Wednesday, December 09, 2015

Cuci tangan dan antibiotik

Pekan kepedulian antibiotik (antibiotic awareness week) memang baru berakhir kemarin. Tapi semangat untuk tetap menjalankan pesan-pesannya jangan sampai padam. Misalnya saja yang sudah dibuatkan oleh WHO, bagi para petugas kesehatan. Meskipun khusus ditujukan bagi para health workers, tapi pesan ini bisa dikerjakan oleh banyak kalangan.

1. Cuci tangan adalah kebiasaan yang sangat penting. Periha...l hand hygiene ini ternyata terbukti ampuh menyelamatkan nyawa. Kok bisa? Satu poin penting yang sering kita bahas terkait antibiotik adalah kuman (bakteri) yang sudah resisten alias kebal terhadap antibiotik jenis tertentu. Tangan yang terkontaminasi bakteri resisten bisa menjadi media perantara pindahnya kuman dari satu orang ke orang lainnya. Misalnya saja sehabis bersentuhan dengan pasien yang di kulitnya terdapat bakteri stafilokokus yang sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik, lalu petugas kesehatan ini tidak mencuci tangannya lalu menangani pasien lainnya, maka pasien lain ini rentan terinfeksi bakteri mutan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seorang Ibu yang sedang membersihkan kotoran (tinja) anaknya yang sedang mengalami diare akibat rotavirus, maka harus memastikan dirinya sudah mencuci tangan dengan bersih, ketika hendak memegang anaknya yang lain. Jangan sampai si Ibu menjadi penular kuman penyebab diare bagi anaknya yang lain.
Apabila tidak tersedia air mengalir dan sabun, maka handrub berbasis alkohol atau klorheksidin dapat digunakan (mohon koreksinya).

2. Ternyata imunisasi terbukti mampu mencegah resistensi antibiotik! Bagaimana ceritanya? Ya iya dong, kan vaksin dapat mencegah seseorang terkena penyakit infeksi akibat virus/bakteri. Maka peluang dirinya menjadi sakit atau menularkan kuman mutan ke orang lain menjadi lebih kecil. Secara tidak langsung, imunisasi dapat mengurangi peluang "menzalimi" orang lain dengan penyakit yang dimiliki oleh seseorang yang sakit.

Nomor 3, 4, 5 lebih spesifik menyentuh penggunaan antibiotik. Mudah-mudahan berkesempatan menjelaskannya di lain waktu

Rubella jangan dianggap biasa saja

Akhir-akhir ini tulisan saya banyak berkisah tentang penolakan terhadap imunisasi. Mudah-mudahan saja yang baca tidak bosan. Alasannya memang 1 bulan terakhir kasus-kasus yang saya temui terkait dengan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Misalnya saja satu kisah seorang ibu dengan 5 anak. Ia dan suaminya yang sudah paruh baya membawa anak kelimanya yang masih batita. Rubella. Itu diagnosisnya ketika saya melihat ruam-ruam merah di kulitnya. Saya jelaskan bahwa penyak...it ini tidak membahayakan si anak.
"Imunisasinya lengkap?" tanya saya. Pertanyaan ini mulai otomatis terlontar ketika berhadapan dengan ibu-ibu berhijab dan bergamis lebar (mohon maaf, tidak bermaksud menggeneralisir).
Si ibu mulai tersenyum salah tingkah, sambil melirik suaminya. "Anak ini tidak diimunisasi sejak lahir." Jawaban yang paling tidak saya harapkan hari itu.
Jadi dari kelima anaknya, empat orang yang teratas sudah menjalani imunisasi rutin. Tapi si batita yang berjarak jauh usianya dari kakak-kakaknya ini justru tidak diimunisasi.
"Ada yang sedang hamil muda di rumah?" tanya saya lagi. Pertanyaan standar tiap kali menghadapi pasien rubella.
"Kebetulan kakaknya yang paling besar sedang hamil beberapa minggu. Dan dia sering membantu mengasuh adiknya ini."
Jawaban kedua yang paling tidak ingin saya dengar hari itu. Saya langsung menyerocos menjelaskan risiko sindrom rubella kongenital yang menyebabkan cacat seumur hidup pada janin yang terinfeksi rubella saat ibunya hamil di tiga bulan pertama.
Respon pasangan suami-istri ini cukup cepat untuk memutuskan mereka akan segera mengejar ketinggalan imunisasi si bontot beberapa saat nanti. Respon akhir yang membuat saya senang. Setidaknya menetralisir dua "kabar buruk" sebelumnya.
Inilah fakta yang cukup banyak. Awalnya orangtua cukup rajin melengkapi imunisasi anak-anaknya. Tapi ketika anak mereka lahir dalam 2 tahun terakhir, kampanye hitam antivaksin masuk ke dalam telinga mereka dan membuatnya tidak masalah untuk tidak memberikan imunisasi bagi sang bayi.
Semoga tidak ada lagi kasus-kasus serupa. Kasus yang berisiko melahirkan bayi-bayi dengan cacat seumur hidup, semata-mata akibat fitnah terhadap imunisasi.

