Sunday, December 25, 2005

Be Critical with Your O B G Y N

(I have changed the previous title--"Don't be fooled by you OBGYN") Sebelumnya—bagi yang belum paham—OBGYN dibaca o bi ji wai en, seperti membaca abjad dalam bahasa Inggris, adalah kepanjangan dari obstetri ginekologi (kebidanan dan kandungan). Singkatan ini menunjuk pada dokter spesialis obsgin (SpOG), dokter spesialis kebidanan dan kandungan. (Cara penyebutan o bi ji wai en yang mengarah pada SpOG pertama kali kudengar dari episode pertama film seri pemenang Emmy Award 2005, LOST)

So, have we been fooled by them, then? Sekali lagi, supaya tidak dianggap sebagai anti teman sejawat dari obsgin, saya mulai dengan sebuah ilustrasi.

Awalnya bermula dari pertanyaan seorang yang sudah kuanggap sebagai Tante sendiri. Hamil 10 minggu, dilakukan pemeriksaan serologi TORCH, didapatkan positif pada imunoglobulin G (IgG) Rubella dan Toksoplasma dengan nilai tertentu (tidak kuingat). Ia mendatangi dua dokter obsgin pada waktu yang berlainan. Dokter pertama menyarankan minum antibiotika golongan aminoglikosida setelah lewat trimester pertama (14 minggu), dengan indikasi yang menurutku sama sekali tidak jelas. Dokter kedua yang dikunjungi empat minggu sesudahnya menyarankan hal yang sama, ditambah—obat yang sudah kita prediksi—isoprinosine.

Singkatnya, menanggapi hal ini, kulampirkan potongan e-mail-ku untuknya.

TORCH kepanjangan dari Toxoplasma Other infection Rubella Cytomegalovirus and Herpesvirus. Ialah beberapa mikroorganisme yang bila menginfeksi manusia dapat menimbulkan penyakit. Prinsip uji TORCH adalah reaksi ANTIGEN-ANTIBODI. Jadi bila hasil uji positif terhadap salah satu mikroorganisme tadi, artinya PERNAH terjadi infeksi. Misalnya kalau Rubella positif, artinya ANTIGEN Rubella pernah masuk ke tubuh, dan tubuh kita berespon dengan membentuk ANTIBODI terhadap Rubella ini. Maka Rubella-nya positif. Prinsipnya sama dengan IMUNISASI menggunakan kuman yang dilemahkan, polio misalnya. Kuman polio yang dilemahkan masuk ke tubuh kita, maka tubuh akan membentuk antibodi, sehingga bila tubuh terinfeksi polio di masa datang, kita sudah punya antibodi untuk melawannya.

Nah.. dari hasil uji ini, yang dibedakan adalah jenis ANTIBODINYA, apakah IgG atau IgM. IgG menunjukkan pernah terjadi infeksi lama, dan tubuh kita membuat antibodinya. Sedangkan IgM menunjukkan infeksi baru. IgG yang positif dari hasil darah ibu tidak perlu dikhawatirkan. Sedangkan IgM yang positif, dilihat kadarnya seberapa tinggi. Ini pun bisa jadi sesuatu yang tidak membahayakan pula.

Masalahnya, sering terjadi MISINTERPRETASI yang besar mengenai hasil tes ini. Banyak masyarakat, khususnya ibu hamil yang berpandangan, jika uji TORCH mereka ada yang POSITIF, maka janin yang mereka kandung terancam cacat bawaan. Padahal kalau kita paham prinsip antigen-antibodi, tentunya ini adalah pemikiran yang salah ya. Kecuali si Ibu, misalnya benar-benar kena Rubella saat hamil trimester pertama (ada kelainan kulit seperti cacar air). Nah.. kesalahpahaman dan ketakutan ini bisa menjurus pada peresepan obat-obatan macam IMUNOMODULATOR (untuk meningkatkan imunitas/daya tahan tubuh) atau ANTIVIRUS (padahal virusnya udah nggak ada). Salah satu imunomodulator tersering adalah ISOPRINOSIN yang harganya lumayan muahal. Padahal obat jenis ini tidak terbukti khasiatnya dari penelitian. Negara maju sudah tidak menggunakan obat ini. Saya saja sampai susah mencari sumbernya di Google dengan mengetikkan keyword ini.

Saya lampirkan beberapa tulisan yang cukup menjelaskan. Kalau ada yang ingin didiskusikan, please feel free to contact me.

TORCH tests
Certain infections called TORCH ( which stands for TOxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus and Herpes) , may be a cause for a single miscarriage, but are NOT a cause for repeated miscarriages. While a number of specialists will do these tests, and even start treatment based on the results, these tests are not worthwhile for most patients. A positive TORCH test simply means the patient has positive antibody levels against that particular infection. Thus, a positive Toxo IgG test means that the patient has anti-toxoplasmosis antibodies which protect her against a repeat toxoplasmosis infection. This means a positive test is actually a good sign and suggests that the patient is protected against that infection because she has been exposed to that infection in the past. Unfortunately, many doctors do not know how to interpret these results and scare the patient into thinking that the positive test result means she has an active infection which can cause her to miscarry again. In fact, some doctors will even attempt to "treat" the "infection" ! This wastes time and causes needless distress. If your doctor asks you do a TORCH test after a miscarriage, you should refuse and find a better doctor!

Kelanjutan isi e-mail disampaikan di bagian tulisan paling bawah.


Mengapa mengangkat kasus ini? Karena dalam sebuah milis, aku jadi tahu bahwa tidak sedikit ibu hamil yang mengalami salah paham akan uji TORCH ini, dan banyak pula yang mengkonsumsi isoprinosine dalam kehamilannya. Bahkan Prof. Iwan menyebut isoprinosine sebagai obat bohong. Tidak ada kegunaannya sama sekali. Termasuk anjuran yang diberikan bagi ‘Tante’-ku ini. Lalu dengan antibiotika golongan aminoglikosidanya? Apa indikasinya? Memangnya ada infeksi bakteri dalam tubuhnya? Mungkin nilai hitung leukosit-nya tinggi. Tapi ini tidak bisa jadi patokan sama sekali jika klinis baik. Hitung leukosit dan laju endap darah meningkat pada kehamilan normal. Ini dibuktikan sendiri pada rekan kerjaku yang melahirkan bayinya sama sekali tanpa masalah.

Dalam sebuah panduan yang cukup baik, dijelaskan bahwa bagi seorang wanita yang belum pernah hamil sebelumnya, cukup mengadakan kunjungan sebanyak sepuluh kali ke dokter obsginnya, dan wanita yang pernah melahirkan dengan cukup tujuh kunjungan, semuanya pada kasus biasa (bukan kasus khusus), lengkap dengan rincian pemeriksaan apa saja yang akan dilakukan dokter.

Tentu saja ini akan sangat cost effective, dan edukatif bagi si konsumen kesehatan. Pasien tidak sekedar merasa menjadi objek dokternya saja, tetapi juga menjadi subjek kesehatan, mitra kesehatan sang dokter, karena merasa cukup jelas dengan perlakuan dokter terhadap dirinya. Tidak asal nrimo saja.

But.. ehem, not all doctors, especially here in Indonesia where most of the health services are one-way-pattern (doctor-to-patient-only), like this ‘style’. Bisa mengurangi penghasilan. Huehehe.

Ini ga nyambung, hanya teringat dengan pengalaman waktu stase obsgin di IGD RSCM lantai 3 pas tingkat IV dan VI. Anggap aja ending story.

Wanita itu terbaring pasrah di meja pemeriksaan. Baru saja ia tiba di IGD Kebidanan dengan keluhan ‘air-air’-nya keluar beberapa jam sebelumnya, berwarna hijau tua. Ketubannya pecah. The water broke. Hamil anak pertama, posisi lintang, denyut jantung bayi mulai melambat. Gawat janin! Indikasi sectio caesaria cito. Harus segera dioperasi untuk mengeluarkan bayinya.

Persiapkan masuk kamar operasi yang steril. Lepas semua pakaiannya! Ya, lepaskan pakaiannya, ganti dengan pakaian kamar operasi. Harus dilakukan segera, sambil memasang selang infus, kateter, oksigen. Tapi harus dilepas di sini?! Di tengah kerumunan tiga orang residen obsgin, dua orang ko ass tingkat VI, dua orang ko ass tingkat IV, dan satu bidan. Separohnya pun laki-laki. Namanya orang mau melahirkan, tentu hanya bisa pasrah saja diperlakukan apapun. Yang penting nyawa si ibu dan bayinya selamat. Walaupun perasaan risih diperlakukan seperti itu pastinya ada. Tidak etis, batinku dalam hati. Selalu ada cara lain yang lebih baik. Misalnya menyerahkannya pada seorang perawat perempuan untuk mengurus hal seperti ini; menyediakannya ruang khusus untuk berganti pakaian. Aku pun bersumpah, jangan sampai istri, adik, kerabat dekat, atau akhwat-akhwat muslimah yang terhormat itu harus melahirkan di tempat seperti ini…

Tapi jangan digeneralisir juga ya… Hanya ingin mengeluarkan sedikit isi kepala yang terpendam.

Lanjutan potongan isi e-mail:

Kurniati, 15 Dec 2004 07:54:11 WIB

Dokter Yth, Sekarang saya sedang hamil 4 bulan. Pada bulan ke2 kehamilan saya melakukan tes TORCH dgn hasil sbb: CMV IgG +850 CMV IgM -0.1 RUbella IgG +350 Rubella IgM -0.35 Toxo IgG & IgM - Bagaimana dgn hasil tes saya tersebut ? Apakah hasil IgG CMV dan Rubella terlalu tinggi ? Apakah yang harus saya lakukan ? Apakah perlu meminum Isoprinosine dan Valtrex ? Apakah obat tersebut tidak berbahaya bagi janin ? Maaf bila pertanyaannya banyak. Mohon saran dan penjelasannya.Terima kasih. Kurniati

Ibu Kurniati Yth, Terima kasih atas konsultasinya, dari data yang diberikan oleh ibu saya berpendapat bahwa saat ini sedang tidak terjadi infeksi pada tubuh ibu, IgG(+) dan IgM (-), ini menandakan bahwa ibu sebelum pernah terkena infeksi TORCH ini, sekarang tubuh ibu sudah memiliki antibodinya, jadi tidak usah khawatir. Mungkin yang belum ada antibodinya adalah toxoplasma, ini juga tidak menjadi masalah karena IgM (-) berarti ibu tidak sedang terkena infeksi Toksoplasma. Mengenai obat Isoprinosin dan Valtrex sebetulnya tidak perlu sekali harus diminum tapi silakan saja diteruskan, karena obat tersebut tidak akan mengganggu kehamilannya selama dosis yang diminum sesuai instruksi dokter. Demikian, terima kasih. (dr xxxxx SpOG, RSxx xxxxxxx, Jkt)

KOMENTAR: mengenai tanggapan dokternya ISOPRINOSINE dan VALTREX ga usah dipegang

The Test

How is it used?

