Posts

Showing posts from 2008

Doctor to The Poor (Part one)

Apa yang Dokter Bisa Lakukan dalam Menangani Masalah Kemiskinan: Sebuah Pengalaman Pribadi (bagian 1) Bagi Anda yang membaca posting saya sebelumnya, pasti bisa menebak bahwa tulisan ini terinspirasi dari buku " Banker to The Poor "-nya Prof. Muhammad Yunus. Anda tidak salah. Buku ini sangat inspiratif bagi saya. Untuk itu, saya ingin berbagi pengalaman saya yang baru menjalani profesi dokter selama empat tahun ini, yang sekiranya relevan dengan ide-ide Muhammad Yunus. Saya sangat bersyukur dengan pengalaman profesi saya yang sebenarnya masih sangat sedikit ini. Lulus dari fakultas kedokteran empat tahun silam, saya belum memiliki rencana spesifik, akan menjadi dokter seperti apa saya . Beberapa jenis pekerjaan telah saya coba: menerima tawaran untuk melamar sebagai dokter di sebuah perusahaan asuransi, menjadi dokter jaga di klinik 24 jam, namun hanya bertahan tidak lebih dari 48 jam, dan selebihnya ditawari kakak-kakak kelas. Pekerjaan yang cukup lama bertahan adalah menjad

Bank Kaum Miskin

Image
Pertama kali saya mendengar nama Muhammad Yunus sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2006 adalah ketika mengikuti pelatihan ESQ Eksekutif, atas dorongan dan motivasi dari istri saya tercinta, di akhir tahun 2006. Dorongan untuk segera membaca buku tentangnya langsung muncul begitu melihatnya di salah satu tumpukan di toko buku, tak lama setelah berbincang-bincang dengan seorang senior yang menyebut-nyebut namanya lagi. Saya belum selesai membacanya. Sangat inspiratif. Sang profesor ahli ekonomi ini menceritakan kisah bagaimana ia memulai Grameen Bank , yang kini telah mengangkat jutaan manusia dari lembah kemiskinan, dengan pinjaman usaha yang diberikannya. Sudah banyak resensi mengenai buku ini di berbagai media . Silakan membacanya sendiri. Saya kutipkan sebagian isi halamannya. "Sufiya Begum mendapat 2 sen sehari. Kenyataan ini mengejutkan saya. Di ruang kuliah saya berteori mengenai jumlah miliaran dolar, tapi di sini, di hadapan mata saya, masalah hidup-mati ditentukan oleh

Ditonjok Pasien

Image
“Ini salah dokter. Dokter mencabut alat tanpa seijin saya!” Duk! Bogem mentah mendarat tepat di ubun-ubun pria di sebelahku. Ia terhuyung sedikit ke belakang. Refleks, aku mendorong laki-laki peninju menjauhi pria tadi. Kupegangi erat-erat kedua lengannya agar ia tidak merangsek ke depan. Pria yang terkena bogem di belakangku mulai bergerak ke penyerangnya. Gawat. “Sabar, Pak, sabar. Tenang!” kataku. Gerakan keduanya terhenti. Aku khawatir sekali. Laki-laki yang kuhadang ini adalah ayah pasien yang baru saja meninju dokter yang ikut merawat anaknya. Anaknya baru saja kami nyatakan meninggal, setelah resusitasi yang cukup melelahkan selama lebih dari 30 menit. Melakukan kompresi jantung di tengah siang bulan puasa, ventilasi tekanan positif yang membuat kram tangan, dan percobaan intubasi yang gagal melulu. Kondisi anaknya memang kurang bagus. Kesadarannya tidak pernah pulih, pasca pemasangan ventilator berhari-hari, ditambah “bonus” sepsis. Si bocah mengalami gagal napas si

such a short age (2)