Kehilangan satu nyawa sudah terlalu banyak untuk kami

Buat kami para dokter, kehilangan satu saja nyawa pasien yang diamanahkan kepada kami untuk merawatnya, adalah kehilangan yang besar.
Satu nyawa sudah terlalu banyak untuk kami.
Itu sebabnya kami demikian gigih mengampanyekan upaya pencegahan penyakit bagi masyarakat. Imunisasi adalah salah satunya. Karena kami paham benar bahwa imunisasi sudah mencegah kehilangan banyak nyawa.
...
Kami melihat sendiri betapa menderitanya mereka yang kejang-kejang menahan sakit di sekujur tubuhnya karena tetanus. Padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin. Kami membayangkan penderitaan mereka yang mengalami tetanus berat sampai membutuhkan alat bantu napas (ventilator) atay tak sadarkan diri, ketika kami merawat mereka.
Kami mengetahui penderitaan anak-anak yang mengalami difteri hingga harus dilubangi saluran napas atasnya (lewat bagian bawah leher, yaitu trakeostomi), padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin. Bayangkan juga kesusahan keluarga yang harus menemani anaknya dirawat selama berminggu-minggu, sehingga sang ayah tidak dapat bekerja mencari nafkah. Padahal vaksin DPT diberikan secara gratis di Puskesmas.
Kami juga menyaksikan sendiri anak-anak yang mengalami komplikasi berat akibat campak, berupa pneumonia yang sampai membutuhkan pemasangan ventilator, diare berat yang membuat si anak kehilangan cairan dan elektrolit sampai membutuhkan perawatan ruang intensif, dan kejang yang lama baru berhasil ditangani. Banyak orang berpikir campak adalah penyakit biasa. Padahal ruam-ruam kulit yang bisa dicegah dengan vaksin ini sangat berbahaya.
Kami juga merasakan kepedihan orang-orang dewasa penderita kanker hati dan sirosis akibat hepatitis B. Makanya kami berjuang memberikan vaksin ini sejak bayi baru lahir.
Kami juga melihat beban hidup yang ditanggung penderita polio seumur hidupnya. Kami lalu menjadi tahu anak-anak sekolah harus tertinggal pelajarannya di sekolah akibat hepatitis A. Dan masih banyak derita lain akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi.
Kami para petugas kesehatan mengetahui dan merasakannya. Mungkin sebagian dari Anda tidak mengetahuinya. Mari, saya beritahu kalau begitu. Jangan sampai ketidaktahuan sebagian kecil orang menjadi penghalang kesejahteraan hidup banyak orang.
Kehilangan satu nyawa saja sudah terlalu banyak untuk kami.