Blood may be tested from either the mother or the newborn infant to determine if the illness observed in the newborn is caused by infection with one of the pathogens included in the panel. A blood test can determine if the person has had a recent infection, a past infection, or has never been exposed to the virus. Patients with recent infection with one of the TORCH agents will have IgM antibody to the specific agent, and those with a past infection will have an IgG antibody, which is life-long. If neither immunoglobulin is detectable, there has been no infection with these microorganisms.

When is it ordered?

The test is ordered if a pregnant woman is suspected of having any of the TORCH infections. Rubella infection during the first 16 weeks of pregnancy presents major risks for the unborn baby. If a pregnant woman has a rash and other symptoms of rubella, laboratory tests are required to make the diagnosis. A physician cannot tell if a person has rubella by their clinical appearance since other infections may look the same. Women infected with toxoplasma or CMV may have flu-like symptoms that are not easily differentiated from other illnesses. Antibody testing will help the physician diagnose an infection that may be harmful to the unborn baby.

The test may be ordered on the newborn if the infant shows any signs suggestive of these infections, such as exceptionally small size relative to the gestational age, deafness, mental retardation, seizures, heart defects, cataracts, enlarged liver or spleen, low platelet level, or jaundice.

What does the test result mean?

Results are usually given as positive or negative, indicating the presence or absence of IgG and IgM antibodies for each of the infectious agents. Presence of IgM antibodies in the newborn indicates high likelihood of infection with that organism. IgM antibodies produced in the mother cannot cross the placenta so presence of this type of antibody strongly suggests an active infection in the infant. Presence of IgG and absence of IgM antibody in the infant may reflect passive transfer of maternal antibody to the baby and does not indicate active infection in the baby.

Likewise, the presence of IgM antibody in the pregnant woman suggests a new infection with the virus or parasite. Further testing must be done to confirm these results since IgM antibody may be present for other reasons. IgG antibody in the pregnant woman may be a sign of past infection with one of these infectious agents. By testing a second blood sample drawn two weeks later, the level of antibody can be compared. If the second blood draw shows an increase in IgG antibody, it may indicate a recent infection with the infectious agent.

Is there anything else I should know?

Use of the TORCH panel to diagnose these infections is becoming less common since more specific and sensitive tests to detect infection are available. Relying on the presence of antibodies may delay the diagnosis since it takes days to weeks for the antibodies to be produced. Detection of the antigen or growing the microorganism in culture can be done earlier in the infectious process and are more specific.

Saturday, December 24, 2005

Salah Makan

Laki-laki bertubuh gempal dan berkumis hitam itu menyapaku saat masuk ke ruang praktik. Pria yang biasa kulihat dan saling bertegur sapa ketika melintas masuk ke tempat kerja ini minta dibuatkan surat rujukan untuk istrinya yang berobat ke RS kemarin. Rujukan ini berguna untuk mendapatkan penggantian uang dari perusahaan.

"Istrinya sakit apa, Pak?" tanyaku
"Keracunan makanan, Dok," jawabnya.
"Memangnya makan apa?" tanyaku lagi.
"Kemarin dia salah makan. Dia minum baygon."

Ada-ada saja. Keracunan baygon. Intoksikasi organofosfat. Upaya bunuh diri tentunya. Suicidal intention. Masalah rumah tangga, mungkin? Aku tak ingin mengeksplorasi lebih jauh. Ini urusan pribadinya. Lagipula ada karyawan lain yang juga berobat di ruangan ini. Aku tak ingin cerita ini menyebar ke seantero kantor.

Jadi teringat masa-masa ko ass dulu. Ironis sekali melihat orang yang berupaya bunuh diri dengan minum racun insektisida golongan organofosfat ini. Mungkin hampir setiap minggu selalu ada kasus ini di Instalasi Gawat Darurat RS manapun. Biasanya ceritanya hampir sama. Si pelaku membulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya dengan meminum obat nyamuk cair. Saat masuk beberapa tenggak ke dalam dalam kerongkongannya, ia merasakan panas dan rasa terbakar luar biasa, sehingga mengerang kesakitan, dan tidak menghabiskan isi minumannya. Segeralah ia dibawa kerabatnya ke IGD RS. Dipasanglah selang menuju lambung lewat lubang hidung untuk membilas isi lambungnya, memastikan racun dibersihkan. Dalam pemasangan nasogastric tube ini, tentu rasanya sangat tidak nyaman. Belum lagi berpuluh-puluh ampul sulfas atropin yang dimasukkan lewat selang infus. Berapa pula rupiah yang harus habis?

Sudah susah-susah pengen mati, eh malah nggak kesampaian. Jadi sakit pula. Masuk rumah sakit pula. Keluar uang pula. Malah tambah susah, kan?

Memangnya mati itu gampang? Akhirnya bisa disimpulkan kematian itu mahal harganya, bukan? Kenapa nggak pilih cara mati yang lebih cepat saja, misalnya memasukkan moncong pistol ke dalam mulut atau mengarahkannya tepat ke otak, dan.. DOR!

Tapi harga pistol kan mahal. Mendapatkannya juga susah dari segi hukum.

Makanya.. jangan bunuh diri

--biasa, ini sesi ga nyambung:
kasus aneh yg didapat dlm 2 minggu ini:
- Buerger Disease: kelainan vaskuler yg dirujuk ke Bedah Vaskuler. Untung pasiennya ngasih tahu gw diagnosisnya apa? kalo enggak.. waa mana gw tau. ujung2nya musti browsing di Google
- bayi makrosomia dari ibu DM tipe 1 yang humerus dekstranya 'terpaksa' harus mengalami fraktur akibat distosia bahu dan ditilong pas persalinan. udah gitu sempet didiagnosis Erb Palsy pula. bodohnya...

Tuesday, December 06, 2005

the antibiotics thing

Good Doctor, Bad Doctor.

Bagaimanakah dokter yang baik menurut Anda? Ia menebar senyum sejak Anda membuka pintu ruang praktiknya, serentak berdiri sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman, meluangkan waktu yang cukup untuk mendengarkan segala keluhan, seraya melakukan pemeriksaan fisik yang teliti, dan berujung pada menulis di atas kertas resep, dan menyerahkannya pada Anda. Keluhannya sih mungkin ringan, hanya batuk-pilek dengan sedikit demam sudah tiga hari tak kunjung mereda. Dokter yang ramah dan baik hati ini menuliskan dua macam antibiotika dalam resepnya: amoksisilin 500 mg dan kotrimoxazol 480 mg dalam sediaan paten. “Ingat ya, harus dihabiskan antibiotikanya,” pesannya sebelum si pasien meninggalkan ruangan.

Common colds diberikan antibiotika? Sampai dua macam pula. Merek-nya paten pula. Tapi dokternya baik sih.. Jarang lho dapat dokter ramah dan baik hari seperti itu. Apapun obatnya, akan kubeli. Hey, belum tentu si dokter bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk mengeruk komisi obat paten lho! (well, meskipun tetap ada kemungkinan sih) Bisa saja memang si dokter ramah ini kurang updated ilmunya. Jadi memberikan obat dengan ilmu sepuluh tahun lalu, padahal dunia kedokteran terus berkembang…

Lalu dengan dokter satu ini: sejak Anda masuk ke dalam ruangannya, wajahnya datar-datar saja. Ia tidak banyak bicara, hanya mendengarkan keluhan Anda, memeriksa seperlunya, bertanya seperlunya, dan menuliskan resep sambil memberitahukan cara penggunaannya. Yang jelas si dokter satu ini paham betul dengan penggunaan obat secara rasional. Termasuk antibiotika, ia tidak akan meresepkannya jika dinilai tidak perlu. Kadang-kadang si pasien sampai merengek minta diberikan antibiotika padahal hanya luka tergores saja di lututnya. Ia paham betul dengan ‘parahnya’ penggunaan antibiotika di Indonesia. Ia tidak ingin memperkeruh kondisi ini.

Kedua contoh di atas bukanlah contoh yang ideal, bukan? Kita mengharapkan dokter ramah dan baik hati terhadap pasiennya, namun juga rasional dalam memberikan obat, plus updated ilmunya. Itu dokter yang bagus. Pasiennya banyak, sampai mengantrinya pun berjam-jam. Obatnya cocok! Minimal ada satu antibiotika pada kunjungan pertama. Alhamdulillah sih seringnya langsung sembuh. Kalau ke dokter lain belum tentu obatnya cocok.

Beberapa hari lalu, sambil menyetir sendirian malam-malam pulang dari tempat kerja (one thing I really enjoyed, driving alone at night, but I think having ‘someone’ right beside me while driving must be much more enjoyable, there’s someone to talk with… but the time hasn’t come yet—sorry nih OOT) dan mendengarkan sebuah radio swasta ibukota, si penyiar dalam obrolannya di sela-sela lagu menceritakan, “Gue mau cerita nih tentang dokter gue. Gue memang terkenal bandel kalau disuruh minum obat. Disuruh minum antibiotika sampai habis, begitu badan gue merasa enakan, gue stop obatnya. Akibatnya saudara-saudara? Sekarang gue disuruh minum sampai tiga macam antibiotika kalau sakit, karena gue udah kebal sama antibiotika. Makanya gue harus minum tiga macam untuk membunuh semua virus sampai tuntas.”

