya dalam common cold. Madu hanya boleh digunakan pada anak berusia dia atas 1 tahun, karena risiko botulisnismus pada bayi;
-- Echinacea: Cochrane menyatakan belum cukup data untuk menyatakan efektivitasnya.

- Irigasi nasal atau semprot hidung dengan NaCl. Penggunaannya dapat mengurangi keluhan hidung tersumbat karena ingus kental dan mencairkan ingus. Pada praktiknya anak-anak tidak suka disemprot hidungnya dan orangtua sulit melakukannya.

- Obat asetilsistein disimpulkan dapat mengurangi batuk setelah enam sampai tujuh hari penggunaan pada anak di atas 2 tahun, tetapi mempunyai efek samping tersering muntah.

- Obat kortikosteroid hirup: mungkin membantu pada batuk yang disertai mengi, tetapi pada dosis tinggi.

Sumber lain menyebutkan obat hirup seperti ipratoprium bromida untuk mengurangi produksi ingus, tetapi terbatas pada anak di atas 5 tahun dan berefek samping mimisan, hidung kering, dan sakit kepala.

Ada beberapa cara penanganan common cold yang dianggap cukup berperan dalam meredakan gejala dan dapat digunakan, seperti:

- Pemberian obat pereda demam/nyeri seperti parasetamol dan ibuprofen. Obat-obatan ini diberikan untuk membuat anak demam dan rewel menjadi lebih nyaman, tetapi dengan dosis yang tidak melebihi seharusnya. Ibuprofen lebih berisiko mengiritasi lambung dan membuat muntah. Silakan baca mengenai "fever phobia" akan penggunaan obat penurun panas.

- Melembabkan udara, misalnya dengan cara meletakkan air panas di kamar mandi dan membuat ruangannya beruap menyerupai sauna, sehingga melakukan "terapi uap" alami. Meskipun demikian, cara ini juga berisiko menyebabkan cedera anak terkena air panas.

- Minum, minum, dan minum. Banyak minum adalah cara terbaik yang dapat dilakukan untuk membantu meredakan batuk pilek, karena membuat dahak menjadi lebih encer dan memudahkan anak menelannya (anak kan belum bisa buang dahak sendiri) dan mencegah kekurangan cairan akibat demam.

Pada akhirnya cara terbaik adalah melakukan upaya pencegahan, misalnya dengan memakai masker pada orang dewasa yang sedang batuk-pilek, dan sering-sering mencuci tangan setelah memegang anak sakit atau sesudah bersin/buang ingus, untuk menghindari penyebaran virus dari satu anak ke anak lain. Anyway, however, common cold adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu.


Mayoritas orangtua beralasan anaknya sulit tidur bahkan sesak karena batuknya grok-grok. Mereka menginginkan anaknya "diuap" untuk mengencerkan lendirnya sehingga sesaknya berkurang. Benarkah demikian.

Saya kesulitan mencari referensi yg menunjukkan manfaat terapi inhalasi pada common cold. Bahkan mencari penggunaan terapi inhalasi yg biasa dilakukan di sini saja sulit di jurnal dan kepustakaan berbahasa Inggris. Mengapa demikian? Karena terapi inhalasi dengan nebulizer memang tidak masuk dalam standar penatalaksanaan common cold. Inhalasi atau nebulisasi diberikan pada serangan asma, bukan batuk pilek akibat common cold. Kalapun ada untuk indikasi lain, yg saya dapatkan adalah pada bronkiolitis (dengan NaCl 3%--masih dlm penelitian, dan steroid pd kasus dg mengi--tapi bukan terapi standar) dan croup (inhalasi epinefrin/adrenalin, juga tidak rutin).

Kadang saya sampaikan ke orangtua: "Bu, kalaupun anaknya sekarang diuap dan terlihat enakan, sampai rumah juga kemungkinan batuk grok-grok lagi. Apakah kemudian anaknya harus dibawa untuk diinhalasi tiap kali grok-grok? Enggak juga kan?"