Tanya-jawab kontroversi vaksin MMR dan autisme

-- Apakah vaksin menyebabkan autisme? Singkatnya: tidak. Karena sudah banyak sekali penelitian yang membuktikannya. Misalnya saja penelitian-penelitian yang dilakukan oleh CDC untuk membuktikan tidak adanya hubungan antara MMR dengan autisme.
1. Penelitian berjudul “A Population-Based Study of Measles, Mumps, and Rubella Vaccination and Autism” oleh Kohort dipublikasikan oleh Jurnal New England Journal of Medicine (Nov 2002; 347:1477-82). Penelitian yang dilakukan di Danish Study, Denmark ini memantau lebih dari 500 ribu anak selama 7 tahun lebih dan tidak menemukan hubungan antara Vaksin MMR dan autisme.
2. Penelitian berjudul “Age at First Measles-Mumps-Rubella Vaccination in Children With Autism and School-Matched Control Subjects: A Population-Based Study in Metropolitan Atlanta” ini dipublikasikan oleh Jurnal Pediatrics (Feb 2004; 113(2):259-66) sebagai studi kasus-kontrol. Dalam penelitian ini, data diambil melalui Metropolitan Atlanta Developmental Disablities Surveillance Program (MADDSP). Penelitian yang dilakukan tahun 1996 ini membandingkan kelompok anak usia 3—10 tahun yang didiagnosis autisme dan mendapatkan imunisasi MMR (berdasarkan kriteria DSM-IV) dengan kelompok kontrol—yaitu kelompok anak yang tidak diimunisasi. Hasilnya, tidak ditemukan adanya perbedaan antara kelompok yang diimunisasi dengan yang tidak diimunisasi.
3. Penelitian berjudul “Lack of Association between Measles Virus Vaccine and Autism with Enteropathy: A Case-Control Study” ini dipublikasikan oleh Jurnal PLoS ONE (Sept 2008; 3(9): e3140. doi:10.1371/journal.pone.0003140 sebagai studi kasus-kontrol. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Columbia University Mailman School of Public Health, Massachusetts General Hospital, Trinity College Dublin, dan CDC. Penelitian dilakukan terhadap sampel jaringan usus besar untuk mencari RNA Virus Campak. Dari 25 anak dengan autisme dan 13 anak non-autisme—sebagai kelompok kontrol, hanya ditemukan satu orang anak dari tiap kelompok dengan RNA Virus Campak. Kesimpulannya, tidak ada hubungan antara Vaksin Campak dengan autisme.
4. Penelitian berjudul “Is There a ‘Regressive Phenotype’ of Autism Spectrum Disorder Associated with the Measles-Mumps-Rubella Vaccine? A CPEA Study” ini dipublikasikan oleh Journal of Autism and Developmental Disorders (April 2006; 36(3):299-316) sebagai studi kasus-kontrol. Penelitian ini merupakan studi kolaborasi antara The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dan CDC yang dilaksanakan oleh Collaborative Programs of Excellence in Autism. Dari penelitian terhadap 351 anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan 31 anak sehat ini, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara regresi (kemunduran perkembangan anak) pada ASD dengan imunisasi MMR.
-- Apakah timerosal itu? Mengapa ia dikaitkan dengan autisme?
Timerosal atau thiomersal adalah pengawet di dalam vaksin yang bermanfaat untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur, khususnya pada vaksin multidosis—yaitu satu vial/botol vaksin sediaannya digunakan untuk menyuntik beberapa orang, dengan jarum berbeda-beda dan sekali pakai. Bahan pengawet ini mengandung merkuri (air raksa). Padahal, seperti yang telah kita ketahui, merkuri dalam jumlah besar bersifat toksik dan dapat meracuni otak. Penggunaan timerosal dalam vaksin sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu.
Di era 1900—1930, perusahaan pembuat vaksin memproduksi vaksin dalam bentuk vial multidosis. Dengan cara ini, vaksin dapat diproduksi dengan harga yang lebih murah. Dokter menggunakan vaksin dengan cara menyuntikkan jarum menembus karet pelindung vial, dan diulang sesuai jumlah orang yang akan disuntik. Saat itu, pengawet belum digunakan dalam vaksin sehingga bakteri dan jamur tanpa disadari dapat mengontaminasi vial vaksin.