Dengan nada bangga si penyiar menceritakan pengalamannya. Dokternya yang dibanggakannya ini memberikan kombinasi antibiotika menyadari resistensi obat yang ada (memangnya sudah dibuktikan dengan uji kultur darah?). Ia pun salah menyebutkan kata ‘virus’. Antibiotika untuk memubuh bakteri, Mas, bukan virus! Ini si penyiar memang tidak begitu mau tahu ilmunya, atau si dokter telah (maaf) ‘membodohi’ pasiennya, dengan entengnya mengkombinasi antibiotika, tanpa memberikan edukasi yang baik. Jadi instead of keep giving multiple antibiotics, yang lebih penting adalah mendiagnosis dengan tepat penyakitnya, dan memberikan edukasi agar mampu menjaga kesehatan agar tidak mudah sakit.

Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membeberkan teori antibiotika dan resistensinya, juga data-data kuantitatif antibiotics abuse di Indonesia. Singkatnya, Indonesia adalah negara dengan pola konsumsi antibiotika tidak rasional. Dokter mudah merasa khawatir dengan penyakit pasiennya, maka mudahnya, berikan saja antibiotika sebagai ‘obat dewa’, mampu ‘menyembuhkan semua penyakit’. Ditambah mahalnya ongkos pemeriksaan penunjang, maka dokter di Indonesia cenderung terjebak pada pola terapetik farmasi. Sekali datang, langsung obati, mudah-mudahan ‘cespleng’! Penekanan pada aspek kuratif (pengobatan), bukan preventif (pencegahan). Konsumen kesehatan menambah parahnya kondisi ini dengan mereka yang meminta antibiotika ke dokter, padahal dokter belum tentu ingin meresepkan. Khawatir ‘tidak laku’, maka dokter memenuhi permintaan pasien.

Ironic, isn’t it?

Inilah yang akhirnya menyebabkan SUPERBUGS: bakteri resisten terhadap golongan antibiotika spektrum luas. Kalau kumannya sudah begini, mau diobati dengan apa lagi? Saya ingat dengan kisah sedih kawan SMU saya, anaknya yang berumur 1 minggu dirawat di sebuah RS pemerintah dengan mendapat tiga macam antibiotika spektrum luas!! Saya khawatir kuman penyebabnya tidak berasal dari lingkungan alamiah si anak, melainkan didapat dari RS selama perawatan. Namanya infeksi nosokomial. Semacam oleh-oleh dari RS jika dirawat. Seseorang dirawat, keadaannya bukannya membaik, melainkan mendapat infeksi bakteri baru dari RS yang resisten dengan berbagai macam antibiotika.

Udahan dulu deh…

Ini lagi ga nyambung: laporan jaga semalam di LKC:

- satu pasien dengan penurunan kesadaran suspek CVD stroke hemoragik GCS 3, diobservasi aja, alhamdulillah paginya bisa respon suara, jadinya GCS 15! (kayanya gue yang salah nilai GCS pas masuk deh) Cuma ada parese nervus VII aja sih, ga ada hemiparesis.

- Dua pasien kebidanan: satu wanita 35 tahun dengan G2P1A0 lahir spontan jam 23-an, dan satu wanita 31 tahun dengan G9P7A1 (grande multipara boo) partus spontan abis sholat subuh. Sempat bikin panik karena ada hysterical reaction (‘Dokter Apin harap turun ke ruang Bidan CITO’) dibilangnya pingsan. Untuk ga ada apa-apa. Semua bayi AS-nya bagus dan BL normal.

- Bolak-bolak nelepon perawat rujukan di RSCM gara-gara ga dapat kamar untuk satu bayi BBLR preterm 32 minggu dengan hiperbilirubinemia, dan satu lagi member baru anak 2,5 tahun dengan KEP suspek meningitis khawatir ada dekomp juga. Cari ruangan di Harkit ga dapet, cari ke Fatmawati ga dapet juga. Ya beginilah kondisi RS kita, seringkali pasien ditolak, ga tau memang penih ruangannya di RS rujukan, atau memang nolak pasien GAKIN (mudah-mudahan yang terakhir ini engga. Kalau ketahuan Bu Menteri bisa jadi kasus lagi. Hehehe)

Siap-siap berangkat lagi tiga jam dari sekarang. Ngantuk euy

Monday, December 05, 2005

Boobies!!

Okay, from the beginning, I have to tell you that I’m not going to write pornography or related. It’s just a title… hopefully an ‘eye-catching’ one, that’s going to attract you all to read my post. In the end, you’ll find some additional new knowledge about breast cancer. For those who haven’t had the information, of course.

Judul ini persis sama dengan tulisan yang saya temukan siang tadi dari penelusuran terhadap beberapa blogspot kedokteran. Tepatnya di Grahamazon dot com, yang memandu Ronde Besar Medscape pekan lalu (semua dokter dan mahasiswa kedokteran tingkat klinik pastinya familiar dengan istilah Ronde Besar). Coba simak kalimat-kalimat berikut.

“It’s not everyday that you’re told by a woman to look at her chest. In fact, unless you’re learning how to do a female breast exam, it’s generally not kosher. And so it was, that last Monday I palpated my first breasts. (This post is totally gonna nail me by porn-blocking software.)”

Mengingat jarangnya saya menulis blog, karena seringkali tidak ada ide, membaca blog milik Mr. Graham Walker yang mengisahkan hari-harinya menjadi mahasiswa kedokteran di Stanford University ini (ia masih mahasiswa tahun ketiga), memberikan ide bagi saya untuk sedikit bercerita masa-masa kuliah di FKUI dulu.

Pertama kali kami mempelajari teknik pemeriksaan payudara, yakni metode SADARI (perikSA payuDAra sendiRI) atau Breast Self Examination (BSE) ini adalah dalam sebuah mata kuliah Patologi Anatomi tingkat tiga (saya merasa kagum juga masih mengingatnya, berarti ini kebetulan saya masuk kuliah, karena masa-masa tingkat dua dan tiga adalah saat-saat saya sering cabut kuliah). Hanya melalui ilustrasi dari tayangan proyektor LCD saja. Saya juga ingat sang dosen memelesetkan menjadi ‘Periksa Payudara oleh Suami’. Tidak masalah, bukan?

“My friend Heather decides to go first, and before I have time to blink, *woah*, there’s two big breasts staring right back at me. Heather started out saying “Fantastic!” after the instructor raised her arms in response to Heather’s request, but the instructor reminded us that “breasts are not fantastic. They are healthy or normal.”

Kemudian di tingkat IV, saat berada di Bagian Bedah, untuk pertama kali kami melakukannya langsung terhadap pasien di IRNA A RSCM. Kelompok kecil kami terdiri dari empat orang pria ganteng (hueek, hueekk): aku, Aria, Ardath, dan Onny. Berhubung F-4 sedang menjadi idola saat itu, kami menjuluki diri kami F-Se (hueekk, pret, dut, cuih, hehehe… beneran lho, kelompok lain nggak ada yang satu kelompok cowok semua). Dr. Sastiono Spesialis Bedah Anak membimbing kami melakukannya pada seorang ibu yang bersedia menjadi volunteer. Eitss.. ga boleh mikir ngeres.

“I’m being overly cautious at this point, trying not to say qualifying words like “fantastic” or “excellent,” so I end up just saying “okay,” and “healthy,” about 50 times. She finds it amusing; I let out a nervous laugh, and try to continue, still in hypersensitivity mode.”

Yang terakhir saat berada di Bagian Bedah tingkat VI, kami benar-benar bisa ‘puas’ melatih kemahiran melakukan breast exam ini di Poliklinik Bedah RSU Tangerang. Inspeksi dan palpasi, inspeksi dan palpasi. Hampir setiap harinya selalu ada lebih dari satu orang pasien baru dengan keluhan benjolan di payudara. Sebagai ko-ass, sebelum diperiksa langsung oleh spesialis bedah, semua pasien baru harus melewati kami.

Sangat alamiah dan manusiawi, semua perempuan yang harus ‘merelakan’ dilihat auratnya yang vital ini oleh dokter laki-laki akan merasa risih dan tidak nyaman. Begitulah yang kualami saat memeriksa mereka (secara teori, bahkan pasien harus diperiksa dalam beberapa posisi berbaring dan duduk, betapa tidak nyamannya!). Belum lagi wajah ‘dokter muda’ yang masih culun-culun dan membuat orang berpikir “Are you really a doctor here?” Maka dari itu, saya menyarankan semua wanita yang merasa memiliki benjolan tidak wajar di payudaranya untuk tidak datang ke dokter laki-laki (detilnya bisa dibaca di akhir tulisan).

Semua benjolan pada payudara atau breast lumps, adalah suatu keadaan yang mengharuskan setiap wanita yang mengalaminya datang ke dokter, karena bisa merupakan suatu keadaan dini dari keganasan (kanker). Meskipun beberapa kemungkinan (diagnosis banding) yang ada antara lain: fibroadenoma mammae (FAM—pada wanita muda, bukan kanker), kista, mastitis (biasanya pada ibu menyusui), dan papiloma.

Dalam kenyataan sehari-hari, tidak semua wanita Indonesia menyadari hal ini. Dari pengalaman klinikku selama setahun terakhir, ada yang menyadari benjolan yang terus membesar dan dibiarkan saja, dengan alasan ekonomi khawatir harus dioperasi (dari pemeriksaan fisik dan usia sepertinya sih giant FAM, tapi tetap saja harus dioperasi, kebetulan juga si ibu ini dari sosioekonomi-pendidikan menengah ke bawah); ada juga yang menyadarinya sangat dini dan langsung minta diperiksa (memang FAM dan sudah dioperasi dengan biaya dua jutaan setahun lalu); ada yang sekedar galactocele pada ibu yang memberikan ASI; ada juga yang memang terbukti Ca (kanker) dan menjalani seri radioterapi di RSCM; dan ada juga yang menyadarinya dari pemeriksaan suami (lucu juga ya, yang bersangkutan tidak pernah merasakannya, malahan si suami. Inilah maksud pelesetan kepanjangan SADARI. Jangan berpikir vulgar lho!).

Mengapa mendeteksi kanker payudara sedini mungkin menjadi amat penting? Data menunjukkan kematian akibat kanker payudara ini menduduki tempat kedua dalam kasus keganasan di Indonesia, persentasenya sebesar 11,22%. Survei terakhir di dunia menunjukkan tiap tiga menit ditemukan penderita kanker payudara, dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal akibat kanker payudara.