Ibu mana yang tak sedih kehilangan anak satu-satunya? Putra semata wayangnya baru saja meninggal dunia karena HIV. Ya, HIV/AIDS. Kerusakan jaringan paru yang luas akibat pneumonia yang diduga akibat infeksi Pneumocytis carinii atau tuberkulosis membuat si bocah berumur dua tahun ini mengalami gagal napas. Ruang ICU penuh. Ia hanyalah satu dari sekian ribu warga Jakarta yang menggunakan fasilitas GAKIN. Mau pindah ke ICU RS mana lagi? Setelah tiga jam berjuang menghadapi sakaratul maut di ruang bangsal dengan fasilitas seadanya, seluruh otot pernapasannya kelelahan. Berhenti napas. Anak kecil dengan hasil pemeriksaan penyaring ELISA yang hasilnya reaktif itu meninggal tadi. Sang Ibu sendiri baru tahu anaknya HIV positif setelah membuka amplop hasil pemeriksaan. Ia sama sekali tidak tahu, penyebab demam dan diare kronik pada putranya adalah infeksi virus nista itu. Artinya dia sendiri juga seharusnya HIV positif. Dari mana si balita mendapatkan HIV kalau bukan dari ibunya? Berarti

such a short age (1)

Setelah menjalani hampir 6 bulan mendalami dasar-dasar metodologi penelitian, komputer statistik, dan semacamnya—yang sepertinya sudah 80% hilang dari kepala, tiga bulan pertama rotasi modul saya adalah di bangsal non infeksi. Hampir 90% kasusnya adalah keganasan pada anak. Angka kematian cukup tinggi, melihat prognosis kanker secara umum yang tidak begitu baik, meski dengan pengobatan kemoterapi dini. Kematian menjadi suatu hal yang biasa bagi kami di sini. Saya ingat pertama kali memberi kabar kepada pasangan suami-istri yang baru memiliki satu anak, bahwa anak mereka satu-satunya memiliki leukemia mieloblastik akut. Tentu saja mereka langsung menangis. Diagnosis ditegakkan setelah saya melakukan aspirasi sumsum tulang saya yang pertama. Tindakan ini cukup menyakitkan untuk di anak. Saya harus menembus tulang rawannya di tonjolan krista iliaka posterior superior menggunakan besi berujung tajam seukuran pena besar. Singkat cerita si anak menjalani seri kemoterapi untuk AML M1-nya. Bel

Resident Story--The Beginning

I am a resident in pediatrics--eight months down, three more years to go. I'm not allowed to make excuses. If my senior resident needs something done, I can't say, "But I haven't had my lunch," or, "I'm still working on another patient." With 180-hour workweeks and many nights without sleep during the night shift, I'm also trying to learn to be a pediatrician. And my weight has already decreased 4 kilos within two months. --have to give thesis presentation next week, many stories to tell, and urge to read Atul Gawande's "Better". Has anyone?--

Mengapa Tidak Mau Memberikan Imunisasi?

Seorang sejawat mengirimkan e-mail di bawah ini: “kalau bisa Anda buat tulisan tentang pentingnya imunisasi/vaksinasi karena sekarang mulai banyak keluarga muslim yang tidak mau anaknya divaksinasi dan lebih memilih "bahan-bahan" alternatif sperti beberapa merek yang sudah banyak bereder melalui sistem MLM di kalangan tertentu, walaupun saya tahu persis produk-produk tersebut belum ada penelitian Randomized Controlled Trials-nya. Ini potensi destruktifnya kan besar sekali untuk potensi generasi di masa yang akan datang.. Mereka bahkan sdh ada yg meminta utk diadakan semacam penyuluhan untuk menginformasikan tentang bahaya/tidak perlunya vaksinansi, di antara argumennya ialah bahwa vaksin itu buatan Yahudi/strategi Amerika utk meracuni anak-anak muslim...” Baiklah kawan, saya coba memberikan pendapat saya. Sebuah buku yang (ternyata) ditulis oleh seorang dokter (si penulis tidak menyebutkan dengan tegas bahwa ia dokter, setelah menelusuri profilnya di internet baru saya

Kalau Anak Sakit, Berobat ke Dokter Anak atau ke Dokter (Umum)?