Akibatnya, banyak anak mengalami abses (infeksi kulit berisi nanah) lokal hingga infeksi berat, seperti sepsis (infeksi bakteri yang mengalir di dalam darah) yang berujung pada kematian. Penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri stafilokokus dan streptokokus yang mengontaminasi vaksin. Barulah di akhir tahun 1940-an, pengawet—seperti timerosal mulai digunakan pada mayoritas vial vaksin multidosis untuk mencegah terjadinya infeksi berat.
Selama puluhan tahun, timerosal digunakan sebagai pengawet pada vaksin, tanpa menimbulkan masalah. Pada tahun 2001, AAP dan USPHS memutuskan untuk menghilangkan timerosal dari semua vaksin dengan alasan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Keputusan tersebut mengundang reaksi dari sebagian orang tua yang, kemudian, mulai menghubungkannya dengan autisme.
Sebelum mengulas lebih lanjut tentang kandungan merkuri dalam vaksin, sebaiknya, kita mengetahui serba-serbi merkuri terlebih dahulu. Merkuri adalah bagian dari permukaan bumi yang dilepaskan ke lingkungan oleh pembakaran batubara, erosi batu, dan letusan gunung berapi. Kemudian, merkuri yang dilepaskan akan tersebar ke permukaan danau, sungai, dan laut, yang akan diubah menjadi metilmerkuri oleh bakteri.
Metilmerkuri ada di mana-mana: di dalam ikan yang kita makan, air yang kita minum, bahkan ASI dan susu formula yang diminum oleh bayi. Dengan demikian, tubuh manusia tentu mengandung sejumlah kecil metilmerkuri yang diperoleh—misalnya saja dari air yang diminum setiap hari. Kandungan metilmerkuri tersebut bisa ditemukan di dalam darah, air seni, dan rambut. Seorang bayi yang mendapatkan ASI eksklusif menelan 400 mikrogram metilmerkuri selama enam bulan pertama kehidupannya. Ternyata, jumlah ini lebih besar dua kali lipat dibandingkan kandungan merkuri di dalam seluruh jenis vaksin. Apakah ini berarti ASI berbahaya? Tentu saja tidak. Fakta ini menunjukkan bahwa seluruh manusia yang hidup di planet bumi mengonsumsi merkuri dalam jumlah yang sangat sedikit setiap saat dan tidak membahayakan tubuhnya.
Fakta ini pun membantah berbagai pernyataan tentang bahaya vaksin yang mengandung merkuri. Salah satunya adalah pernyataan yang menyebutkan penggunaan merkuri pada vaksin bayi (baru lahir) dalam program vaksinasi 6 bulan pertama kehidupannya, melebihi batas yang ditentukan oleh EPA (Environmental Protection Agency) atau Agen Perlindungan Lingkungan. Pernyataan lainnya, seperti merkuri dapat menjadi racun jika dihirup, dimakan, bahkan jika dioleskan pada kulit. Padahal, bagaimana mungkin manusia di bumi dapat terhindar dari menghirup merkuri, sedangkan bahan ini berada di dalam aliran udara?
Jenis merkuri yang digunakan dalam vaksin pun berbeda, yaitu etilmerkuri, bukan metilmerkuri seperti yang terkandung dalam ASI. Etilmerkuri bersifat lebih cepat dibuang (diekskresikan) keluar dari tubuh dibandingkan metilmerkuri. Para peneliti pun mencoba untuk membuktikan adanya hubungan antara timerosal dengan autisme, seperti beberapa penelitian berikut ini.
1. Penelitian berjudul “Prenatal and Infant Exposure to Thimerosal From Vaccines and Immunoglobulins and Risk of Autism” ini dipublikasikan oleh Jurnal Pediatrics (Oct 2010; 126(4):656-664) dan merupakan studi kasus-kontrol dari VSD. Penelitian ini melibatkan 256 anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan 752 kontrol. Hasilnya disimpulkan bahwa peningkatan paparan etilmerkuri dari timerosal dalam vaksin tidak meningkatkan risiko terjadinya ASD.