Bagaimana cara mendeteksi dini penyakit ini? Teknik SADARI atau BSE bisa menjadi sebuah jawabannya. Meskipun dalam sebuah publikasi, Journal of The National Cancer Institute terbitan awal Oktober 2002, dan penelitian dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle dalam penelitiannya yang melibatkan 266.064 pekerja pabrik di Shanghai dan membagi atas kelompok BSE dan kontrol, menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian kematian akibat kanker payudara antara dua kelompok ini. Namun di tengah pro-kontra pentingnya metode SADARI ini, tetap dianjurkan untuk melakukan SADARI, sebaiknya ditambah dengan pemeriksaan oleh dokter dan melalui pemeriksaan mamografi (rontgen terhadap payudara). Setidaknya untuk negara miskin macam kita yang pastinya sulit untuk melakukan mamografi rutin (belum lagi ditambah rasa risih melakukannya, misalnya saja operator mesin radiologinya laki-laki?).

Mulai usia berapa sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan payudara ini? American Cancer Society merekomendasikan mulai umur 20 tahun, setiap tiga tahun sekali, sampai usia 40 tahun, dan sesudahnya sekali dalam setahun. Meskipun sebelum umur 20 tahun masih bisa dijumpai benjolan pada payudara, namun potensi keganasannya amat minim. Sebuah situs yang menjelaskan lengkap masalah breast cancer ini adalah Mayo Clinic.

Beberapa ilustrasi mengenai teknik SADARI atau BSE dapat dilihat di sini, sini, situ, dan masih banyak lagi.

Ada beberapa tips dari saya mengenai pemeriksaan ini di layanan kesehatan terdekat.

Pertama, periksakanlah ke dokter wanita, sebisa mungkin! Syari’ah menjelaskan bahwa aurat wanita hanya boleh dilihat laki-laki dalam tingkat kedaruratan tinggi, yakni menyangkut nyawa, dan tidak ada dokter wanita. Kondisi darurat ini pun sifatnya sementara. So… jika Anda mencurigai adanya benjolan di payudara, dan ingin memeriksakannya ke dokter (tidak mesti ke dokter spesialis bedah, dokter (umum) pun bisa), berusahalah untuk mencari dokter wanita. Tentunya tidak nyaman juga kan kalau yang memeriksa dokter laki-laki. Ya… ini juga dari pengalaman saya memeriksa pasien wanita.

Kedua, pelajari terlebih dahulu teknik-teknik pemeriksaan payudara ini, seperti telah banyak saya lampirkan link-link di atas, mulai dari SADARI, sampai prosedur mamografi, USG payudara, biopsi, dan lainnya. Apalagi jika sampai mendapatkan vonis dari dokter bedah untuk dilakukan pembedahan, meskipun untuk kasus-kasus benjolan jinak, dokter bedah yang paling ahli sekalipun harusnya tetap melakukan pemeriksaan penunjang seperti mamografi ini. Harus dipahami dulu rasa tidak nyaman ketika payudara digencet oleh alat mamografi.

Sangat disarankan untuk membuka semua link yang ada, untuk mendapatkan informasi lebih utuh.

Ini ga nyambung: Apin-lagi-seneng-banget-hari-ini-dapat-kabar-seorang-kliennya-dengan-infertilitas-primer-selama-bertahun-tahun-plus-kista-ovarium-juga-tiba-tiba-beberapa-minggu-setelah-mengadopsi-anak-langsung-ketahuan-positif-hamil. Memang-ga-nyambung-sih-antara-‘mancing’-punya-anak-dengan-akhirnyabisahamiljuga. Tapi-ini-benar-benar-terjadi-pada-beberapa-orang. Keturunan-memang-rahasia-Alloh.

Tuesday, November 15, 2005

How to Get RICH EASILY (from) Being A Doctor

Sebenarnya udah lamaaa banget ingin menulis hal ini. Cuma baru sekarang jari-jarinya mau bergerak.

Dokter adalah profesi yang banyak berinteraksi dengan berbagai macam karakter manusia. Baik terhadap pasiennya (baca: klien kesehatan), sesama profesinya, maupun dengan kawan-kawan non profesinya. Pengalamanku selama setahun lebih sedikit menjalani profesi ini, khususnya sebagai dokter sebuah perusahaan swasta yang kadang harus berurusan dengan kertas-kertas klaim penggantian biaya pengobatan karyawannya, membuatku mengenal sebagian karakter sesama teman sejawat, yang mendorongku menuliskan topik ini.

Kasus A, seorang laki-laki berusia 30 tahun datang berobat ke sebuah klinik swasta yang bernamakan pemiliknya di bilangan Pamulang, dengan keluhan buang-buang air sejak 6 jam yang lalu. Frekuensi BAB cair mencapai 12 kali, kini tanpa ampas sama sekali, dengan muntah mencapai 4 kali. Masih mau minum, namun merasa lemas terutama setelah BAB. Dari pemeriksaan dokter, didapatkan tekanan darah normal, dan isi nadi cukup. Hanya dehidrasi ringan tampaknya. Namun... bagaimana kalau kita rawat saja laki-laki ini. Alasannya agar bisa diobservasi diarenya, khawatir jatuh ke dehidrasi. Ia tampaknya juga tidak akan keberatan. Bukankah keputusan di tangan dokter? Obatnya apa ya?? Bagaimana kalau kita berikan ANTIBIOTIKA intravena (diberikan melalui selang infus), plus botol infus dong tentunya. Walaupun panduan penatalaksanaan diare tidak menyebutkan pemberian antibiotika pada diare yang tidak dicurigai karena bakteri. Toh ia akan terima saja semua keputusan dokter. Hmm, sekarang apa ya pilihan antibiotikanya? Ahaa! Kebetulan, kemarin ada perusahaan farmasi yang menawarkan komisi kalau kita meresepkan obatnya. Memang mahal sih.. Melihat pasien ini cuma seorang sopir taksi. Tapi lumayan boo... Kan biayanya akan diganti oleh perusahaannya. OK berikan saja.

Kemudian pria muda ini hanya membutuhkan 1 hari rawat inap (yang sebetulnya tidak perlu, karena tidak memenuhi indikasi rawat inap) saja--tampaknya penyakitnya akibat salah makan saja, jadi ya sembuh sendiri--dengan biaya mencapai Rp 500 ribu. Kok mahal sekalee?? Iya lah, kan sudah di-bom dengan antibiotika berspektrum luas yang harga per botolnya Rp 150 ribu.

Kubaca jelas nama si dokter di salinan kuitansinya. Mudah-mudahan aku tidak bersu'udzon dengannya... Astaghfirulloh...

Kasus B, anak perempuan berumur 2 tahun dengan demam tinggi sejak kemarin. Si kecil tampak lemah, tidak mau makan, maunya minuuumm terus, sejak pagi tidak mau diajak bercanda. Bawa saja ke IGD RS di bilangan Ciputat sono dikit. Baiklah, pemeriksaan fisik tidak mengarah ke penyakit lain kecuali observasi febris (demam) dengan gajala common colds (batuk-pilek). Tapi kok demamnya 'mengkhawatirkan' ya? Mencapai 39 derajat selsius. Kita periksa darah dan kencing saja. Hasilnya pun normal. Tapi si orangtua masih khawatir dengan keadaan anaknya. Sudahlah, daripada repot-repot menjelaskan pada mereka perihal anaknya yang butuh observasi demamnya saja, mending dirawat saja. Orangtua tidak panik, obat bisa diresepkan. Betul ga? Andaikan si orangtua tahu panduan tata laksana demam. Itu contoh kecil saja, 'modus' tersering bagaimana 'uang tambahan' bisa masuk saku dokter. Lho, kok uang tambahan? Iya, kalau boleh dibagi-bagi, pemasukan utama adalah biaya jasa konsultasi. Dokter adalah profesi, sama dengan pengacara, insinyur, dan lain-lain, yang khususnya dihargai dari kemampuannya sebagai seorang konsultan. Masalahnya, dokter di Indonesia kurang 'dihargai' dari sisi jasa konsultasi ini. Ya, maksudnya dihargai dalam arti harga sesungguhnya Di sebuah jaringan klinik terkenal di Jakarta saja, jasa konsultasi dokter (umum) dihargai 'hanya' Rp 7000. Itupun yang masuk ke kantong dokter masih sepersekian persen lagi. Namun karena jumlah pasien dalam sehari bisa mencapai puluhan orang, akumulasi dari ongkos ini (plus dari obat) mencapai hasil yang... agak lumayan lah. Salah satu dampak buruk jumlah pasien yang banyak adalah waktu layanan konsultasi minim, sehingga dokter tampak kurang berkompeten dalam memberikan jasa konsultasi dan pemeriksaan. Akibatnya? Klien merasa sah-sah saja membayar 'murah'? Toh cuma dilayani 5 menit kemudian disuruh langsung ke apotek?! Bagi yang ‘beruntung’ bisa berpraktik di RS Swasta besar dan mahal, jasa konsultasi akan dihargai lebih pula. Dokter (umum) bisa mendapatkan Rp 75 ribu sampai Rp 150 ribu rupiah untuk setiap konsultasi, dan dokter spesialis bisa mendapatkan Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu rupiah. Berarti yang mendapatkan di bawah ini tergolong kurang beruntung ya? Hehehe Hey, namun jangan salah. Seorang sejawat dokter spesialis anak yang 'beruntung' ini dikenal sangat idealis dan rasional dalam melayani pasien-pasiennya. Tidak rugi mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan jasa konsultasinya. Perhatiannya benar-benar dicurahkan dalam menangai setiap kliennya secara individual. Bahkan tidak jarang ia tidak meresepkan apa-apa untuk pasiennya. Mengapa? Karena ia tahu bahwa kondisi kliennya memang tidak butuh intervensi obat. Malahan orangtua yang memaksa dokter untuk memberikan obat. Masa anak balita dengan demam 3 hari tidak mendapatkan obat apa-apa, hanya disuruh kompres hangat dan minum air putih yang banyak? Karena memang panduan tata laksana demam terbaru menyarankan hal ini.