Lalu kenapa anak kadang terlihat lebih nyaman setelah diinhalasi? Pengamatan saya, kebanyakan anak yg diinhalasi menangis, sampai akhirnya muntah, dan menyertakan dahak di muntahannya. Mungkin mereka menjadi lebih nyaman karena dahaknya terbuang, dengan cara muntah! Jadi, buat saja anak menangis sampai muntah? Hehe.

Tenang saja, tubuh manusia dilengkapi dengan rambut-rambut halus yg mengalirkan dahak keluar tubuh, jadi tanpa dimuntahkan pun lendir akan keluar dari saluran napas.

So...sudah jelas ya, selama tidak ada sesak napas, common cold ya aman aman saja.


Anda bisa membaca lebih lanjut mengenai terapi common cold di tautan berikut:
http://www.aafp.org/afp/2012/0715/p153.pdf
http://www.cps.ca/documents/position/treating-cough-cold
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2776795/pdf/0551081.pdf
http://pedsinreview.aappublications.org/content/32/2/47.full.pdf+html

Thursday, February 27, 2014

Memahami Campak dan Dampaknya

Setelah beberapa bulan tidak menjumpai kasus campak, kemarin saya mendapatinya lagi. Seorang anak berusia 15 bulan yang memeluk ibunya erat. Ia tampak lemah, dengan ruam merah di sekujur tubuhnya. Anak ini memang belum diimunisasi campak saat berusia 9 bulan, bukan karena menolak, tapi ibunya beralasan si ayah mengalami stroke sehingga ia sibuk mengurus ayah dan kurang memperhatikan imunisasi anaknya.

Namun bagaimanapun juga, tidak sepatutnya virus campak menjangkiti anak ini. Apabila cakupan imunisasi campak sudah tinggi, herd immunity yg terbentuk seharusnya melindungi anak-anak yang belum diimunisasi.

Banyak orangtua juga menganggap campak sebagai penyakit ringan. Mereka mengira semua anak akan terkena campak dengan sendirinya. Ketika seorang anak mengalami demam yang berakhir dengan ruam di seluruh badan, orangtua menyimpulkan ini adalah campak. Penyakit ringan. Toh anaknya justru makin aktif setelah ruam muncul dan demam reda. Mereka salah. Ini bukan campak. Kemungkinan ini roseola (eksantema subitum) yang merupakan penyakit ringan dan tanpa komplikasi. Virusnya berbeda dengan campak. Sebagian orang menyebutnya dengan "tampek". Atau mungkin anak-anak ini mengalani rubella, yang jarang menimbulkan komplikasi pada anak.

Ketahuilah bahwa campak penyakit berat. Campak sering menimbulkan komplikasi pneumonia dan ensefalitis, yang berakhir dengan kematian. Kadang-kadang sebagian penderitanya juga mengalami ketulian dan kebutaan (akibat keratitis) sebagai "oleh-olehnya". Dan pada kondisi yang sangat jarang, campak menimbulkan subacute sclerosing panencephalitis atau SSPE. Simaklah kisah di sini:http://www.vaccinestoday.eu/vaccines/how-measles-can-change-a-life/ Orangtua ini mengisahkan anaknya yang mengalami SSPE, lebih dari 10 tahun setelah sang anak terkena campak di usia yang sangat muda: 6 bulan, ketika belum masuk usia untuk diimunisasi campak. Selama bertahun-tahun anak ini hidup sehat dan normal, tiba-tiba di suatu saat ia mengalami kejang berulang dan kini hidup dalam kondisi vegetatif: seperti tumbuhan.

Orangtua harus mempelajari gejala-gejala campak. Bagaimanapun juga, program imunisasi campak yang dilakukan sejak tahun 1982 telah berhasil menurunkan kasus campak, sehingga campak sudah jarang ditemui. Riskesdas 2013 menunjukkan cakupan imunisasi campak sebesar 82,1%. Angka yang harus dinaikkan hingga melebihi 90%. Data WHO di bulan November 2013 mencatat lebih dari 6.300 kasus campak sepanjang 2013. Angka yang masih sangat tinggi di Indonesia.