2. Penelitian berjudul “Autism and Thimerosal-Containing Vaccines: Lack of Consistent Evidence for an Association” oleh Kohort ini dipublikasikan dalam American Journal of Preventive Medicine, (Aug 2003: 25(2):101-6). Penelitian ini menggunakan data dari Denmark dan Swedia yang telah menghentikan penggunaan timerosal dalam vaksin pada tahun 1992, tepatnya sebelum isu merebak. Ternyata, kasus autisme meningkat dari tahun 1987—1999. Hal tersebut menunjukkan penghilangan timerosal tidak mengurangi kasus autisme.
3. Penelitian berjudul “Safety of Thimerosal-Containing Vaccines: A Two-Phased Study of Computerized Health Maintenance Organization Databases” oleh Kohort ini dipublikasikan dalam Jurnal Pediatrics, (Nov2003;112(5): 1039-48). Data VSD digunakan dalam penelitian ini untuk menilai adanya hubungan antara paparan timerosal dengan berbagai kelainan pada ginjal, saraf, dan perkembangan otak. Penelitian tahap pertama menemukan hubungan yang lemah terhadap kedua faktor ini, sedangkan penelitian tahap kedua tidak menemukan adanya hubungan di antara kedua faktor tersebut.
4. Penelitian berjudul “Neuropsychological Performance 10 Years After Immunization in Infancy With Thimerosal-Containing Vaccines” ini dipublikasikan dalam Jurnal Pediatrics, (Feb 2009; 123(2):475-482) dan merupakan sebuah uji klinik yang dilakukan di Italia. Penelitian ini membandingkan luaran (outcome) kelainan neuropsikologi antara kelompok yang mendapatkan Vaksin DPaT yang mengandung timerosal dengan kelompok yang mendapatkan Vaksin DPaT yang mengandung 2-fenoksietanol. Hasilnya adalah kelompok pertama mempunyai kandungan etilmerkuri lebih tinggi (137,5 mikrogram) dibandingkan dengan kelompok kedua (62,5 mikrogram). Uji neuropsikologis yang dilakukan dalam selang waktu 10 tahun setelah imunisasi tidak menunjukkan adanya kelainan perkembangan otak atau saraf.
Semua penelitian ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa tidak ada hubungan antara timerosal dengan autisme. Penelitian lain yang berjudul “Increasing exposure to antibody-stimulating proteins and polysaccharides in vaccines is not associated with risk of autism” juga pernah dilakukan untuk melihat ada/tidaknya hubungan antara jumlah antigen dalam vaksin yang didapatkan anak selama dua tahun pertama usianya dengan risiko autisme. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama: tidak ada hubungan antara keduanya.
Saat ini, tidak semua vaksin menggunakan timerosal, hanya beberapa vaksin vial multidosis saja yang menggunakannya. Kendati demikian, keberadaan vaksin dengan timerosal, hendaknya tidak perlu menjadi suatu kekhawatiran. Prinsipnya adalah semua manusia di planet ini memiliki kandungan berbagai logam berat di dalam tubuhnya, seperti arsen, kadmium, talium, berilium, dan timbal, tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan logam berat dalam jumlah besar, tentunya, dapat membahayakan tubuh, tetapi kandungan dengan jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh manusia tidak akan menimbulkan masalah kesehatan.
-- Terakhir, saya mau mengomentari kalimat "jangan sampai kita kehilangan satu generasi penerus bangsa" (dengan memberikan vaksin yang mengandung timerosal). Komentar saya adalah: "jangan sampai kita kehilangan banyak generasi penerus bangsa, karena tidak mengimunisasi anak-anak kita!"
Jangan sampai kita kehilangan generasi penerus karena mencerna begitu saja informasi yang tidak benar, lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bayangkan risiko hepatitis B yang berujung pada kanker hati dan/atau sirosis hati, karena tidak memberikan imunisasi hepatitis B.
Ayo belajar terus! Galilah informasi dari sumber yang kredibel dan terpercaya.
(Diambil dengan perubahan seperlunya, dari buku Pro Kontra Imunisasi tulisan dr. Arifianto, Sp.A)