Eits, mulai muter-muter. Kita balik lagi ke uang tambahan. Ya.. jadinya untuk mendapatkan penghasilan memadai (iya dong, dokter kan sekolahnya minimal 6 tahun, belum kalau lulusan FK swasta harus membayar mahal dengan waktu lulus bisa lebih dari 6 tahun.. jadinya harus 'balik modal' lah), dokter diberikan celah lain. Yaitu dari komisi dari perusahaan farmasi. Ini sudah menjadi rahasia umum, melihat regulasi peraturan perusahaan farmasi di Indonesia yang memungkinkan celah ini. Padahal jelas-jelas dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), hal ini dilarang bagi dokter.

'Modus' kedua adalah merawatinapkan pasien. Jadi pasien yang seharusnya tidak perlu dirawat inap, diminta rawat inap oleh dokternya. Ini dapat terjadi baik di RS pemerintah maupun swasta. Lumayan.. ada ongkos kamar harian, jasa visite dokter dan dokter spesialis, biaya tindakan, belum termasuk obat-obatan yang kalau tidak diberikan obat suntik (yang harganya lebih mahal), tidak 'afdhol' rasanya. Minimal diinfus lah, meskipun pasien masih bisa makan-minum. Masa masuk RS nggak diinfus?

Inilah sebagian kasus yang dapat diceritakan. Masih banyak contoh kasus lain, namun.. segini dulu deh. Bingung buat penutup... Intinya: bekalilah diri Anda dengan informasi penyakit Anda sebanyak-banyaknya sebelum berobat ke dokter. Setiap hari bisa online browsing dan ikutan milis, masa nggak bisa cari informasi kesehatan yang bejibun jumlahnya di dunia maya?!

-yang nulis bebas bicara soalnya dapat penghasilan dari uang gaji, bukan jasa per pasien dan komisi dari perusahaan obat. Hehehe.
Astaghfirullah, banyak membicarakan teman sejawat sendiri. Harus banyak introspeksi diri juga

Friday, August 19, 2005

Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?

As a medical doctor, you wouldn't know what kind of people you would meet the day you had practice.

Perempuan berusia 38 tahun itu masuk ruang praktik dengan ekspresi wajah biasa.
"Ada keluhan apa, Bu?" tanyaku.
"Badan saya lemas terus hari-hari belakangan ini. Tidak ada gairah," paparnya, berhenti sejenak, "jantung juga sering berdebar-debar."
"O ya?" timpalku.
"Ya..." suaranya mulai bergetar. Wajahnya setengah menunduk. "Saya korban kebakaran waktu itu. Anak saya terbakar. Hangus jadi abu."
Ia mulai terisak pelan. Menangis perlahan. Tapi tidak lama. Sekitar semenit. Aku hanya terus menatapnya. Tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Jangan sampai perasaannya semakin terluka dengan pertanyaan mengenai kejadian.
Wanita di hadapanku ini mulai tenang.
"Kebakaran yang kapan, Bu?" dalam hati aku merasa malu tidak tahu dengan bencana yang terjadi masih di sekitar Jakarta.
"Tanggal 16 kemarin. Dua puluh rumah habis terbakar." Isaknya sudah terkendali. Suaranya terdengar tegar.
Sambil diselingi pertanyaan mengenai keluhannya, ia memaparkan kisah sedihnya. Kejadian yang terjadi sehari menjelang peringatan 60 kemerdekaan
itu terjadi di Kebayoran Lama. Satu-satunya korban meninggal adalah balita berusia tiga tahun. Anak ketiga dari perempuan yang juga member LKC cabang Cipulir ini. Sehari-harinya ia bekerja sebagai kuli cuci. Saat kejadian, ia sedang mengerjakan kegiatan ini, sedangkan satu-satunya anaknya yang masih tinggal bersamanya tidur dalam buaian di lantai dua.
"Ia habis menangis, minta uang untuk nonton topeng monyet," kenangnya, "sekarang saya makan juga tidak nafsu. Masih teringat dengan dia. Biasanya kita makan berdua. Saya makan nasi sisa dari piringnya."
Ibu dengan tiga anak ini memang tinggal hanya dengan anak bungsunya. Anak pertamanya dibawa suaminya yang sudah tidak tinggal serumah. Anak keduanya berada di sebuah pesantren di Jawa Tengah.
"Sebentar lagi Ibu juga akan ketemu dengan anak yang tinggal di pesantren kan?" aku mencari topik pembicaraan yang kiranya dapat menenangkan hatinya.
"Iya, bulan depan ia akan pulang.
"
Kuajukan satu pertanyaan yang aku yakin mengetahui jawabannya, "Waktu kejadian, yang pertama kali datang memberikan bantuan siapa?"
"Dari PKS. Istrinya Pak--sebut saja--Fahmi yang terus menemani saya. Ia yang menyuapi saya. Bilang 'Ibu, jangan nangis terus'."
PKS memang hampir selalu menjadi yang pertama datang di setiap bencana apapun di ibukota.
"Iya, Ibu harus makan. Badan ibu lemas karena tidak mau makan. Ibu juga tidak boleh menyiksa diri sendiri, kan?" lanjutku.
Aku menyimpulkan ia mengalami stres pasca trauma. Jujur, aku menilai ibu ini sangat tabah. Tidak banyak ekspresi kesedihan yang keluar saat berbincang denganku. Atau mungkin air matanya sudah habis dalam tiga hari ini.
"Sekarang Ibu sudah ikhlas, kan?" aku mengakhiri pembicaraan.
"Iya, saya ikhlas, ridho. Anak kan yang punya Alloh. Kembalinya ke Alloh."
"Saya senang sekali dengar jawaban dari Ibu. Yang penting Ibu sudah ikhlas. Insya Alloh akan dapat ganti yang lebih baik." Aku terharu mendengar jawaban tulus dan tabah Ibu ini. Subhanalloh.
"Terima kasih, Dok."

"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" (ar-Rahmaan)

Rabu kemarin, hari libur memperingati Kemerdekaan RI, aku bertemu dengan pria itu. Laki-laki menjelang 40 tahun, yang datang ke LKC karena keluhan nyeri perut hebatnya. Ia dalam perjalanan menuju kampungnya di Sumatra Barat. Kesana kemari ia mencari dana untuk ongkos pulang dirinya, istri, dan ketiga anak kecilnya. Entah bagaimana, di tengah perjalanan, ia mengeluh penyakitnya kambuh, dan orang yang ditemuinya di jalan menunjukkan LKC.

Saat memeriksanya, tak henti-hentinya ia memanggilku, sekedar ingin memegang tanganku. Ia tampaknya ketakutan sekali dirinya akan pergi meninggalkan alam ini. Matanya gelap, keluhnya. Sambil mencium tanganku, mulutnya terus mengucapkan doa untukku, agar Tuhan membalas kebaikanku. Aku hanya menatapnya, sambil memintanya agar terus beristighfar. Menenangkannya, bahwa hanya Alloh-lah yang mampu mengangkat segala penyakit. Memintalah pada-Nya.

Setelah satu suntikan Tramadol masuk, pria yang mengaku ingin diberi kesempatan pulang kampung untuk mencium kaki ibunya dan meminta diberi waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya ini, menjadi lebih tenang.

"Sudah tidak sakit kan, Pak? Sudah tidak gelap kan, matanya?
"Sudah, Dok."

Bapak yang memegang surat keterangan miskin dari RS setempat di Sumbar ini kemudian melanjutkan perjalanannya. Mencari ongkos pulang, tidak tahu darimana lagi bisa mendapatkannya. Kami hanya bisa memberikan bantuan untuk mengurangi sakitnya saja. Padahal sebenarnya hanya member yang bisa mendapatkan pelayanan di LKC.

Kisah sedih kaum dhu'afa yang kutemui tidak sebatas di sini saja. Seorang ibu muda membawa anaknya kemarin ke Gerai Sehat Cipulir, cabang dari LKC. Penyakitnya ringan, hanya batuk pilek.

"Namanya Bella," tatap si ibu ke gadis kecilnya yang cantik, "ada kisah dari namanya."
"Waktu itu sudah ada orang yang mau (mengambilnya). Karena waktu itu saya tidak punya uang. Untung ada yang mau membiayainya. Jadinya sampai saat ini Bella masih bersama sama. Jadi banyak yang nge-bela-in dia. Makanya dikasih nama Bella."

Jadi ingat cerita Sayekti dan Hanafi, ibu yang terpaksa anaknya ditahan RS, karena tidak sanggup membiayai persalinannya. Hanya saja ibunda Bella ini hampir 'menjual' anaknya, karena tidak punya biaya untuk membesarkannya. Untung saja hal ini tidak terjadi. Betapa dhu'afa-nya mereka.

"Memangnya suami ibu kerja apa?" tanyaku penasaran
"Dia tidak bertanggung jawab. Sering pergi meninggalkan rumah. Kerjanya jadi calo."

Masih ada lagi ibu yang membawa anak gadisnya datang dengan batuk yang tak kunjung sembuh. Kebiasaanku menemui anak usia sekolah yang datang berobat, kutebak saat ini ia kelas berapa.

"Berarti sekarang kelas 2 SMP ya?" tebakku.
"Nggak Dok, sudah tidak sekolah. Tidak ada biaya," jelas ibunya.
"Tapi SD lulus kan?" selidikku.
"Sempat sampai kelas 6 SD, tapi untuk ujian tidak ada biaya, jadinya berhenti."
Ya Alloh, di pinggiran Jakarta saja masih ada anak yang tidak bisa menyelesaikan SD-nya karena masalah biaya. Kemanakah aliran dana kompensasi BBM?
"Anak ibu ada berapa?"
"Lima."
"Tapi adik-adiknya masih sekolah semua kan?"
"Ya, itupun ditanggung orang lain. Alhamdulillah," cerita ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini. Suaminya bekerja sebagai sopir angkot. Sehari kadang hanya bisa membawa Rp 15 ribu. Ia pun khawatir penghasilannya akan semakin merosot, dengan rencana pemerintah menaikkan BBM menjadi Rp 4000 per liternya.

Jum'at itu aku merenung di shaf kedua masjid sebuah bilangan Cipulir. Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?

Saat jaga malamnya, cerita memilukan masih terus mengalir. Pasangan suami-istri yang bekerja sebagai penjual buah pinang membawa anak gadisnya yang sudah sangat pucat. Dari tampilan klinisnya, kemungkinan kadar hemoglobinnya mungkin sudah di bawah lima. Ia sangat kekurangan oksigen. Gadis berumur 24 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini datang dalam keadaan demikian lemahnya. Untung saja seorang kerabatnya bekerja sebagai perawat di LKC, sehingga bisa membawanya ke sini.