Maka jangan makin bebani penderitaan masyarakat dengan menolak imunisasi dan mengampanyekan penolakannya. Jangan mengajak-ajak orang lain untuk tidak mengimunisasi anaknya. Jangan menjadi beban, jadilah pemecah masalah. Tidak mengimunisasi anak bukan saja merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan orang-orang di sekitarnya.

Tentang penyakit tangan-kaki-mulut dan cacar air

Beberapa pekan terakhir saya hampir selalu menjumpai kasus Hand Foot Mouth Disease (HFMD) dan cacar air (varisela) tiap minggunya. HFMD yg sering disebut orang flu Singapur ini disebabkan oleh virus, sama halnya dengan varisela, yg sebenarnya akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu. Hanya saja HFMD kadang dikesankan "menakutkan", sehingga orangtua menjadi panik dan khawatir anaknya harus dirawat.

HFMD memang dilaporkan mempunyai risiko komplikasi ensefalitis (radang otak), meskipun sangat jarang, dan saya belum pernah menemuinya. HFMD biasanya jadi masalah bila "bintil-bintil" kulitnya menyebar hingga ke dalam mulut menjadikan sariawan dan anak susah makan. Jarang sekali anak menjadi dehidrasi meskipun sudah mengalaminya, sehingga tidak perlu dirawat juga. Yang penting pastikan anak sering minum atau makan makanan yang mudah ditelan, walaupun sedikit-sedikit.

Masalah lainnya bila anak sampai gatal dan cenderung menggaruk bagian-bagian yang dipenuhi bintil. Mandi air dingin atau mengalihkan anak dengan kegiatan bermain bisa mengurangi keluhan ini.

HFMD jg sangat menular. Apabila dalam satu keluarga mempunyai beberapa anak berusia di bawah 9 tahun, satu anak sakit sangat mungkin akan diikuti oleh saudara kandungnya. Begitu juga bila anak-anak ini tetap bersekolah: menularkan ke kawan-kawannya. Bagaimanapun juga, HFMD adalah penyakit ringan akibat infeksi virus yang sembuh dengan sendirinya tanpa obat.

Bagaimana dengan varisela? Beberapa anak yg mengalami cacar air di sekujur tubuhnya ternyata pernah diimunisasi, bahkan hingga 2 kali. Perlu diketahui bahwa tidak ada vaksin yang 100% efektif, termasuk varisela. Efektivitas 1x imunisasi varisela adalah 86% dan 2x adalah 98,3%. Tetap saja vaksin varisela mempunyai efektivitas yang tinggi, artinya mayoritas anak yang sudah diimunisasi tidak sakit sama sekali. Saya yakin banyak orangtua yang bisa menceritakan keberhasilan imunisasinya, yaitu ketika teman-teman si anak banyak yang sakit cacar air, anak yang sudah diimunisasi tidak sakit.

Kemungkinan lainnya adalah munculnya "breakthrough varicella", yaitu anak yang sudah diimunisasi tetap sakit cacar air, tetapi "lenting-lenting"-nya sangat sedikit, tidak mencapai 50 lenting. Anak-anak ini sakitnya lebih ringan, tetapi masih bisa menularkan kepada orang lainnya yang belum punya kekebalan tubuh (karena belum pernah sakit atau belum diimunisasi).

Faktor terakhir adalah cakupan imunisasi yang harus tinggi untuk menciptakan "herd immunity" atau kekebalan lingkungan. Apabila jumlah anak yang sudah diimunisasi melebihi yang tidak diimunisasi, anak-anak yang belum diimunisasi ini akan terlindungi oleh kawan-kawannya.

Varisela memang penyakit ringan untuk anak, karena komplikasinya sangat jarang. Antivirus seperti asiklovir pun jarang dibutuhkan. Tetapi bila anak yang sakit cacar air menularkan kepada orang dewasa yang belum pernah sakit, maka orang dewasa ini lebih berisiko mengalami komplikasi seperti pneumonia (radang paru-paru) dan ensefalitis. Vaksin varisela sangat membantu dalam hal ini.

Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...