Demam lebih dari 3 hari harus diperiksakan ke laboratorium?

Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. Demam yang didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih dari 38 derajat selsius, adalah salah satu penyebab tersering orangtua membawa anaknya ke dokter. Makanya dalam beberapa tulisan terdahulu, saya menyebutkan istilah "fever phobia".
Nah, lalu bagaimana dengan demam yang cenderung suhunya berkisar di atas 39 derajat selsius dan tidak disertai gejala penyerta lain? Tidak ada batuk, pilek, atau diare. Ya, kalau sejak awal demam disertai batuk dan pilek, kita sudah dapat memperkirakan penyakitnya adalah selesma (common cold) dan seharusnya tidak ada kekhawatiran lebih lanjut (ingat, selama tidak disertai tanda kegawatan ya!). Lalu bagaimana dengan demam yang tidak jelas diagnosisnya ini? Perlukah dibawa segera ke dokter? Kapan? Apakah patokannya " tepat 3 hari" alias 72 jam? Dan haruskah segera diperiksakan laboratorium?
Demam dengan suhu > 39 derajat selsius tanpa gejala penyerta yang jelas, berlangsung kurang dari 7 hari, dan terjadi pada anak berusia 3 - 36 bulan disebut juga dengan fever without source (FWS). Ada juga yang menyebutnya fever without focus atau fever with uncertain source. Umumnya bisa dibagi 2, yaitu anak tampak sakit (cenderung lemah/lesu sepanjang waktu) dan masih relatif aktif (ketika demam anak tampak lemas/rewel, tetapi ketika suhu turun anak kembali aktif bermain/beraktifitas). Kondisi pertama tentunya mengharuskan segera ke dokter. Tidak perlu memikirkan dulu perlu/tidaknya pemeriksaan laboratorium, tetapi segera bawa ke dokter untuk memastikan kemungkinan diagnosisnya). Kondisi kedua membuat orangtua seharusnya lebih tenang dalam mengobservasi kondisi anaknya dalam 3 hari, atau bahkan lebih. Hal terpenting yang harus diperhatikan orangtua adalah: pastikan anak tidak dehidrasi atau kekurangan cairan. Ya, peningkatan suhu tubuh meningkatkan risiko penguapan dan terbuangnya cairan tubuh. Makanya semua anak yang demam harus banyak minum. Pastikan anak tidak dehidrasi.
Bukankah makin tinggi suhu meningkatkan risiko kejang demam? Sudah berkali-kali dibahas, jawabannya adalah: tidak. Dehidrasi justru lebih dikhawatirkan dibandingkan kejang pada anak yang demam.
Lalu makin tinggi suhu bukankah menggambarkan makin beratnya penyakit? Lagi-lagi ini sudah pernah dibahas: jawabannya adalah tidak. Bisa saja demamnya tidak terlalu tinggi tetapi anaknya sakit pneumonia atau meningitis yang mengancam jiwa. Sebaliknya, sangat mungkin demamnya tinggi, tapi sakitnya hanya selesma saja.
Apa yang dikhawatirkan dari kondisi pertama (anak yang cenderung lemah sepanjang hari)?
Bagaimanapun juga, penyebab tersering demam pada anak adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya. Tentunya antibiotik sama sekali tidak diperlukan pada Infeksi virus. Pada kondisi pertama, beberapa diagnosis penyakit yang paling dikhawatirkan adalah meningitis (radang selaput otak) dan pneumonia (radang akibat infeksi di jaringan paru). Makanya orangtua harus paham benar apa saja kondisi gawat darurat pada anak. Pada meningitis, terdapat tanda-tanda kekakuan tubuh (iritasi selaput otak), penurunan kesadaran, sampai kejang dan kematian. Sedangkan pada pneumonia, anak terlihat sesak napas, bisa dinilai dari gerakan dinding dada dan napas cuping hidungnya. Segera bawa anak ke dokter.
Kondisi kedua adalah keadaan yang paling sering terjadi, yaitu sakitnya sebenarnya "ringan saja" dan tidak potensial mengancam nyawa. Perlukah anak dibawa ke dokter pada FWS? Ya, untuk memastikan apakah diagnosisnya saat itu.
Kalaupun dokter belum bisa memastikan diagnosis pastinya, maka sebut saja FWS.
Apakah pemeriksaan laboratorium perlu dikerjakan pada FWS yang sudah lebih dari 3 hari? Sebenarnya dokter lah yang menentukan perlu tidaknya. Satu hal yang ingin saya tegaskan di sini adalah: jangan melulu pemeriksaan darah yang harus dikerjakan. Pemeriksaan air seni alias urinalisis adalah pemeriksaan wajib pada anak FWS. Mengapa? Banyak FWS yang ternyata diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih alias ISK. Padahal gejalanya hanya demam saja, dan ditemukan banyak kuman (bakteri) di pemeriksaan urinalisis. Diagnosis ISK jelas adalah infeksi bakteri yang obatnya adalah antibiotik (diberikan setelah sampel untuk kultur urin diperiksa).
Di sini lagi-lagi saya tegaskan bahwa pemeriksaan urin sangatlah penting dan seharusnya rutin dikerjakan. Pemeriksaan ini sama sekali tidak menyakitkan. Bandingkan saja dengan anak yang ditusuk jarum untuk pemeriksaan laboratorium darah.
Apa saja kira-kira penyakit yang sering terjadi pada FWS?
Penyebabnya sangat bervariasi. Yang cukup serjng terjadk dalam pengalaman sehari-hari adalah:
- Common cold. Ya, batuk-pilek bisa saja demamnya setelah masuk hari keempat atau lebih baru muncul batuk-pilek. Ini adalah infeksi virus yang tidak perlu dikhawatirkan. Kecuali di luar dugaan mencetuskan serangan yang menyebabkan sesak napas.
- Roseola alias "tampak" (bukan campak lho yaa...). Ini pun jelas infeksi virus, tetapi anak yang orangtuanya tidak sabaran tidak jarang yang langsung berinisiatif memeriksakan laboratorium darahnya. Ruam-ruam di tubuh baru muncul setelah melewati hari ke-3, bahkan ke-5 demam. Anak tampak jauh lebih aktif sesuah ruam memenuhi seluruh tubuh.
- Demam Dengue atau DBD. Ini yang hampir selalu terlintas di benak orangtua untuk selanjutnya segera memeriksakan sendiri laboratorium darah anaknya. Pelajari ciri-ciri DD dan DBD.
- Infeksi saluran kemih. Ingat, gejala ISK pada anak tidak sama dengan orang dewasa. Bisa saja anak demam tanpa gejala lain, ternyata sakitnya adalah ISK. Maka jangan lupa mintakan pemeriksaan urin rutin, bahkan kultur urin jika perlu, untuk pasien-pasien semacam ini.
Demam tifoid tidak dipikirkan dalam FWS, karena demamnya berlangsung selama minimal 7 hari.
Segini dulu.