Untung saja orang-orang ini menemukan LKC. Tempat mereka yang dhu'afa dan miskin papa bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, tanpa biaya, sejak awal sampai akhir. Berapa banyak nyawa yang bisa tertolong jika layanan kesehatan macam ini tersebar di ribuan tempat di negara ini?

Inilah negara kita. Negara yang aneh (mengutip istilah yang sering diucapkan Tora, Aming, dkk di Extravaganza). Di mana kesehatan seharusnya menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya. Di mana anggaran kesehatan demikian rendahnya, dibandingkan anggaran untuk ekonomi dan politik. Tapi justru layanan kesehatan yang langsung menyentuh dan bantuannya terasakan oleh masyarakat nyata diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) swasta, macam LKC, Dompet Dhu'afa, PKPU, BSMI, MER-C, DSPU, DSUQ, dan lain-lain.

Negara yang aneh.

Tuesday, August 02, 2005

Setiap Pasien adalah Sebuah Pelajaran

Tiba-tiba pintu ruang praktik menjeblak terbuka.

“Dok, tolong! Kenapa anak saya ini?” Wanita berusia menjelang tiga puluhan tahun itu berlari menggendong anaknya. Menghampiriku.

Anak perempuan kecil dalam gendongannya tampak kaku dengan mata setengah terbuka. Kadua kakinya bergerak-gerak teratur. Terdengar rintihan pelan.

“Ya Alloh, astaghfirulloh, kenapa kau, Nak..” tangis ibunya yang tengah hamil 32 minggu.

Jari telunjuk dan tengah perempuan ini terjepit erat di antara gigi-geligi anaknya yang baru berusia 15 bulan. Ia khawatir anaknya yang tengah kejang tanpa sadar menggigit lidahnya.

“Tenang Bu, tenang. Ia kejang karena demam. Tidak akan lama berhenti sendiri,” sahutku berusaha menenangkannya.

Otakku terus berputar. Tenang Pin, tenang, ujarku menenangkan diri sendiri. Aku tidak suka keadaan ini. Selama ini jika menghadapi pasien kejang, selalu tersedia obat kegawatdaruratan untuk menghentikan kejangnya. Tabung diazepam rektal satu buah. Tapi di klinik kecil tempatku bekerja ini, obat itu tidak tersedia. Poliklinik salah satu pool perusahaan taksi ini memang tidak dipersiapkan untuk keadaan gawat seperti ini. Tak ada cara lain. Aku yakin dengan diagnosisku, dan berdasarkan teori, kejangnya akan segera berhenti. Amati saja keadaan anak ini. Miringkan posisi tubuhnya agar jika muntah tidak masuk ke saluran napasnya. Hitung berapa lama kejangnya. Pastikan tidak terjadi keadaan kekurangan oksigen.

***

Sekitar 15 menit sebelumnya, sepasang suami-istri membawa anak perempuannya yang berumur 15 bulan, dengan keluhan demam tinggi sejak siang hari.

“Tadi diukur di rumah, suhunya 40 derajat selsius,” kisah si istri.

Aku senang mendengarnya. Kenapa? Karena ibu ini tampaknya memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga merasa perlu untuk menggunakan termometer dalam mengukur suhu tubuh. Hasilnya tentu objektif. Kita tahu persis apakah seseorang demam atau tidak. Tidak bisa mengandalkan perabaan tangan di dahi yang sangat subjektif.

Menghadapi klien seperti ini, membuatku senang dan perlu untuk mengedukasinya. Meluangkan waktu sedikit lebih lama untuk memberikan informasi, apa yang orangtua harus lakukan jika menghadapi anaknya demam. Bukan sekedar mendengarkan keluhan, dan menuliskan resep, selesai! Hmm, I’m not that type of doctor.

Kebetulan sekali di mejaku tersedia lembaran-lembaran mading edukasi untuk orangtua. Isinya mengenai ‘demam’, dan ‘kejang demam’. Apa yang harus orangtua pahami mengenai kedua kondisi ini, dan apa yang harus mereka lakukan jika menghadapinya pada anak mereka. Thanks to milis SEHAT yang telah menyediakan bahan mading ini.

Aku minta mereka untuk memfotokopinya, segera mengembalikannya padaku, dan mempelajarinya di rumah.

Si Kecil di hadapanku memang tampak lemas. Ia menggigil. Aku tegaskan pada orangtuanya, bahwa keadaan yang perlu diperhatikan saat ini jika sampai terjadi kejang. Aku tak pernah menyangka jika 15 menit kemudian ini akan terjadi. Tepat di hadapanku. Dan aku tak punya obat yang tepat untuk mengatasi keadaan ini.

Alhamdulillah, tak sampai lima menit, kejang mereda dengan sendirinya. Namun si Ibu justru bertambah keras tangisnya. Apa yang terjadi? Kedua jari tangan kanannya yang dimasukkan ke dalam mulut si kecil, tidak bisa dikeluarkan. Gigitan si anak selama hampir lima menit membuatnya kesakitan. Wanita ini menangis sejadi-jadinya, meluapkan rasa sakitnya tergigit.

“Aduh, Nak, tangan Ibu dilepaskan dong,” erangnya.

“Sini Bu, ganti saja dengan kapas perban ini,” sodorku. Sebenarnya tidak boleh memasukkan benda apapun ke dalam mulut anak yang kejang. Dikhawatirkan justru jalan napasnya akan tersumbat. Kejadian lidah tergigit sangat kecil.

Si ibu menatapku dengan ragu. Ia memang kesakitan luar biasa. Tapi ia lebih khawatir lidah anaknya akan tergigit. Inilah kasih seorang ibu.

Dalam waktu kejangnya ini, ayahnya mengurus transportasi yang bisa membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Minimal untuk mendapatkan diazepam rektal lah. Observasi selama beberapa saat, sambil memasang selang oksigen pada si anak. Setelah kendaraan operasional pool siap, mereka menuju RS terdekat. Aku harus menyelesaikan beberapa pasien dulu, untuk kemudian menyusul mereka ke RS.

***

“Tadi waktu sudah di atas motor untuk dibawa pulang, saya melihatnya kejang. Padahal di luar itu gelap. Segera saja saya berlari membawanya kembali ke dalam,” kisah si Ibu padaku di ruang Gawat Darurat RS. Si Kecil sudah sadar. Ia menangis keras. Sudah masuk diazepam rektal satu tabung, untuk mengantisipasi terjadinya kejang ikutan. Walaupun kemungkinannya sangat kecil pada kejang demam.

“Diminta rawat inap, Dok,” lapor si Ayah padaku sambil membawa secarik kertas bertuliskan rincian uang muka yang harus dibayar. Besarnya Rp. 250 ribu.

Aku menggelengkan kepala tidak setuju. “Tidak perlu rawat inap,” jawabku singkat. Kejang demam memang tidak perlu dirawat. Hanya saja orangtua harus dibekali pengetahuan penanganannya, dan mereka sudah punya bahan tertulisnya. Mereka juga harus tetap tenang dan rasional menghadapi keadaan yang tampaknya menakutkan ini, padahal tergolong penyakit ringan yang tidak menyebabkan kerusakan otak.

Jangan sampai mereka juga ‘memperkaya’ RS ini, untuk kondisi yang sama sekali tidak perlu.

Jujur, harus kukatakan, inilah yang terjadi di dunia kedokteran. Banyak uang masuk ke RS, melalui rawat inap, untuk penyakit-penyakit yang tidak diindikasikan rawat. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan dan kepanikan pasien yang meminta rawat inap. Bisa jadi juga karena dokter atau RS-nya ‘nakal’. Ya, darimana RS swasta dapat untung kalau tidak ada pasiennya.

Kebetulan sebagai dokter perusahaan, aku biasa memantau klaim penggantian yang masuk dari karyawan sakit dan dirawat. Sebagian besar dari RS swasta kecil ini, karena lokasinya yang dekat dengan pool taksi kami. Sering sekali penyakit-penyakit tanpa indikasi rawat yang akhirnya dirawatinapkan. Toh, biayanya akan diganti oleh perusahaan. Mungkin begitu pikir mereka. Aku sampai hapal dokter mana saja yang biasa bermain ‘tidak cantik’ ini.

Ayah si anak hanyalah seorang pegawai bengkel. Tempat kerjanya pun bukan di pool kami. Hanya saja lokasi klinik pool yang terdekat dari rumahnya adalah di tempatku. Sehingga untuk meminta pinjaman uang, prosedurnya agak rumit. Untuk membayar uang muka saja ia tidak sanggup. Untungnya ia berhasil dimotivasi untuk tidak perlu rawat inap. Bekal pengetahuan dan ketenangan adalah yang terpenting. Jika panik, hubungi saja dokter pool.

***

Sambil menyetir mobil pulang ke rumah, aku merenung. Kasus ini sangat ‘menarik’. Ketika aku membawa bahan dengan topik kejang demam, ada seorang anak yang mengalami kejang demam tepat di hadapanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa melainkan mengamatinya hingga berakhir, dan menenangkan orangtuanya. Belum pernah aku menghapi keadaan ‘tidak berdaya’ ini. Apakah ini pelajaran yang Alloh berikan khusus untukku, dengan mendatangkan pasangan suami-istri dan anaknya yang sakit padaku? Dalam pikiran seorang dokter, every patient is a lesson. Astaghfirullah, masak sedangkal ini aku menjadikan mereka sekedar bahan pelajaran? Aku memang senang berpikir ilmiah. But being a doctor isn’t just a scientist. They are the people who understand other people’s suffer, pain, and give them help. Being emphatic, not symphatetic.

Kalau diperhatikan, selama hampir setahun ini, orang-orang yang aku hadapi adalah mereka dari golongan dhu’afa, berpenghasilan dan berpendidikan rendah. Ini tampaknya pelajaran kemanusiaan yang Alloh berikan padaku. Dengan menjadi dokter. Profesi yang sangat aku hindari saat selepas SMU.

Sunday, July 24, 2005

Detik-detik yang Sangat Berharga di Madrasah Malam

Sujud di mihrab, istighfar di penghujung malam, dan air mata munajat merupakan ciri khas orang-orang mukmin.