Pertanyaan ini saya baca di sebuah buku yang diterbitkan oleh sebuah tabloid anak ternama ibukota. Menarik sekali. Salah satu bagian buku itu menulis: “Apakah anak harus dibawa ke dokter spesialis anak (dr, SpA) ataukah cukup ke dokter umum (dr,) saja?” Jawaban di buku: “bila di sekitar rumah ada dokter spesialis anak (DSA) atau kita membayar dokter yang lebih memahami penyakit anak, sebaiknya anak dibawa ke dokter spesialis anak saja. Sebab, DSA lebih memahami masalah penyakit pada anak, karena mereka sudah dibekali ilmu lebih banyak dibandingkan dokter umum biasa. Diharapkan, dengan pemahaman yang lebih tinggi, anak bisa tertangani lebih baik”. Dst dst. Bagaimana menurut Anda jawaban di atas? Ini pendapat saya pribadi. Dokter menjalani pendidikan selama 6 tahun mulai dari ilmu kedokteran dasar sampai penerapannya pada manusia, dan tata laksana penyakit-penyakitnya. Termasuk ilmu kesehatan anak. Jawaban di atas agak klise ( ngambang ) menurut saya. Karena bisa saja orang memahami

Perlukah Audit Medik?

Beberapa hari yang lalu, seorang ayah dari bocah 18 bulan yang pernah saya temui di tempat praktik menelepon. Anak laki-lakinya ini tiba-tiba saja muntah berturut-turut sampai empat kali, hingga tidak tersisa makanan di dalam lambungnya, dan yang keluar hanya cairan kuning saja. Ia panik, dan segera menghubungi ponsel saya, menanyakan apa yang sedang terjadi pada anaknya, apa yang harus ia lakukan, dan bisakah ia menemui saya hari itu. Setelah mendengar keterangannya, saya minta ia mengobservasi muntah anaknya, dan sebisa mungkin memberikan larutan elektrolit tiap habis muntah. Saya katakan ini bukan suatu kegawatdaruratan, dan kemungkinan terbesar adalah infeksi virus seperti gastroenteritis virus, atau food poisoning . Tak lama berselang, sebuah SMS darinya muncul di ponsel saya, yang menyatakan bahwa anaknya masih terus-menerus muntah, tidak mau minum apapun, dan seperti setengah sadar. Karena harus segera pergi ke tempat tugas, saya balas saja, “Kalau Bapak khawatir anaknya mengala

Salahnya Puyer

Terinspirasi dari laporan jaga harian pagi ini… Kasus syok anafilaktik yang diduga akibat alergi obat. Anak umur 5 tahun. Sebelumnya pasien hanya sakit ringan, batuk pilek saja. Pergi ke dokter, diberi resep puyer, dan ditebus obatnya. Ada lima macam obat yang tercantum, termasuk dua jenis antibiotika tablet yang digerus dan dicampur ke dalam puyer. Dua jam setelah minum puyer, anak mulai lemas, hilang kesadaran, dan dibawa ke RS. Diagnosisnya syok anafilaktik. Pertanyaannya: obat mana yang menimbulkan reaksi alergi berat? Meneketehe . Inilah dilema memberikan puyer. Terlepas dari masalah di atas, puyer tidak memiliki dasar ilmiah. Lihatlah ke semua negara lain, termasuk negara tetangga atau negara yang lebih miskin di belahan Afrika, tidak ada satupun yang memberikan obat dalam bentuk puyer. Bayangkan saja, beberapa jenis obat, digerus dalam satu wadah/ lumpang , kemudian dikerok dengan kertas, dan dibagi-bagi ke beberapa lembaran kertas puyer dengan mata telanjang. Yakin