Perlukah pemberian obat cacing sebagai pencegahan cacingan pada anak?

Ya, mungkin kita teringat saat masih SD dulu, ada slogan yang menyebutkan "minumlah obat cacing tiap 6 bulan untuk mencegah cacingan". Lalu saya juga teringat suatu saat ketika guru menyuruh kami mengumpulkan contoh tinja yang diambil di rumah, untuk dibawa ke sekolah, sebagai bentuk pendataan angka kecacingan (infeksi cacing pada anak) saat itu.
Masih berlakukah slogan itu untuk anak-anak kita saat ini? Pe...rlukah kita rutin memberikan obat cacing bagi anak-anak kita yang masih belum mengenal pentingnya kebersihan? Anak-anak yang cenderung memasukkan tangannya ke dalam mulut saat bermain, tanpa mencuci tangan terlebih dulu?
Saya lalu melakukan penelusuran ke beberapa sumber. Kesimpulannya:
- Saat ini masih ada daerah-daerah di Indonesia yang dianggap endemis kecacingan (angka penderita cacingan nya tinggi), dan ada yang sudah tidak endemis lagi. Silakan tanyakan ke Puskesmas setempat, masuk ke dalam kategori apa daerah Anda. Jakarta sendiri, tempat saya tinggal, tidak lagi masuk ke dalam daerah endemis).
- Perlakuan antara daerah endemis dan non endemis memang berbeda. Pada daerah non endemis, obat cacing hanya diberikan kepada mereka yang terbukti cacingan dari pemeriksaan tinja. Sedangkan di daerah endemis, masih ada pembagian obat cacing sebagai pencegahan.
- Banyak hasil penelitian yang berasal dari Indonesia pun tidak menyebutkan pemberian obat cacing sebagai upaya mencegah cacingan pada anak. Yang ada adalah: edukasi kesehatan bagi anak-anak SD agar senantiasa menjaga kebersihan tangan dan jajanannya, buang air pada tempatnya, dan menggunakan alas kaki. Hal ini menunjukkan upaya pencegahan sebagai pilar utama mengatasi infeksi kecacingan.
- Referensi yang berasal dari UNICEF dan WHO pun (yang banyak meneliti negara-negara berkembang lainnya) menyebutkan hal serupa. Upaya edukasi kesehatan masyarakat dan pola hidup sehat adalah hal terpenting pencegahan cacingan.
- Obat cacing seperti pirantel pamoat (yang banyak diiklankan sebagai pencegahan) dan albendazol/mebendazol pada dasarnya adalah untuk mengobati mereka yang sudah terbukti sakit cacingan, yaitu ditemukan adanya cacing atau telur cacing di tinjanya.
Pada kondisi tertentu, misalnya di suatu daerah dengan angka kecacingan sangat tinggi (jumlah anak yang positif terdiagnosis cacingan diperkirakan melebihi anak-anak yang sehat), yaitu di daerah endemis, maka pemberian obat cacingan sebagai pencegahan dapat diberikan di daerah tersebut
- Cacing yang dimaksud adalah: cacing gelang, cacing tambang, cacing kremi, cacing pita, dan cacing cambuk
- Untuk penyakit kaki gajah (filariasis), pemberian obat sebagai pencegahan masih diberikan di banyak daerah sesuai angka kasus (prevalens)
Terima kasih banyak kepada dr. Aprilianto Eddy Wiria, Ph.D atas masukan dan koreksinya.

Inilah 3 kesalahan yang bisa terjadi ketika membaca petunjuk penggunaan parasetamol bagi anak!