Jika ahli dunia mengira, bahwa surganya terletak pada materi, wanita, dan gedung yang mewah, maka sesungguhnya surga orang mukmin terletak pada mihrabnya.

Meneladani Siroh Nabawiyah (perjalanan hidup Nabi) Rasululloh saw., kita akan menemukan beberapa tahapan dalam perjalanan da'wah beliau.

Salah satu literatur yang sangat baik menjelaskan hal ini adalah buku karangan Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban, berjudul "Manhaj Haraki, Strategi Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam Sirah Nabi saw." Yang akan dipaparkan di sini adalah salah satu karakteristik pada periode kedua--jahriyatud da'wah wa sirriyatut tandzim--"Berda'wah secara Terang-terangan dan Merahasiakan Struktur Organisasi", yaitu Menekankan Aspek Spiritual.

Pada tahapan pembinaan, tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya dalam jiwa, selain daripada menekankan ibadah, ketaatan, dan amalan-amalan sunnah. Ibadahlah yang menghubungkan hati dengan Alloh, meneguhkan jiwa dalam menghadapi segala penderitaan, lulus menghadapi fitnah, dan teguh di atas jalan kebenaran.

Ia adalah tahapan ibadah, tabattul, qiyamul lail...

Al-Bazzar meriwayatkan dari Muhammad bin Aqil bin Jabir, ia berkata, "Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah. Berkatalah sebagian mereka, 'Berilah nama kepada orang ini (Nabi saw.) dengan suatu nama yang akan menghalangi orang darinya.'
Sebagian mereka berkata, 'Tukang ramal.' Sebagian yang lain menjawab, 'Dia bukan tukang ramal.'
Yang lain berkata, 'Orang gila.' Sekelompok yang lain menukas, 'Dia bukan orang gila.'
Sebagian mereka berkata, 'Tukang sihir.' Sebagian yang lain membantah, 'Dia bukan tukang sihir.'
Kemudian orang-orang musyrik itu bubar dalam keadaan demikian. Mendengar peristiwa ini, Nabi saw. langsung berselimut dan berkemul dalam pakaiannya. Kemudian Jibril datang kepada beliau dan berseru, 'Wahai orang-orang yang berselimut, wahai orang-orang yang berkemul...!'" --Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Muzammil, III/562

Imam Ahmad meriwayatkan perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha, "Sesungguhnya Alloh mewajibkan qiyamul lail pada awal surat ini. Kemudian Rasulullah saw. dan para sahabatnya melaksanakannya selama satu tahun sampai kaki-kaki mereka bengkak. Alloh menahan penutup surat itu di langit selama dua belas bulan, kemudian Alloh menurunkan keringanan di akhir surat sehingga qiyamul lail menjadi sunnah setelah diwajibkan." --Ibid., III/564

"Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan, bacalah al-qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya, Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya, bangun di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya, kamu pada waktu siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)" (al-Muzammil [73]: 1-7)

Seluruh malam kecuali sedikit darinya harus dipergunakan untuk qiyamul lail.

Qiyamul lail itu sendiri bukanlah sasaran dan bukan pula hukuman Alloh terhadap hamba-Nya, tetapi merupakan tarbiyah imaniyah 'pembinaan keimanan' untuk mewujudkan hubungan yang kuat dengan Alloh. Ia adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Sarana untuk dzikrullah, tabattul, dan tawakkal kepada-Nya.

"Sebutlah nama Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. dialah Rabb masyrik dan maghrib, tiada ilah melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung" (al-Muzammil [72]: 8-9)

Dzikrullah, tabattul, tawakkal, dan ibadah kepada-Nya adalah senjata satu-satunya dalam pertarungan. Ialah yang membekali kaum mu'minin dengan kesabaran dalam menghadapi cobaan, penyiksaan, dan penghinaan. Ialah senjata satu-satunya dalam periode ini, periode yang tidak membolehkan konfrontasi langsung.

"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan, dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan, dan beri tangguhlah mereka barang sebentar" (al-Muzammil [73]: 10-11)

***

Para penyeru di jalan Alloh sangat memerlukan senjata ini, dalam menjalankan tugas da'wah yang selalu menghadapi berbagai rintangan dan gangguan. Jika pada tahapan seperti ini gerakan Islam tidak memperhatikan aspek ibadah, aspek ruhiyah, qiyamul lail yang rutin dan berkesinambungan, dan dauroh-dauroh secara berulang-ulang untuk "hidup terus", pasti akan menyaksikan para prajuritnya berjatuhan satu demi satu dan rontok oleh benturan tribulasi.

Perlu diingat, qiyamul lail hanya menjadi sekedar teori yang tidak dapat diaplikasi, apabila simpanan hafalan al-qur'an para ikhwah da'iyah sangat minim. Sebab, ikhwah yang tidak memiliki hafalan al-Qur'an, kecuali beberapa ayat, akan terpaksa mengulang-ulang ayat tersebut di dalam shalatnya. lantas bagaimana ia akan melaksanakan qiyamul lail? Bagaimana hatinya akan tergerak dengan khusyu'? Bagaimana ia akan merasakan lezatnya taat dan ibadah jika kelezatan al-Qur'an tidak terintegrasi dalam hatinya, serta memenuhi kehidupan, ruh, pendengaran, dan penglihatannya? Sampai "cahaya" al-Qur'an memancar dengan deras dari hatinya?

***

Pada masa-masa sekarang ini, qiyamul lail di kalangan para pemuda dan aktivis Islam menjadi acara bulanan, musiman, atau tahunan. Itu pun berjalan denga surat-surat pendek. Sesungguhnya manhaj tarbiyah yang harus diterapkan pada para pemuda di tingkat permulaan adalah manhaj Qur'ani sebagaimana kami sebutkan di atas. Tidaklah cukup al-Qur'an ini hanya dijadikan sebagai pokok pangkal manhaj secara keseluruhan dan tsaqafah (pengetahuan) yang disajikan kepada para ikhwah. Tetapi di samping itu, hafalan al-Qur'an juga harus dijadikan sebagai sasaran utama di antara sasaran manhaj, terutama bagi ikhwan dan akhwat yang masih muda dan memiliki kemampuan hafalan secara baik.

Manhaj tarbiyah harokiyah yang dibuat oleh jama'ah harus berhasil membuat para pemuda hapal banyak dari ayat-ayat al-Qur'an tatkala mereka memasuki usia dua puluh tahun, sehingga menjadi bekalnya dalam ketaatan, gerakan, tahajjud, dan ibadah. Pada saat itu, ia akan merasakan lezatnya ibadah, taat, dan qiyamul lail, menikmati lezatnya dzikir dan tawakkal.

Selain itu, manhaj tarbiyah pada tahapan ini juga harus menekankan dzikrullah, tahlil (membaca laa ilaaha il), takbir, tahmid, tasbih, shalawat kepada Nabi saw., membaca wirid yang ma'tsur dan dzikir-dzikir secara mutlak, berkesinambungan, siang dan malam.

***


Sesungguhnya pemuda muslim yang menjalani masa mudanya dengan tekun beribadah dan taat, rutin, dan kontinu untuk membaca al-Qur'an; kedua kakinya letih karena qiyamul lail, dzikrullah di tempat sunyi hingga kedua matanya meneteskan air mata, hatinya selalu terpaut dengan masjid, selalu membasahi bibirnya dengan adzkar dan ayat-ayat al-Qur'an siang dan malam, hati, dan pikirannya dibentuk oleh al-Qur'an, adalah pemuda ideal yang harus diwujudkan oleh gerakan Islam. Jika masalah ini tidak mendapatkan perhatian yang memadai, maka akan mengakibatkan bangunan menjadi rapuh dan rontok oleh pukulan-pukulan pertama para thaghut.

Itulah manhajul bina' 'sistem pembinaan' pertama melalui surat al-Muzammil. Panasnya konfrontasi dengan para thaghut akan mencair di hadapan kehangatan ibadah dan tabattul kepada Alloh, serta keyakinan akan pertolongan Alloh dan pembalasan-Nya kepada orang-orang kafir.

Penyair Iqbal menuturkan pengalamannya dalam bait-bait syair berikut:

Aku menangis manakala malam hari menurunkan tirai kegelapannya, dan manusia lelap dalam tidurnya, sedang air mataku bercucuran dengan derasnya.
Jiwaku terbakar oleh kesedihan dan kepedihan, dan kalimat yang menghiburku dalam kegelapan malam adalah 'Ya Qayyum'.
Aku bagaikan lilin, aku bermandikan air mata, di kegelapan malam aku nyalakan pelitaku.
Leramaian orang-orang adalah berkat cahayaku yang meneranginya, aku pancarkan cahayaku (buat mereka), sedang diriku sendiri terbakar.
--Diwanul Asrar war Rumuuz, hlm. 79

Sesungguhnya peran da'wah Islam di masa sekarang, tidak akan meraih keberhasilannya sebelum para da'inya menyalakan pelita mereka di malam hari. Cahaya da'wahnya tidak akan mampu mengusir kegelapan jahiliyah abad dua puluh satu selama pengembannya tidak menjadikan 'Yaa Qayyuum' sebagai wirid mereka

Kami katakan hal ini bukan untuk pertama kalinya, melainkan sebagai petikan dari wasiat (pesan) Imam al-Banna ketika berbicara di hadapan pada da'i. Beliau mengatakan:
"Detik-detik malam hari itu sangat berharga, maka janganlah kamu menyia-nyiakan dengan kelalaian."

Sesungguhnya pembelaan terhadap da'wah bukan dengan cara menebarkan banyak kalimat yang melembutkan hati, akan tetapi dengan mengumandangkan seruan nasihat untuk kembali kepada tradisi ulama terdahulu (salaf). Manakala hati telah menjadi bersih berkat taubat, dan himbauan ini telah terdengar oleh orang yang menaatinya, maka akan terpecahkanlah kesulitan masa sekarang akibat kelalaian yang berkepanjangan.

Wallahu a'lam.