Hampir semua orangtua tahu apa yang namanya obat penurun panas alias antipiretik bagi anaknya. Salah satunya adalah parasetamol atau asetaminofen. Bisa dikatakan, antipiretik adalah adalah satu "obat wajib" yang harus tersedia di rak obat di rumah. Orang dewasa pun menggunakannya. Siapa yang anaknya tidak pernah mengalami demam? Parasetamol dalam sediaan cair pun menjadi bekal tiap orangtua di rumah.
Tapi apakah semua orangtua tahu cara pakainya? Cukup dengan membaca saja petunjuk penggunaan di kemasan karton atau botol kaca/plastik yang ada? Warung serba ada di pinggir jalan pun menjual bebas obat ini, tanpa membutuhkan resep dokter.
Coba simak botol atau karton kemasan parasetamol di rak obat Anda. Benarkah aturan pakai parasetamol seperti di bawah ini?
Di bawah 2 tahun: gunakan parasetamol drops
2-6 tahun: gunakan parasetamol syrup
Di atas 6 tahun: gunakan parasetamol forte
Ada tiga (3) hal yang harus dipahami semua orangtua sebelum menggunakan parasetamol.
1. Kemasan obat mencantumkan sediaan parasetamol cair dalam bentuk mililiter (mL), bukan miligram (mg)! Padahal dosis obat ditentukan berdasarkan miligram per kilogram berat badan anak, bukan mililiter per kilogram BB.
Berapa dosis parasetamol? Ya, 10 - 15 mg/kg BB. Kita akan bahas cara pakainya kemudian.
2. Kemasan obat memberikan aturan pakai berdasarkan usia, bukan berat badan (BB)! Apabila Anda punya beberapa merek dagang parasetamol, baca baik-baik semua cara pakainya. Adakah yang memberikan informasi berdasarkan BB? Hmm, sepanjang pengamatan saya: tidak ada. Yang ada adalah: (contoh) usia < 1 tahun sekian mL, lalu 1 - 3 tahun sekian mL, dan > 3 tahun sekian mL.
Mungkinkan seorang anak yang berusia 1 tahun ada yang BB-nya 6 kg dan ada yang 10 kg, bahkan 15 kg? Apakah bisa disamakan dosisnya dalam mL?
3. Petunjuk yang saya jelaskan di atas "mematok"" sediaan drops adalah untuk usia sekian, sirup sekian, dan forte sekian. Bolehkah kita sebagai orang dewasa minum parasetamol sirup, bahkan drops? Atau bayi berusia 4 bulan minum parasetamol sirup?
Saya kenal orang dewasa yang sulit sekali menelan obat. Jadi jika diberikan pilihan parasetamol sirup dan parasetamol tablet untuk dikonsumsi saat ia demam, saya yakin ia akan memilih parasetamol sirup smile emoticon
Lalu apa yang membedakan sediaan drops, sirup, dan forte? Ini yang selalu kami bahas saat kerja kelompok dalam PESAT, seperti hari Ahad kemarin.
- Drops lebih pekat, makanya dalam jumlah mL yang kecil sudah mengandung mg yang cukup banyak. Hampir semua sediaan parasetamol drops seragam konsentrasinya, yaitu 80 mg/0,8 mL atau mudahnya 100 mg/1 ml.
- Sirup lebih encer, umumnya terdiri dari dua macam konsentrasi, yaitu 120 mg/5 mL dan 160 mg/5 mL, tergantung merek dagangnya
- Forte lebih pekat dibandingkan sirup, yaitu 250 mg/5 mL. Sebenarnya sediaannya sirup juga, hanya saja untuk anak yang lebih berat badannya.
Bagaimana penerapannya dalam kasus sehari-hari? Saya juga sudah bahas di buku "Orangtua Cermat Anak Sehat". Misalnya seorang anak berusia
tahun dengan BB 12 kg.
Pertama, tentukan dulu berapa dosis yang dibutuhkan anak ini. Yaitu 120 - 180 mg, sesuai rumus yang sudah dituliskan di atas.
Kedua, konversikan ke dalam mL. Nah, ini tergantung dengan sediaan parasetamol yang kita miliki di rumah. Jika menggunakan drops, maka Anda butuh 1,2 mL - 1,8 mL parasetamol. Dengan sirup 120 mg/5 mL. maka berikan 5 mL - 7,5 mL parasetamol, dan dengan sirup 160 mg/5 mL, maka 5 mL juga boleh (bukankah 160 mg berada dalam kisaran 120 - 180 mg?).
Sudah paham?
Nah, jika yang dimiliki parasetamol forte, boleh digunakan? Silakan saja, 125 mg setara dengan 2,5 mL parasetamol forte kan? Angka ini pun berada dalam kisaran dosis 120 - 180 mg. Maka silakan gunakan.
Apa kesimpulannya? Ya, asalkan Anda paham cara menghitung dosis dan berapa mL yang dibutuhkan, maka apapun sediaannya, silakan gunakan. Maka anak berusia 3 tahun masih boleh menggunakan parasetamol drops, bahkan forte.
Cobalah berlatih dengan anak Anda sesuai berat badannya.
Segini dulu ya. Mungkin kapan-kapan bisa kita bahas: mengapa harganya bisa berbeda-beda, mulai dari 3000 perak sampai 40 ribu rupiah? Padahal sama saja isinya: parasetamol grin emoticon
Selamat istirahat...
(gambar-gambar foto milik panitia Pesat Jakarta yang saya ambil dari Twitter @dokterapin)




Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...