Maraji':
Muhammad Ahmad ar-Rasyid, Pelembut Hati (Ar-Raqa'iq), Robbani Press, 2003
Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban, Manhaj Haraki, Strategi Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam Sirah Nabi saw, Robbani Press, Agustus 2003

--menyambut Munas PKS 27-31 Juli 2005 di Jakarta
PROFIL KADER PKS 2009:
(1) Kokoh dan Mandiri
(2) Dinamis, kreatif, dan inovatif
(3) Spesialis yang berwawasan global
(4) Murobbi produktif
(5) Mahir beramal jama'i
(6) Pelopor pengubahan
(7) Kepemimpinan masyarakat

Wednesday, June 29, 2005

Menangis Saja Tak Bisa, Apalagi Tertawa

Begitulah kira-kira judul sebuah artikel berita di harian Pos Kota Selasa 28 Juni ini. Seorang wanita muda berusia 23 tahun menunjukkannya padaku, saat praktik sore di LKC kemarin. Isinya menceritakan satu kasus busung lapar yang ditemukan di Bekasi. Tidak hanya itu penyakit yang diderita bocah perempuan berusia dua tahun dua bulan dalam berita ini, anak yang berat badannya hanya 4,5 kilogram ini juga menderita hidrosefalus sejak lahir. Inilah kisah nyata yang dialami perempuan yang menyodorkan potongan koran itu padaku. Dan si bocah terbaring di tempat periksa di hadapanku.

"Waktu itu pintu rumah diketok-ketok. Ada wartawan Pos Kota yang datang. Saya hanya memakai daster saja. Saat mereka mau memotret, saya bilang mau ganti baju dulu. Mereka bilang tidak usah, Bu. Nanti yang masuk cuma gambar anaknya saja. Eh, ternyata foto saya juga masuk. Mereka bohong, " komentar si ibu yang memakai kerudung itu menunjukkan fotonya di koran. Aku hanya tersenyum geli melihat kepolosannya.
"Setelah itu ada banyak wartawan yang datang ke rumah. Kemarin sebelum saya ke sini, diwawancara dulu oleh TransTV, untuk acara 'Jeritan Hati'."
"Untuk yang akan diputar kapan, Bu?" tanyaku.
"Nggak tahu, tapi sepertinya cepat, tidak lama."
"Mereka kasih uang ke Ibu, nggak?" tanyaku lagi.
"Enggak."
"Tahu nggak, Bu," timpalku, "Mereka justru dapat duit dari Ibu lho. Ya, mereka kan jual berita yang memuat Ibu, dan dapat duit dari situ. Tapi mereka nggak kasih duit ke Ibu."

Sekilas kubaca berita yang dimuat di Pos Kota itu memang berkesan 'tidak cerdas'. Ya... khas Pos Kota dan koran-koran semacamnya lah. Dari paragraf pembukanya saja sudah merendahkan. Kurang lebih bunyinya 'malang benar nasib keluarga ini', dan seterusnya (aku tidak bisa mencari link berita ini di website-nya Pos Kota). Mengenai keadaan si balita yang 'tidak bisa menangis, apalagi tertawa' ini, bukan akibat busung laparnya, melainkan hidrosefalus-nya. Dan sebagian penderita hidrosefalus yang tidak disertai gizi buruk pun mengalami keadaan ini, akibat kerusakan di saraf otaknya. Makanya berita di koran ini yang intinya pada kasus gizi buruk jadi berkesan agak menyesatkan. Belum lagi nama si balita dan ayahnya yang salah ditulis.

"Dulu waktu dia dioperasi hidrosefalus di RSUD Bekasi, juga didatangi oleh RCTI. Tapi juga tidak diberikan bantuan," cerita si Ibu lagi.
Mungkin waktu itu memang hanya liputan saja, karena beberapa pasien kami di LKC yang menjalani operasi juga didanai oleh program-program macam Indosiar Peduli Kasih dan Jalinan Kasih RCTI.
"Yang mengoperasi dulu siapa, Bu?" tanyaku lebih lanjut. Si balita memang telah dua kali menjalani operasi untuk hidrosefalusnya, dan satu kali pembukaan selang di kepalanya. Berat badan lahirnya cukup baik, meskipun lahir prematur melalui operasi cesaria, karena janinnya kembar. Sang kembaran meninggal dalam kandungan. Dan sampai umur satu tahunan berat badannya masih normal, kemudian mengalami penurunan drastis. Nampaknya hidrosefalusnya lah salah satu pencetus gizi buruknya.
"Dokternya baik sekali, " komentar si Ibu akan dokter bedah saraf yang pernah mengoperasi anaknya, "waktu saya nangis karena bosan berada di rumah sakit terus-terusan. Terus dia nanya, Ibu kenapa menangis? Dia juga menanyakan Ibu butuh apa. Saya jadi curhat sama dia. Dokternya juga cerita, kalau dia mu'allaf, ikut istrinya yang hajjah."
"Ibu lulusan apa?"
"SMA. Suami saya lulusan SD. Dia cuma bisanya (jadi buruh) bangunan aja. Saya sendiri sudah kenyang di berbagai tempat. Di pabrik, jadi pelayan di Pizza Hut. Pernah juga ditawari kerja di RSUD Bekasi karena saya lama menunggu anak dirawat di sini. Bagian laundry-nya. Tapi saya tolak."
"Terus kenapa berhenti? Kan gajinya lumayan," tanyaku.
"Ya ngurus anak," jawabnya singkat.

"Dulu ketemu suami di mana, Bu?" sambungku mencari bahan pembicaraan, sambil menunggu si anak dinaikkan ke ruang rawat inap kami di lantai dua.
"Wah, dulu kami di kampung. Aneh deh. Nikahnya nggak pakai pacaran dulu."
"Lho, kok aneh?" timpalku, "teman-teman saya di LKC juga kebanyakan nikah tanpa pacaran," lanjutku ngalor-ngidul.
"Ih, dokter, jadi buat saya curhat aja."
Hehehe, tampaknya aku pandai membuat wanita mencurahkan isi hatinya

Inilah kasus gizi buruk kedua dari pinggiran Jakarta yang kami rawat. Yang pertama dari daerah Ciputat, sudah lebih dari dua pekan dirawat. Kasus dalam ceritaku ini berasal dari Bekasi. Menambah deretan kisah busung lapar di kawasan Jabotabek.

Banyak media massa yang memberitakan lambannya pemerintah menangani masalah ini. Makanya banyak lembaga swadaya masyarakat semacam Dompet Dhuafa yang berinisiatif menangani busung lapar. ACT dan LKC sebagai jejaring Dompet Dhuafa bekerja sama memberikan penanganan langsung terhadap penderita gizi buruk yang ditemui. Sebenarnya pasien yang kami tangani ini mendapat jaminan Gakin dari RSUD Bekasi, sehingga bisa berobat untuk penyakitnya. Anak ini pun bisa dioperasi dua kali di RS ini atas jaminan Gakin. Tapi kami tetap merasa perlu untuk begerak membantunya.

Sebuah tulisan di Kompas bertajuk 'Busung Lapar Bukan Kecelakaan'. Isinya menceritakan anggaran kesehatan pemerintah yang tidak mencukupi itu pun, masih ditambah dengan pelaksanaan program promotif dan preventif yang tidak seharusnya. Kejadian gizi buruk ini adalah dampak jangka panjang daripadanya. Dalam tulisan lain pun, audit biaya pada jaminan kesehatan masyarakat miskin juga menjadi masalah.

Gizi buruk bukanlah penyakit infeksi. Melainkan suatu keadaan yang sebenarnya sudah lama ada, namun tersembunyi dari liputan media massa. Akibat rendahnya pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat kita akan gizi yang harus diberikan pada anak-anaknya, meskipun secara ekonomi berkemampuan, akibat kemiskinan rakyat yang tidak mampu, tidak mau, dan tidak mau tahu untuk membeli makanan tinggi protein, dan akibat pemerintah yang tidak pernah menjadikan sektor kesehatan dan pendidikan sebagai prioritas. Lihat saja berapa besar anggaran kesehatan dan pendidikan dalam APBN. Aku masih ingat kasus gizi buruk yang merebak pasca krisis ekonomi tahun 1997. Media massa mem-blow up-nya. Kemudian pemberitaan kasus ini hilang. Padahal sampai tahun 2002 saat aku masih menjalani pendidikan kedokteran di UI, masih bisa kujumpai kasus gizi buruk di bangsal rawat Anak RSCM.

Behkan satu jam sebelum pasien ini tiba di LKC, ada bayi kecil lainnya berusia enam bulan dengan gizi buruk juga, yang datang dengan keadaan gawat darurat: kejang yang kemudian dicurigai sebagai ensefalitis setelah kami rujuk ke RS Fatmawati, dan harus masuk High Care Unit (HCU) yang biayanya Rp. 80 ribu semalam. Padahal sebelumnya ia pernah berobat ke RS, namun karena dalam sehari sudah keluar Rp. 300 ribu, bayi dari ayah yang bekerja sebagai pengamen jalanan ini minta pulang saja. Keadaan si anak semakin buruk, dan dibawalah ke LKC.

Jika melintas di jalanan Sudirman-Thamrin, dari kaca jendela Patas AC 76 sulit kutemukan mobil yang tidak mewah. Tentunya dalam sehari bisa puluhan ribu mobil yang melintas. Artinya puluhan ribu orang Jakarta berpenghasilan dan berpendidikan menengah ke atas. Namun di luar itu, berkali-kali lipat lagi hanya mampu makan sekali dua kali sehari, tidak mampu berobat ke RS, dan meregang nyawanya akibat mati sakit.

Arifianto,
Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC)
Jl. Ir. H. Juanda no.34,
Ciputat Megamal D-01
Ciputat 15412
(021) 7416262

Sunday, June 26, 2005

Coba-coba pakai 'Mandarin Design'

Ini asli langsung copy-paste aja dari Mandarin Design.


Full instructions
for making the first letter big are in the Drop Cap copy and paste style tutorial. For this one we forced the first big letter to span more than five lines. The font-size is adjusted to exactly 100 pixels while the line height is 80 pixels.



Trus ini juga...







Lumayan... Hmmm...


This text scrolls up.


Apalagi niy?


This text is a simple scrolling
marquee that only works in Internet Explorer and Mozilla.
It's simple HTML, no script needed.


Waduh, aneh jadinya??!


MandarinDesign
BLOG



"For People Who Make Mistakes" ...


Udah ah, tidur dulu aja..

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...